Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum fiqh mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam
kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliqnya dan hubungan manusia
dengan sesama makhluk Allah yang dalam pelaksanaanya berkaitan dengan keadaan
tertentu, maka sagatlah penting untuk mengetauhi landasan hukum yang menjadi pedoman
berpikir dalam menentukan hukum tersebut.
Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-
quran dan Hadits sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi umat Islam, mengandung dasar-
dasar akidah, akhlak dan hukum. Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda
kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu
menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari
kelemahan dalam pemahaman maka, dikenal dengan ta’arudh.
Ta’arudl al-adilah adalah salah satu istilah yang dijumpai dalam Ilmu Ushul Fiqh.
Secara etimologi ta’aarudh yaitu saling betentangan atau pertentangan antara dua perkara.
Sedangkan menurut kajian ilmu ushul fiqh adalah berhadap-hadapan dua dalil dengan cara
yang saling bertentangan.
Sebenarnya, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan dengan dalil syara’ itu hanya
menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka berpikir inilah,
maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’I maupun zanni. Dalam
keberangsuran turunnya wahyu ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan bertentangan
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini yang sering dijadikan sebagai senjata oleh
pihak-pihak yang ingin menyesatkan umat islam.
Oleh karena itu, kita harus mengetauhi bagaimana melihat konteks yang bertentangan
tersebut. Maka, hal inilah yang mendorong kami tertarik untuk membuat makalah yang
berjudul “Ta’arudl Al-adhillah”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ta’rudh al-adillah ?
2. Apa sajakah yang termasuk kedalam ta’rudh al-adillah ?
3. Bagaimana cara penyelesaian ta’arudh al- adillah ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui maksud dari ta’arudh al- adillah.
2. Untuk mengetahui macam-macam ta’arudh al-adillah.
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian ta’arudh al-adillah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN

Kata ta’arudh, secara etimologi berarti pertentangan antara dua hal, sedangkan al-
adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argument, dan dalil. Adapun
menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah Zuhaili bahwa satu dari dua dalil mengendaki
hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Sedangkan al-
adillah.

Adapun secara terminology, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi
ta’arudh al-adillah, diantaranya :

a. Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arudh al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan
hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang
berbeda dengan dalil itu.
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arudh al-adilah adalah
pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara keduanya.
c. Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arudh al-adilah adalah terjadinya pertentangan
hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya dan
kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa persoalan ta’arudh al- adilah dibahas oleh
para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil
lainnya secara zhahir pada derajat yang sama. Maksud dari satu derajat adalah adalah antara
ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat. Seperti dalam masalah riba’. Rasulullah
SAW. Bersabda :

ِ ‫اَل ِربًا ِااّل‬


‫فى االنّسيئَة‬

Artinya : “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah ( riba yang muncul dari utang piutang ).”
(HR. Al-Bukhori dan
Muslim)
Hadis diatas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba’ nasi’ah, padahal
ada hadis lainnya yang tentang larangan melakukan riba fadl, seperti diterangkan didalam
hadis :

‫الَ تَبِ ْي ُع ْالبُ َّر بِ ْالبُ ِّر اِالَّ ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل‬

Artinya : “ jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama “.

( H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad ibnu Hambal ).

Adapun hadis yang pertama dan kedua terjadi pertentangan dalam hukumnya. Hadis
pertama membolehkan riba fadl dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah Al-Juahili
berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yang terkandung dalam
dua buah dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam
memahami, menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka. Begitu pun Imam
Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang
bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil qathi’ ( dianggap pasti kebenarannya )
maupun pada dalil yang zhanni ( kebenaran dianggap relative ), sealama berada dalam satu
tingkatan atau derajat.1

B. MACAM-MACAM TA’ARUDH AL-ADILLAH


Secara umum, ada 4 (empat) macam ta’arudh al-adillah:

1.      Ta’arudh antara Al-Quran dengan Al-Quran.


Firman Allah swt:
ۚ
َ ‫ال َو ۡٱل َح ِم‬
٨... ‫ير لِتَ ۡر َكبُوهَا َو ِزينَ ٗة‬ َ ‫وٱل َخ ۡي َل َو ۡٱلبِ َغ‬
ۡ
“dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan...” (Q.S An-Nahl [16]: 8).
Dalam ayat ini, kuda dan bighal hanya diperuntukkan untuk kendaraan dan hiasan
saja, sedang ayat ini mengandung ketentuan lain.

َ ُ‫ُوا ِم ۡنهَا َو ِم ۡنهَا تَ ۡأ ُكل‬


٧٩ ‫ون‬ ْ ‫ٱللَّهُٱلَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم ٱأۡل َ ۡن ٰ َع َم لِتَ ۡر َكب‬

1
Effendi satria, fiqh, Jakarta: Prenadamedia Group 2019, hal 218-220.
“Allahlah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu
kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan.” (Q.S Ghafir [40]: 79).
Pengertian an’am pada ayat di atas meliputi kuda dan bighal, sehingga di samping
kuda dan bighal itu bisa dikendarai juga bisa untuk dimakan.
Serta pada dalil berikut :

َ ‚َ‫َّصنَ بِأَنفُ ِس‚ ِه َّن أَ ۡربَ َع‚ ةَ أَ ۡش‚ه ُٖر َوع َۡش‚ ٗر ۖا فَ‚إِ َذا بَلَ ۡغنَ أَ َجلَه َُّن فَاَل ُجن‬
‫‚اح‬ ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُكمۡ َويَ َذرُونَ أَ ۡز ٰ َو ٗجا يَتَ َرب‬
٢٣٤ ‫ير‬ ِ ۗ ‫َعلَ ۡي ُكمۡ فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ٞ ِ‫ُوف َوٱهَّلل ُ بِ َما ت َۡع َملُونَ َخب‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 234).
Nash ini berdasarkan keumumannya menghendaki bahwasanya setiap orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan empat
bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak.

Sedangkan dalam ayat berikut, Allah berfirman sebagai berikut :

٤ ...‫ض ۡعنَ َحمۡ لَه ۚ َُّن‬ ُ َ‫ َوأُوْ ٰل‬...


َ َ‫ت ٱأۡل َ ۡح َما ِل أَ َجلُه َُّن أَن ي‬
“...Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya...” (Q.S At-Thalaq [65] : 4).
Nash ini sesuai dengan keumumannya menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang
hamil, iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal
mati suaminya atau tidak. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil,
merupakan suatu kasus dimana nash yang pertama menghendaki bahwa iddahnya berakhir
dengan masa tunggu empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash yang kedua menghendaki
iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Jadi dua nash tersebut saling
bertentangan pada kasus ini.
Dua ayat di atas harus dikompromikan. Jika istri yang ditinggal suaminya sedang
hamil, maka hendaknya ber-iddah dengan salah satu yang lebih dari dua ketentuan di atas.
Seandainya ia melahirkan kandungannya sebelum empat bulan sepuluh hari dari tanggal
wafat suaminya, maka ia harus menanti sampai sempurna empat bualn sepuluh hari. Apabila
dalam empat bulan sepuluh hari ia belum juga melahirkan, maka iddah-nya sampai ia
melahirkan.

َ ِ‫ص‚يَّةُ لِ ۡل ٰ َولِ‚ َد ۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق‚ َرب‬


‫ين‬ ِ ‫ك َخ ۡي‚ رًا ۡٱل َو‬ ُ ‫ض‚ َر أَ َح‚ َد ُك ُم ۡٱل َم ۡ‚و‬
َ َ‫ت إِن ت‬
َ ‫‚ر‬ َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
١٨٠ ‫ين‬ َ ِ‫ُوف َحقًّا َعلَى ۡٱل ُمتَّق‬
ِ ۖ ‫بِ ۡٱل َم ۡعر‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu - bapak dan karib kerabatnya
secara ma´ruf, ini adalah kewajiban atas oran orang yang bertaqwa (Q.S Al-Baqarah [2] :
180)
Dengan surah berikut ini :

١١ ...‫ُوصي ُك ُمٱهَّلل ُ فِ ٓي أَ ۡو ٰلَ ِد ُكمۡۖ لِل َّذ َك ِر ِم ۡث ُل َحظِّ ٱأۡل ُنثَيَ ۡي ۚ ِن‬
ِ ‫ي‬
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan...”
(Q.S An-Nisa’ [4]: 11).
Ayat yang pertama mewajibkan terhadap orang yang mewariskan, apabila ia
mendekati kematiannya untuk berwasiat harta peninggalannya untuk kedua orang tuanya
dan karib kerabatnya dengan cara yang makruf. Ayat yang kedua mewajibkan kepada
masing-masing dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat suatu hak yang dari harta
peninggalan sesuai dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewariskan. Kedua ayat
tersebut saling bertentangan secara lahiriyah, dan memungkinkan untuk mengadakan
penyesuaian antara keduanya, dengan cara bahwa yang dimaksud pada surah al-Baqarah
adalah dua orang tua dan karib kerabat terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang
sebagaimana perbedaan agama.

2.     Ta’arudh Al-qur’an dengan Sunnah

Terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:


‫ُوف َحقًّ‚‚ا َعلَى‬ ۡ ‚ِ‫ص‚يَّةُ لِ ۡل ٰ َولِ‚د َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق‚ َربِينَ ب‬
ِ ۖ ‫‚ٱل َم ۡعر‬ ِ ‫خَيرًا ۡٱل َو‬
ۡ ‫ك‬ ُ ‫ض َ‚ر أَ َح َد ُك ُم ۡٱل َم ۡو‬
َ ‫ت إِن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ إِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
١٨٠ َ‫ۡٱل ُمتَّقِين‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 180)
Sedangkan hadis Rasulullah Saw menyatakan sebaliknya :
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ٍّ ‫اِنَّاهللَ قَ ْد أَ ْعطَى لِ ُك ِّل ِذيْ َح‬.
ِ ‫ق َحقَّهُ فَاَل َو‬
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda ketika
khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang
berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (H.R Tarmidzi)

3.     Ta’arudh Sunnah dengan Sunnah

ٍ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يُصْ بِ ُح ُجنُبَا ِمنُ ِجا‬


‫ع ثُ َّم يَ ْغت َِس ُل‬ ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َواُ ِّم َسالَ َمةَ َر‬
َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا اَ َّن النَّبِ ِّي‬
)‫‚ (متفق عليه‬.‫َويَصُوْ ُم‬
“Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan
junub karena melakukan jima’ kemudian mandi dan menjalankan puasa.” (H.R Bukhari
Muslim).

Hadist ini bertentangan dengan hadist yang berbunyi :

)‫ (روه امام أحمد وابن حبان‬.ُ‫ْح َواَ َح ُد ُك ْم ُجنُبَا فَالَ يَصُو ْ‚م يَوْ ُمه‬
ِ ‫صالَةَ الصُّ ب‬ َ ‫اِ َذ ُكو ِد‬
َّ ‫ى لِل‬
“Bila telah dipanggil untuk sembahyang Subuh, sedang salah satu di antaramu dalam
keadaan junub maka jangan puasa di hari itu.” (H.R Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).

Contoh lain yaitu tentang riba :

‫اَل ِربَا اِاَّل فِى النَّ ِس ْيئَ ِة‬


“Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang).” (H.R Bukhari
dan Muslim).

Hadist di atas menjelaskan bahwa riba hanya terdapat adalah nasiah.

Sedang dalam hadist lain Rasulullah bersabda :

‫اَل تَبِ ُع ْالبُ َّر بِ ْالبُرِّ اِاَّل َمثَاًل بِ َمثَ ٍل‬


“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (H.R
Bukhari dan Muslim).

Dari dua hadist di atas tampak terlihat adanya pertentangan mengenai hukum riba.
Hadist pertama menjelaskan bahwa riba hanya terdapat pada jual beli sedangkan hadist
kedua melarang riba fadl kecuali menukar benda yang sejenis. Jika dikompromikan kedua
hadist di atas maka dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan ialah riba nasiah
sedangkan riba fadl dibolehkan jika benda yang ditukar itu sejenis.

4.    Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas

Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam
menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual beli unta
atau kambing yang diikat puting susunya agar kelihatan besar, sedang setelah dibeli dan
diperah air susunya terbukti adanya ghahar.

Sabda Nabi Muhammad saw :

“Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar kelihatan besar),
barang siapa membelinya sesudah terjadi demikian, maka boleh memilih di antara dua
pandangan yang dianggap baik bila menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu, atau
mengembalikannya dengan membayar satu sha’ dari tamar.” (H.R Muthafaqun ‘Alaih dari
Abi Hurairah).

Dalam hadist ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian unta atau kambing itu
pembeli dengan membayar satu sha’ dari tamar. Ini pendapat Jumhur. Ulama Hadawiyah
berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila masih dan bila telah
habis dengan mengganti harga air susu itu, hal ini diqiyaskan pada tanggungan bila
menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak yang menggunakan barang
orang lain itu mengganti sejumlah atau senilai dengan yang telah dipergunakan.

Ta’arudh antara qiyas dan sunnah ini dapat juga dikemukakan, tentang ukuran ‘aqiqah
berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, didasarkan
pada hadist :

ِ ‫َان ُم َكا فَئَتَا ِن َوع َِن ْال َج‬


ٌ‫ار يَ ِة َشاة‬ ِ ‫ق ع َِن ْال ُغاَل ِم َشات‬
ٌّ ‫اَ ْل ِعقَيُقَةُ َح‬
“’Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk
perempuan seekor kambing.” (H.R Asma binti Yazid).

Bagi yang berpegang pada qiyas, maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih besar
seperti unta dan sapi. Ini pendapat hampir sebagian para fuqaha. Sedang yang berpegang
pada hadist di atas ialah Imam Malik, bahwa ‘aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih
kambing.

5.      Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas

Muhammad Abu Zahra mencontohkan tentang perwalian. Aliran Hanafiah memiliki


pandangan yang berbeda dengan aliran Syafi’i tentang illat perwalian bagi anak perempuan.
Menurut Imam Abu Hanifah, illat perwalian adalah sighar (keadaan di bawah umur), oleh
karena itu hak perwalian hilang apabila anak itu sudah sampai usia baligh.

Adapun menurut Imam Syafi’i, illat-nya adalah bukarah (kegadisan), jadi hak
perwalian hilang apabila anak sudah melangsungkan pernikahan, walaupun belum sampai
usia baligh, dan hak perwalian tetap ada walaupun usia sudah sampai baligh tetapi belum
menikah.

Contoh lain dari ta’arudh antara qiyas dengan qiyas itu ialah terhadap masalah
perkawinan Rasulullah dengan siti ‘Aisyah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim:

‫ْح‬
ِ ‫ت تِس‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َّم لِ َس‬
ُ ‫ت ِسنِ ْينَ َوبَنِيَى‚ بِى َوانَا بِ ْن‬ ْ َ‫َو َع ِن عَائِ َشةَ قَال‬
َ ِ‫ تَزَ َّو َجنِى َرسُوْ ُ‚ل هللا‬: ‫ت‬
)‫ (رواه مسلم عن عائسة‬.‫ِسنِ ْي ِن‬
“Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah saw mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuli ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun.”
(H.R Muslim dari ‘Aisyah).

Atas dasar hadist ini, diambil hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap
anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan masih di bawah umur, demikian
pendapat Hanafiah. Sedang ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan
demikian, kalo telah tasyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tidak mempunyai hak
ijbar.2

C. CARA PENYELESAIAN TA’ARUDH AL-ADILLAH


A. Menurut Hanafiyah

Para ulama hanafiyah dan hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus
digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai
berikut:

1. Nasakh
Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil
yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda.
2. Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila dua dalil
yang bertdntangan sulit untuk dilacak sejarahya, maka bisa menggunakan tarjih
dengan menggunakan alas an-alasan yang mendukung dalil-dalil tersebut. Untuk
melakukan tarjih dapat dilihat dari tiga sisi :
a. Petunjuk terhadap kandungan lafazh suatu nash. Misalnya menguatkan nash yang
hukumnya pasti ( muhkam ) dan tidak bisa dihapus, dari pada nash yang
hukumnya pasti namun bisa diubah ( mufassar ).
b. Dari segi yang dikandungnya. Misalnya menguatkan dalil yang mengandung
hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
c. Dari segi keadilan periwayatan suatu hadis.
3. Al – Jam’ Wa-Taufiq

Yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan


keduanya, berdasarkan kaidah, “ mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.

2
http://kisahgadihranta.blogspot.com/2017/05/makalah-ushul-fiqh-ta’rudh-al-adillah.html. diakses pada hari rabu, 30 Oktober,
2019 pukul 13:00.
4. Tasaqut ad-dalilain

Tasaqut ad-dalilain adalah menggurkan kedua dalil yang bertentangan dan


mencari yang lebih rendah. Hal ini ditempuh apabila tidak bisa menggunakan tiga
cara diatas. Misalnya ada pertentangan antara dua ayat, sedangkan ketiga cara diatas
tidak bisa dipakai, maka langkah yang harus ditempuh adalah mengambil keterangan
yang lebih rendah dari Al-Qur’an yaitu sunah.

B. Menurut syafi’iyah, malikiyah, dan zhahiriyah.

Cara penyelesaian ta’arudh al-adilah, menurut syafi’iyah, malikiyah, dan


zhahiriyah adalah berikut ini :

1. Jamu’ wa al-taufiq
Menurut syafi’iyah, malikiyah dan zhahiriyah, cara pertama untuk
menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua
dalil tersebut. Cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut
menurut mereka ada tiga :
a. Membagi kedua hukum yang bertentangan.
b. Memilih suatu sakah satu hukum. Misalnya, ada hadis dibawah ini:
‫في ْال َم ْس ِج ِد‬
ِ َّ‫صالَةَ لِجا َ ِر ْال َم ْس ِج ِد اِال‬
َ َ‫ال‬

Artinya : “ tidak (sempurna) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.”

(HR. Abu Daud dan Ahmad Ibn Hambal)

Kata “la” dalam hadis tersebut, menurut ulama ushul fiqh mempunyai
banyak , berarti “tidak sah”,”tidak sempurna”, dan “tidak utama”. Seorang
mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh dalil-dalil lain nya.

c. Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa iddah wanita yang
hamil. Yang menurut hanafiyah menggunakan metode nasakh.
2. Tarjih

Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni
menguatkan salah satu dalil.
3. Nasakh

Apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan
cara ketiga, atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung
kedalam dua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui terlebih dahulu, mana dalil
yang pertama dan dalil yang datang kemudian.

4. Tatsaqut al-dalilain

Cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila cara
pertama, kedua dan ketiga tidak bisa ditempuh, menurut golongan ini adalah tatsaqut
ad-dalilain, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil
yang kualitasnya lebih rendah.3

3
Syafe’I rachmat, ilmu ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka setia 2007, hal 227-230.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ta’arudh al-adilah yaitu pertentangan antara dua dalil dimana masing-masing dalil
menghendaki hukum diwaktu yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum
yang dikehendaki dalil yang lain.
2. Macam-macam Ta’arudh al-adillah secara umum ada 4 macam yaitu, Ta’arudh antara
Al-Quran dengan Al-Quran, Ta’arudh Al-qur’an dengan Sunnah, Ta’arudh Sunnah
dengan Sunnah, Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas.
3. Cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah yaitu dengan Al-Ja’u wa AlTaufiq, Tarjih, Nasakh
dan Tasaqut al-dilalain.
B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat menambah pengetauhan kita mengenai ta’arudh al-adillah
sehingga kita dapat memahami dan tidak cepat mengambil kesimpulan ketika terjadi
pertentangan antara dua dalil.
2. Semoga makalah ini dapat menambah kepustakaan kita dalam bidang ushul fiqh
khususnya tentang ta’arudh al-adillah.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, M.A (2019). Fiqh, Jakarta: Prenadamedia Group.

Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A (2007). Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

http://kisahgadihranta.blogspot.com/2017/05/makalah-ushul-fiqh-ta’rudh-al-adillah.html

Anda mungkin juga menyukai