Anda di halaman 1dari 182

BAB I

_______________________________________
TERMINOLOGY HADITS
NABI SAW

Studi Hadits
BAB II
_______________________________________
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
HADITS SEBAGAI SUMBER
AJARAN ISLAM

Studi Hadits
A. Dalil-dalil Kehujjahan Hadits
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Dalam Al-
Qur’an banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang
kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan
ketaatan mengikuti Rasul-Nya. Diantaranya adalah :
1. Q.S. Al-Hasyr [59] : 7
‫ُول َولِ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َو ْٱليَ ٰتَ َم ٰى‬ ِ ‫َّمٓا أَفَٓا َء ٱهَّلل ُ َعلَ ٰى َرسُولِِۦه ِم ْن أَ ْه ِل ْٱلقُ َر ٰى فَلِلَّ ِه َولِل َّرس‬
‫َو ْٱل َم ٰ َس ِكي ِن َوٱ ْب ِن ٱل َّسبِي ِل َك ْى اَل يَ ُكونَ دُولَ ۢةً بَ ْينَ ٱأْل َ ْغنِيَٓا ِء ِمن ُك ْم ۚ َو َمٓا َءات َٰى ُك ُم‬
۟ ُ‫ُوا ۚ َوٱتَّق‬
ِ ‫وا ٱهَّلل َ ۖ ِإ َّن ٱهَّلل َ َش ِدي ُد ْٱل ِعقَا‬
‫ب‬ ۟ ‫ٱل َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َوما نَهَ ٰى ُك ْم َع ْنهُ فَٱنتَه‬
َ
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
2. Q.S. Al-Ma’idah [5] : 92
‫ُوا ۚ فَإِن تَ َولَّ ْيتُ ْم فَٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا أَنَّ َما َعلَ ٰى‬
۟ ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوٱحْ َذر‬
۟ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬ ۟ ‫َوأَ ِطيع‬
ُ‫َرسُولِنَا ْٱلبَ ٰلَ ُغ ْٱل ُمبِين‬

Artinya : Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah


kamu kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu
berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang1.
1
Khairunnisa, Dita dkk. 2018. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN
HADIS dan FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN, Fakultas
Ilmu tarbiyah dan Keguruan, UIN Sumatera Utara, hlm 2-4.

Studi Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan
baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan
hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an
sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب هللا وسنة‬
‫رسوله(رواه الحاكم‬
Artinya :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).
Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa
hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an
dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang
berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam
menentukan hukum2.

B. Kedudukan dan Fungsi Hadits


terhadap Al-Qur’an
Keharusan mengikuti hadist bagi umat Islam
(baik berupa perintah maupun larangannya) sama halnya

2
Muhammad Fathan Na’im, “Dalil Kehujjahan Hadist”, dalam
http://naimar117.blogspot.com/2016/04/dalil-kehujjahan-hadits.html
09 April 2017)

Studi Hadits
dengan kewajiban mengikuti al-Quran. Hal ini karena
hadist merupakan mubayyin(penjelas) terhadap al-Quran
yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahaminya
tanpa dengan memahami dan menguasai hadist. Begitu
pula halnya menggunakan hadist tanpa al-Quran. Karena
al-Quran merupakan dasar hukum pertama yang di
dalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian,
antara hadist dengan al-Quran memiliki kaitan sangat
erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri3.
1. Fungsi Hadits
Berdasarkan kedudukannya, al-Quran dan hadist
merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran islam.
Antara satu dengan yang lainnya jelas tidak dapat
dipisahkan. Al-Quran sebagai sumber ajaran dan sumber
hukum memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan
global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci.
Disinilah hadist menduduki dan menempati fungsinya. Ia
menjadi penjelas(mubayyin) isi kadungan al-Quran
tersebut.

C. Contoh Ajaran Agama


berdasarkan Fungsi Hadits
terhadap Al-Qur’an

3
Idri dkk, Studi Hadits., hlm. 52.

Studi Hadits
Fungsi hadist dalam hubungannya dengan
ketetapan al-Quran dapat dikelompokkan menjadi 4,
yaitu
1. Bayan al-taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-
ta’kid dan bayan al-isbat. Yang dimaksud dengan bayan
ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al-Quran4. Sehingga hadist dapat
dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa yang
termuat di dalamnya. Fungsi hadist dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Quran. Seperti contoh,
Hadist riwayat Bukhari dari Abu Hurairah tentang wudhu
‫َث َحتَّى يَت ََوضَّا َء‬ َ ‫قَ َل َرسُوْ ُُِ–ِل هّللا صلي هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ﻻَيُ ْقبَ ُل‬
َ ‫صالَةُ َم ْن اَحْ د‬

Artinya: “Rasulullah bersabda: tidak diterima sholat


seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu.”
Hadist ini menjadi taqrir atas ayat al-Quran
tentang kewajiban berwudhu ketika sesorang hendak
melaksanakan sholat, yaitu,

ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َر ف‬


‫ق‬ َّ ‫يَايُهَاالَّ ِذ ْينَ آ َمنُوْ ا اِ َذ قُ ْمتُ ْم اِلَى ال‬
‫َو ْم َسحُوْ ا بِ ُر ُؤ ِس ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك ْم اُلَى ْال َك ْعبَي ِْن‬

4
Ibid., hlm. 63

Studi Hadits
Artinya: “Hai orang-orang beriman, jika kamu sekalian
hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka dan
tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”5
2. Bayan al -Tafsir
Bayan al Tafsir adalah penjelasan hadist terhadap
ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan
lebih lanjut. Maka fungsi hadist dalam hal ini adalah
memberikan perincian(tafsil) dan penafsiran terhadap
hal-hal yang yang sudah dibicarakan oleh al-Quran. Hal
ini dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu,
3. Bayanul Mujmal
Ayat yang mujmal artinya ayat yang ringkas atau
singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung
banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena
belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali
setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata
lain, ungkapannya masih bersifat global yang
memerlukan mubayyin. Dalam al-Quran banyak seklai
ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian.
Sebagai contoh ayat-ayat yang tentang perintah Allah
untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah,
qasas, dan hudud.

5
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis(Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2016), hal 48-49

Studi Hadits
Ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan masalah-
masalah tersebut masih bersifat global atau garis besar,
atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian,
akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara
pasti. Hal ini karena dalam ayat-ayat tersebut tidak
dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakannya,
apa sebabnya, apa syaratnya-syaratnya, atau apa
halangan-halangannya. Maka Rasulullah menafsirkan
dan menjelaskannya secara terperinci. Misalnya,
Hadist tentang cara sholat :

َ ُ‫صلُّوْ ا َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِى أ‬


‫صلى‬ َ
Artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana engkau
sekalian melihat aku sholat. Hadist riwayat Bukhari.”
Hadist ini menjelaskan ayat berikut:

َ‫صالَةَ َوأَتُوْ اال َّز َكاة ََوارْ َك ُخوْ ا َم َع الرَّا ِك ِع ْين‬


َّ ‫َواَقِ ْي ُموْ اال‬

Artinya: “Dan kerjakan sholat, tunaikanlah zakat, dan


ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”

4. Taqyidul Muthlaq
Kata muthlaq adalah kata yang menunjuk pada
hakikat kata itu sendiri apa adanya dengan tanpa
memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid
yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat

Studi Hadits
tertentu6. Maksudnya ialah hadist berfungsi unutk
membatasi ayat-ayat yang sifatnya masih muthlaq.
Seperti,
Hadist tentang status hukum bangkai dan belalang, yaitu:
‫ك َو ْال َج َرا ِد‬
ُ ‫اُ ِحلَّت لَ ُك ْم َم ْيتَتَا ِن ال َّس َم‬

Artinya : Telah dihalalkan bagi kamu sekalian


dua(macam) bangkai, yaitu bangkai ikan dan bangkai
belalang.
Hadist ini menjelaskan ayat tentang bangkai, yaitu:
‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ٍز ي ِْر‬
ْ ‫حُرِّ َم‬

Artinya : Telah diharamkan atas kamu sekalian bangkai,


darah, dan daging babi.

5. Takhshishul ‘Am
Maksudnya adalah hadist berfungsi untuk men-
takhsis atau mengecualikan ayat-ayat yang sifatnya
masih umum, misalnya hadist tentang harta warisan
berikut:
ُ ‫نَحْ نُ َم َعا َِ–َِش َراﻻ ْنبِيَا ِءﻻَنُوْ ِر‬
َ ُ‫ث َما تَ َر ْكنَا ه‬
‫ص َدقَة‬
6
Idri dkk, Studi Hadits., hlm. 65-66.

Studi Hadits
Artinya : Kami para sahabat tidak meninggalkan harta
warisan

‫ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكا فِ َر َوﻻَ ْال َكا فِ ُراَل ْ ُم ْسلِم‬


ُ ‫قَ َل النَّبِ ُّي صلى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ﻻَ يَِ ِر‬

Artinya : Nabi saw bersabda “tidaklah seorang muslim


mewarisi harta dari orang kafir dan orang kafir tidak
boleh mewarisi harta muslim”
Kedua hadist di atas men-takhsis ayat:

‫ص ُك ْم هّللا ُ فِى اَوْ ﻻَ ِد ُك ْم اِلِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اﻻُ ْنثَيَي ِْن‬


ِ ْ‫يُو‬

Artinya : Allah telah mensyari’atkan bagimu tentang


(pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian anak laki-laki dua kali dari bagian anak
perempuan.

6. Taudhihul Musykil
Maksudnya adalah hadist berfungsi untuk menjelaskan
hal-hal yang dalam al-Quran masih rumit, seperti kata
“khaith” dalam ayat:

Studi Hadits
‫َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َحتَّى يَتَبَي َ–َّن لَ ُكم ْالخَ ْيطُ اﻷَ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخ ْي ِط اﻵسْو ِد ِمنَ ْالفَجْ ِر‬

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang


putih dari benang hitam, yaitu Fajar.
Lalu hadist menjelaskannya dengan batasan-batasan,
yaitu:
Yang dimaksud dengan kalimat al-khaith al-abyadh ُ‫اَ ْل َخ ْيط‬
ُ‫ اﻷَ ْبيَض‬adalah bayadh an-nahar ‫بَيَ––اضُ نَّهَ––ار‬, artinya
“terangnya siang” dan kalimat al-khaith as sawad ‫ْال َخ ْي ِط‬
ْ adalah sawad al-lai ‫ َس–– َوادُاللَّ ْي ِل‬artinya “gelapnya
‫اﻵس––و ِد‬
malam”7.
7. Bayan al-Tasyri atau ziyadah’
Kata al-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan,
atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang
dimaksud dengan bayan al-tasyri’ adalah penjelasan
hadist yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau
menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara yang
tidak didapati nashnya dalam al-Quran. Rasulullah dalam
hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum
terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu
dengan sabdanya sendiri tanpa berdasar pada ketentuan
ayat-ayat al-Quran8. Dalam hal ini, keberadaan hadist
7
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis., hal 52-53
8
Idri dkk, Studi Hadits., hlm. 67-68

Studi Hadits
dapat dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa yang
termuat di dalam al-Quran. Ketetapan Rasulullah tersebut
ada kalanya berdasarkan qiyas ada pula yang tidak.
Seperti contoh:
Hadist tentang janin yang mati dalam kandungan
induknya.
‫َذ َكاةُ ْال َجنِ ْي ِن َذ َكاةُ اُ ِّم ِه‬
Sembelihlah janin mengikuti sembelihan induknya.
Maksudnya ialah janin yang keluar dari induk
yang disembelih itu, sekalipun dalam keadaan mati
hukumnya tetap halal seperti induknya9.
8. Bayanut Taqhyir atau an-Naskh
Maksudnya, hadist berfungsi untuk melakukan
perubahan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh ayat
al-Quran seperti hadist Nabi berikut

ُ‫ث َر َواهُ التُّرْ ُم ِذى َوابْن‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬


ٍ ‫ار‬ ٍّ ‫اِ َّن هّللا اّ ْعطَى لِ ُك ِّل ِذى َح‬
ِ ‫ق َحقَّهُ فَالَ َو‬
‫ َما َجه‬...
Sesungguhnya Allah telah memberi hak bagian bagi
orang-orang yang benar-benar memiliki hak untuk itu,
makanya tidak ada wasiat bagi ahli wari.

9
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis., hal 54

Studi Hadits
Hadist ini mejelaskan ketetapan ayat berikut:

َ‫صيَّةُ ْلل َوالِ َدي ِْن َو ْاﻻَ ْق َربِ ْين‬ ْ ‫ك خَ ْير‬


ِ ‫ًاال َو‬ ُ ْ‫ض َراَ َح َد ُك َم ْال َمو‬
َ ‫ت اِ ْنت ََر‬ َ ‫ب َخلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
‫بِ ْال َم ْعرُوْ ف‬
Artinya : Diwajibkan atas kamu ketika salah seorang
daripada kamu akan meninggal dunia, jika ia
meninggalkan harta benda yang banyak, supaya
membuat waasiat untuk orang tuanya dan kerabatnya
dengan sebaik-baiknya. (Al-Baqarah:18)

D. Ingkar Sunnah
Menurut bahasa kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari
dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar”
berasal dari kata bahasa Arab ‫ اَ ْﻧ َﻜ َﺮ ﯾُ ْﻨ ِﻜ ُﺮ إِ ْﻧ َﻜﺎ ًرا‬yang
mempunyai beberapa arti diantaranya: tidak mengakui
dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau
tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al-‘irfan dan
menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati).
Al-Askari membedakan antara makna al-Inkar
dan al-Juhdu. Kata al-Inkar terhadap sesuatu yang
tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedangkan
al-Juhdu terhadap sesuatu yang nampak. Dan disertai
dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang
yang mengingkari Sunnah sebagai hujjah dikalangan
orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang
‘ulumul hadits.

Studi Hadits
Dari beberapa arti kata “ingkar” tersebut dapat
disimpulkan bahwa ingkar secara etimologis diartikan
menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu,
baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang di latar
belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain,
misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan
lain-lain.
Inkar sunnah adalah sekelompok umat islam yang
tidak mengakui atau menolak sunnah(hadist) sebagai
salah satu sumber ajaran islam. Orang yang menolak
keberadaan sunnah(hadist) sebagai salah satu sumber
ajaran Islam disebut munkir al-sunnah. Kelompok inkar
sunnah merupakan lawan atau kebalikan dari kelompok
besar(mayoritas) umat islam yang mengakui sunnah
sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Al-Syafi’i seperti dikutip oleh Syuhudi Ismail
dalam kitab al-Umm membagi kelompok inkar sunnah
menjadi tiga golongan, yaitu golongan yang menolak
seluruh sunnah, golongan yang menolak sunnah kecuali
apabila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk
al-Quran, dan golongan yang menolak sunnah yang
berstatus ahad. Golongan yang disebut terakhir ini hanya
menerima sunnah yang berstatus mutawatir saja.
Dari penggolongan inkar sunnah menjadi tiga
bagian di atas, golongan yang benar-benar masuk dalam
pengertian inkar sunnah adalah golongan
pertama(golongan yang menolak sunnah secara

Studi Hadits
keseluruhan). Sedangkan golongan kedua dan ketiga
adalah golongan yang masih ragu terhadap keberadaan
sunnah, antara mengakui dan menolak keberadaanya.
Pendapat golongan kedua bahwa tidak semua
hadist sesuai dengan petunjuk al-Quran, terutama apabila
dikaji dari segi matan(teks)-nya mempunyai alasan yang
cukup rasional apabila dikaitkan dengan minimnya
jumlah hadist yang diriwayatkan oleh perawi itu, persis
seperti ketika disampaikan oleh Rasulullah. Di samping
itu, terdapat matan hadist yang tampaknya bertentangan
dengan al-Quran. Namun demikian, jalan pikiran
golongan kedua ini dapat dibantah bahwa dengan
melakukan penelitian sanad dan kajian matan hadist
secara cermat, tepat, dan komprehensif akan dapat
diketahui titik temu keduanya.
Pendapat golongan ketiga berawal dari
kesepakatan seluruh umat islam yang dengan bulat
menerima kehujjahan hadist mutawatir karena dari segi
transmisi hadist(sanad) dan matannya dapat
dipertanggungjawabkan. Adapun hadist ahad
kebenarannya dinilai nisbi karena diriwayatkan oleh
perorangan yang dimungkinkan level kecermatannya
kurang. Bantahan terhadap golongan ketiga ini adalah
tidak semua hadist ahad tidak dapat diajdikan hujjah
karena di dalamnya terdapat perawi yang kapasitas
keadilan dan ke-dlabith-an(kekuatan hafalan)-nya tidak
perlu diragukan. Bagaimana orang seperti Imam Abu

Studi Hadits
Hanifah yang cukup selektif dalam meriwayatkan hadist
mesti diragukan keberadaan riwayatnya? Di samping itu,
dengan melakukan penelitian sanad dan matan hadist
secara cermat dan tepat akan diketahui validitas
periwayatan hadist itu sendiri. Dalam pandangan ulama
hadist nilai qath’i dan zhanni di samping berdasar pada
banyak atau sedikitnya sanad(mata rantai perawi) hadist,
juga mengacu pada kualitas dan kredibilitas perawinya.10
1. Faktor-faktor penyebab inkar sunnah
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi
adanya inkar sunnah, yaitu:
Terjadinya kesalah pahaman terhadap Q.S al-
An’am ayat 38. Mereka telah keliru terhadap
penerjemahan dengan ayat ini. Mereka menerjemahkan
ayat ini secara langsung tanpa memahami makna dibalik
terjemah ayat itu sehingga timbul adanya kesalah
pahaman yang berbuntut terhadap terciptanya golongan
inkar sunnah
Mereka bingung terhadap apa yang menjadi
keyakikan mereka di dalam golongan inkar sunnah.
Mereka menjadikan hadist sebagai bahan argumen
namun mereka tidak percaya dan tidak berpedoman
kepada hadist dan sunnah.

10
Idri dkk, Studi Hadits., hlm. 72-74

Studi Hadits
Perasaan angkuh dan gengsi yang mereka miliki
terjadi karena mereka tidak percaya dan tidak mengakui
adanya ayat lain yang perlu dijadikan pedoman selain
dari al-Quran
2. Argumen Ingkar Sunnah
Adapun argumen-argumen dari Ingkar Sunnah
yang dikemukakan cukup banyak jumlahnya, ada yang
berupa argumen-argumen naqli (ayat al-Qur’an dan
Hadits) dan ada yang berupa argumen-argumen non-
naqli. Adapun dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Argumen -Argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli
tidak hanya berupa ayat-ayat al-Qur’an saja, tetapi juga
berupa Sunnah atau hadits Nabi. Ironis, jika yang
berpaham Ingkar Sunnah menggunakan Sunnah sebagai
argumen untuk membela paham mereka. adapun
argumen naqli mereka antara lain:
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu . . . .” (Q.S An-Nahl
ayat 89)
“Tidak ada sesuatu yang kami tinggalkan dalam al-
Kitab. . .” (Q.S Al-An’am ayat 38)
Menurut para pengingkar Sunnah, kedua ayat
tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup
segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama.

Studi Hadits
Dengan demikian tidak diperlukan keterangan lain,
misalnya dari Sunnah. Menurut mereka, salat lima waktu
sehari semalam yang wajib didirikan dan yang
sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah Sunnah atau
hadits, melainkan ayat-ayat al-Qur’an, misalnya QS. Al-
Baqarah: 238, Hud: 114, al-Isra’ 78 dan 110, Thaha: 130,
al-Hajj: 77, al-Nur: 58 dan al-Rum: 17-18. Dalam
kaitannya dengan tata cara shalat, Kasim Ahmad
Pengingkar Sunnah dari Malaysia, menyatakan dalam
bahasa Malaysia: Kita telah mebuktikan bahwa perintah
sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi
Ibrahim dan kaumnya, dan amalan ini telah
diperturunkan, generasi demi generasi, hingga kepada
Nabi Muhammad dan Umatnya. Ada hikmah yang besar
mengapa Tuhan tidak memperinci bentuk dan kaidah
salat dalam al-Qur’an.
Pertama, karena bentuk dan kaidah ini telah diajar
kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya, dan
disahkan untuk diikuti oleh umat Muhammad. Kedua,
karena bentuk dan kaidah ini tidak begitu penting, dan
Tuhan ingin memberi kelonggaran kepada umat
Muhammad supaya mereka boleh melakukan salat
mereka dalam keadaan apa juga, seperti dalam perjalanan
jauh, dalam peperangan, di Kutub Utara, atau diangkasa
lepas mengikuti cara yang sesuai
Dengan demikian menurut pengingkar Sunnah,
tata cara salat tidaklah penting; jumlah rakaat salat, cara

Studi Hadits
duduk, ayat dan bacaan yang dibaca diserahkan kepada
masing-masing pelaku salat. Jadi boleh saja dilakukan
dengan bahasa daerah. Dari argumen-argumen tersebut
dapat dipahami bahwa menurut para pengingkar Sunnah
bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk
menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya dan hanya
bertugas sebagai penerima wahyu saja dan
menyampaikan kepada umatnya. Mengenai ayat al-
Qur’an yang memerintahkan untuk patuh kepada
Rasulullah, hal ini menurut mereka hanya berlaku ketika
Nabi Muhammad hidup dan ketika jabatan ulul-amri
berada ditangan beliau. Jika beliau sudah wafat dan
jabatan ulil-amri sudah berpindah tangan maka
kewajiban taat kepada Rasulullah gugur.
b. Argumen-Argumen Non-Naqli
Cukup banyak juga argumen-argumen yang
termasuk non-naqli yang telah diajukan oleh para
pengingkar Sunnah. Diantaranya yang terpenting adalah
sebagai berikut :
Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad (melalui Malaikat Jibril) dalam bahasa Arab.
Orang yang memiliki pengetahuan dalam bahasa Arab
mampu memahami al-Qur’an secara langsung, tanpa
harus memerlukan penjelasan dari Hadits.
Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami
kemunduran. Kemundurannya karena terpecah-pecah.

Studi Hadits
Dan sebab perpecahan tersebut karena umat Islam
berpegang kepada Hadits Nabi.
Asal mula Hadist Nabi yang dihimpun dalam
kitab-kitab Hadist adalah dongeng-dongeng semata.
Karena Hadist Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab
Hadist adalah dongeng-dongeng semata. Karena Hadist
Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Yakni pada masa
tabi’in dan atba’ altabi’in, yakni sekitar 40-50 tahun
setelah Nabi wafat. Dan Hadits yang terhimpun dalam
Sahih Bukhari dan Muslim merupakan Hadits palsu.
Disamping itu banyak matan Hadits yang bertentangan
dengan al-Qur’an ataupun logika. Dasar dari argumen
ini, sebagaimana dinyatakan oleh Kassim Ahmad,
pengingkar Sunnah dari Malaysia, adalah pernyataan dari
G.H.A. juynboll, seorang orientalis.
Menurut dokter Taufiq Sidqi, tiada satupun
Hadits Nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan
Hadits terjadi setelah Nabi wafat. Sehingga
dimungkinkan ada perusakan dan permainan Hadits pada
masa pencatatannya.
Menurut pengingkar Sunnah, kritik sanad yang
terkenal dalam ilmu Hadits sangat lemah untuk
menentukan kesahihan hadits dengan alasan sebagai
berikut: a) Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu
Hadits dikenal dengan ‘ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ilmu
yang membahas ketercelaan dan keterpujian para perawi
Hadits, baru muncul satu tengah abad Nabi wafat. b)

Studi Hadits
Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat Hadits pada
generasi pertama dinilai adil oleh para ulama Hadits pada
akhir abad ketiga dan awal abad ke empat Hijriyah.
Dengan konsep Ta’dil al Sahabah, para sahabat Nabi
dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan Hadits.
3. Kelemahan Argumen Naqli
Seluruh argumen naqli yang diajukan oleh para
pengingkar Sunnah untuk menolak Sunnah sebagai salah
satu sumber ajaran Islam adalah lemah sekali. Bukti-
bukti kelemahannya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Al-Qur’an surat an-Nahl : 89 sama sekali tidak
memberikan petunjuk bahwa Sunnah tidak diperlukan.
Menurut syafi’i ayat tersebut mengandung pengertian
dan petunjuk yang menjelaskan bahwa, a) Ayat al-
Qur’an menjelaskan tentang berbagai berbagai
kewajiban, larangan dan teknis pelaksanaan ibadah
tertentu. b)Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya
kewajiban tertentu yang bersifat global. Sehingga Hadits
diperlukan untuk menjelaskan teknik pelaksanaannya. c)
Nabi menetapkan suatu ketentuan, yang dalam al-Qur’an
ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan
dalam Hadits tersebut wajib ditaati sebab Allah
memerintahkannya. Dengan demikian al-Qur’an Surat
an-Nahl: 89 sama sekali tidak menolak Hadits sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan ayat tersebut
menekankan pentingnya Hadits, disamping ijtihad.

Studi Hadits
b. Dalam surat al-An’am: 38 yang dinyatakan oleh para
pengingkar Sunnah sebagai argumen untuk menolak
Sunnah adalah tidak benar dengan alasan bahwa: a)
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud al-Kitab dalam
ayat tersebut adalah al-Qur’an. Di dalamnya terdapat
semua ketentuan agama. Ada yang rinci dan global.
Ketentuan yang global dijelaskan rinciannya oleh Hadits
Nabi, yang mana harus dipatuhi oleh orang-orang yang
beriman. b) Menurut sebagian ulama lagi, yang dimaksud
dalam al-Kitab dalam ayat tersebut adalah al-Lauh al-
Mahfuzh. Yang mana semua peristiwa tidak ada yang
dialpakan oleh Allah SWT. Dengan demikian, al-Qur’an
surah al-An’am ayat 38 sama sekali tidak menunjukkan
penolakannya terhadap Hadits Nabi. Kemudian tentang
ayat-ayat yang dikemukakan oleh pengingkar Sunnah
sebagai petunjuk tentang pelaksanaan salat, ternyata ayat
tersebut masih bersifat global. Sehingga dibutuhkan
perinci yakni Hadits Nabi yang mana disana dijelaskan
secara rinci tentang pelaksanaan salat. Apabila
dinyatakan bahwa tata cara salat tidaklah penting dan
yang penting adalah substansinya, maka hal itu
menyalahi petunjuk al-Qur’an sendiri, misalnya dalam
surat al-Ma’un : 4-7. Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa tata cara salat sangat penting kedudukannya.
c. Matan dan riwayat hadist yang digunakan oleh para
pengingkar Sunnah untuk menolak Sunnah, setelah
diteliti masing-masing sanadnya, ternyata kualitasnya
sangat lemah dan tidak dapat dijadikan hujah.

Studi Hadits
d. Ayat-ayat yang dikutip oleh para pengingkar Sunnah
untuk menolak Sunnah pada umumnya bersifat zhaan,
maka penggunaan dalil tersebut sama sekali tidak
relevan. Misalnya dalam surat Yusuf : 36 dan lain-lain
adalah tentang kenyakinan yang menyekutukan Tuhan.
Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak
dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiyah. Zhann
dalam ayat itu tidak ada hubungannya dengan kebenaran
hasil penelitian Hadith.
4. Kelemahan Argumen Non-aqli
Adapun kelemahan argumen-argumen Non-Aqli
yang dikemukakan oleh para pengingkar Sunnah adalah
sebagai berikut:
Al-Qur’an memang benar tertulis dalam bahasa
Arab. Tetapi dalam bahasa Arab ada kata-kata yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus; ada yang
berstatus global ada yang berstatus rinci. Untuk
mengetahui bahwa ayat berlaku khusus ataupun rinci,
diperlukan petunjuk al-Qur’an dan Hadits Nabi. Para
pengingkar Sunnah menyatakan bahwa orang-orang yang
berpengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dapat
memahami al-Qur’an tanpa bantuan Hadits Nabi. Tapi
pada kenyatannya berbeda.
Memang benar umat Islam dalam sejarah telah
mengalami kemunduran. Salah satu sebab yang
menjadikan umat Islam adalah karena perpecahan. Dan

Studi Hadits
perpecahan tersebut sama sekali bukan disebabkan oleh
sikap umat Islam yang berpegang pada Hadits.
Melainkan karena faktor politik. Yang mana dalam
sejarah telah terbuktikan.
Pernyataan pengingkar Sunnah yang menyatakan
bahwa Hadits Nabi lahir lama setelah Nabi wafat
merupakan pernyataan yang tidak memiliki argumen
yang kuat. Karena sesungguhnya pada zaman Nabi
penulisan Hadits sudah ada. Permasalahan kodifikasi
Hadits secara resmi memang dilakukan setelah wafatnya
Nabi saw. hal ini sama keberadaannya dengan al-Qur’an.
Penulisannya sudah dilakukan pada zaman Nabi masih
hidup, namun kodifikasinya dilakukan setelah wafatnya
Rasulullah saw.
Tuduhan Taufiq Sidqi adalah disebabkan ketidak
mengertiannya terhadap penulisan Hadith itu sendiri.
Sebagaimana pada paparan sebelumnya justru hadits
sudah ditulis sejak zaman Nabi masih hidup merupakan
berita yang akurat. Adapun terjadinya penyelewengan
terhadap Hadits memang diakui ulama. Misalnya adalah
Hadits yang berupa surat-surat Nabi ke berbagai kepala
pemerintah dan negara, perjanjian Hudaibiyah, dan
piagam Madinah.
Tuduhan kritik sanad Hadits sangat lemah karena
baru muncul satu setengah abad setelah wafatnya nabi
juga tidak benar. Karena kritik sanad Hadits sudah
dilakukan sejak zaman Nabi masih hidup dan sudah

Studi Hadits
dicontohkan oleh Rasulullah sendiri. Kalangan sahabat
ketika menerima Hadits ada yang melakukan konfirmasi
kepada Nabi. Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan Ali dikenal
sebagai sahabat yang Ahli kritik Hadits, baik pada aspek
sanad maupun aspek matannya. Sikap kritis ini terus
berlanjut dan diikuti oleh generasi selanjutnya. Akhirnya
semangat itu tertuang dalam sebuah bangunan ilmu Jarh
wa Ta’dil yang dapat menjadi acuan dalam menentukan
keaslian dan kepalsuannya. Berdasarkan beberapa
bantahan ulama terhadap kelompok Ingkar Sunnah
tersebut, dapat disimpulakan bahwa pendapat ulama yang
mengakui keberadaan Hadits sebagai salah satu sumber
ajaran Islam lebih kuat dan lebih rasional. Para pembela
Sunnah dalam menjaga keotentikan Sunnah atau Hadits,
ada beberapa hal yang dilakukan oleh pembela Sunnah
antara lain: pertama, dengan menjadikan Sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Sebagai telah disebutkan
dalam al-Qur’an. Kedua, dengan melakukan kegiatan
kritik sanad dan matan. Ketiga,dengan menciptakan
berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan
Sunnah11

11
Relit Nur Edi, As-Sunnah(Hadits) Asas, (2016), vol 6, no 2

Studi Hadits
BAB III
_______________________________________
EKSISTENSI
PERKEMBANGAN DAN
PEMBUKUAN HADITS NABI
SAW

Studi Hadits
Mengingat posisinya yang begitu penting,
sementara keberadaannya tidak seperti Al-Qu’ran yang
qath’iyyah al-wurud (pasti kedatangannya), tidak
mengherankan jika di kemudian hari, hadis menjadi
objek serangan mereka yang tidak senang terhadap Islam
(misalnya Goldziher, 1850-1921 M). mereka meragukan
kenyataan bahwa hadis berasal dari Rasulullah saw.
Bahkan Joseph Schacht (1902-1969 M) menyatakan,
tidak satupun hadis yang otentik dari Nabi saw,
khususnya hadis-hadis tentang hukum.12
Adapun untuk dapat mengetahui kronologis
perkembangan hadis mulai dari masa Nabi saw sampai
pertengahan abad VII H, para ahli telah membaginya ke
dalam tujuh periode, yaitu:

A. Eksistensi dan Perkembangan


Hadits pada Masa Nabi Saw
Masalah penulisan hadis pada masa Nabi saw,
secara lebih detail dapat dilihat dari riwayat-riwayat13
berikut:
Pertama: Riwayat yang menerangkan adanya larangan
penulisan hadis, yaitu hadis riwayat Abu Said al-
Khudriy, Nabi saw bersabda:

12
Ya’qub, Ali Musthafa, Imam Bukhari dan Metodologi Kritis
dalam Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) hlm. 14.
13
Ibnu Abdil Bar, Abi ‘Umar Yusuf, Jami’ al-Bayan al-‘ilmi wa
Fadl luhu, juz I (Mesir: Mathba’ah al-Idarah al-Muniriyyah, t.t),
hlm. 76.

Studi Hadits
Artinya: “Jangan sekali-kali kamu menulis padaku
selain Al-Qur’an, barang siapa yang menulisnya,
hendaklah dia menghapusnya.”14
Kedua: Riwayat tentang kebolehan menulis
hadis, yaitu hadis riwayat Abdullah bin ‘Amr bin Ash,
katanya:

Artinya: “Aku menulis semua yang aku dengar dari


Rasulullah saw, dan aku bermaksud untuk
menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy
melarang, dengan mengatakan: engkau tulis semua yang
engkau dengar dari Rasulullah saw. Sedang beliau
(juga) manusia, beliau berbicara, baik dalam waktu
marah, walaupun senang, lalu aku pun berhenti
menulisnya. Kemudian hal itu aku sampaikan kepada
beliau, lalu beliau mengisyaratkan ke mulutnya dengan
jarinya seraya mengatakan, tulislah, demi Dzat yang

14
Ajjaj dkk., Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 147.

Studi Hadits
diriku dalam kekuasaan-Nya tidak keluar dari mulut ini
kecuali yang benar.”15

Dalam menanggapi hadis-hadis tersebut tentang


larangan dan kebolehan di atas, para ulama berbeda
pandangan, yaitu:
a. Imam al-Bukhari dan lainnya berpendapat bahwa
hadis riwayat Abu Said al-Khudlri tentang larangan
menulis hadis di atas adalah mauquf sehingga tidak
bisa dijadikan hujjah.
b. Ar-Ramahrumuzi mengatakan, larangan menulis hadis
terjadi pada masa permulaan Islam. Ketika itu,
mayoritas umat Islam masih belum bisa menulis, juga
belum dapat membedakan antara Al-Qur’an dan hadis
sehingga Nabi saw khawatir keduanya bercampur.
Tapi setelah kekhawatiran itu hilang, sebab umat
Islam sudah bisa membedakan antara Al-Qur’an dan
hadis. Nabi saw pun memperbolehkan menulis hadis.
c. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dilarang
Nabi bukan menulis hadis, melainkan mengumpulkan
tulisan keduanya (Al-Qur’an dan hadis) dalam satu
mushaf sebagai satu buku catatan.
d. Sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan
tersebut hanya tertuju kepada para sahabat yang kuat
hafalannya, seperti Abdullah bin Umar, karena
khawatir mereka menjadi lebih mengandalkan tulisan.

15
Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi (Kairo: Mesir, Maktabah Dar al-
Ihya’al-Sunnah, t.t), juz 1, hlm. 125.

Studi Hadits
Adapun kebolehan tersebut diberikan kepada para
sahabat yang tidak memiliki kekuatan daya hafal.
e. Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa hadis yang
melarang itu bersifat umum (‘am), yang kemudian di-
takhsis dengan hadis yang memblehkan. Tapi
kebolehan ini ditujukan hanya kepada mereka yang
benar-benar telah menguasai baca tulis sehingga tidak
ada kekhawatiran akan terjadinya kekeliruan dalam
penulisan.

Dari seluruh penjelasan di atas, dapatlah


dinyatakan bahwa antara hadis yang melarang dan
memperbolehkan tidak terdapat perbedaan yang prinsipil.
Juga dapat diambil pemahaman bahwa larangan tersebut
hanya jika hadis dilembagakan secara resmi, seperti
kelembagaan Al-Qur’an. Adapun kebolehannya, jika
kelembagaan hadis tak bisa dihindari, hendaklah
diartikan sebagai suatu kelonggaran dalam hal-hal
tertentu saja, seperti dalam nishab zakat. Selain itu, juga
bisa dipahami sebagai kelonggaran bagi para sahabat
yang menulis hadis untuk catatan pribadi. Hal ini
diperkuat dengan hadis riwayat ad-Dhahhak yang
mengatakan, “Jangan menggunakan lembaran yang sama
dengan Al-Qur’an untuk mencatat hadis.16

KH. Ma’shum Zein. Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakrta: PT


16

LKiS Printing Cemerlang, 2016), hlm. 63-64.

Studi Hadits
B. Eksistensi dan Perkembangan
pada Masa Sahabat
Periode ini terjadi pada masa khulafaur rasyidin,
atau apa yang dikenal dengan sebutan “zamanut
tatsabbuti wal iqlali minarriwayah”, yakni masa
pengukuhan dan penyederhanaan riwayat. Pada masa ini,
hadis masih tetap dihafal. Masalah penulisannya belum
dianggap mendesak. Keterbatasan tenaga dan sarana pun
menyebabkan penulisan hadis dianggap bisa
mengganggu perhatian para sahabat dalam upaya
penulisan Al Qur’an. Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai
khalifah pertama mengeluarkan kebijakan yang melarang
para sahabat untuk menulis hadis. Bahkan, ia membakar
500 buah hadis yang sudah dicatatnya, sebagaimana
hadis riwayat Al-Hakim dari Aisyah sebagai berikut:

Artinya: “Ayahku telah mengumpulkan hadis dari


Rasulullah saw sejumlah 500 buah. Lalu pada suatu
malam beliau banyak membolak-balik hadis tersebut.
Kemudian di pagi harinya, beliau berkata: Wahai
anakku, bawalah hadis-hadis yang ada pada mu maka
aku pun membawanya kepada beliau dan seketika itu

Studi Hadits
beliau menyalahkanm (menyudut) api lali
membakarnya.”17
Selanjutnya pada masa Umar bin Khattab, akibat
masih adanya kekhawatiran akan terganggunya perhatian
para sahabat dalam program penulisan Al-Qur’an, niat
khalifah untuk membuat program penulisan hadis pun
diurungkan. Apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat
dengan rencana tersebut.18 Hal ini dapat dibuktikan
dengan hadis riwayat Ibnu Abdil Bar dan Malik bin Anas
katanya:

Artinya: “Dari sahabat Anas, bahwa Umar, ketika


bermaksud menulis (menta’dil) beberapa hadis, berkata:
tidak boleh ada suatu kitab yang muncul bersama-sama
kitabullah.”19
Dari kedua riwayat di atas, tampak jelas
kekhawatiran Abu Bakar dan Umar bin Khattab terhadap
akibat yang mungkin dimunculkan buku-buku catatan
hadis yang ada di tangan para sahabat pada saat itu.
Akibat yang paling dicemaskan adalah kelengahan
mereka terhadap Al-Qur’an, baik dalam menghafal

17
Adz-Dzahabi, Tadzkiratul Hafidz, juz I hlm. 5.
18
Ajjaj dkk., Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 154.
19
Ibdu’ Abdiddar, Jami’ al-Bayan, juz I hlm. 64.

Studi Hadits
maupun mengkaji isinya, sebagaimana pernah terjadi
pada umat-umat terdahulu (ahli ktab).20
Sekalipun demikian, penulisan hadis tetap saja
dilakukan oleh para sahabat, di antaranya Ibnu Mas’ud,
Ali bin Abu Thalib, Aisyah dan lainnya. Ketika itu
semangat para sahabat dalam menyampaikan hadis
kepada sahabat lain sangat tinggi. Sekalipun kebijakan
yang diambil pemerintah dalam menyikapi penyebaran
hadis sangat hati-hati, bahkan terkesan membatasi,
hingga orang yang telah menerima hadis tidak harus
menyampaikannya kepada orang lain kecuali
21
diperlukan.
Oleh sebab itulah, karakter yang menonjol pada
periode ini adalah kuatnya komitmen para sahabat
terhadap segalah bentuk perintah Allah dengan cara
memelihara ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Mereka tidak berani menulis hadis kecuali Al-Qur’an
sudah terkumpul dan tidak mungkin tercampur dengan
sesuatu selain Al-Qur’an.
Adapun sahabat yang melakukan periwayatan
hadis lebih dari 1000 buah (dikenal dengan sebutan
dengan bendaharawan hadis) adalah:

20
Al-Khathib Al Baghdadi, Taqyid al-‘Ilm, hlm. 52.
21
Ajjaj dkk., Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 165.

Studi Hadits
a. Abu Hurairah, yaitu Abdurrahman bin Shahr ad-Dusiy
al-Yamaniy, berjumlah 5.374 buah.
b. Abdullah bin Umar bin Khattab, sejumlah 2.630 buah.
c. Anas bin Malik 2.276 buah.
d. Aisyah bin Abu Bakar as-Shiddiq, Ummil Mu’minin,
istri Rasulullah, berjumlah 2.210 buah.
e. Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muthalib, berjumlah
1.660 buah.
f. Jabir bin Abdullah al-Anshariy, berjumlah 1.540
buah.
g. Abu Sa’ad al-Hidlriy, yaitu Sa’ad bin Malik bin
Sannan al-Anshariy, berjumlah 1.170 buah.22

C. Sejarah Penulisan Hadits pada


Masa Kodofikasi
Seiring dengan program khalifah Umar ibn
Khattab meluaskan peta dakwah Islam, membuat para
sahabat terpencar ke beberapa wilayah. Mereka
membawa hadis baik yang dihafal maupun yang sudah
ditulisnya ke tempat penugasan masing-masing.
Sehingga di berbagai wilayah bermunculan pusat-pusat
kajian Islam termasuk pusat kajian Al-Qur’an dan hadis.
Pasca wafatnya Umar ibn Khattab, kebijakan itu
dilanjutkan oleh Khalifah Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali
ibn Abi Talib sehingga untuk menguasai hadis-hadis

KH. Ma’shum Zein. Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakrta: PT


22

LKiS Printing Cemerlang, 2016), hlm. 69.

Studi Hadits
Nabi pada waktu itu tidaklah mudah. Seseorang harus
menaklukkan rihlah (perjalanan) ke berbagai wilayah
untuk menemui para sahabat dan kader-kadernya.
Kegiatan kodifikasi hadis dimulai pada masa
pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umaribn
‘Abd al-‘Aziz (99-101 H), melalui instruksinya kepada
Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur
Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan
dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.23
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Hazm (w. 117 H) agar mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman
al-Ansari, murid kepercayaan ‘Aisyah dan al-Qasim ibn
Muhammad ibn Abi Bakr (w. 107 H). Instruksi yang
sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab
al-Zuhri (w. 124 H), yang dinilainya sebagai orang yang
lebih banyak mengetahui hadis daripada yang lainnya.
Dari para ulama inilah, kodifikasi hadis secara resmi
awalnya dilakukan.24
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi
kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz
tersebut. Menurut Muhammad al-Zafzaf, kodifikasi hadis
tersebut dilakukan karena:
1. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri,
dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya
23
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabl al-Tadwin, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1963), hlm. 329.
24
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa
Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 187.

Studi Hadits
mereka, sementara generasi penerus diperkirakan
tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
2. Banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah
(al-mubtadi’) seperti Khawarij, Rafidah, Syi’ah, dan
lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu.25

Periwayatan hadis pada masa ini sebagaimana


masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan hadis palsu
dan bid’ah, yang berasal dari kalangan Khawarij, Syi’ah,
orang-orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh
karena itu, para periwayat hadis sangat hati-hati dalam
menerima dan menyampaikan hadis.26
Perintah ‘Umar tersebut di atas dirsepon positif
oleh umat Islam sehingga terkumpul beberapa catatan-
catatan hadis. Hasil catatan dan penghimpunan hadis
berbeda-beda antara ulama yang satu dengan yang lain.
Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun dalam
jumlah yang menutut ulama kurang lengkap. Lalu ibn
Syihab al-Zuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap.
Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab
tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang
adalah Malik ibn Anas (93-179 H) di Madinah, dengan
hasil karyanya bernama al-Muwatta, sebuah kitab yang
selesai disusun pada tahun 143 H. dan merupakan kitab
hasil kodifikasi yang pertama. Kitab ini di samping berisi
25
Muhammad al-Zafzaf, al-Ta’rif fi al-Qur’an wa al-Hadis,
(Kuwait: Maktabah al-Falah, 1979), hlm. 210.
26
Muhammad Abu Zahw, al-Hadis, 243 juga Idri, Studi Hadis,
cet.2(Jakarta: Prenada Media Group,2013), hlm 47.

Studi Hadits
hadis marfu’ yaitu hadis yang disandarkan pada Nabi
juga berisi pendapat para sahabat (hadis mawquf) dan
pendapat para tabi’in (hadis maqtu’).

D. Sejarah Penulisan Hadits pada


Masa Pasca Kodofikasi
Satu hal yang perlu dicatat dari upaya pembukuan
hadis tahap awal adalah masih bercampurnya antara
hadis Nabi saw. Dengan berbagai fatwa sahabat dan
tabi’in hanya catatn Ibn Hazm (Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Amr ibn Abd Aziz) yang secara khusus
menghimpun hadis Nabi saw. Pada masa ini pula lahir
ulama hadis kenamaan seperti Imam Malik, Sufyan al-
Tsauri, al-Auza’i, al-Syafi’i, dan lainnya. Selanjutnya
pada permulaan abad ke-3 H, para ulama berusaha untuk
memilah atau menyisihkan antara hadis dengan fatwa
sahabat atau tabi’in. Ulama hadis berusaha untuk
membukukan hadis-hadis Nabi saw secara mandiri, tanpa
mencampurkan fatwa sahabat dan tabi’in. Meskipun
demikian, upaya untuk membukukan hadis dalam sebuah
kitab musnad ini bukan tanpa kelemahan. Salah satu
kelemahan yang dapat diungkap adalah belum
disisihkannya hadis-hadis yang dhaif, termasuk hadis
palsu yang sengaja disisipkan untuk kepentingan-
kepentingan golongan tertentu.27

Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:


27

PT. Bulan Bintang, 1988), hlm 101

Studi Hadits
Melihat kelemahan diatas, ulama hadis bergerak
untuk menyelamatkan hadis dengan membuat kaidah-
kaidah dan syarat-syarat untuk menilai keshahihan hadis.
Dengan adanya kaidah dan syarat-syarat tersebut,
lahirlah ilmu dirayah dan ilmu riwayah. Disamping itu
sebagai konsekuensi dari upaya pemilahan hadis sahih,
hasan, da’if dan palsu tersebut, maka disusunlah kitab-
kitab al-Sunah. Adapun hal yang patut dicermati dari
perkembangan studi hadis pada abad ini adalah mulai
berkembangnya ilmu kritik terhadap para perawi hadis
yang disebut ilmu Jahr wa Ta’dil. Dengan ilmu ini dapat
diketahui siapa perawi yang dapat diterima riwayatnya
dan siapa yang ditolak.
Salah satu usaha ulama hadis pada abad
selanjutnya sampai sekarang adalah mengklasifikasikan
hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-
sifat isinya dalam suatu kitab. Disamping itu, usaha lain
yang dilakukan oleh ulama hadis pada abad ini dan
seterusnya adalah menyusun ma’ajim hadis untuk
mengetahui dari kitab hadis apa sebuah hadis dapat
ditemukan. Dengan demikian kajian hadis telah meliputi
berbagai aspek, dari sisi sanad sampai kepada matan
hadis. Paparan ini sekaligus meluruskan tudingan miring
pemikir barat bahwa ulama hadis hanya disibukkan
meneliti sanad hadis.28

28
Ibid, hlm 105.

Studi Hadits
Adinda Ayu Fariha I. R.
Mokhammad Iqbal M.
Nur Novianto

BAB IV
_______________________________________
PERKEMBANGAN ULUM AL-
HADITS DAN CABANG-
CABANGNYA

Studi Hadits
A. Pengertian Ilmu Hadits
Banyak macam istilah yang digunakan para
ulama untuk menyebut ilmu hadis. Diantaranya adalah
Ilmu Uṣūl al-Hadīs, Ilmu Musṭhalah Hadīs, Ilmu
Musṭalahi ahl al-Asār, dan Ilmu Musṭalah Ahl al-Hadīs.
Secara istilah, Hasbi al-Siddieqy, sebagaimana dikutip
M. Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman mengartikan ilmu
hadis sebagai segala pengetahuan yang berhubungan
dengan hadis Nabi.29 Para ulama hadis banyak yang
memberikan definisi ilmu hadis, diantaranya Ibnu Hajar
Al-Asqalani:

“Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan


sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan
diriwayatkan”
Atau:

“Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal


yang dengan hal itu kita dapat mengetahui bahwa hadis
itu diterima atau tidak”.30

29
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa,
1991), hlm. 61 bandingkan pula dengan M. Nur Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hlm. 76 juga
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980) hlm. 150
30
Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalahal al-Hadits (Beirut: Dar
ats-Tsaqafah al-Islamiyah. T.t.) hlm.15

Studi Hadits
Atau definisi yang lebih ringkas:

“Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan


yang diriwayatkannya”.31
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu
hadis adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan
atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi
adalah orang yang membawa, menerima, dan
menyampaikan berita dari Nabi, yaitu mereka yang ada
dalam sanad suatu hadis.
Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu
langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana
sifat kejujuran dan keadilan mereka, dan bagaimana daya
ingat mereka, apakah sangat kuat dan lemah. Sedangkan
maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru
perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadis
atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi
keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan
perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui
mana hadis yang sahih dan yang tidak sahih. Ilmu yang
berbicara tentang hal tersebut disebut ilmu hadis.
Ilmu hadis ini kemudian terbagi menjadi dua
macam, yaitu Ilmu Hadis Riwayah, dan Ilmu Hadis
Dirayah.

31
Ajaj al-Khatib, Ushûl Al-Hadits t.t., hlm. 33

Studi Hadits
1. Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu yang membahas
segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat
Nabi Muhammad saw.32 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
mendefinisikan ilmu hadis dirayah sebagai “Ilmu
pengetahuan yang mengkaji tentang segala yang
disandarkan pada Nabi saw baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau psikis dengan
pengkajian yang detail dan terinci”.33
Jadi ilmu hadis riwayah menitiktekankan pada
materi (isi) hadis. Wilayah dan ruang lingkup
pembahasan ilmu ini tidak menyinggung apakah hadis itu
mutawātir atau ahād, dan juga tidak mempersoalkan
apakah hadits tersebut ṣahīh atau tidak, maqbūl atau
mardūd, tetapi pembahasannya lebih pada apa saja
penuturan yang berasal dari Nabi saw. Hal ini ditujukan
agar mengetahui apa saja sikap dan perilaku Nabi saw
yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian
objek ilmu hadis riwayah adalah pribadi Nabi saw
dengan segala aktifitasnya, baik dari segi perkataan,
perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Kitab-
kitab yang membahas ilmu riwayah adalah kitab Ṣahīh
al-Bukhārī, Ṣahīh Muslim, Sunan Abi Dāwud, Sunan al-
Nasā’ī, Sunan Ibn Mājah, Muwaṭṭa’ Mālik, Musnad

32
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah, hlm. 151 dan Syuhudi Ismail,
Pengantar, hlm. 61-62
33
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa
Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.7

Studi Hadits
Ahmad, Sunan al-Dārimī, dan masih banyak lagi karya-
karya yang lainnya

2. Ilmu Hadits Dirayah


Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah
sebagai: ”dan ilmu hadits yang khusus tentang dirayah
adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-
hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”34
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para
perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan
menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan
riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti sama’
(perawi mendengarkan langsung bacaan hadis dari
seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan hadis
dari gurunya di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi
izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis
dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya kepada
seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis
untuk seseorang), I’lam (memberitahu seseorang bahwa
hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat
(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang
dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi
tertentu tentang hadis dari seorang guru).35
34
Al-Suyuti, Tadrb al-Rawi, hlm. 40 dan al-Qasimi, Qawa’id al-
Tahdist, hlm. 75
35
M.M Azami, Syudies ih Hadith Methologi and Literature.16:
Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 157-164

Studi Hadits
B. Ruang Lingkup dan Faedah
Ilmu Hadits
Banyak manfaat dan kegunaan mempelajari ilmu
hadits secara umum, antara lain:
1. Dapat meneladani akhlak Nabi Muhammad saw, baik
dalam hal ibadah maupun muamalah secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadis Nabi dari segala
kasalahan dan penyimpangan.
3. Manjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai
penyimpangan.
4. Melaksanakan syariat sesuai dengan sunnah nabi
Muhammad saw.
5. Mengetahui upaya dan jerih payah para uama dalam
menjaga dan melestarikan hadis Nabi.
6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan
para ulama hadis.
7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama
dalam mengklasifikasikan keadaan hadis, baik dari
sisi kualitas sanad dan matannya.
8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbūl
(diterima) dan yang mardūd (tertolak).
9. Dapat melakukan penelitian hadis sesuai dengan
kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para
ulama.

Studi Hadits
10. Mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap
periwayatan hadis Nabi Muhammad saw.36

C. Sejarah Perkembangan Ilmu


Hadits Riwayah dan Dirayah
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis
selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw,
sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara
eksplisit. Ilmu hadis muncul bersamaan dengan mulainya
periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya
perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima
riwayat yang sampai kepada mereka. Dengan cara yang
sederhana, ilmu hadis berkembang sedemikian rupa
seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.
Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup di tengah-
tengah para sahabat, hadis tidak mengalami
permasalahan karena jika mengalami suatu masalah atau
skeptis dalam suatu masalah mereka menemui langsung
Rasulullah saw untuk mengecek kebenarannya atau
menemui sahabat yang dapat dipercaya untuk
mengkonfirmasinya. Setelah itu, barulah mereka
menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Ilmu hadis riwayah merupakan ilmu yang lebih
dahulu lahir dibandingkan dengan ilmu hadis dirayah.
Hal ini disebabkan pada awalnya umat tidak mengalami
36
Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta:
Raja Grafindo, 1993), hlm. 24 Bandingkan dengan Abd. Majid
Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMAZAH, 2008), hlm. 76-77

Studi Hadits
kesulitan pada sanad (mata rantai perawi) hadis. Problem
yang mereka hadapi biasanya pada aspek pemahaman
terhadap teks hadis itu sendiri. Hasbi Ash-Shiddieqy
menjalaskan bahwa orang yang mula-mula meletakkan
dasar-dasar ilmu hadis ini adalah Imam Ibnu Syihab al-
Zuhri (51-124 H).37
Nur al-Din ‘Itr membagi tahapan sejarah
perkembangan hadis menjadi tujuh periode. Ketujuh
periode tersebut adalah:
1. Masa Pembentukan (Dawr al-Nusyu’). Periode ini
dimulai pada masa sahabat sampai penghujung abad
pertama hijriah.
2. Masa Penyempurnaan (Dawr al-Takamul). Mulai
awal abad kedua sampai abad ketiga hijriah.
3. Masa Pembukuan Ilmu Hadis yang terpisah-pisah
(Dawr al-Tadwin li ‘Ulum al-Hadits al-Mufarraqah).
Mulai abad ketiga sampai pertengahan abad keempat
hijriah.
4. Masa Penyusunan kitab-kitab induk Ulum al-Hadis
dan penyebarannya (‘Ashr al-Ta’lif al-Jamiah wa
Inbisaq Fan ‘Ulum al-Hadits al-Mudawwanah).
Dimulai dari pertengahan abad keempat dan berakhir
pada awal abad ketujuh hijriah.
5. Masa Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan
Ilmu-Ilmu Hadis (Dawr al-Nadj wa al-Ikhtimal fi’

37
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981), jilid I, hlm. 37

Studi Hadits
Tadwin Ulum al-Hadits). Bermula awal abad ketujuh
dan berakhir pada abad kesepuluh hijriah.
6. Masa Kebekuan dan Kejumudan (‘Ashr al-Rukud wa
al-Jumad). Mulai dari abad kesepuluh sampai awal
keempat belas hijriah.
7. Masa Kebangkitan Zaman Modern (Dawr al-
Yaqazhah Wa al-Tannabbuh fi al-‘Ashr al-Hadits).
Yang dimulai dari awal abad keempat belas hijriah
sampai sekarang.38

Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat sangat


berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena
konsentrasi mereka kepada Al-Quran yang baru
dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah
Abu Bakar tidak mau menerima suatu hadis yang
disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut
mampu mendatangkan saksi untuk memastikan
kebenaran riwayat yang disampaikannya. Dan pada masa
Utsman tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa
taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para
sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan
saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan
benar-benar dari Rasulullah saw. Para sahabat
merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah
hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah saw
merupakan suatu ilmu yang didengarkan dan didapatkan

38
Ismail Yusuf, Jurnal Al-Asas, Vol.1, No.2, “Sejarah
Perkembangan Hadits dan Metodologinya”, hlm. 103

Studi Hadits
langsung dari Rasulullah saw, maka setelah Rasulullah
saw wafat hadis disampaikan oleh para sahabat kepada
generasi berikutnya dengan penuh semangat dan
perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-
masing. Para sahabat juga telah meletakkan pedoman
periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu
hadis. Mereka juga berbicara tentang para rijalnya, hal
ini mereka tempuh supaya dapat diketahui hadis makbul
untuk diamalkan dan hadis yang mardudu untuk
ditinggalkan. Dan dari sinilah muncul mushthalah al-
hadits. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad
dalam periwayatan hadis karena masyarakatnya masih
jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan yang
lain. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah)
antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan
Mu’awiyah dan umat terpecah menjadi beberapa sekte;
Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu
mulai terjadi pemalsuan hadis (hadits mawdhû’) dari
masing-masing sekte dalam mencari dukungan politik
dari masa yang lebih luas.
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadis-
hadis Rasulullah saw, barulah ada gerakan yang
signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan
hadis. Sejak itulah perhatian ulama tertuju kepada
kredibilitas perawi dan peletakan kaidah-kaidah yang
dapat dijadikan acuan dalam penerimaan hadis dan
penolakannya. Para ulama bangkit membendung hadis
dari pemalsuan dengan berbagai cara, diantaranya rihlah

Studi Hadits
checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada
siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai
dengan sanad. Sebagaimana tanggapan ulama hadis
ketika dihadapkan suatu periwayatan:

“Sebutkan kepada kami para pembawa beritamu”39


Ibnu Al-Mubarak berkata:

“Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad


sungguh sembarang orang akan berkata apa yang
dikehendaki”40

39
Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah An-Nabawiyah, t.t., h;m. 363-
364
40
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 1, t.t, hlm.
103

Studi Hadits
BAB V
_______________________________________
CABANG-CABANG ULUM
AL-HADITS

Studi Hadits
A. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu ini disusun dalam rangka mengetahui
biografi para parawi hadis bahwa sesungguhnya mereka
adalah periwayat hadis yang sebenarnya.Ilmu
Rijal al-Hadits merupakan jenis ilmu hadis yang sangat
penting, karena ilmu ini mencakup kajian terhadap
sanad dan matan. Rijal> (tokoh-tokoh) yang menjadi
sanad merupakan para perawinya. Mereka itulah yang
menjadi obyek kajian ilmu Rija>l al-Hadi>s| satu di antara
dua komponen ilmu hadis.
Ilmu untuk mengetahui para periwayat hadis yang
berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap
hadis Kata Rija>l al-Hadi>s| berarti orang-orang di
sekitar hadis atau orang orang yang meriwayatkan hadis
serta berkecimpung dengan hadis Nabi. Secara
terminologis, ilmu ini didefinisikan dengan:

‘Ilmu yang membahas tentang keadaan para


periwayat hadis baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, maupun generasi- generasi berikutnya41‛
Subhi al-S}alih mendefinisikan
ilmu Rija>l al-Hadi>s ini dengan:
41
Mahmud al-T}ahhan, Taysi>r Mus}t}alah al-Hadi>s| (Beirut: Dar
al-Qur’an al- Karim, 1979 M.), h. 224

Studi Hadits
“Ilmu untuk mengetahui para periwayat hadis dalam
kapasitasnya sebagai periwayat hadis42”

Ilmu Rija>l al-Hadi>s membahas keadaan para


perawi hadissemenjak masa sahabat, ta>bi’i>n, tab> i’ al-
tabi> ’in> , dan generasi- generasi berikutnya yang
terlibat dalam periwayatan hadis. Di dalamnya
diterangkan sejarah ringkas tentang riwayat hidup para
periwayat, guru-guru dan murid-murid mereka, tahun
lahir dan wafat, dan keadaan-keadaan serta sifat-sifat
mereka. Jelasnya, ilmu ini membahas tentang biografi
para periwayat, nama-nama, kun-yah, laqab, dan
sebagainya. Di dalamnya juga dicantumkan para
periwayat yang terkenal laqab-nya saja tapi tidak dikenal
nama aslinya dan para periwayat yang memiliki dua
laqab. Dibahas pula para periwayat yang s|iqah dan
d}a’îf serta asal usul tempat tinggal periwayat hadis. Di
antara kitab yang membahas ilmu ini adalah al-Biday>
ah wa al-Niha>yah karya Syekh ’Imad al-Din ibn Katsir,
al-Muntaz}am karya Ibn al-Jawzi, al-Rawda} tayn oleh
IbnSyamah, dan Tari> kh al-Baghdadi> karya Abu Bakar
al-Khathib al Baghdadi.
Ilmu Rija>l al-Hadi>s mempunyai beberapa
cabang di antaranya: Pertama, ilmu Ta>rikh al-Ruwa>h,
42
Subhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.110

Studi Hadits
yaitu ilmu yang mempelajari para periwayat hadis dari
segi yang berkaitan dengan periwayatan hadis. Secara
bahasa, kata Ta>rikh al- Ruwa>h berarti sejarah
para periwayat hadis. Menurut pengertian
etimologis ini, ilmu Ta>rikh al-Ruwa>h adalah ilmu
yang membahas segala hal yang terkait dengan para
periwayat hadis. Mahmud al-T}ahhan mendefinisikan
ilmu ini dengan:
“Ilmu untuk mengetahui para periwayat hadis yang
berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap
hadis”.43

Ilmu ini menjelaskan tentang keberadaan para


periwayat hadis dengan menyebutkan sejarah kelahiran,
meninggal, para guru mereka dan sejarah berkenaan
dengan penerimaan dari mereka, murid-murid yang
meriwayatkan hadis dari mereka, negara dan tanah air
mereka, perjalanan dan sejarah kehadiran mereka ke
berbagai negara, serta penerimaan hadis dari para guru
sebelum mereka bergaul dan setelahnya. Melalui ilmu ini
dapat diketahui keaadaan para periwayat yang menerima
hadis dari Rasulullah dan keadaan para periwayat hadis
yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya44

Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}ib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh


43

wa Mus}t}alahuh(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 253

44
Ibid.

Studi Hadits
Di kalangan ulama mutaqaddimun, ilmu ini
dikenal dengan ‘ilm Tarikh al-Ruwah, ‘Ilm al-Tarikh,
Tarikh al-Ruwah, Wafiyat al-Ruwah, dan lain-lain.
Tetapi, setelah abad kelima ulama hadis mutaakhiru>n
menyebutnya al-Ta>rikh wa al-Waf> iyat> .45 Ilmu ini
penting dipelajari karena hadis terdiri atas sanad dan
matan. Mengetahui keadaan para periwayat yang terdapat
dalam sanad yang pada akhirnya untuk mengetahui
kesahihan hadis-hadis yang mereka riwayatkan
merupakan suatu keharusan. Menurut Ibn Khaldun,
sebagaimana dikutip al-Hakim al-Naysaburi, suatu hal
jika disangka berasal dari Rasulullah mengharuskan
kesungguhan untuk mengetahui metode yang digunakan
untuk mencapai kesimpulan itu. Hal ini mengharuskan
mengetahui periwayat hadis dari segi keadilan dan ke-
dabit-annya.46
Para ulama hadis bervariasi dalam
menyusun kitab tentang Tarikh al-Ruwah. Ada
yang menyusun kitab berdasarkan tabaqah
(generasi) para periwayat dengan memaparkan
berikutnya, dan seterusnya. Misalnya, kitab Ta}
baqat al-Kubra>karya Muhammad Ibn Sa’ad (167-
230 H.) dan T}abaqat>al-Ruwah> oleh Khalifah
ibn Khiyath al-’Ashfari (w. 240 H.).Sebagian
45
Ibid.
46
Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Hakim al-Naysaburi,
Ma’rifah ‘Ulu>m al- Hadi>s| (Madinah: al-Maktabah
al-‘Ilmiyyah, 1997), 6. Bandingkan dengan Idri, Studi Hadis,
cet. 2 (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), 68.

Studi Hadits
ulama menyusun kitab Ta>rikh al-Ruwa>h
berdasarkan tahun, dengan menyebutkan tahun
wafatnya periwayat, riwayat hidupnya, serta
informasi-informasi lain terkait, seperti kitab
Ta>rikh al-Isla>m karya al-Dzahabi. Ada pula
ulama yang menyusun kitab Tar> ikh al-Ruwah>
berdasar huruf alfabetik, seperti kitab al-Tar> ikh
al-Kabir> oleh Muhammad ibn Ismail al-Bukhari
(194-256 H.). Sebagian ulama ada pula yang
menyusun kitab Ta>rikh al-Ruwa>h berdasar
daerah periwayat seperti kitab Ta>rikh Naysabur>
karya al-Hakim al-Naysaburi (321-405 H.),
Ta>rikh Baghdad oleh al-Khathib al-Baghdadi
(392-463 H.), dan Tarikh Damsyiq karya Ibn
’Asakir al- Dimasyqi (499-571 H.). 47
Para ulama juga menulis kitab Tar> ikh al-
Ruwa>h berdasar nama-nama, julukan, gelar, dan
nasab para periwayat hadis, persaudaraan di
antara mereka, nama-nama yang mirip, seperti
kitab al-Asa>mi wa al-Kuna> karya ’Ali ibn ’Abd
Allah al- Madini (161-234 H.), al-Kuna> wa al-
Asma>’ oleh Abu Basyar Muhammad ibn
Ahmad al-Dawlabi (234-320 H.), al-Ikma>l fi
Raf’ al-Irtiyab ’an al-Mu’talif wa al-Mukhtalif
min al-Asma>’ wa al-Kuna> wa al-Ans}a>b oleh
’Ali ibn Hibah Allah al- Baghdadi (421-486
47
Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}ib, Us}u>l al-Hadi>s|, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), h.255

Studi Hadits
H.), al-Musytabih fi Asma’ al-Rijal karya al-Z|
ahabi (673-748 H.), Nuzhah al-Alba>b fî al-Alqa>b
oleh Ibn Hajar al-’Asqalani (773-852 H.), al-
Ansab oleh al-Sam’ani (506-562 H.), Kitab al-
Lubab karya Muhammad al-Syaybani al-Jaziri
(555-630 H.), dan sebagainya.48
Kedua, ilmu al-Jarh wa al-Ta’dîl, yaitu
ilmu yang menerangkan tentang cacat dan
keadilan para periwa-yat hadis menggunakan
redaksi khusus dan mem-bahas pula tingkatan-
tingkatan redaksi itu. Ilmu ini pada dasarnya
merupakan bagian dari ilmu Rijal al-Hadits,
tetapi karena ilmu ini membahas hal penting dari
kepribadian periwayat hadis, maka dipandang
sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Kata al-jarh
wa al-ta’dil sendiri terdiri dari kata al-jarh dan
al-ta’dil. Al-jarh adalah menampakkan sifat-sifat
para periwayat hadis yang mengurangi
keadilannya atau meniadakan keadilan dan ke-
d}a>bit-} annya, yang darinya dapat ditentukan
gugur, d}a’if, atau ditolak periwayatannya.

B. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil


Ilmu ini membahas pribadi perawi, baik
sisi negatif maupun sisi positifnya dengan lafadz-

48
Ibid, h.256-258

Studi Hadits
lafadz tertentu.9 Menurut S}ubhi al-S}alih, ilmu al-
Jarh wa al-Ta’di>l adalah:49
.
”Ilmu yang membahas tentang para
periwayat hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat
mencacatkan atau yang membersihkan mereka,
dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.50

Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}ib,


ilmu al-Jarh wa al-Ta’di>l adalah:

Ilmu yang mengkaji tentang keberadaan para


periwayat hadis dari segi diterima riwayatnya atau
ditolak‛.51
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini muncul bersamaan
dengan munculnya periwayatan hadis, karena untuk
mengetahui hadis sahih harus didahului dengan
mengetahui periwayatnya, mengetahui pendapat kritikus
49
S}ubhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s|| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.109

Ibid, h.110
50

Muhammad ‘Ajjaj al-Khat}ib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa


51

Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.261

Studi Hadits
periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga
memungkinkan dapat membedakan hadis yang dapat
diterima dan ditolak. Karena itu, para ilama hadis
mengkaji tentang para periwayat hadis, mengikuti
kehidupan ilmiah mereka, mengetahui seluruh hal ihwal
mereka, menelaah dengan cermat sehingga diketahui
para periwayat yang sangat kuat hafalannya, yang dabit
yang lebih lama berguru pada seseorang, dan sebagianya
Perbedaan ilmu Rija>l al-Hadi>s dengan
ilmu sebelumnya terletak pada spesifikasi
paparan nilai kredibilitas perawi untuk dapat
diketahui status perawi tersebut, apakah
periwayatannya layak diterima atau ditolak.
Dengan demikian, dapat difahami bahwa ilmu al-
Jarh wa al-Ta’dil merupakan bagian dari ilmu
Rijal al-Hadits.

C. Ilmu Gharib al-Hadits


Ilmu Ghari>b al-Hadi>s adalah ilmu yang
menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan hadis yang sukar diketahui dan yang
jarang dipakai oleh umum. Ilmu ini menjelaskan
suatu hadis yang samar maknanya. Para ulama
memperhatikan ilmu ini karena ilmu ini mengkaji
tingkatan kekuatan lafal hadis dan pemahaman
maknanya, karena sukar bagi seseorang untuk
meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak

Studi Hadits
dapat dipahami, atau menukil suatu hadis yang
tidak baik penyampaiannya.52 Mereka
memberikan perhatian besar terhadap ilmu
Ghari>b al-Hadi>s karena ilmu ini bermanfaat
dalam pemahaman makna dan kata-kata dalam
hadis, terutama kata-kata yang jarang digunakan
dalam bahasa Arab pada umumnya. Mengetahui
kosakata hadis dan maknanya merupakan
langkah awal untuk memahami makna hadis dan
menggali kandungan hukumnya. Perhatian
terhadap pengetahuan tentang ghari>b al-hadis>
ini menjadi semakin kukuh bagi
mereka yang meriwayatkan hadis secara makna.
Kata ghari>b sendiri, berarti kalimat
yang sulit difahami karena asing atau tidak
tersusun dengan baik. Kata ini mengandung dua
hal, yaitu kalimat yang sulit dipahami kecuali
dengan berpikir keras karena memiliki makna
yang tinggi dan ucapan seseorang yang berasal
dari suatu daerah yang jauh dari mayoritas
kabilah Arab sehingga terdapat kata- kata asing.
Objek yang dibahas dalam ilmu ini adalah kata
atau lafal yang musykil dan susunan kalimat yang
sulit dipahami karena kata-kata atau kalimat
tersebut jarang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari di kalangan sahabat saat itu, dengan
maksud untuk menghindari kesalahan
52
Ibid, h.280

Studi Hadits
pemahaman di kalangan umat Islam akibat
penafsiran yang menduga-duga. Cikal bakal
ilmu Ghari>b al-Hadi>s ini karena Nabi pernah
bersabda pada para delegasi kabilah-kabilah
Arab sesuai bahasa asli mereka namun para
sahabat yang hadir saat itu tidak mengerti
beberapa kata yang disampaikan Nabi. Akhirnya
mereka bertanya dan Nabi menjelaskan kepada
mereka dan kejadian semacam ini berlangsung
hingga Nabi wafat.53
Suatu hal yang perlu dicatat adalah bahwa
sebenarnya hadis Rasulullah bukanlah sesuatu
yang ghari>b bagi bangsa Arab pada masa awal
Islam karena Nabi adalah orang yang paling fasih
berbicara, paling tegas, paling tuntas
mengemukakan pikiran, paling jelas argumennya,
paling efektif redaksinya dan paling mengenal
situasi pembicaraan. Ini tidak aneh, karena Allah
mengutusnya kepada masyarakat yang bangga
akan bahasanya dan mengagumi redaksi dan
kata-katanya. Rasulullah selalu menyampaikan
khithab kepada masyarakat Arab menurut ragam
dialek dan sesuai dengan pemahaman mereka.
Bila ada sebagian kata yang gharib menurut
sebagian sahabat, maka mereka akan
menanyakan kepadanya dan iapun akan
menjelaskannya.
53
Ibid, h.281

Studi Hadits
Akan tetapi, setelah Rasulullah
meninggal, banyak orang ‘ajam (non Arab) yang
masuk Islam dan belajar bahsa Arab sebagai alat
komunikasi mereka, Kaena bahasa asli mereka
selain Bahasa Arab, maka mereka menemukan
kata kata gharib dalam hadis Nabi. Lebih banyak
dari pada yang ditemukan oleh orang-orang Arab
sendiri. Sejalan dengan perkembanga zaman,
muncul generasi-generasi baru yang
membutuhkan perngetahuan tentang kosa kata-
kosa kata dalam hadis dan para ulama berusaha
menjelaskannya baik secara parsial maupun
lengkap. ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi pernah
mengatakan bahwa ketika ia menemukan
persoalan yang terkait dengan hadis, maka ia
menuliskan tafsir atau penjelasan untuk setiap
hadis itu, bahkan ada sebagian ulama yang
menilai bahwa memberikan penjelasan terhadap
suatu hadis lebih baik daripada meriwayatkannya
Demikian peran ulama hadis dan ulama
Bahasa Arab dalam menjelaskan dan
menguraikkan kata-kata hadis agar masyarakat
mudah memahami dan mengamalkan hokum-
hukum yang terkanfung didalamnya. Mereka
menyusun berbagai kitab dalam zaman yang
berbeda-beda. Ulama yang pertama kali menulis
kitab dalam bidang Ghari>b al-Hadis> adalah Abu
al-Hasan al-Nadhar ibn Syumayl al-Mazini (w.

Studi Hadits
203 H.), Abu ‘Ubayd al-Qasim ibn Salam (157-
224 H.), Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn
‘Amr al-Zamakhsyari (467-538 H.), disusul
kemudian oleh Majd al-Din Abu al-Sa’adat al -
Mubarak ibn Muhammad al-Jaziri (544-
54
606 H).
D. Ilmu Asbab Wurud al-
Hadits
Ilmu ini membahas tentang sebab historis
lahirnya suatu hadis yang dalam kajian al-Qur’an dikenal
dengan ilmu Asbab al-Nuzul. Sebahaimana halnya ilmu
Asbab al-Nuzul yang dapat membantu dalam memahami
ayat-ayat al-Qur’an secata kontekstual, ilmu Asbab
Wurud al-Hadis juga dapat membantu pengkaji dan
peneliti hadis untuk memahami hadis-hadis. Nabi secara
kontekstual. Hal ini dikarenakan, hadis Nabi ada yang
disertai dengan sebab tertentu yang mendorong Nabi
bersabda dan ada pula yang tidak disertainya. Sebab ini
menjadi latarbelakang yang dapat memperjelas maksud
hadis dan cakupan maknya. Secara istilah, ilmu Asbat
Wurud al-Hadis adalah:

54
Ibid, h.282-283

Studi Hadits
‛Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
menyampaikan sabdanya dan masa-masa Nabi
menuturkannya.55
Ilmu ini mempunyai kaedah-kaedah yang
menerangkan tentang latarbelakang dan sebab-sebab
adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi
latarbelakang disampaikannya suatu hadis sangat penting
untuk membantu mendapatkan pemahaman hadis secara
sempurna. Pemahaman hadis dilihat dari segi sabab
wuru>d, di kalangan ulama adayang mendahulukan sebab
atau latarbelakang tapi ada pula yang mendahulikan
keumuman redaksi (lafal) hadis. Pendapat pertama
menyatakan al-’ibrah bi khus}us> } al-saba>b la bi ’umum> al-
lafz,} bahwa argumentasi yang dipegang berdasar pada
sebabtertentu yang bersifat khusus bukan pernyataan
yang terdapat pada redaksi hadis, sebaliknya pendapat
kedua menyatakan: al-’ibrah bi ’umu>m al-lafz} la bi
khus}u>s} al-sabab> , yaitu mendahulukan redaksi umum
hadis dari pada latarbelakang yang menyebabkannya
Menurut Muhammad ’Ajjaj al-Khat|ib, ilmu
Asba>b Wuru>d al-Hadi>s mempunyai hubungan yang erat
dengan ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh karena dengan
mengetahui ilmu Asba>b Wuru>d al-Hadi>s ini dapat

Mahmud al-T}ahhan, Taysi>r Mus}t}alah al-Hadi>s| (Beirut: Dar al-


55

Qur’an al- Karim, 1979 M.), h.225

Studi Hadits
diketahui hadis yang menasakh dan yang dinasakh,
hadis yang terdahulu dan yang kemudian.56
Di antara ulama yang menyusun kitab dalam
bidang ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah Abu Hafsh
al-‘Akbari, gurunya Abu Ya’la Muhammaf ibn al-
Husatan al-Farra’ al-Hanbali (380-408 H.) Kemudian
disusul oleh Ibrahim ibn Muhammad ibn Kamal al-Din
yang dikenal dengan ibn Hamzah al-Husni al-Dimasyqi
(1054-1120 H.) dengan kitabnya al-Bayan wa al-Ya’rij fi
Asbab Wurun al-Hadis al –Syarif. 57

E. Ilmu Nasikh wa
Mansukh al Hadits
Ilmu ini membahas tentang hadis-hadis yang
kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya dengan menjadikan yang satu sebagai
nas> ikh (penghapus) dan yang lainnya sebagai
mansu>kh (yang dihapus). 58Hal ini terjadi apabila
terdapat dua atau beberapa hadis yang kontradiktif dan
dapat diketahui hadis yang lebih awal disampaikan Nabi

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa


56

Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.290

57
Ibid.
58
Ibid, h.113

Studi Hadits
dan hadis yang disampaikan Nabi lebih akhir. Nasikh
dan mansukh biasanya terkait dengan kajian hukum
sehingga hukum yang lebih awal direvisi atau diganti
dengan hukum yang datang berikutnya.
Secara bahasa, kata na>sikh dan mansu>kh
berasal dari kata al-nasakh yang memiliki beberapa
makna di antaranya al- iza>lah (menghilangkan), al-
tabdi>l (mengganti), al-tahwi>l (mengalihkan), dan al-
naql (memindahkan).59 Misalnya, ‫( نسخ الشثاب الشية‬uban itu
menghilangkan sifat muda), ‫( الكتاب نسخت‬saya mengutip isi
kitab itu). Menurut ulama’ Ushul, nasakh adalah: ‫عن–ه‬
‫ ( متراح شرعي تدليل شرعيا حكما الشارع رفع‬penghapusan oleh syari’
terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang

datang kemudian ). Contoh nasakh adalah sabda


Rasulullah saw.:
“Saya (pernah) melarang kalian berziarah kubur, namun
(sekarang) berziarah kuburlah kalian, karena itu bisa
mengingatkan kalian akan akhirat”(HR. Malik ibn Anas,
Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Tirmiz|i).
Menurut terminologi, nasakh mempunyai dua
definisi. Pertama, nasakh berarti penjelasan tentang
berakhirnya hukum syara’ melalui jalan hukum syara’
59
Abd al-Fattah Mahmud Idris, al-Mawsu>’ah al-Isla>miyyah (Kairo:
Majlis al-A’la, 2001), h.1394

Studi Hadits
karena adanya rentang waktu. Maka, dalam hal ini
hukum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya
telah tiba dan bersamaan dengan itu datang hukum lain
sebagai pengganti. Kedua, menurut sebagian ahli al-
Us}u>l, nasakh adalah penghapusan suatu hukum syara’
dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu. 60
Dengan demikian, na>sikh adalah dalil atau hukum
syara’ yang datang kemudian sebagai pengganti hukum
yang telah ada sebelumnya. Sedangkan mansukh secara
bahasa berarti sesuatu yang dihapus, yang dihilangkan,
yang dipindah, atau yang disalin. Menurut
terminologi ulama, mansukh adalah hukum syara’ yang
berasal dari dalil syara’ yang pertama yang dirubah atau
dibatalkan oleh hukum dari dalil syara’ yang baru.61
Bila terdapat hadis yang maqbu>l dan
terhindar dari pertentangan dengan hadis lain, maka
hadis itu disebut hadis muhkam. Tetapi bila hadis itu
berlawanan dengan hadis yang sederajat tapi dapat
dengan mudah dikompromikan, maka hadis itu
dinamakan mukhtalfi al-hadis. Jika tidak mungkin
dikompromikan dan diketahui mana yang terdahulu dan
yang kemudain, maka hadis yang datang kemudain

60
Abu Hafs} ibn Ahmad ibn ‘Us|man ibn S}ahih, al-Na>sikh wa al-
Mansu>kh min al-Hadi>s| (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),
h.7
61
mmad ‘Ajjaj al-Khat}ib, Us}u>l al-Hadi>s|, 186 juga Manna’ al-
Qat}t}an, Maba>his| fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi,
1988), h.232

Studi Hadits
dinamakan naiskh dan yang datang leih dulu disebut
hadis mansukh.62
Ilmu Na>sikh dan Mansu>kh adalah ilmu yang
membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan yang
tidak mungkin dikompromikan, di mana salah satu hadis
dihukumi sebagai na>sikh dan yang lain sebagai mansu>kh.
Hadis yang lebih dulu disebut sebagai mansu>kh dan yang
lain yang datang kemudian sebagai na>sikh.63

Mengetahui na>sikh dan mansu>kh merupakan


keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-
hukum syari’ah, karena tidak mungkin meng-intibat-
dan menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui
dalil-dalil nas> ikh dan dalil-
Dalil mansuk> h. Oleh sebab itu, para ulama
sangat memperhatikan ilmu ini dan menganggapnya
sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam
bidang ilmu hadis. Na>sikh dan mansu>kh merupakan hal
yang harus diketahui oleh mereka yang menekuni kajian
hukum-hukum syari’at. Sebab tidak mungkin bagi
seseorang untuk menggali hukum-hukum dari dalil-
dalilnya tanpa mengetahui dalil-dalil yang na>sikh dan
62
Subhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.113
63
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa
Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.288

Studi Hadits
mansu>kh. Dalam hal ini al-Hazimi mengatakan
bahwa cabang ilmu ini merupakan kesempurnaan ijtihad,
sebab rukunutama ijtihad adalah mengetahui dalil
naqli.> Salah satu fungsidalam pengutipan (dalil-dalil
naqli) adalah mengetahui yang na>sikh dan yang
mansu>kh.
Memahami khabar secara literal memang mudah,
tetapi memahaminya secara detail sangatlah sulit.
Kesulitan itu dikarenakan adanya misteri-misteri yang
terkandung di dalam teks-teks itu yang mengakibatkan
tidak mudah untuk menggali kandungan hukumnya.
Salah satu untuk mengetahui kejelasannya adalah dengan
mengetahui mana yang awal dan mana yang akhir dari
dua hal yang tampak bertentangan.

Di antara ulama yang mengarang kitab


tentang Nas> ikh wa Mansu>kh al-Hadi>s| ini adalah
Qatadah ibn Di’amah al- Sudusi (61-118 H.) dengan
kitabnya al-Na>sikh wa al- Mansu>kh, hanya saja
kitab ini, menurut ’Ajjaj al-Khat}ib, belum sampai
kepada kita. Kemudian disusul oleh Abu Bakar Ahmad
ibn Muhammad al-As|ram (w.261 H.) dengan kitabnya
Na>sikh al-Hadi>s| wa Mansu>khuh) yang ditulis antara
abad kedua dan ketiga Hijriyah. Pada abad keempat
Hijriyah ditulis kitab Na>sikh al-Hadis> | wa Mansu>khuh
karya Abu Hafsh ’Umar Ahmad al-Baghdadi yang
dikenal dengan Ibn Syahin (297-385 H.). Selanjutnya

Studi Hadits
Abu Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimial-Hamdani
(548-584 H.) menulis kitab al-I’tibar> fi al-Na>sikhwa al-
Mansu>kh min al-Asa| r,> 64 dan lain sebagainya.

F. Ilmu Muktalaf al Hadits


Ilmu ini membahas hadis-hadis yang menurut
lahirnya bertentangan untuk dikompromikan dengan cara
membatasi kemutlakannya, mentakhsis keumumannya
dan lain sebagainya65. Kadang tampaknya kontradiksi
namun dapat difahami setiap hadis pada proporsinya
masing-masing. Kadang pula menunjukkan tanawwu’
(berbagai alternatif) yang pernah dicontohkan oleh
Rasulullah saw.
Para ulama menyebut ilmu ini dengan ilmu
Musykil al- Hadi>s|, Ikhtilaf al-Hadi>s|, Ta’wi>l al-Hadi>s|, dan
Talfi>q al-Hadi>>s,| yaitu ilmu yang membahas tentang hadis-
hadis yang secara lahiriyah bertentangan dengan maksud
untuk menghilangkan pertentangan itu atau
menyesuaikan dan mengkompromikannya, sebagaimana
pembahasan hadis-hadis yang sukar dipahami hingga
hilang kesukaran itu dan menjadi jelas hakekatnya.66
S}ubhi al-S}alih men-definisikan ilmu ini dengan:

64
Ibid, h.189-290
65
Subhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.11

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa


66

Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.283

Studi Hadits
‛Ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya
saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat
dikompromikan, baik dengan cara men-taqyid terhadap
hadis yang mutlak atau men-takhshish terhadap yang
umum atau dengan cara membawanya kepada beberapa
kejadian, dan lain-lain.67
Ilmu ini, menurut Muhammad ’Ajjaj al-Khat}ib,
termasuk salah satu ilmu hadis yang sangat penting yang
harus dikuasai oleh ahli hadis, ahli fiqh, dan ulama
lainnya. Ilmu ini diperoleh melalui penghafalan dan
pemahaman terhadap hadis dengan baik, pengetahuan
tentang hadis yang umum dan khusus, hadis yang mutlak
dan muqayyad, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan masalah-masalah ilmu hadis dira>yah68.
Orang yang menekuninya harus memiliki pemahaman
yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan
berpengalaman dan yang bisa mendalaminya hanyalah
mereka yang mampu memadukan antara hadis dan fiqh.
Dalam hal ini al-Sakhawi mengatakan bahwa ilmu ini
termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan
oleh ulama di berbagai disiplin69. Ilmu ini merupakan

67
Subhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.111
68
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa
Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.284
69
Lihat Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi,
Fath al-Mughi>s,h.362-363

Studi Hadits
salah satu buah dari penghafalan hadis, pemahaman
secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am
dan khas> h-nya, yang mutl} aq dan muqayyad-nya dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan
terhadapnya. Sebab tidak cukup bagi seseorang hanya
dengan menghafal hadis, menghimpun sanad-sanadnya
dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan
mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama atelah memyusun kitab-kitab
yang berkenaan dengan ilmu ini seperti Imam
Muhammad ibn Idris al-Syafi’I (150-204 H).
Dengan kitabnya Ikhtilaaf al-Hadis. Sebuah kitab
pertama di bidang ini yang sampai kepada kita.
Setelah itu, Imam’ Abd Allah ibn Muslim ibn
Qutaybah al-Daynuri (213-276 H.) Dengan
kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadis. Demikian
pula, Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-
Thahawi (239-321H.) Dengan karyanya Musykil
al-Asae, Abu Bakar Muhammad ibn al-Hasan al-
Ansari al-Asbahani (w. 406 H.) Dengan karyanya
Musykil al-Hadis wa Bayanuh.70

G. Ilmu ‘Ilal al Hadits


Kata ‘ilal merupakan bentuk jamak dari
‘illah, secara bahasa berarti penyakit. Menurut
terminologi ulama hadis, ‘illah adalah sebab
tersembunyi yang menyebabkan cacat suatu
70
Ibid, h. 284-286

Studi Hadits
hadis yang secara lahiriyah tampak selamat 71.
Cara mengetahui ‘illat hadis adalah dengan
menghimpun semua sanad yang berkaitan dengan
hadis yang diteliti untuk mengetahui apakah
hadis yang bersangkutan memiliki tawa>bi’ atau
syawa>hid atau tidak. Kemudian, seluruh
rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu
diteliti berdasarkan pendapat para kritikus
periwayat hadis dan ‘illat hadis. Dengan jalan
demikian baru dapat ditentukan apakah hadis itu
ber-‘illat atau tidak.72
Secara terminologis, ilmu ‘Ilal al-Hadis,
menurut al-Zarqani yang dikutip oleh Suhbi al-
Salih, adalah:

‛Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang ter-


sembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadis
71
Ibidd, h. 191
72
M. Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 131

Studi Hadits
yang berupa menyambungkan (meng-ittis}al-kan) hadis
yang munqati} ’, me-marfu’> -kan hadis yang mawqu>f,
atau memasukkan suatu hadis ke dalam hadis lain dan
yang serupa dengan itu.73
Definisi senada dikemukakan oleh Muhammad
’Ajjaj al- Khat}ib dalam Us}u>l al-Hadi>s| ’Ulu>muh wa
Must}alahuh. Ia menyatakan:

‛Ilmu ’ilal al-hadi>s| adalah ilmu yang menerangkan


sebab- sebab yang ter-sembunyi, tidak nyata yang dapat
mencacatkan hadis yang berupa menyambungkan (meng-
ittis}al-kan) hadis yang munqat}i’, me-marfu’> -kan
hadis yang mawquf, atau memasukkan sanad hadis ke
dalam matan hadis tertentu dan sebagainya.74
Para ulama hadis sangat memperhatikan ilmu
’ilal al-hadis,| mereka berusaha menyeleksi sanad
hadis, mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta
mendengarkan pendapat mereka. Semua cara ini
73
Subhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm
li al- Malayin, 1988 M), h.112
74
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-Hadi>s| ‘Ulu>muh wa
Mus}t}alahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1989), h.291

Studi Hadits
dimaksudkan untuk membedakan antara hadis yang
sahih dan yang da’i>f, yang tidak mengandung
’illat (cacat), syaz| (kejanggalan) dan yang tidak. Banyak
ulama yang mengkaji tentang ’ilal al-hadis> | baik dari
kalangan ulama mutaqaddimu>n maupun ulama
mutaakhirun> , mereka menjelaskan ’illat-’illat hadis,
menunjukkan cara-cara untuk mengetahui ’illat hadis.
Mereka juga menulis kitab-kitab dalam
bidang ini yang dimulai semenjak akhir abad
kedua dan awal abad ketiga Hijriyah dan
seterusnya. Seperti kitab al-Ta>rikh wa al-’Ilal
karya Yahya Ibn Ma’in (157-233 H.), kitab
’Ilal al-Hadi>s| karya Ahmad Ibn Hanbal (164-241
H.), al-Musnad al-Mu’allal karya Ya’qub ibn
Syaybah al-Sudusi al-Bas}ari (182-262 H.),
Kitab al-’Ilal karya Muhammad ibn ’Isa al-
Turmuz||i (209-279 H.). Demikian pula kitab
’Ilal al-Hadi>s| oleh ’Abd al-Rahman ibn Abi
Hatim al-Razi (240-327 H.), al-’Ilal al-Wa>ridah
fi al-Ahad> is> | al-Nabawiyyah oleh ’Ali ibn ’Umar
al-Daruqut}ni (306-385 H.)75

75
Ibid, h.295-296

Studi Hadits
Abdirihim Ahmed Muse
Putra Umamul M.
Rikza Ramadhan

BAB VI
_______________________________________
HADITS-HADITS YANG
DAPAT DITERIMA (Al-
HADITS AL-MAQBUL)

Studi Hadits
A. Pengertian Hadits Sahih
Shahih menurut bahasa ialah sehat, lawan dari
kata saqim yang artinya sakit. Shahih kadang diartikan
benar dan baik, lawan dari kata salah dan batil. 76 Adapun
pengertian shahih menurut istilah ahli Hadis adalah:
‫ص ُل ال َّسنَ ِد َغ ْي ُر ُم َعلَّ ٍل َوالَ َشا ٍذ‬
ِ َّ‫ض ْب ِط ُمت‬
َّ ‫َما نَقَلَهُ َع ْد ٌل تَا ُم ال‬

Artinya:
"Suatu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung-sambung sanadnya,
tidak cacat dan tidak berlawanan dengan dalil yang
lebih tinggi".77
1. Syarat-Syarat Hadits Shahih
Berdasarkan definisi Hadits sahih di atas, maka
suatu Hadis dapat dipandang shahih apabila memenuhi
lima syarat, yaitu
1. Perawinya harus adil.
2. Perawinya harus sempurna ingatannya (dlabit).
3. Rangkaian perawi/sanad tidak terputus-putus.
4. Tidak mempunyai cacat.
5. Tidak mempunyai kejanggalan.78

76
Sintia Paramita, Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas dan
Kuantitas Sanad, (Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara, 2019), h. 9.
77
Abdul Majid Khon dkk, Qur,an Hadits, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2018), cet. Ke-1, h.90.
78
Nurudin, Ulumul Hadis, (Bandung: PT. Rosda Karya, 2016), h. 240.

Studi Hadits
B. Perbedaan Hadits Sahih Li
dzatihi dan Hadits Sahih Li
ghayrih
1.  Hadits Sahih Li dzatihi
Hadis shahih lidzatih adalah hadis yang
memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadis shahih,
seperti yang sudah dikemukakan di atas. Al Hafidh Ibnu
Hajar mengatakan :
‫ص ٌل ُم ْسنَ ٌد َغ ْي ُر ُم َعلَّ ٍل َو آل َشا َّد‬
ِ َّ‫ضب ِْط ُمت‬
َّ ‫َما َر َو اهُ َع ْد ٌل تَا ُّم ا ل‬
"Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil,
sempurna keras ingatannya, besambung-sambung terus
sanadnya kepada Nabi Muhammad Saw, tidak ada
sesuatu yang cacat dan tidak bersalahan riwayat itu
dengan riwayat orang yang lebih rajih dari padanya”.79
2.  Hadits Sahih Li ghayrih
Hadis shahih li ghayrih adalah Hadis di bawah
tingkatan shahih yang menjadi Hadis shahih karena
diperkuat oleh Hadis-Hadis lain. Sekiranya Hadis lain
yang memperkuat itu tidak ada, maka Hadis tersebut
hanya berada pada tingkatan Hadis hasan. Hadis shahih li
ghayrih (Hadis shahih yang bukan karena dirinya sendiri,
tapi karena diperkuat oleh Hadis yang lain) pada
79
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 125.

Studi Hadits
hakekatnya adalah Hadis hasan li dzatih (Hadis hasan
karena dirinya sendiri).
Yang dimaksud dengan hadits shahih li ghayrih adalah:
‫ت ا ْلقَبُوْ ِل‬
ِ ‫صفَا‬ َ ‫َما لَ ْم تَتَ َو ا فَرْ فِ ْي ِه اَ ْع‬
ِ ‫لى‬
“Yang tidak sempurna padanya setinggi-tingginya sifat
yang mengharuskan kita menerimanya”.
            Maka, yang dimaksud dengan hadits shahih
lighairihi adalah hadits shahih yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya secara maksimal. Misalnya perawinya
yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas
intelektualnya rendah).80 Jenis hadits shahih lighairihi ini
adalah jenis hadits yang berada di bawah hadits shahih li
dzatihi. Dengan demikian hadits ini adalah hadits yang
keshahihannya karena ada faktor lain, karena tidak
memenuhi syarat secara maksimal sebagaimana
hadits hasan lidzatihi.

C. Pengertian Hadits Hasan


Menurut bahasa hasan artinya baik atas segala
sesuatu yang diingini, yang dirindui dan disenangi oleh
keinginan hawa nafsu. Sedangkan menurut istilah Hadis
hasan adalah:
‫ض ْبطُه َوخاَل ِمنَ الش ُُّذ ْو ِذ َو ْالِعلَّ ِة‬ ْ ‫ص َل سن ُد بِنَ ْق ِل ا ْل َعد ِْل ال ِذ‬
َ ‫ى قَ َّل‬ َ َّ‫ُه َو َماات‬

80
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 277.

Studi Hadits
Artinya:
"Hadits Hasan adalah Hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
ke-dhâbith-annya, tidak ada keganjilan (syâdz), dan tidak
ada `illat.".81
Dengan demikian Hadis hasan dan Hadis shahih
hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada Hadis hasan
perawinya kurang sempurna ingatannya, sedangkan pada
Hadis shahih perawinya terdiri dari orang yang kuat daya
ingatannya.
1. Syarat-Syarat Hadits Hasan
Berdasarkan pengertian di atas, maka Hadis hasan harus
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perawinya orang yang adil.
2. Perawinya agak kurang ke- dhâbith-annya.
3. Bersambung sanadnya.
4. Tidak mempunyai cacat/'illat.
5. Tidak terdapat kejanggalan/syadz.82

D. Perbedaan Hadits Hasan Li


dzatihi dan Hasan Li ghayrih
81
Abdul Majid Khon dkk, Qur,an Hadits., h. 92.
82
Sintia Paramita, Pembagian Hadis., h. 11.

Studi Hadits
1. Hadits Hasan Li dzatihi

Hadits hasan li dzatihi adalah hadits hasan


dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria
dan persyaratan yang telah ditentukan. Jika kita lihat dari
segi bahasa, hasan berasal dari kata al-husnu (
ُ‫ُس–––ن‬ ْ
ْ ‫)الح‬ bermakna al-jamal       (‫ = )ا ْل َج َم–––ا ُل‬keindahan,
sedangkan menurut istilah Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
An-Nukhbah mengemukakan bahwa:
“Hadits hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang
sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadz),
dan tidah ada keganjilan”.83

2. Hadits Hasan Li ghayrih


Li ghayrih artinya karena yang lainnya, yakni
satu hadits hasan menjadi hasan karena dibantu oleh
yang lain atau dari jalan lain. Sedangkan menurut istilah
hadits hasan lighairihi adalah hadits yang dalam
sanadnya ada rawi mastur atau rawi yang kurang kuat
hafalannya, atau rawi yang bercampur hafalannya karena
disebabkan usianya, atau rawi yang pernah salah dalam

83
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,  (Jakarta: Amzah, 2008), h. 159.

Studi Hadits
meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang
sebanding dengannya.84
Dalam makna lain, satu hadits yang tidak terlalu
lemah kemudian dikuatkan dengan jalan lain yang
seumpama dan sebanding dengannya. Dapat dikatakan
hadits hasan lighairihi apabila dalam hadits tersebut
perawi dan sanadnya tidak memiliki sifat-sifat seperti:
1. Tidak ada kefahaman tentang hadits.
2. Sering salah dan keliru dalam meriwayatkan.
3. Faasiq (yang keluar dari jalan kebenaran).
4. Tertuduh suka berdusta dalam hadits.
5. Pendusta.
6. Pemalsu hadits.
7. Tertuduh memalsu hadits.
8. Dan yang lainnya yang terdapat pada hadits dha’if.

84
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits,  (Bandung: PT
Diponegoro, 1996), h. 73.

Studi Hadits
BAB VII
_______________________________________
MACAM-MACAM HADITS
YANG DITOLAK

Studi Hadits
A. Pengertian Hadits Dhoif
Hadits Dha’if adalah hadits yang tidak terpenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.85 Tetapi
kelemahan perawinya tidak sampai ke level tertuduh
pendusta atau pelaku pendustaan hadits. Hadits dha’if
juga hadits yang terputus sanadnya atau diantara
perawinya ada yang cacat,86 atau matannya bertentangan
dengan akal sehat, dalil yang tingkatannya lebih tinggi,
yaitu riwayat-riwayat mutawatir, tujuan pokok ajaran
Islam dan fakta sejarah yang telah tegas, atau redaksinya
tidak menggambarkan sabda kenabian.87
Hadits dha’if merupakan hadits mardud, yaitu
hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau
dalil dalam menetapkan sesuatu hukum.88
Kata al-dha’if, secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy,
yang berarti “lemah”. Pengertian menurut istilah Ulama
Hadits adalah:
Hadits Dha’if adalah setiap hadits yang tidak
terhimpun padanya keseluruhan sifat Qabul.

85
Muhy al-Din ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir (Beirut:
Dār alKutub al-‘Arabi, 1985), h. 31.
86
Abdul Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: CV
Penerbit Diponegoro, 2007), h. 91.
87
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 127.
88
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. MUTIARA
SUMBER WIDYA, 2001), h. 236-237.

Studi Hadits
Atau sebagian ulama besar hadits adalah:
Hadits Dha’if adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat Shahih dan Hasan.
Dan, dalam redaksi Ibn al-Shalah disebutkan:
Hadits Dha’if) adalah setiap hadits yang tidak
terhimpun padanya sifat-sifat Hadits Shahih dan tidak
pula sifat-sifat Hadits Hasan.
Hadits munqati’ (Hadits dhoif karena terputus
sanadnya), contoh hadits yang diriwayat oleh al-Nasa’i
dan Ibn Majah:
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin
'Ubaid dia berkata; telah menceritakan kepada kami
Ibnu 'Ayyasy dari Mughirah dari al-Harits al-'Ukli dari
Ibn Nujay dia berkata; 'Ali ra, berkata:‘Aku mempunyai
dua kesempatan dari Rasulullah saw.untuk menemuinya,
yaitu kesempatan di malam hari dan kesempatan di
siang hari. Apabila aku menemuinya di waktu malam,
beliau berdehem kepadaku."
Menurut Ibn Ma’in dan al-Daruquni, hadits ini
munqati’ , karena ada persoalan pada seorang rawi yang
bernama ‘Abd Allah bin Nujay bin Salamah bin Jisym. Ia
dinilai ṡiqah oleh al Nasa’i dan Ibn Hibban. Namun
sejatinya ia tidak mendengar langsung dari ‘Ali bin Abi
Talib, melainkan melewati bapaknya.

Studi Hadits
Hadits dha’if yang disebabkan cacat perawinya,
contohnya hadits tentang shalat sunnah setelah shalat
Maghrib diriwayatkan oleh at-Tirmizi:89
“Telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, yaitu
Muhammad bin al-'Ala` al-Hamdani, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Zayd bin al-Hubab katanya;
telah menceritakan kepada kami Umar bin Abū
Khats'am dari Yahya bin Abū Katsir dari Abū Salamah
dari Abū Hurayrah, katanya: "Rasulullah saw.
bersabda: ‘Barangsiapa melaksanakan shalat enam
rakaat setelah Maghrib, kemudian ia tidak berbicara
buruk di antara shalat tersebut, maka akan dihitung
baginya sama (pahalanya) dengan ibadah selama dua
belas tahun’. Abū Isa berkata:‘Hadis Abū Hurayrah ini
gharib , kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis
Zayd bin al-Hubab dari Umar bin Khats'am’. Ia
berkata:‘Aku mendengar Muhammad bin Isma'il (al-
Bukhāri) mengatakan bahwa Umar bin ‘Abd Allah bin
Abū Khats'am adalah seorang munkar al-hadis , dan
sangat lemah."
Umar bin ‘Abd Allah bin Abū Khats'am. Ia
meriwayatkan hadits hanya dari Yahya bin Abi Katsir.
Sementara yang meriwayatkan darinya adalah Zayd bin
al-Habbab dan Musa bin Ismail al-Wasiti. Imam al-
Bukhāri menilainya sebagai periwayat yang sangat
lemah. Ibn Adi menilainya sebagai pemalsu hadits.

89
Idri dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN SA Press, 2019), h. 173-
174.

Studi Hadits
B. Macam – macam Hadits Dhoif
Berdasarkan kepada sebab-sebab ke dha’if -an suatu
hadits, hadits dhaif terbagi jadi beberapa macam, yaitu:
1. Pembagian Hadits Dha’if ditinjau dari
terputusnya sanad.
a. Hadits Mu’allaq.
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dibuang
permulaan sanadnya (yakni rawi yang menyampaikan
hadits kepada penulis kitab), baik seorang maupun lebih,
dengan berurutan meskipin sampai akhir sanad.
Pemotongan mata rantai rawi hadits banyak sekalli
dilakukan oleh para muhaditsin, terutama dalam kitab-
kitab yang mereka susun.Sebenarnya meringkas haits
hukumnya boleh asal ringkasan tersebut tidak
menjadikan hadits cacat sehingga terjadi pertentangan
dengan hadits sebelumnya dan hadits setelahnya. Para
imam juga banyak meringkas hadits guna dijadikan
landasan hukum.
- Bentuk Hadits mu’allaq.
 Jika dibuang (dihilangkan) seluruh sanadnya,
kemudian dikatakan.
 Bentuk lainnya adalah jika dibuang seluruh
sanadnya kecuali sahabat, atau kecuali sahabat
dan tabi’in.

Studi Hadits
- Hukum Hadits Mu’allaq.
Hukum hadits mu’allaq itu mardud (tertolak).90
Sebagaimana hadits munqathi, karena hilangnya salah
satu syarat diterimanya suatu hadits yaitu sanadnya harus
bersambung serta karena tidak diketahuinya identitas
rawi yang tidak disebutkan, kecuali apabila terdapat
dalam kitab yang dipastikan keshahihannya, seperti
shahih al-Bukhari dan shahih Muslim.
- Contoh Hadits Mu’allaq
1) Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam bagian
pendahuluan topic mengenai paha: “Dan berkata Abu
Musa: Nabi saw. telah menutup kedua lututnya
tatkala Utsman masuk”. Ini hadits mu’allaq, karena
Bukhori telah membuang seluruh sanadnya kecuali
sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
2) Berkata Abu Isa dan sesungguhnya telah diriwayatkan
dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “barang siapa
shalat sesudah maghrib dua puluh rakaat. Allah akan
mendirikan baginya sebuah rumah di surge”. (HR.
Turmudzi). Turmidzi tidak bertemu dan tidak
sezaman dengan Aisyah. Jadi tentu antara kedua-
duanya itu ada beberapa orang rowi lagi. Karena tidak
disebut rawi-rwinya, maka dinamakan ia gugur,

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. MUTIARA


90

SUMBER WIDYA, 2001), h. 239.

Studi Hadits
seolah-olah hadits itu tergantung. Karena itulah
dinamakan mu’allaq.

b. Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa merupakan isim
maf’ul dari kata arsala, yang berarti melepaskan.Jadi
seakan-akan lepas dari ikatan sanad, dan tidak terikat
dengan rawi yang sudah dikenal. Menurut istilah, hadits
mursal adalah hadits yang gugur pada akhir sanad setelah
tabi’in.jadi, hadits mursal adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tabi’in dari Rasulullah saw.91
- Bentuk Hadits Mursal.
Gambarannya adalah bahwa seorang tabi’in
mengatakan: Rasulullah saw bersabda begini-begini, atau
dilakukannya suatu perbuatan dengan kehadiran beliau
begini-begini. Bentuk seperti ini mursal menurut para
pakarr hadits.
- Hukum Hadits Mursal.
Pada dasarnya hadits mursal itu dha’if dan
mardud, karena hilangnya salah satu syarat dari syarat-
syarat diterimanya suatu hadits, yaitu sanadnya harus
bersambung.Hal itu disebabkan tidak diketahuinya
keadaan rawi yang dibuang. Lagi pula memiliki
kemungkinan bahwa yang dibuang itu adalah sahabat.
Dalam kondisi seperti ini haditsnya menjadi dha’if.
Meskipun demikian, para ulama hadits dan yang selain
91
Ibid.

Studi Hadits
mereka berbeda pendapat mengenai hukum hadits mursal
dan penggunaanya sebagai hujjah.Hadits ini termasuk
hadits yang terputus, yang diperselisihkan tempat
terputusnya pada akhir sanad. Sebab pada umumnya
gugurnya sanad itu pada sahabat, sementara itu seluruh
sahabat adalah adil, tidak rusak (keadilannya) meski
keadaan merreka tidak diketahui. Secara umum pendapat
para ulama mengenai hadits mursal bermuara pada tiga
pendapat:92
1) Termasuk hadits dha’if mardud; ini menurut jumhur
ulama hadits dan sebagian besar dari ulama ushul dan
fuqaha. Alasan mereka Karena tidak diketahuinya
keadaan rawi yang dibuang (hilang) karena mungkin
saja rawi yang dibuang itu bukan sahabat.
2) Termasuk hadits shahih dan bisa dijadikan argument;
ini pendapat tiga imam yang masyhur, yaitu Abu
Hanifah, Malik dan Ahmad, serta sekelompok ulama.
Dengan syarat hadits mursal itu berasal dari orang
yang tsiqah.Alasan mereka adalah bahwa tabi’in itu
adalah tsiqah. Mustahil mereka mengatakan:
Rasulullah telah bersabda…., kecuali ia
mendengarnya dari orang yang tsiqah pula.
3) Bisa diterima dengan beberapa persyaratan;
maksudnya, sah asal memenuhi beberapa persyaratan.
Ini menurut pendapat Syafi’I dan beberapa ahli ilmu.

92
Ibid., h. 243.

Studi Hadits
Syaratnya ada empat; tiga menyangkut rawi hadits
mursal dan satunya pada hadits mursalnya.
a. Hendaknya pembawa hadits mursal itu dari kalangan
tabi’in senior.
b. Jika orang yang menyampaikannya disebut tsiqah.
c. Jika bersekutu dengan orang yang hafidz lagi
terpercaya, dan mereka tidak menyelisihinya.
d. Jika tiga syarat yang bergabung tersebut mengandung
salah satu perkara berikut :
1) Jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain
sebagai tempat sandaran.
2) Jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain
secara mursal, yang diketahui dari selain rawi hadits
mursal yang pertama.
3) Jika sesuai dengan perkataan sahabat.
4) Jika memfatwakan sesuatu dengan kebanyakan ahli
ilmu.
Apabila syarat-syarat itu terpenuhi, maka jelaslah
keshahihan tempat keluarnya hadits mursal maupun yang
bertentangan dengannya. Keduanya sama - sama
shahih.Seandainya yang bertentangan itu shahih dari satu
jalur, maka yang didahulukan adalah yang memiliki
beberapa jalur, itupun jika tidak bisa dikompromikan
diantara keduanya.
- Contoh Hadits Mursal

Studi Hadits
1). Hadits yang dikeluarkan Muslim dalam kitab
shahihnya, bab tentang jual beli, yang berkata:“Telah
bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, telah
menuturkan kepada kami Hujain, telah menuturkan
kepada kami Al-Laitsi, dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab,
dari Sa’id bin Musayyab bahwa Rasulullah saw telah
melarang (jual beli) muzabanah”. Sa’id bin Musayyab
merupakan tabi’in senior, yang telah meriwayatkan
hadits ini dari nabi saw tanpa menyebutkan perantara
antara dirinya dan nabi saw. Hadits ini gugur sanadnya
dibagian akhir setelah tabi’in.Minimal, gugurnya sanad
adalah pada sahabat, namun bisa saja terjadi pada sahabat
bersama-sama dengan selain sahabat, seperti dengan
tabi’in.93
2). Dari Malik dari Abdillah bin Abi Bakr bin Hazm,
bahwa dalam surat yang Rasulullah tulis kepada Amr bin
Hazm (tersebut): “bahwa tidak menyentuh Al-Qur’an
melainkan orang yang bersih”. Abdullah bin Abu Bakr
ini seorang tabi’in, sedang seorang tabi’intidak semasa
dan tidak bertemu dengan nabi saw. jadi mestinya
Abdullah menerima riwayat itu dari seorang lain atau
sahabi. Karena ia tidak menyebut nama shahabi atau
nama orang yang mengkhabarkan kepadanya itu, tetapi ia
langsungkan kepada Rasulullah saw, maka yang begini
dinamakan mursal.

c. Hadits Mu’dhal

93
Ibid.

Studi Hadits
Kata mu’dhal berasal dari kata a’dhalahu
yakni’memayahkan’.Menurut istilah muhaditsin, hadits
mu’dhal adalah hadits yang pada mata rantai sanadnya
gugur dua orang rawi atau lebih disatu tempat, baik pada
awal sanad, tengah sanad, maupun di akhir sanad.
- Hukum hadits mu’dhal:
Hadits mu’dhal adalah hadits yang dihukumi
dhaif sesuai dengan sepakatnya ulama karena banyak
rawi yang terputus.94
- Kriteria Hadits Mu’dhal ialah:
 Sanad yang gugur (terputus) lebih dari satu orang.
 Keterputusan secara berturut-turut.
 Sebagian ulama menambahkan kriteria; tempat
keterputusan ditengah sanad bukan di awal dan di
akhir.
Jadi, hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua
orang periwayatannya atau lebih secara berturut-turut,
baik gugurnya diantara sahabat dengan tabi’in, antara
tabi’in dengan tabi al-tabi’in, atau dua orang sesuadah
mereka.
- Cara mengetahui hadits mu’dhal:
Menurut sebagian ulama, hadits disebut juga
mu’dhal apabila yang digugurkan dari sanad adalah nabi
dan sahabat, sama halnya jika yang digugurkan adalah
sahabat tabi’in. Shubi al-Shalih, misalnya tidak
mempersyaratkan periwayat yang gugur di tengah sanad,
boleh saja di awal atau di akhir.Ia hanya menyatakan
94
Ibid., h. 248.

Studi Hadits
hadits mu’dhal ialah hadits yang digugurkan dua orang
atau lebih dari sanadnya secara berturut-turut.
Menurutnya, hadits mu’dhal ini lebih ruwet dan
tidak jelas dibandingkan dengan hadits munqathi’ dan
karenanya hadits ini disebut mu’dhal yang berarti sulit
dipahami dan membingungkan.Hanya saja ulama hadits
menyebutkan bahwa keterputusan itu ditengah sanad,
yaitu antara sahabat dan tabi’in, antara tabi’in dengan
tabi al-tabi’in atau dua orang sebelumnya dua orang atau
lebih secara berturut-turut.95
- Contoh Hadits Mu’dhal:
1). Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Abu
Hurairah sebagai berikut: “Telah sampai padaku dari
Abu Hurairah: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
bagi budak belikan makanan dan pakaiannya.”96
2). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’I dari Ibnu
Juraijj sebagai berikut: “Kata Asy-Syafi’i: Telah
mengabarkan kepada kami Da’id bin Salim“. Dari Ibnu
Juraijj: Sesungguhnya nabi saw: “Apabila melihat
baitullah beliau mengangkat kedua tangannya dan
beliau berkata allahuma zid hadzal baita tasyrifan wa
ta’dhiiman wa maha batan…”(HR. Asy Syafi’I dalam
musnadnya (Nailul Authar V, 42)). Dalam memberikan
syarah terhadap hadits tersebut, Imam Asy Syaukani
berkata:“Hadits Ibnu Juraijj adalah mu’dhal antara
Ibnu Juraijj dan nabi, dan di dalam sanadnya ada Sa’ied

95

96
Ibid.

Studi Hadits
bin Salim al-Qadah yang diperselisihkan.” Ibnu Juraijj
termasuk tabi’ut tabi’in.ia dengan nabi pasti ada
perantaranya, yakni tabi’i dan sahabat.

d. Hadits Munqothi’
Menurut bahasa, munqothi’ berarti terputus,
lawan dari kata muttasil yaitu bersambung. Dalam istilah,
hadits munqathi’ ada beberapa pendapat, yaitu sebagai
berikut:
 Pendapat mayoritas ulama muhaditsin: Hadits yang
digugurkan dari sanadnya seorang perawi atau lebih
sebelum sahabat tidak berturut-turut.
 Pendapat fuqoha, ushuliyyun dan segolongan ulama
muhaditsin, diantaranya al-Kathib al-Baghdadi dan
Ibnu Abdul Barr: Segala hadits yang tidak
bersambung sanadnya dimana saja terputusnya.
 Pendapat al-Manzhumah al-Baiquniyyah menyatakan:
Setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya
sebagaimana keadaannya adalah termasuk hadits
munqathi’.97
 Pendapat ahli hadits muta’akhirin menjadikan istilah
tersebut sebagai suatu bagian khusus. Yaitu, Hadits
munqathi’ ialah hadits yang gugur salah seorang
rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa
tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada
setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi
pada awal sanad.
97

Studi Hadits
Dengan beberapa istilah yang dikemukakan oleh
beberapa ulama tersebut, jadi dapat disimpulkan bahwa
hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus
artinya seorang perawi tidak bertemu langsung dengan
pembawa berita, baik di awal, di tengah, atau di akhir
sanad.Maka masuk di dalamya hadits mursal, mu’allaq
dan mu’dhal.
- Cara Mengetahui Munqathi’ dan Kehujjahannya:
Terputusnya sanad dapat diketahui karena tidak
adanya pertemuan antara perawi dan orang yang
menyampaikan periwayatan karena tidak hidup semasa
atau karena tidak pernah bertemu antara keduanya.Untuk
mengetahui hal tersebut adalah tahun kelahiran dan wafat
mereka.
- Hukum Hadits Munqathi’:
Hadits munqathi tergolong mardud menurut
kesepakatan para ulama, karena tidak diketahui sifat-sifat
perawi yang digugurkan, bagaimana kejujuran dan
kedhabitannya.98
- Contoh Hadits Munqathi’:
1). Hadits riayat Abu Daud
“Meriwayatkan hadits kepada kami Syuja’ bin
Makhlad, katanya: meriwayatkan hadits kepada kami
Husyaim, katanya: Meriwayatkan hadits kepada kami
Yunus bin Ubaid dari al-Hasan, ia berkata: sesungguhnya
Umar bin Khaththab mengumpulkan manuisa kepada
Ubay bin Ka’b, maka ia (Ubay) mengimani shalat selama
98
Ibid., h. 250.

Studi Hadits
dua puluh hari dan dia tidak memimpin doa kunut
kecuali pada separuh bulan (Ramadhan) yang kedua..”
Hadits tersebut munqathi’. Al-Hasan al-Basri dilahirkan
pada tahun 21 H, sedangkan Umar bin Khaththab wafat
pada akhir tahun 23 H. atau pada awal muharam tahun 24
H, maka bagaimana mungkin al-Hasan mendengar hadits
dari Umar bin Khaththab.

e. Hadits Mudhallas
Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadits tidak bernoda. Rawi yang
berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang
diriwayatkanya disebut mudallas, dan perbuatanya
disebut hadits.

2. Pembagian Hadits Dha’if ditinjau dari segi


cacatnya perawi hadits

a. Hadits Matruk
“Hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang
perawi yang tertuduh pendusta, baik dalam soal hadits
ataupun dalam lainnya, ataupun tertuduh fasiq, atau
banyak lalai dan banyak sangka”.99

b. Hadits Munkar
99
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 194

Studi Hadits
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang
lemah yang menyalahi riwayatnya orang kepercayaan,
atau riwayat orang yang kurang lemah padanya”.
Lawannya Ma’ruf.
c. Hadits Syadz
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang kepercayaan yang menyalahi riwayat orang ramai
yang kepercayaan pula”. Lawannya mahfudh.
d. Hadits Mu’allal
“Hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang
tersembunyi yang baru diketahui sebab-sebab itu sesudah
dilakukan pemeriksaan yang mendalam, sedang pada
lahirnya dia cacat”.
e. Hadits Mudltharab
“Hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya atau
matannya, baik dilakukan oleh seorang perawi atau oleh
banyak perawi, dengan mendahulukan,
mengemudiankan, menambahkan,mengurangi, ataupun
mengganti, serta tidak dapat dikuatkan salah satu
riwayatnya atau salah satu matannya”.
f. Hadits Mudraj
“Hadits yang disisipkan ke dalam matannya
sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu shahby,
ataupun tabi’y untuk menerangkan maksud makna”.

g. Hadits Maqlub

Studi Hadits
“Sesuatu hadits yang telah terjadi kesilapan pada
seseorang perawi dengan mendahulukan yang kemudian,
atau mengkemudiankan yang dahulu”.
h. Hadits Mushahhaf
“Hadits yang telah terjadi perubahan huruf
sednag rupa tulisannya masih tetap”.
i. Hadits Muharraf
“Hadits yang telah terjadi perubahan baris”.
j. Hadits Mubham
“Hadits yang terdapat dalam sanadnya seorang
perawi yang tidak disebut namanya, baik lelaki maupun
perempuan”.100
k. Hadits Mudhu’
“Hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta
yang ciptaan itu mereka katakan berasal dari sabda Nabi,
baik itu disengaja maupun tidak”.
l. Hadits Mukhtalit
“Hadits yang rawinya buruk falannya, disebabkan
usia sudah lanjut, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang
kitabnya”.

C. Hadits Mudha’af
Hadits mudha’af adalah hadits yang tidak
disepakati kedha’ifannya. Sebagian ahli hadits
menilainya hadits mudha’af mengandung kedha’ifan,
baik dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian

100
Ibid., h. 195.

Studi Hadits
lain menilainnya kuat. Akan tetapi penilaian dha’if itu
lebih kuat, bukannya lebih lemah. Atau tidak ada yang
lebih kuat antara penilaian dha’if dan penilaian kuat.
Karena tidak ada istilah mudha’af untuk hadits yang
penilaian kuatnya lebih kuat. Dengan demikian hadits
mudha’af dianggap sebagai hadits dha’if yang paling
tinggi tingkatannya. Contohnya : “Asal setiap penyakit
adalah dingin.” Riwayat Anas dengan sanad yang
lemah.

D. Hadits Matruk
Hadits matruk merupakan hadits yang perawinya
mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kadzib, tertuduh dusta,
yaitu peringkat kedua terburuk sesudah al-kadzib,
pembohong atau pendusta.

Yang dimaksud dengan hadits matruk dalam istilah ilmu


hadits adalah:

Yaitu hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang


tertuduh dusta.

Pada umumnya seorang perawi yang tertuduh


dusta karena dikenal pembohong dalam pembicaraannya
sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan
tersebut ditujukannya terhadap hadits Nabi SAW, atau
hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh dia sendirian
sementara keadaanya menyalahi kaidah-kaidah umum.

Studi Hadits
1. Contoh hadits matruk

Hadits “Amr ibn Syamr al-Ja’fi al-Kufi al-Syi’i


dari Jabir dari Abi al-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar,
keduanya berkata, “Adalah Nabi SAW berkunut pada
shalat subuh dan bertakbir pada Hari Arafah mulai dari
shalat subuh dan berakhir pada waktu shalat asar di
akhir hari Tasyriq.”

Al-Nasa’i dan Dar al-Quthni serta para Ulama


Hadits yang lain mengatakan bahwa ‘Amr ibn Syamr
tersebut haditsnya adalah matruk.

2. Hukum hadits matruk

Hadits Matruk merupakan hadits dha’if yang


paling buruk keadaannya sesudah hadits mawdu’. Ibn
Hajar menyatakan bahwa hadits dha’if yang paling
buruk keadaanya adalah hadits mawdu’, dan setelah itu
hadits matruk, kemudian hadits munkar, hadits mu’allal,
hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits mudhtharib.101

E. Hadits Matruh
Dari segi bahasa, hadits matruk berarti yang
ditinggalkan dan hadits matruh berarti dibuang. Para
ulama memberikan batasan hadits matruk (hadits matruh)
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. MUTIARA


101

SUMBER WIDYA, 2001), h. 258.

Studi Hadits
tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan dengan hadits
atau mengenai urusan lain), atau tertuduh pernah
mengerjakan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya.
Contoh:

‫ لَوْ اَل النِّ َسا ُءلَ ُعبِ َدهللاُ َحقًّا‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬.

Artinya:“ Rasulullah bersabda, “Sekiranya tidak ada


wanita, tentu Allah disembah (ditaati) dengan sungguh-
sungguh”.

Hadits tersebut diriwayatkan Yaqub bin Sufyan


bin Asyim dengan sanad terdiri serentetan rawi:
Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin
Zaid dan ayahnya, Said bin Musayyab, dan Umar bin
Khattab. Diantara nama-nama dalam sanad itu, Abdur
Rahim dan ayahnya tertuduh pernah berdusta, oleh
karena itu, hadits diatas dikenal dengan sebutan hadits
matruk atau matruh.

F. Hadits Maudu’
Secara etimologi kata Mawdu’ adalah ism ma’ful
dari kata wadha’a, yang berarti al-isqath
(menggugurkan), al-tark (meninggalkan), al-iftira’ wa
al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat).

Studi Hadits
Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn al-Shalah
dan diikuti oleh Al-Nawawi, Hadits Mawdu’ berarti:102

Yaitu sesuatu (Hadits) yang diciptakan dan dibuat.

Subhi al-Shalih menyatakan bahwa Hadits Mawdu’

Yaitu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan


kemudian mereka sandarkan kepada Rasulullah SAW,
yang sifatnya mengada-ada atau nama beliau.

Ibn al-Shalih menyatakan hadits mawdu’


merupakan hadits yang dibuat-buat atas nama Rasul
SAW, jadi hadits mawdu’ merupakan hadits yang paling
buruk statusnya diantara hadits-hadits dha’if , dan karena
itu juga tidak dibenarkan dan bahkan haram hukumnya
untuk meriwayatkannya dengan alasan apa pun kecuali
disertai dengan penjelasan tentang ke-mawdu’-annya.103

Hadits maudu’ atau hadits palsu merupakan


hadits yang dalam sanadnya ada periwayat yang
melakukan kedustaan kepada Rasulullah SAW, atau
hadits yang dibuat-buat atas nama Nabi SAW dengan
sengaja atau tidak sengaja, dengan niat baik atau niat
buruk.104
102
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. MUTIARA
SUMBER WIDYA, 2001), h. 297.
103
Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut:
Dar al-Ilim li al-Malayin, 1973), h. 263.
104
Nur al-Din ‘Itr, Ulum al-Hadits, (Bandung: Rosdakarya, 1994), h.
275.

Studi Hadits
Jadi hadits maudu’ merupakan hadits yang
disandarakan pada Rasulullah dengan kedustaan, dan
tidak ada kaitannya dengan dirinya. Para ulama memberi
nama hadits maudu’ untuk memberitahu para perawi
yang menganggapnya sebagai hadits. Para ulama juga
sepakat bahwa haram hukumnya menyebar luaskan
hadits maudu’.

Abdul Qadir Hasan menyebutkan beberapa


motivasi terbentuknya hadits maudu’, yaitu: sengaja
untuk merusak agama, untuk mencari penghidupan,
untuk menaikkan wibawa dan kehormatan sebagaimana
dilakukan oleh para raja dan sultan, fanatik golongan,
amar makruf nahi munkar, kekhilafan, menghibur dan
mendukakan masyarakat.105

Contoh hadits maudu’ atau palsu tentang shalat


memakai surban:

“Shalat dengan menggunakan surban nilainya sama


dengan shalat dua puluh lima kali tanpa menggunakan
surban. Sekali shalat jum’at menggunakan surban,
nilainya samadengan tujuh puluh kali shalat Jum’at
tanpa menggunakan surban. Sesungguhnya para
Malaikat senantiasa mendo’akan orang yang shalat
jum’at memakai surban, dan senantiasa mendo’akan

Abdul Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: CV.


105

Penerbit Diponegoro, 2007), h. 275.

Studi Hadits
orang yang bersurban itu sampai tenggelamnya
matahari”.106

Hadits ini dikeluarklan Ibn Najjar dan juga


dikeluarkan oleh Ibn Asakir dalam kitab al-Tarikh .
Kesemuanya lewat jalur ‘Abbas ibn Kasir al-Ruqa, dari
Zayd ibn Abi Habib, ia berkata: saya dapat khabar dari
Mahdi ibn Maymun, ia berkata, saya menjumpai Salim
putra ‘Abd Allah ibn Umar yang sedang mengenakan
surban. Katanya, “Wahai Abū Ayyub, maukah kamu
mendengarkan hadis yang kamu pasti menyenanginya,
selalu membawanya dan meriwayatkannya”. Saya
menjawab: “Tentu”. Salim berkata, “Waktu itu saya
mendatangi bapakku, yaitu ‘Abd Allah ibn Umar yang
sedang mengenakan surban”. Ia berkata, “Wahai
anakku, saya senang sekali mengenakan surban. Wahai
anakku, sekiranya kamu mengenakan surban, niscaya
diagungkan, dimuliakan, dan dihormati umat. Tidak
akan digoda syetan bahkan ia akan lari menjauhimu.
Saya berkata seperti ini karena saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda….”. Lalu ia menjelaskan
seperti hadits di atas. Biang petaka hadits ini terdapat
pada perawi yang bernama ‘Abbas ibn Kasir al-Ruqa,
yang dinyatakan sebagai pemalsu hadits. Ibn Ḥajar dalam
Lisan al-Mizan , setelah memaparkan dengan memadai
perihal biografi‘Abbas ibn Katsir al-Ruqa,
menyimpulkan bahwa hadits ini palsu. Senada dengan

106
Irdi dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN SA Press, 2019), h. 181.

Studi Hadits
pendapat Ibn Ḥajar adalah penyusun kitab Kasyf al-
Khafa ’ , penyusun buku al -Maqasid al-Hasanah ,
penyusun buku Tanzih al-Syari’ah al-Marfu ’ah ,
penyusun buku al-Masnu’ fi Ma’rifahmin al-Ahadis al
-Mauḍū’ah , setelah menjelaskan panjang lebar hadits
di atas, semuanya menyimpulkan bahwa hadits ini adalah
palsu.107

Kesempurnaan dan kekurangan pahala shalat


tentunya ada, namun bukan ditentukan oleh atribut
lahiriah yang dikenakan seseorang, apakah memakai
surban, kopiah, atau yang lainnya, melainkan mengacu
kepada terpenuhinya segala rukun, syarat, sunnah,
bahkan adab-adab dari shalat itu sendiri. Benar bahwa
shalat ke masjid harus menggunakan pakaian yang
cantik, indah, bersih , sebagaimana perintah Allah SWT
dalam surat al-A’raf:31

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang


indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan”.

Ayat di atas memberikan perintah pada umat


Islam yang hendak mengerjakan shalat, tawaf keliling
Ka’bah, atau ibadah-ibadah yang lainnya supaya
menggunakan pakaian yang cantik, indah, dan tidak
107
Ibid., h. 182.

Studi Hadits
boleh melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh.
Namun bukan berarti kita meniru budaya Arab dengan
menggunakan surban dan gamisnya. Untuk umat muslim
Indonesia shalat menggunakan sarung, baju koko, dan
songkok nasional atau kopyah sudah sangat cukup untuk
digunakan shalat.108

Contoh hadits palsu lainnya:

Sekelompok pejuang datang menemui Rasulullah saw.


Nabi bersabda kepada mereka: “Kalian datang dari
sebaikbaik tempat, yaitu dari jihad kecil menuju jihad
besar’. Ditanyakan kepadanya, ‘Apakah jihad besar
itu?’.Nabi menjawab, ‘Seorang hamba yang berjuang
melawan hawa nafsunya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihāqi dalam kitab al-


Zuhd , dari ‘Ali bin Ahmad bin Abdan, dari Ahmad bin
Ubayd, dari Tamam, dari Isa bin Ibrahim, dari Yahya bin
Ya’la, dari Lais bin Abi Sulaim, dari Ata’, dari Jabir bin
‘Abd Allah, dari Rasulullah SAW. Menurut al-Baihāqi,
tiga orang periwayat dalam sanad-nya, yaitu Isa bin
Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Lais bin Abi Sulaim
adalah da’if . Bahkan perawi yang bernama Isa bin
Ibrahim dinilai oleh Abu Hatim dan al-Nasa’i sebagai
sebagai matruk al-hadits , dan disebut sebagai periwayat
hadits munkar oleh al-Bukhāri. Menurut al-Zaila’i, teks
hadis di atas sejatinya adalah kata-kata mutiara yang
108
Ibid.

Studi Hadits
diucapkan oleh Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabi’in
dari Syam. Menurutnya, ini yang benar, yaitu sebagai
riwayat yang maqtu’ bukan riwayat marfu’. Di samping
itu, dari sisi matan hadis ini juga lemah, karena pada
dasarnya semua jihad itu akbar. Perjuangan melawan
musuh Allah di medan lagaataupun melawan hawa nafsu
sama-sama membutuhkan pengorbanan yang sangat
besar.109

Contoh hadits palsu yang lain:

“Seorang Syaikh dalam sebuah komunitas kaummnya


adalah seperti Nabi dalam komunitas umatnya.

109
Ibid., h. 179-180.

Studi Hadits
BAB VIII
_______________________________________
PEMBAGIAN HADITS NABI
DARI SEGI KUANTITAS
SANADNYA

Studi Hadits
A. Definisi Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir (‫ ) ُمتَ–– َواتِر‬dalam bahasa memiliki arti
yang sama dengan kata mutatabi’ (‫) ُمتَتَ–––ابِع‬, artinya
”beruntun atau beriring-iringan antara satu dengan yang
lain tanpa ada jarak”.110 Sedangkan menurut istilah
adalah:
َ‫أ ل َح ِد يث آل ُمتَ َوا تِر ه َُوا لَّ ِذ ى َر َوا هُ َج ْم ٌع عن َج ْم ٍع تُ ِحي ُل ال َعا َدة‬
‫ب كثير يؤ من ا ء وكان مستند هم احس‬ ِ ‫تَ َواطُ ُ–ؤ هُ ْم َعلَى ْال َك ِذ‬
Artinya: Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut
adat, mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta.
‫أ ل َح ِد يث آل ُمتَ َوا تِر ه َُوا لَّ ِذ ى َر َوا هُ َج ْم ٌع تُ ِحي ُل ال َعا َدةَ تَ َواطُ ُؤ هُ ْم‬
ُ‫ب ع َْن ِم ْثلِ ِه ْم ِم ْن اَ َّو ِل ال َّسنَ ِد اِلَى ُم ْنتَهَاه‬
ِ ‫َعلَى ْال َك ِذ‬
Artinya: Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut
adat, mustahil mereka lebih dahulu bersepakat untuk
berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,
pada setiap thabaqat atau generasi.
Secara etimologi: isim fa’il yang diambil dari
kata At-Tawatur yang berarti berturut-turt, dikatakan
tawatara Al-Matar artinya hujan itu turun secara
berturut-turut.111

Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:


110

Pustaka Pesantren, 2013), h. 175.

Studi Hadits
Secara terminologi: khabar yang diriwayatkan
oleh banyak perawi, secara akal ataupun adat mustahil
mereka sepakat untuk mendustakan (khabar tersebut).112

2. Kriteria Hadits Mutawatir


Berdasarkan definisi hadist mutawatir di atas para
ulama menetapkan bahwa kriteria hadits mutawatir
adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan dari banyak perawi, yang dengannya
diperoleh ilmu dharuri (ilmu pasti yang tidak
mungkin ditolak) tentang benarnya khabar mereka.
Namun tidak ada batasan tentang berapa jumlah
mereka menurut pendapat yang shahih, akan tetapi hal
itu tergantung dari kondisi perawi dan factor-faktor
pendukung yang lain.
2. Mustahil secara logika sepakatnya mereka dalam
kedustaan.
3. Yang dikhabarkan oleh para perawi tersebut adalah
ilmu pasti, bukan persangkaan. Maka seandainya
penduduk suatu kota yang besar mengabarkan tentang
burung yang terbang dan mereka mengira itu adalah
merpati, atau tentang seseorang yang mereka duga
adalah Zaid, maka tidak diperoleh ilmu yang pasti
bahwa yang terbang itu adalah merpati atau orang itu
adalah Zaid.

111
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Jakarta: Ummul
Qura, 2016), h. 29.
112
Ibid.

Studi Hadits
4. Khabar yang mereka riwayatkan harus bersandarkan
pada indera, karena kalau mereka mengabarkan
sesuatu dari akal mereka maka tidak diperoleh ilmu.
Maka khabar tersebut harus bersandar kepada indera
seperti pendengaran dan penglihatan bukan bersandar
kepada yang hanya diketahui dengan akal. Contonhya
mereka mengucapkan dalam khabar mereka:”Kami
melihat ini dan itu.” atau “Kami mendengar ini dan
itu.” dan lain-lain.
5. Syarat-syarat di atas harus ada pada setiap tingkatan
perawi, Karena masing-masing tingkatan terpisah dan
berdiri sendiri dari tingkatan yang lain.113

3. Hukum Hadits Mutawatir


Status dan hukum hadits mutawatir adalah qat’i
al-wurud, yaitu pasti kebenarannya dan menghasilkan
ilmu yang durudy (pasti). Hadits mutawatir wajib
diyakini kebenarannya, karena ia memberikan faidah
ilmu yang pasti, yang tidak perlu diteliti tentang keadaan
para perawinya. Dan yang menolak keberadaannya
dihukumkan kafir adalah maqbul.
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al
tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber
informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan
seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para

Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:


113

Pustaka Pesantren, 2013), h. 177.

Studi Hadits
ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari
hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama
dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses
seperti hadist yang lainnya. Cukup dengan bersandar
pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini
kebenaran khabar yang dibawa.

B. Perbedaan Hadits Mutawatir


Lafdzi dengan Hadits Mutawatir
Maknawi
Hadits mutawatir dibagi menjadi dua yaitu,
Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi.
1. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi menurut bahasa secara lafadz. Mutawatir
lafdzi adalah hadits yang mutawatir dari sisi lafazh (teks)
hadits dan maknanya. Syaikh Muhammad Anwar al-
Kashmiri menyebutnya juga dengan hadits tawatur al-
Isnad”.114 Menurut Muhammad ‘ajjal al-Khatib, hadits
mutawtir lafdzi adalah:
‫مارواه بلفظه جمع عن جمع ال يتو هم تواطؤهم– على‬
‫الكذب من أوله الى آخره‬

Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:


114

Pustaka Pesantren, 2013), h. 177

Studi Hadits
Hadits yang diriwayatkan secara lafazh oleh
sejumlah orang periwayat dari sejumlah periwayat yang
lain, yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta dari
awal sampai akhir sanad.115
Berhubung hadits mutawatir lafdzi mensyaratkan,
matan hadits yang diriwayatkan menggunakan redaksi
yang sama, dan periwayat yang meriwayatkan hadits
sejak awal sampai akhir sanad harus banyak, maka hadits
mutawtir lafdzi ini tidak banyak jumlahnya.116 Contohnya
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ي متع ّمداً فليتبوأ– مقعده من النار‬ َّ ‫من‬


َّ ‫كذب عل‬
Barang siapa berdusta atas namaku maka
bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.
(HR. al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya).117
2. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi secara bahasa yaitu secara makna.
Mutawatir ma’nawi adalah hadits yang mutawatir
maknanya, namun lafazh (teks/redaksinya) berbeda.
Syaikh al-Kashmiri menyebutnya hadits mutawatir qadr
al-musytarak. Contohnya adalah hadits-hadits yang

115
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 82.
116
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 82.
117
Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2013), h. 178.

Studi Hadits
menjelaskan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika
berdo’a.
‫ دعا النبي صلى هّللا عليه‬: –‫وقال أبو مو سى األشعري‬
‫وسلم ثم يرفع يديه ورأيت بياض إبطيه‬
Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi Muhammad
Saw. berdo’a kemudian ia mengangkat kedua tangannya
dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.118
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang mengangkat tangan dalam berdo’a
sekitar seratus hadits, masing-masing hadits dalam
masalah ini (mengangkat tangan ketika berdo’a)
menyebutkan bahwa salah satu adab berdo’a adalah
mengangkat tangan, akan tetapi dalam kasus yang
berbeda-beda, dan setiap kasus tersebut tidak mutawatir.
Dan sisi kesamaan antara hadits-hadits tersebut
adalah adanya mengangkat tangan dalam berdo’a. Maka
hadits ini menjadi mutawatir kalau dilihat dari
keseluruhan jalur riwayat. Demikian juga hadits-hadits
tentang ru’yatullah (kaum mukminin akan melihat Allah
di Surga), tentang telaga Nabi, dan lain-lain.119

118
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 83.
119
Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2013), h. 178.

Studi Hadits
C. Hadits Masyhur
1. Pengertian Hadits Masyhur

Hadits Masyhur secara bahasa, kata masyur


adalah isim maf’ul dari syahara yang berarti “al-zuhur”
yaitu nyata. Secara etimologi, isim mafu’ul dari syahartu
Al –Amra yang berarti aku mengumumkan dan
menampakkannya, dikatakan demikian karena
120
nampaknya. Secara terminologi, hadist yang
diriwayatkan oleh tiga rawi di setiap tingkatan sanadnya
dan belum mencapi batas mutawatir.121

‫َما َر َوا هُ ثَالَ ثَةُ فَا َ ْكثَ َر فِى ُكلِّ طَبَقَ ٍة َما لَ ْم يَ ْبلُ ْغ َح َد‬
‫التَّ َوا تُ ِر‬
Artinya: Hadits ini yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau bahkan lebih pada setiap thabaqahnya
(lapisan), tetapi tidak sampai pada tingkatan
mutawatirnya.
Sebagian ulama menyebut hadist masyhur
dengan hadist mustafidh. Namun banyak juga pendapat
yang menolak hal tersebut. Karena mustafidh adalah
hadist yang perawinya berjumlah tiga orang atau lebih
sedikit., mulai dari generasi pertama sampai akhir.
Dalam hadist masyhur, jumlah perawi dalam tiap-tiap
generasi tidak harus seimbang, sehingga thabaqat
120
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Jakarta: Ummul
Qura, 2016), h. 37.
121
Ibid.

Studi Hadits
pertama sampai ketiga perawinya hanya seorang, tetapi
pada generasi akhir jumlah perawinya banyak, hadist itu
sudah bisa disebut hadist mutawatir.

2. Kriteria Hadits Masyhur


Dari definisi hadits masyhur di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kriteria hadist masyhur sebagai
berikut:
a. Diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap
thabaqat.
b. Jumlah perawi dalam tiap-tiap generasi (thabaqat)
tidak harus seimbang, sehingga thabaqat pertama
sampai ketiga perawinya hanya seorang, tetapi pada
generasi akhir jumlah perawinya banyak
c. Biasa disebut dengan hadist mustafidh. Hadist yang
perawinya berjumlah tiga orang atau lebih sedikit.,
mulai dari generasi pertama sampai akhir.

Sebagaimana definisi hadits masyhur secara


istilah, ada pula yang kenal dengan hadits masyhur
ghairu isthilahi, yaitu hadits-hadits yang masyhur atau
terkenal di kalangan masyarakat tertentu, tanpa harus
terpenuhi syarat-syarat hadits masyhur menurut ulama
hadits.122 Hadits dalam kategori ini ada yang memiliki
satu sanad, lebih dari satu sanad, atau ada yang sama
sekali tidak memilik sanad. Hadits masyhur ghairu
isthilahi dapat digolongkan sebagai berikut:
122
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 86.

Studi Hadits
a. Hadits yang masyhur khusus hanya di kalangan ahli
hadits. Contohnya:
‫عن أنس أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن‬ 
‫رسول هللا قنت شهرا بعد الركوع– يدعو على‬
‫رعل وذكوان‬
Dari Anas Ra, ” Sesungguhnya Rasulullah Saw
melakukan qunut selama sebulan setelah ruku’
berdoa atas kebinasaan kabilah Ri’lin dan Zakwan
(kalibah Arab).” (HR. Bukhari & Muslim.
b. Hadits yang masyhur di antara ahli hadits, ulama, dan
awam. Contohnya:
‫المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬
Artinya: Seorang Muslim adalah orang yang sanggup
menjamin keselamatan orang-orang Muslim lainnya
dari gangguan lisan dan tangannya. (HR Bukhari &
Muslim)
c. Hadits yang masyhur di antara para ahli fikih.
Contohnya;
‫أبغض الحالل إلى هللا الطالق‬
Artinya: Perkara halal yang paling dibenci Allah
adalah talak. (HR. Abu Daud)
d. Hadits yang masyhur di antara ahli Ushul Fikih.
Contohnya:

Studi Hadits
‫صلَّى‬
َ ‫ ع َِن النَّبِ ِّي‬،-‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما‬ ِ ‫ر‬-َ ‫س‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ُ
‫ض َع ع َْن أ َّمتِي‬ َ ‫ال إِ َّن هللاَ َو‬ َ َ‫ ق‬،‫هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوْ ا– َعلَ ْي ِه‬، َ‫ َوالنِّ ْسيَان‬،َ‫ْال َخطَأ‬

Dari Ibnu Abas ra, dari Nabi Saw, beliau


bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan
dari umatku kekeliruan, kealpaan dan apa-apa yang
dipaksakan terhadap mereka”. (HR. Ibnu Majah &
Baihaqi)
e. Hadits yang masyhur di antara ahli nahwu.
Contohnya:

ِ ‫َف هللاُ لَ ْم يَ ْع‬


‫صه‬ ِ ‫ُحيْبٌ لَوْ لَ ْم يَخ‬
َ ‫نِ ْع َم ال َع ْب ُد ص‬
Artinya: Sebaik-baiknya hamba adalah Shuhaib jika
takut pada Allah dan tidak maksiat.
f. Hadis yang mashur di kalangan awam. Contohnya:
‫العجلة من الشيطان‬
Artinya: Tergesa-gesa itu termasuk dari sifat setan.
(HR. Tirmizi).123
3. Hukum Hadits Masyhur
Hukum hadits masyhur tidak ada hubungannya
dengan shahih atau tidaknya suatu hadits, karena diantara
hadits masyhur terdapat hadits yang mempunyai status
shahih, hasan atau dhaif dan bahkan ada maudhu’
(palsu). Masyhur menurut istilah maupun yang tidak

Mas’hum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta:


123

Pustaka Pesantren, 2013), h. 179.

Studi Hadits
termasuk istilah tidak dapat diklaim sebagai hadits yang
shahih atau tidak shahih melainkan ada yang shahih, ada
juga yang hasan, dhoif bahkan yang maudhu.124
Dikalangan ulama Hanafiyah. Hadits masyhur
hukumnya adalah zhann, yaitu mendekati yakin sehingga
wajib beramal dengannya. Akan tetapi, karena
kedudukannya tidak sampai kafir bagi orang yang
menolak atau tidak beramal dengannya.125

D. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad (‫ )احاد‬merupakan jamak dari ahad (‫)احد‬
yang berarti satu. Dengan demikian, secara bahasa hadits
ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh satu orang
saja.126
Adapun menurut istilah ulama hadits, hadits ahad
adalah:

‫مالم يجتمع فيه شروط– المتواتر‬127


Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
mutawatir.

124
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Jakarta Timur:
Ummul Qura, 2016), h.34.
125
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001), h. 210.
126
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 85.
127
Ibid.

Studi Hadits
‘Ajjal al-Khathib, yang membagi hadits
berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, yaitu
mutawtir, masyhur, dan ahad, mengemukakan definisi
hadits ahad adalah:

ُ‫احدُأَ ِوا ِإل ْثنا َ ِن فَأ َ ْكثَ ُر ِم َّما ل ْم تَت ََوفَّرفِي ِه ُشرُوْ ط‬ِ ‫ار َواهُ ْال َو‬
َ ‫ه َُو َم‬
–ِ‫ُور أَ ِوال ُمت ََواتِر‬
–ِ ‫ال َم ْشه‬
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan
oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selam tidak
memenuh syarat-syarat hadits masyhur atau hadits
mutawatir.128
Dari definisi ‘Ajjal al-Khathib di atas dapat
dipahami bahwa hadits ahad adalah hadits yang jumlah
perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada
hadits mutawatir ataupun hadits masyhur. Di dalam
pembahasan tersebut, yang dikemukakan oleh jumhur
Ulama Hadits, yang mengelompokkan hadits masyhur ke
dalam kelompok hadits ahad.129

2. Pembagian Hadits Ahad

128
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2001), h. 208.
129
Ibid.

Studi Hadits
Ulama hadits membagi hadits ahad kepada tiga
macam, yaitu hadits masyhur, hadits ‘aziz, dan hadits
gharib.130
a. Hadits Masyhur

Hadits Masyhur secara bahasa, kata masyur


adalah isim maf’ul dari syahara yang berarti “al-zuhur”
yaitu nyata. Secara etimologi, isim mafu’ul dari syahartu
Al –Amra yang berarti aku mengumumkan dan
menampakkannya, dikatakan demikian karena
nampaknya.131 Secara terminologi, hadist yang
diriwayatkan oleh tiga rawi di setiap tingkatan sanadnya
dan belum mencapi batas mutawatir.132

‫َما َر َوا هُ ثَالَ ثَةُ فَا َ ْكثَ َر فِى ُكلِّ طَبَقَ ٍة َما لَ ْم يَ ْبلُ ْغ َح َد التَّ َوا تُ ِر‬
Artinya : Hadits ini yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau bahkan lebih pada setiap thabaqahnya
(lapisan), tetapi tidak sampai pada tingkatan
mutawatirnya.

b. Hadits ‘Aziz
Secara bahasa ‘Aziz bermakna yang sedikit
wujudnya, yang sulit diperoleh, yang mulia, dan yang
kuat. Sedangkan secara istilah ‘Aziz adalah hadits yang

130
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 85.
131
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits, (Jakarta: Ummul
Qura, 2016), h. 37.
132
Ibid.

Studi Hadits
diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan, walaupun
hal tersebut terdapat pada satu thabaqah saja.133
Maksudnya ialah dimasing-masing tingkatan
sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi. Jika di
sebagian thabaqat-nya dijumpai tiga orang atau lebih
rawi, hal itu tidak merusak (statusnya sebagai) hadits
‘aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya meskipun cuma
satu thabaqat─ terdapat dua rawi.

c. Hadits Ghorib

Ghorib menurut bahasa adalah orang yang


menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh
dari sanak keluarganya. Mnurut istilah muhadditsin, yang
dimaksud hadits ghorib adalah hadis yang rawinya
menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari
imam yang telah disepakati haditsnya, maupun
menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam
sekalipun.134

Ada juga yang menyebutkan ghorib secara


bahasa bermakna asing, jauh dari negeri, atau kalimat
yang sulit dipahami. Secara istilah adalah hadis yang
diriwayatkan hanya lewat satu jalur perawi.135
133
Idri,dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2019), h. 154.
134
Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), h. 419.
135
Idri,dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2019), h. 158.

Studi Hadits
3. Kehujjahan Hadits Ahad
Jumhur ulama selain yang menolak kehujjahan
hadits ahad berpendapat bahwa hadits ahad nilainya
zanni, karena dalm proses periwayatannya mungkin saja
terjadi keselahan dari para periwayatnya. Karenanya
tidak semua hadits ahad dapat diterima dan dijadikan
hujjah.136
Dilihat dari segi kehujjahannya, hadits ahad
dikalangan jumhur ulama terbagi menjadi dua macam,
yaitu hadits ahad yang maqbul (hadits sahih), dan hadit
ahad yang mardud (hadits dha’if). Hadits ahad yang
dha’if ini tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila ke-
dha’ifannya tidak berat dan ada hadits lain yang
mendukungnya minimal dalam kualitas yang sam
dengannya.137
Menurut Imam Syafi’i, suatu hadits yang
diriwayatkan secara bersambung melalui sanad yang
terpercaya, haruslah diterima sebagai hujjah meskipun
hanya diriwayatkan oleh seorang (hadits ahad). Khabar
khashshah (hadits ahad) wajib diamalkan apabila itu
sahih, yaitu sanadnya bersambung, perawinya siqat
(‘adil dan dhabit), tidak ada syaz dan tidak pula ‘illat.
Bila persyaratannya terpenuhi, maka hadits tersebut
haruslah diterima sebagai hujjah yang mengikat dan

136
Ahmad Zuhri, dkk., Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014),
h. 95.
137
Ibid.

Studi Hadits
berdiri sendiri tanpa dikaitkan lagi dengan hal-hal lain
yang mendukungnya.138

E. Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa adalah orang yang
menyendiri, mengasingkan diri, atau orang yang jauh
dari sanak keluarganya. Munurut istilah muhadditsin,
yang dimaksud hadis gharib adalah hadis yang rawinya
menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari
imam yang telah disepakati hadisnya, maupun
menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam
sekalipun.139
Ada juga yang menyebutkan ghorib secara
bahasa bermakna asing, jauh dari negeri, atau kalimat
yang sulit dipahami. Secara istilah adalah hadis yang
diriwayatkan hanya lewat satu jalur perawi.140 Di antara
contoh hadis Ghorib adalah riwayat al-Bukhori dan
Muslim yang bersumber dari Abu Hurayrah tentang
cabang-cabang iman sebagaimana di bawah ini yang
artinya:
“Telah diceritakan kepada kami ‘Abdan telah
mengabarkan kepada kami ‘Abd Allah telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari al-Zuhri telah
138
Ibid., h. 96.
139
Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), h.419.
140
Idri,dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2019), h. 158.

Studi Hadits
mengabarkan kepada saya Abu Salamah bin ‘Abd al-
Rahman bahwa Abu Hurayrah ra. berkata : Telah
bersabda Rasulullah saw. : “ Tidak ada seorang anak pun
yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan
menjadikan anak it menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang
ternbak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada
cacat padanya “. Kemudian Abu Hurairah ra. berkata,
(mengutip firman Allah surah al-Rum:30: (‘Sebagai
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus”).141

Para ulama membagi hadis ghorib dan letak


terjadinya keghariban menjadi beberapa bagian yang
secara garis besarnya kembali kepada dua bagian ini.
1. Gharib matnan wa isnadan (hadis gharib dari segi
matan dan sanadnya)
Gharib matnan wa isnadan adalah hadis yang
tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad.
Contohnya adalah hadis Muhammad bin Fudhail dari
Umarah bin al-Qa’qa dari Ibnu Zur’ah dari Abu Hurairah
r.a. Rasulullah SAW bersabda :
“Ada dua kalimat yang dicintai Allah yang maha
pengasih dan ringan diucapkan tetapi berat dalam mizan,

Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih al-


141

Bukhori, kitab al-Janaiz, bab iza mata sabiyyu. Hadis nomor 1271.

Studi Hadits
yaitu subhanallah wabihamdihi subhanallah hil adzim
(Maha suci Allah dari segala puji bagi-nya. Maha suci
Allah yang maha agung)” ( HR muttafaq Alaihi)
Hadits ini di kalangan sahabat hanya
diriwayatkan oleh Abu Hurairah lalu dari nya hanya
diriwayatkan oleh Abu zur'ah, lalu dari Abu zur'ah hanya
diriwayatkan oleh Umarah, lalu dari Umaroh hanya
diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail.142

2. Gharib isnadan la matnan (hadis gharib dari segi


sanadnya, tidak dari segi matannya)
Hadits Ghorib Isnadan la matnan adalah Hadits
yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dan
seorang Rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah
Rawi, lalu ada seorang Rawi meriwayatkannya dari jalur
lain yang tidak masyhur.
Contohnya adalah sebagaimana disebutkan oleh
Al-Turmudzi dalam Al-Ilal yaitu hadits Abu Musa Al
Asy'ari dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Orang
kafir itu makan sepenuh 7 usus sedangkan orang yang
beriman makan sepenuh 1 usus”
Al-hafiz Ibnu Rajab berkata: “Matan hadits ini
dikenal dari Nabi SAW. melalui banyak jalur. Syaikhani
mengeluarkannya dalam shahihain melalui jalur Abu
Hurairah dan jalur Ibnu Umar r.a. dari Nabi SAW.
Adapun hadits Abu Musa di atas dikeluarkan oleh

Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,


142

2014), h. 420.

Studi Hadits
Muslim melalui abu Kuraib. Hadis ini dinilai ghorib oleh
banyak ulama dari segi ini. Mereka menyebutkan bahwa
Abu Kuraib meriwayatkannya dengan menyendiri.
Diantara yang menilai demikian adalah al-Bukhari dan
Abu Zur’ah.”

Adapun bentuk hadits gharib lain adalah


1) Gharib matnan la isnadan, yakni hadis yang pada
mulanya tunggal atau (fardi) kemudian pada akhirnya
menjadi masyhur. Hadits gharib jenis ini merupakan
bagian dari hadits gharib Isnadan wa matnan, sebab
berbilangnya sanad hadits ini adalah setelah
menyendiri.
2) Gharib ba’dhul matni, yakni hadis yang sebagian
rawinya menyendiri dengan tambahan redaksinya,
seperti hadits yang artinya

Bumi ini dijadikan sebagai masjid dan sarana


bersuci bagiku
Hadits ini diriwayatkan dari 9 orang sahabat
dengan redaksi demikian. Namun Amr Bin Yahya bin
Umarah al-mazini meriwayatkannya dari bapaknya; dari
Abu Sa'id Al-Khudri dengan redaksinya sebagai berikut
yang artinya
Seluruh bumi ini itu masjid kecuali kuburan dan
kamar mandi.

Studi Hadits
Dalam redaksi yang kedua ini terdapat tambahan;
yakni istitsna atau pengecualian. Hadis yang kedua ini
harus dikembalikan kepada hadis yang pertama, karena
hadits yang kedua ini gharib isnadan wa matnan apabila
ditinjau dari adanya tambahan ini.
3) Gharib ba’dhus sanad (hadits ghorib sebagian
sanadnya), seperti hadits Yahya Bin Ayyub Al-
Ghafiqi di atas. Hadis gharib yang demikian termasuk
bagian hadits gharib Isnadan la matnan143
Kedua jenis Hadits Bukhari terakhir ini berkaitan
erat dengan pengetahuan tentang penambahan hadits oleh
Rawi tsiqat. Para ulama telah menyusun beberapa kitab
tentang masalah ini diantaranya adalah
 Kitab-Kitab yang Memuat banyak Hadits Gharib
Yaitu kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak
hadits gharib
1. Musnad Al-Bazzar
2. Mu’jam Al-Ausath At-Thabrani
 Kitab-Kitab Hadits Gharib yang Populer
1. Gharaib Malik, karya Ad-Daruquthni
2. Al-Afraad, karya Ad-Daruqthni
3. As-Sunan allati Tafarrada bikulli Sunnatin minha
Ahlu Baldatun, karya Abu Daud As-Sijistani.144

143
Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), h. 423.
144
Mahmud Thahhan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor : Pustaka
Thariqul Izzah, 2012), h. 87.

Studi Hadits
F. Hadits Aziz
Secara bahasa Aziz bermakna yang sedikit
wujudnya, yang sulit diperoleh, yang mulia, dan yang
kuat. Sedangkan secara istilah Azis adalah hadis yang
diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan, walaupun
hal tersebut terdapat pada satu thabaqah saja.145
Maksudya ialah dimasing-masing tingkatan sanad tidak
boleh kurang dari dua orang perawi. Jika di sebagian
thabaqat-nya dijumpai tiga orang atau lebih rawi, hal itu
tidak merusak (statusnya sebagai) hadits ‘aziz, asalkan di
dalam thabaqat lainnya meskipun cuma satu thabaqat
terdapat dua rawi. Sebab, yang dijadikan patokan adalah
jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang
ditetapkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar. Sebagian ulama
berpendapat bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang atau tiga orang. Mereka
tidak membedakan dalam kasus ini dengan hadits
masyhur.
Diantara contoh hadits Aziz adalah Hadits yang
dikeluarkan Al Bukhori dan muslim dari Anas Ibnu
Malik berikut :

‫ اليؤمن أحدكم‬:‫أن الرسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬


‫حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين‬

Idri,dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,


145

2019), h. 154.

Studi Hadits
Sesunguhnya Rasulullah Saw bersabda,
“Tidaklah kalian beriman sampai aku menjadi yang
paling ia cintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan
semua manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).146

Hadits ini pada thabaqat sahabat diriwayatkan


oleh Anas Ibnu Malik, kemudian diriwayatkan kepada
dua orang yaitu Qotadah dan Abdul Aziz Ibnu Suhaib.
Dari Qotadah diturunkan kepada dua orang yaitu Syu'bah
dan Husain Al Mu’allim. Dari Abdul Aziz diriwayatkan
kepada dua orang pula yaitu Abdul Haris dan Ismail.
Selanjutnya dari 4 orang perawi tersebut diriwayatkan
kepada perawi di bawahnya yang lebih banyak lagi.
Hukum hadits Aziz sama dengan hukum hadits
masyhur, yakni bergantung kepada keadaan sanad dan
matannya. Oleh karena itu, apabila pada kedua unsur itu
telah terpenuhi kriteria hadis shahih meskipun dari satu
jalur, maka hadis yang bersangkutan adalah Shahih.
Dalam kondisi yang lain ada yang Hasan dan ada pula
yang Dhaif. Hadis sahih tidak disyaratkan harus berupa
hadits Aziz, bahkan kadang-kadang berupa hadits
Gharib.147

146
Idri,dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2019), h. 154.
147
Nuruddin, Ulumul Hadis, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2014), h. 445.

Studi Hadits
Agung Susilo
Ariiq Thufeil Shidqul A.
Dzakiya Ishmatul Ulya

BAB IX
_______________________________________
PEMBAGIAN HADITS DARI
SEGI PENISBATANNYA

Studi Hadits
Dari segi penisbatannya, hadis dibagi menjadi
empat yaitu hadis qudsi, marfu’, mauquf, dan maqtu’.148

A. Pengetian Hadits Qudsi


Beserta Contohnya
Hadis qudsi adalah hadis yang disandarkan
kepada Rasulullah saw, dan oleh beliau disandarkan
kepada Allah swt.149 Contohnya adalah hadis riwayat
Imam Muslim tentang larangan berbuat zalim:

Telah menceritakan kepada kami 'Abd Allah ibn


'Abd al-Rahman ibn Bahram al- Darimi katanya, telah
menceritakan kepada kami Marwan yaitu Ibn
Muhammad al-Dimasyqi, katanya telah menceritakan
kepada kami Sa'id ibn 'Abd al-'Aziz dari Rabi'ah ibn
Yazid dari Abu Idris al-Khalwani dari Abu Dzar dari
148
Ibid., h.68
149
Ibid., h.70

Studi Hadits
Nabi saw. dalam meriwayatkan firman Allah swt yang
berbunyi: "Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah
mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zalim dan
perbuatan zalim itu pun Aku haramkan diantara kamu.
Oleh karena itu, janganlah kamu saling berbuat zalim.”

B. Hadits Marfu’ dan Contohnya


Hadis marfu’ adalah hadis yang dinisbatkan
kepada Rasulullah saw. Sebagian ulama menyebutnya
dengan al-hadis al-nabawi, yakni pernyataan yang
disandarkan kepada Rasulullah atau bersumber darinya.
Contoh hadis marfu’ adalah:

Studi Hadits
Al-Humaydi ‘Abd Allah ibn al-Zubayr berkata,
telah bercerita kepada kami Yahya ibn Sa’id al-Anshari,
katanya Muhammad ibn Ibrahim al-Taymi bercerita
kepadaku bahwa ia mendengar ‘Aqlamah ibn Waqash al-
Laytsi berkata: aku mendengar ‘Umar ibn al-Khattab
berkata di atas mimbar, katanya aku mendengar Nabi
saw. bersabda: “Sesungguhnya tiap perbuatan tergantung
pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu
sesuai dengan niatnya. Barangsiapa niat hijrahnya karena
Allah dan Rasul-Nya, maka baginya pahala hijrah karena
Allah dan Rasul-Nya.Barangsiapa niat hijrahnya karena
dunia yang hendak diperolehnya atau wanita yang
hendak dinikahinya, maka baginya pahala hijrah sesuai
dengan apa yang diniathijrahkan kepadanya.” (HR. al-
Bukhari)

C. Hadits Mauquf dan


Contohnya
Hadis mauquf adalah hadis yang dinisbatkan
kepada sabahat Nabi, atau pernyataan yang murni dari
lisan para sahabat Nabi saw. Seperti ucapan Umar bin al-
Khattab yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi berikut:

Studi Hadits
Dan telah diriwayatkan dari Umar ibn al-Khattab
dia berkata: “Hitunglah diri kalian sebelum kalian
dihitung dan persiapkanlah diri kalian untuk hari semua
dihadapkan (kepada Rabb Yang Maha Agung), hisab
(perhitungan) akan ringan pada hari kiamat bagi orang
yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia.”150
Namun demikian, jika pernyataan dalah suatu
hadis masih dihubungkan dengan kehidupan Nabi saw.
Misalnya teradapat qarinah yang bisa dipahami ke-
marfu’annya kepada Nabi seperti ucapan mereka pada
zaman Nabi saw. kami diperintah begini, dilarang begini,
diwasiati begini, dan lainnya, maka dianggap riwayat
marfu’. Misalnya ucapan Umm ‘Aṭiyyah tentang
kehadiran perempuan haid di lapangan untuk shalat hari
raya berikut:
Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Isma'il katanya telah menceritakan kepada kami Yazid
bin Ibrahim dari Muhammad dari Umm 'Atiyah, ia
berkata, "Kami diperintahkan untuk mengajak keluar
perempuan haid dan perempuan pingitan pada dua hari
raya, sehingga mereka bisa menyaksikan jama'ah kaum
Muslimin dan do'a mereka. Perempuan-perempuan yang
haid dijauhkan dari lapangan (tempat shalat) mereka.”151

150
Abu ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, kitab sifat qiamat,
penggugah hati dan wara’, hadis no. 2383.
151
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhārī, kitab al-
salah, bab wujub al-salah fi al-ṡiyab. Hadis no. 338.

Studi Hadits
D. Hadits Maqtu dan Contohnya
Hadis maqtu’ adalah riwayat yang dinisbatkan
kepada generasi setelah sahabat, yaitu pernyataan murni
dari lisan generasi tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan generasi
sesudahnya. Contohnya adalah ucapan Maymun ibn
Mihran yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmizi:

Dan telah diriwayatkan dari Maimun bin Mihran


dia berkata: “Seorang hamba tidak akan bertakwa hingga
dia menghisab dirinya sebagaimana dia menghisab
temannya dari mana dia mendapatkan makan dan
pakaiannya.”152
Maymun ibn Mihran adalah seorang zahid, faqih,
dan alim besar dari generasi tabi’in. lahir pada tahun 40
H, danwafat pada tahun 116 H.153

152
Ibid., h.100
153
Ibn Ḥajar al-Asqalāni, Tahẓ īb al-Tahẓ īb, (Kairo: Dar al-Hadis)
cet. Ke-VII h.270.

Studi Hadits
Kevin Prianka R.
Nidia Febianti
One Thowima

BAB X
_______________________________________
KAIDAH KESAHIHAN
HADITS

Studi Hadits
Sebelum penjabaran materi tentang kaidah
kesahihan hadis, perlu diuraikannya makna kaidah
kesahihan hadis itu sendiri. Kaidah secara etimologi
berasal dari Bahasa arab ‫ قاع––––دة‬yang artinya alas
bangunan, aturan, atau undang undang. Kesahihan
menurut KBBI memiliki arti perihal sahih, kebenaran,
atau kesempurnaan. Sedangkan hadis ialah sabda,
perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw yang
diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk
menjelaskan dan menetapkan hukum islam. Dalam
konteks makalah ini, kaidah keshahihan hadits dapat
dipahami sebagai aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang
telah dirumuskan oleh para ulama hadits untuk meneliti
tingkat keshahihan suatu hadits .kaidah keshahihan hadits
meliputi sanad dan matan hadits.154
Sanad dari segi Bahasa artinya sandaran atau
tempat bersandar. Sedangkan menurut istilah ialah
rangkaian urutan orang-orang yang menjadi sandaran
atau jalan yang menghubungkan satu hadis sampai pada
Nabi saw. Menurut ahli hadis, sanad yaitu jalan yang
menyampaikan kepada matan hadis. Orang yang
menerangkan sanad suatu hadis disebut musnid. Contoh
sanad: “dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang
menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari
Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda
“Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang

154
Arifudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi
(Jakarta: Renaisan, 2005), hlm 78.

Studi Hadits
yang sedang dibeli sebagian yang lainnya. (al-hadits)
dalam hadits tersebut yang dinamakan sanad adalah
“dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang
menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari
Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda”
Matan secara etimologi berarti punggung jalan,
tandus, membelah, mengeluarkan atau mengikat.
Sedangkan secara terminology, matan yaitu perkataan
yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi saw
yang disebutkan setelah sanad. Ada yang berpendapat
bahwa definisi matan adalah tujuan sanad atau isi dari
sebuah hadis. Contoh matan: Janganlah sebagian dari
antara kamu membeli barang yang sedang dibeli
sebagian yang lainnya.155

A. Kaidah Otentitas Hadits


(Kritik Sanad)
Hadis yang sahaih adalah hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dabit, serta
tidak terdapat kejanggalan (Syuzuz) dan cacatyang
samar(‘illat). Dengan demikian, hadis dapat dinyatakan
sahih apabila mmenuhi persyaratan, yang oleh M.
syuhudi ismail, disebut sebagau unsure-unsur kaidah
mayor kesahihan sanad hadis, sebagai berikut.
1. Sanad (mata rantai periwaaytan) bersambung.

155
Ibid, hlm 80.

Studi Hadits
2.Seluruh perawi delaam sanad hadis bersifat
‘adil(terpercaya)
3. Seluruh perawi dalamsanad bersifat dabit(cermat)
4. Sanad dan matan hadis terhindar dari
kejanggalan(syuzuz)
5. Sanad dan matan hadis terhindar dari cacat yang
samar(illat)156
Dengan demikian, hadis yang tidak memenuhi
salah satu unsur tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai hadis shahih.
1. Sanad atau isnad bersambung.
Sanad bersambung adalah hadis yang dari perawi
pertama sampai perawi terakhir (mukharrij/modifikator)
tidak terjadi keterputusan sanad . dengan ungkapan lain,
tiap-tiap periwayatan dalam sanad hadis menerima
riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya.
Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad
hadist itu. Hadis yang sanadnya bersambung ole para
ulama ahli hadis disebut dengan beberapa istiah
diantaranya hadis musnad, muttashil, dan mawsul.
Persoalan ketersambungan sanad merupakan
persoalan yang penting bagi diterima atau tidaknya suatu
Hadis. Bukti pentingnya persoalan ittişal al-sanad
tersebut adalah banyaknya ragam hadis daif yang
disebabkan oleh adanya keterputusan sanad, mekipun
diriwayatkan oleh perawi yang dinilai 'adil dan dābit.

156
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1998), hlm 111.

Studi Hadits
Karena hadis yang sanadnya terputus, walaupun
keterputusan sanad tersebut pada satu tempat saja
(misalnya pada generasi sahabat yang dikenal dengan
hadis al-mursah, tetap dikategorikan sebagai hadis yang
sanadnya tidak bersambung, dan derajat hadisnya daif.
Untuk menget ahui kebersambungan sanad (mata rantai
periwayatan) dapat diketahui dengan beberapa cara
mencatat semua nama para perawi yang ada dalam sanad
hingga dapat diketahui relasi guru dan murid yang
dipaparkan dalam berbagai buku bografi perawi,
mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
lewat kitab-kit ab Rijal al-Hadis, sehingga diketahui
tahun wafat antara guru dan murid, serta hubungan
kesezamanan diantara keduanya, yang diprediksi masa
jedanya enam puluh tahun, meneliti lambang
periwayatan atau sighat al-tahammul waada' al-hadis
seperti sami'tu, haddatsana, akhbarana dan sebagainya.
Sehingga perawi mudallis yang menggunakansighat "ar"
tidak dikategorikan sanadnya bersambung.157
Suatu sanad hadis dinilai bersambung jika seluruh
perawi dalam sanad tersebut terbukti benar-benar
bertemu (telah terjadi hubungan periwayatan) menurut
kaidah al-tahammulwa ada' al-hadis antara para perawi
dengan perawi terdekat sebelumnya.

2. Perawi ‘Adil
157
Ibid, hlm 65.

Studi Hadits
Secara lughawi kata 'adil berasal dari bahasa
Arab berarti pertengahan, lurus atau condong kepada
kebenaran. Sedangkan secara istilah, para ulama
memiliki ragam pendapat. Gabungan dari berbagai
pendapat itu memunculkan lima belas macam kriteria,
yaitu beragama Islam, baligh, berakal, taqwa,
memelihara muru'ah, teguh dalam agama, tidak terlibat
dosa besar, tidak membiasakan dosa kecil, tidak berbuat
bid'ah, tidak fasik, tidak ahli maksiat, menjauhi
perbuatan mubah yang merusak muru'ah, akhlaknya baik,
dipercaya beritanya, biasanya benar. Dari kriteria-kriteria
tersebut dapat dipadatkan menjadi empat kriteria
keadilan seorang rawi, yaitu:
a. beragama Islam.
b, mukallaf.
c. melaksanakan ketentuan agama
d. memelihara muru'ah.158
Persyaratan beragama Islam berlaku bagi
kegiatan meriwayatkan hadis, sedangkan untuk kegiat an
menerima hadis tidak didisyaratkan beragama Islam.'
Jadi, boleh Saja perawi ketika menerima hadis belum
beragama Islam, tetapi ketika meriwayatakan ia harus
beragama Islam. Demikian pulapersyaratan mukallaf
(baligh dan berakal sehat) merupakansyarat bagi kegiatan
menyampaikan hadis. Karena itu, apabila ketika
melakukan kegiatan menerima hadis, perawi belum

158
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1998) hlm 67.

Studi Hadits
baligh tetap dianggap sah selama sang perawi sudah
tamyiz. Sedangkan maksud kriteria taat menjalankan
agama adalah teguh dalam beragama, tidak menjalankan
dosa besar, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat maksiat
dan harus berakhlaq mulia. Adapun maksud memelihara
muru'ah adalah selalu memelihara kesopanan pribadi
yang membawa manusia untuk dapat menegakkan
kebajikan moral dan kabajikan adat istiadat.' Untuk
mengetahui keadilan perawi hadis, para ulamatelah
menetapkan ketentuan sebagai berikut:
a. Berdasar popularitas keutamaan perawi di kalangan
para ulama.
b. Berdasar penilaian para kritikus hadis,
c. Berdasar penerapan kaidah al-jarh wa al-ta'dil.
Cara ini ditempuh apabila para kritikus perawi
tidak terbukti menyepakati kualitas pribadi perawi
tertentu Jadi, penetapan keadilan perawi diperlukan
kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah ulama
kritikus hadis.
Al-Razi, sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman,
memberikan definisi al-'adalah (keadilan) sebagai tenaga
jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa,
menjauhi dosa- dosa besar, menjauhi kebiasaan
melakukan dosa kecil, dan meninggalkan perbuat an-
perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan,
seperti makan di jalan unmum, buang air kecil di tempat
yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang
berlebih-lebihan. Inti dari keadilan perawi adalah tidak

Studi Hadits
adanya sikap kesengajaan dusta kepada Rasulullah saw.
Adapun terjadinya kekeliruan perawi dalam
penukilannya adalah hal yang manusiawi.
Definisi yang dikemukakan al-Razi di atas telah
mencakup materi yang terkandung dalam definisi
pertama, bahkan terkait erat dengan persoalan etik yang
paling mendasar yaitu jiwa. Keadilan seorang perawi
terkait erat dengan aspek moralitas yang menjadi kajian
penting dalam ilmu hadis.

3. Perawi Dabiț
Secara harfiyah makna dabit berarti kuat, tepat,
kokoh dan hafal dengan sempurna. Sedangkan secara
istilah, berhubungan dengan kapasitas intelektual
periwayat hadis. Secara umum, keriteria dābit itu
dirumuskan dengan tiga macam kapabilitas, sebagai
berikut:
a. Perawi dapat memahami dengan baik riwayat yang
telah didengarnya
b. Perawi hafal dengan sempurna setiap riwayat yang
telah didengarnya.
c. Perawi mampu menyampaikan kembali riwayat yang
telah didengar itu dengan baik.
Ketiga kriteria di atas menurut para ulama disebut
sebaoni dabit sadr. Selain dabit sadr ini dikenal pula
istilah dabit kitābah, yaitu sifat yang dimiliki perawi
yang memahami dengan sangat baik tulisan hadis yang
dimuat dalam kitab yang dimilikinya, dan mengetahui

Studi Hadits
dengan sangat baik letak kesalahan yang ada dalam
tulisan yang ada padanya itu, Sedangkan kadaan atau
perilaku yang dapat merusak kedhabitan adalah sebagai
berikut:
a. Dalam meriwayat kan hadis lebih banyak salahnya.
b. Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya.
c. Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung
kekeliruan.
d. Riwayat yang disampaikannya bertentangan dengan
riwayat perawi yang siqah, jelek hafalannya, walaupun
ada sebagian periwayatannya yang benar.159
Dengan demikian, perawi dābit adalah perawi
yang mampu menjaga hadis melalui ingatan (hafalan)
ataupun tulisan. Apabila ia menyampaikan hadis, maka
hafalannya sangat tepat, dan apabila ia menulis hadis,
maka tulisannya akurat. Kecermatan yang pertama
disebut dābiț shadr, sedangkan kecermatan yang kedua
disebut dabt kitabah. Apabila kecermatan perawi
diriwayatkannya şahih. Apabila kecermatannya kurang
kuat, (qalil al-dabt), maka derajat hadis yang
diriwiyatkannya menurun menjadi hadis hasan.
Sedangkan bila kecermatannya kuat, maka hadis yang
disampaikannya berstatus daif.
Baik adil maupun dabit merupakan syarat yang
harus dimiliki oleh seorang perawi hadis.Jika keadilan
perawi berkaitan dengan moral, maka ke-dabit-an perawi
terkait erat dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua
159
Ibid, hlm 70-71.

Studi Hadits
sifat itu melekat pada pribadi seorang perawi, maka yang
bersangkutan lazim disebut perawi siqah.
Untuk mengetahui ke-dabit-an perawi dapat
diketahui berdasarkan kesaksian ulama dengan merujuk
kepada buku-buku biografi perawi dan yang lebih
spesifik adalah literature al-jarh wa al-ta'dil.

4. Tidak Mengandung Unsur Syužüz


Para ulama berbeda pendapat mengenai
pengertian syuzuz suatu hadis. Dari berbagai pendapat
yang ada, yang paling populer dan banyak diikuti sampai
saat ini adalah pendapat imam al-Syafi'i (wafat 204
H/820 M), yaitu hadis yang diriwayat kan oleh seorang
yang siqah tetapi riwayat tersebut bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang
juga bersifat siqah. Pendapat imam al-Syafi'i tersebut
dapat dinyatakan bahwa kemungkinan suatu hadis
mengandung syuzuz, apabila hadis tersebut memiliki
sanad lebih dari satu. Apabila diriwayatkan oleh seorang
perawi šiqah saja, dan pada saat yang sama tidak ada
perawi siqah lainnya yang meriwayatkan, maka hadis
tersebut tidak dinyatakan mengandung syuzuz. Dengan
kata lain, hadis yang memiliki satu sanad saja tidak ada
kemungkinan mengandung syuzūž.
Dengan pengertian bahwa hadis syuzuz adalah
hadis yang memiliki sanad lebih dari satu, di mana salah
satunya diriwayatkan oleh seorang rawi yang siqah,
tetapi riwayat tersebut bertentangan dengan sanad hadis

Studi Hadits
lainnya yang juga bersifat siqah, maka satu langkah
penting untuk menetapkan kemungkinan terjadinya
syužüż dalam hadis adalah dengan cara membanding-
bandingkan satu hadis dengan hadis lain yang satu tema.
Para ulama mengakui bahwa penelitian tentang syužuž
ini hanya bisa dilakukan oleh peneliti yang memiliki
kedalaman ilmu di bidang hadis, dan penelitian ini
dianggap lebih sulit dari pada penelitian illat hadis. 160
Dalam ungkapan yang lebih sederhana, syuzüž
adalah kejanggalan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
perawi šiqah. Penyebab kejanggalannya adalah riwayat
tersebut bertentangan dengan hadis lain satu tema yang
diriwayatkan oleh banyak perawi yang lebih siqah.
Dengan demikian, di samping ukurannya adalah kualitas
riwayat, juga secara kuantitas sanadnya, perawi siqah itu
kalah banyak dengan perawi siqah menyelisihinya.
Kaitannya dengan syužüž ini terdapat wacana bahwa
hadis apapun derajatnya, termasuk hadis mutawatir, jika
lahiriahnya bertentangan dengan ajaran al-Qur'an maka
disebut disebut hadis syaz. Pendapat ini tidak popular
karena pada hakekatnya antara hadis şahih dengan al-
Qur'an tidak akan terjadi pertentangan, mengingat al-
Qur'an adalah sumber prinsip dari hadis. Adalah tidak
mungkin cabang bertentangan dengan pokoknya. Jika
terjadi pertentangan kemungkinannya ada dua, yaitu
pemahaman yang kurang luas sehingga tidak mampu
memadukan di antara keduanya. Atau pertentangan yang
160
Ibid, hlm 80.

Studi Hadits
terjadi sifatnya sepintas bukan pertentangan yang
sejatinya.

B. Kaidah Validitas Hadits


(Kritik Hadits)
Secara etimologi matan berarti punggung jalan,
tanah yang tinggi dan keras. Adapun matan menurut ilmu
hadits adalah isi hadits. Matan hadits terbagi tiga, yaitu
ucapan,perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad Saw.
Memang keshahihan hadits tidak menjamin keakuratan
(validitas) teksnya. Secara umum kajian kritik matan
hadits dapat disebutkan bahwa lingkup pembahasannya
adalah terkait dengan matan hadits.  Matan hadits disini
memiliki beberapa kriteria untuk dilakukan kritik matan
terhadapnya. Yang pertama, terkait dengan lafaznya, jika
dalam lafaz hadits terdapat pertentangan dengan Alquran,
maka kritik terhadap matan hadits harus dilakukan
sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh Saydatuna
Aisyah tentang sebuah hadits yang menurutnya
bertentangan dengan sebuah ayat alquran. Yang kedua
adalah terkait maknanya, jika makna satu hadits
bertentangan dengan hadits yang lain maka harus
dilakukan kritik terhadap matan hadits. Hal ini dilakukan
dengan membandingkan redaksi matan antara para ahli
hadits dengan mendengarkan hafalannya masing-masing.

Studi Hadits
Dari persyaratan keshahihan hadits di ketahui
bahwa matan yang shahih adalah matan yang selamat
dari syudzuz dan illat.

1.    Matan Hadits Terhindar dari Syuzudz


Syuzudz, dengan arti janggal. Syuzudz pada
matan didefinisikan dengan adanya pertentangan atau
ketidak sejalanan riwayat seorang perowi yang
menyendiri dengan seorang perowi yang lebih kuat
hafalan/ ingatannya. Berdasarkan pendapat imam al-
Syafi’i dan al- Khalili dalam masalah hadits yang
terhindar dari syudzuz adalah:
a. Sanad dari matan yang bersangkutan harus mahfud dan
tidak ghaib
b. Matan hadits bersangkutan tidak bertentangan atau
tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat.
Konsekuensi di atas dalam melakukan penelitihan
terhadap matan hadits yang mengandung syazd adalah
bahwa penelitihan tidak dapat terlepas dari penelitihan
atas kualitas sanad hadits yang bersangkutan. Dengan
demikian langka metodologis yang perlu ditempuh untuk
mengetahui apakah suatu matan hadits itu terdapat
syuzudz atau tidak adalah:
a. Melakukan penelitihan terhadap kualitas sanad matan
yang di duga bermasalah.
b. Membandingkan redaksi matan yang bersangkut
dengan matan-matan lain yang memiliki sanad berbeda.

Studi Hadits
c.  Melakukan klarifikasi keselarasan antar redaksi matan-
matan hadits yang mengangkat tema sama.
Dengan kegiatan ini akan di peroleh kesimpulan,
mana matan yang mahfudz dan matan yang janggal
( syadz).161 Untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus di
lakukan pengglihan data dengan menempuh langka
takhrij bi al-maudlu’.

2. Matan Hadits Terhindar dari ‘illat


Pada bagian ini lebih di tekankan akan kaidah
minor dari kaidah terhindar matan hadits dari ‘illat.
Kaidah minor matan hadits yang terhindar dari ‘illat
adalah:
a. Tidak terdapat ziyadah ( tambahan) dalam lafadz.
b. Tidak terdapat idraj ( sisipan) dalam lafadz matan.
c. Tidak terjad idztirab ( pertentangan yang tidak dapat di
kompromikan) dalam lafadz matan hadits.
d. Jika ziyadah, idraj, dan idztirab bertentangan dengan
riwayat yang tsiqat lainnya, maka matan hadits tersebut
sekaligus mengandung syuzudz.
Langka metodologis yang perlu di tempuh dalam
melacak dugaan illat pada matan hadits adalah:
1. Melakukan tahrij ( melacak keberadaan hadit) untuk
matan bersangkutan, guna mengetahui seluruh jalur
sanadnya.

161
Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: Teras,2004), hlm
54.

Studi Hadits
2. Melakukan kegiatan i’tibar guna mengkategorikan
muttaba’ tam / qashir dan meghimpun matan yang
bertema sekalipun  berujung pada akhir sanad ( nama
sahabat) yang berbeda ( syahid).
3. Mencermati data dan mengukut segi-segi perbedaan
atau kedekatan pada: nisbah ungkapan kepada nara
sumber, pegantar riwayat dan susunan kalimat matannya,
kemudian menentukan sejauh mana unsure perbedaan
yang teridentifikasikan.162 Selanjutnya akan di peroleh
kesimpulan apakah kadar penyimpangan dalam
penuturan riwayat matan hadits masih dalam batas
toleransi ( illat khafifah) atau sudah pada taraf merusak
dan memanipulasi pemberitaan ( illat qadihah).
Selain di atas, khusus untuk penelitihan matan, di
samping menggunakan pendekatan kaidah syudzud dan
illat, para ulama juga merumuskan acuan standar yang
lain untuk menilai keabsahan matan hadits. Secara
umum, secara umum matan hadits dapat dikatakan sahih
apabila:
a. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.
b. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.
c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan
sejarah.
d. Susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri lafaz
kenabian,yaitu: tidak rancu,  sesuai dengan kaidah
bahasa Arab, fasih.

162
Ibid, hlm 103.

Studi Hadits
C. Prinsip - Prinsip dalam
Memahami Hadits
Pemaknaan teks hadis sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan pemaknaan teks-teks keagamaan pada
umumnya, yaitu sangat kompleks dan tidak sederhana.
Teks adalah bahasa yang memiliki banyak aspek di
dalamnya yang berhadapan dengan konteks sosial
budaya pada saat teks itu muncul. Belum lagi persoalan
pelapor dan penulis yang melatar belakang budaya
beragam, juga perjalanan waktu yang berabad – abad
hingga sampai pada masa kini. Distansi waktu, tempat,
dan suasana kultural antara kekinian manusia dengan
sabda kenabian sudah barang tentu menyebabkan
keterasingandan kesenjangan di satu sisi yang lain.
Perseolanketerasingan inilah yang menjadi perhatian
sejumlah pemikir kritis untuk ikut berkontribusi dengan
memberikan pandangan baru bagi teori pemaknaan hadis.
Kontribusi ini dilandasi kesadaran akan adanya
determinasi yang turut menentukan sebuah proses
pemahaman, baik determinasi yang berasal dari wilayah
sosial, budaya, politik, bahkan dari wilayah psikologis.
Fakta yang ditemukan dalam khazanah hadis
adalah terdapatnya hadis – hadis yang kontradiktif dan
problematis. Ada sejumlah teori yang telah diciptakan
para ulama sebagaicara penyelesaiannya.Diantara teori-
teori tersebut terdapat prinsip-prinsip yang seyogyanya
dikuasai oleh peminat studi hadis, agar nilai-nilai luhur

Studi Hadits
dalam sabda kenabian fungsional dalam kekinian hidup
manusia, yaitu :
1. Prinsip konfirmatif
Yaitu mengkonfirmasi makna hadis dengan petunjuk
al-Qur’an
2. Prinsp tematis komprehensif
Yaitu teks-teks hadis dipahami sebagai kesatuan yang
integral, sehingga dalam pemaknaannya harus
dipertimbangkan hadis lain yang relevan guna
pencarian makna yang komprehensif
3. Prinsip linguistik
Mengingat hadis terlahir dalam wacana kultural dan
bahasa Arab, maka prosedur-prosedur gramatikal
bahasa Arab harus diperhatikan
4. Prinsip histori
Yaitu memahami latar belakang sosiologis masyarakat
Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus
yang melatar belakangi munculnya hadis Nabi
5. Prinsip realistik
Yakni selain memahami latar situasional masa lalu
dimanasuatu hadis muncul, juga memahami latar
situasional kekinian masyarakat dengan melihat
realitas kehidupan dan problem krisis yang dialami
6. Prinsip distingsi etis dan legis
Bahwa hadis-hadis hukum tidak saja dipahami sebagai
kumpulan aturan perundangan, tetapi ia mengandung
nilai-nilai etis yang dalam
7. Prinsip distingsi instrumental dan intensional

Studi Hadits
Hadis nabi diatasmemiliki dimensi instrumental
(wasilah) yang sifatnya temporal dan partikular, juga
memiliki dimensi intensional (ghayah) yakni yang
sifatnya permanen dan universal.163

163
Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 23-29.

Studi Hadits
Asiqotul Khusniyah
Inamatur Rizqy
M. Rijal Bagus Hernanda

BAB XI
_______________________________________
ILMU AL-JARH WA AL-
TA’DIL

Studi Hadits
A. Pengertian Al-Jarh wa Al-
Ta’dil
Kalimat jarh wa ta’dil merupakan satu dari
kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-
jarh dan al-adl. Secara bahasa, kata al-jarh merupakan
mashdar dari kata jaraha-yajrahujarhan-jarahan yang
artinya melukai, terkena luka pada badan atau menilai
cacat (kekurangan). Kalimat: hakim men-jarah saksi,
artinya nilai keadilan si saksi menjadi gugur karena
kebohongannya.164 Jika demikian, kesaksiannya ditolak.
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat
dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau
mencatatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya
atau bahkan tertolak riwayatnya. pengertian al-adl secara
etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang adil
berarti orang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri
seseorang berarti menilainya positif. Adapun secara
terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki
sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Dapat disimpulkan bahwa Jarh wa al ta’dil berarti
menilai adil seorang periwayat hadist dengan sifat-sifat
tertentu yang membersihkan diri nya dari kecacatan
berdasarkan sifat yang tampak dari luar. Apa yang

3Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadiits,


164

(Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 98.

Studi Hadits
dimaksud dengan adil di sini tentu bukan adil dalam
konteks hukum dan kriminal seperti yang ada dalam
literatur bahasa Indonesia sekarang ini, tetapi lebih
merupakan penggambaran atas kualitas moral, spiritual,
dan relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah dhabit
sendiri merupakan gambaran atas kapasitas intelektual
sang perawi yang benar-benar prima.

B. Karakteristik Perawi
1. Definisi Rawi dan Gelar Keilmuannya
a. Tingkatan Ta’dil
Dalam melakukan jarh, para ulama telah
menetapkan adanya beberapa tingkatan, antara lain:
Tingkatan pertama, yakni para sahabat, disini
terdapat satu jargon yang cukup terkenal kullu
shahabat ‘udul (semua sahabat adalah adil).
Tingkat kedua, yakni tingkatan orang-orang
yang direkomendasikan para ulama dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan yang hiperbolis,
misalnya awtsaqu al-nas (manusia paling tsiqqah),
adhbath al-nas (manusia paling cerdas), ilayhi
muntaha al-tashabit (dialah puncak kesalahan), dan
lain-lain.
Tingkat ketiga, yakni tingkatan orang-orang
yang dipuji para ulama dengan ungkapan ganda yang
berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi hafal),
tsiqqah tsubat (tsiqqah lagi kuat), dan lain-lain atau

Studi Hadits
dengan satu ungkapan yang di ulang, misalnya
tsiqqatu tsiqqah, dan lain-lain. Pengulangan ungkapan
yang paling banyak adalah yang dilakukan ibnu
‘uyaynah berakata, “dia itu tsiqqah, tsiqqah, tsiqqah,
tsiqqah, …, (hingga Sembilan kali).
Tingkatan keempat, yakni tingkatan orang-orang
yang dipuji para ulama dengan memakai satu
ungkapan yang menunjukkan bahwa orang yang
bersangkutan adalah tsiqqah, misalnya dengan kata-
kata tsabat, hujjah, ka annahu mushaf, ‘adil, dhabit,
qawi, dan lain-lain.
Tingkatan kelima, yakni tingkatan orang-orang
yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-
ungkapan yang lebih dekat dengan ungkapan-
ungkapan seperti la ba’sa bih, laysa bihi ba’s (tidak
apa-apa), shuduq (jujur), khiyar al-khalaq (orangorang
pilihan), dan sebagainya.
Tingkatan keenam, yakni tingkatan orang orang
yang dikomentari para ulama dengan ungkapan
ungkapan yang lebih dekat dengan celaan, misalnya
dengan katakata laysa bi ba’id ‘an al-shawab (ia tidak
jauh dari kebenaran)’, yurwa haditsuhu (hadisnya
diriwayatkan), ya’tabiru bihi (ia hanya dipakai untuk
i’tibar) dan sebagainya2 .
Adapun hukum untuk tingkatan At-Ta‟dil
terbagi tiga, yakni: 1) untuk tiga tingkatan pertama,
dapat dijadikan hujjah, meskipun sebahagian mereka
lebih kuat dari sebahagian yang lain, 2) adapun

Studi Hadits
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah. Tetapi hadis mereka boleh ditulis, dan diuji
kedhabithan mereka dengan membandingkan hadis
mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dhabith.
Jika sesuai dengan hadis mereka, maka bisa dijadikan
hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak, dan 3)
untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah.
Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai
pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, kerana
mereka tidak dhabith.

b. Tingkatan Jarh
Sebagaimana ta’dil yang mengungkapkan
banyak ragam ungkapan, jarh juga sama, yakni
menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Berikut
ini tingkatantingkatan jarh dari yang palig ringan
(agak mendingan) hingga paling parah.
Pertama, tingkatan para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan
seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan dalam
dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbincangkan
adalah sesuatu yang paling rendah), laysa bi al-qawi,
laysa bi al matin (tidak kuat), laysa bi hujjah (tidak
bisa dipakai hujjah), laysa bi al-hafizd (bukan orang
hafiz), dan lain-lain.
Kedua, tingkatan tingkatan yang lebih buruk
dari tingkatan diatasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan

Studi Hadits
seperti la yuhtaju bihi (ia tidak dibutuhkan),
mudhtarib al-hadits (haditsnya kacau), haditsuhu
munkar (lahu munakar), lahu munakir (ia punya
hadits-hadits munkar), dhaif (lemah), atau munkar
menurut selain Al-Bukhari, sebab Al-Bukhari sendiri
pernah berkata, “setiap perawi yang aku komentari
sebagai munkirul hadits, maka tidak halal
meriwayatkan hadits darinya”.
Ketiga, tingkatan yang lebih buruk dari
tingkatan diatasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan
seperti fulan rudda haditsuhu (ia ditolak haditsnya),
mardud al-hadits (haditsnya ditolak), dhaif jiddan
(sangat lemah), la yaktab haditsuhu (haditsnya tidak
boleh ditulis) mathruh al-hadist (hadits yang
diriwayatkannya harus dibuang), mathruh (dibuang) la
tahillu kitabah jaditsuhu (tidak halal menulis
haditsnnya), laysa bi syai’in (tidak ada apa-apanya), la
yastasyhidu bi haditsihi (haditsnya tidak boleh dipakai
sebagai penguat), dan lain-lain.
Keempat, tingkatan yang lebih buruk dari
tingkatan diatasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan
seperti fulan yasyriq al-hadits (ia mencuri hadits),
muttaham bi al-kidzb (dituduh sebagai seorang
pendust), muttaham bi al wadh’ (dituduh sebagai
seorang pemalsu), saqith (perawi yang gugur), dzahib
al-hadist (hadistnya hilang), majma’ ‘ala tarkihi (para

Studi Hadits
ulama telah sepakat untuk meninggalkannya), halik
(perawi yang binasa), huwa’ala yadai’adlin (ia berada
di depan orang yang adil), dan lain-lain.
Kelima, tingkatan yang lebih buruk dari
tingkatan diatasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan
seperti dajjal (sidajjal), kadzdzab (tukang dusta),
wadhadha’ (tukang pemalsu hadist), dan lain-lain.
Keenam, tingkatan yang lebih buruk dari
tingkatan ditasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan
hiperbolis (mubalaghah) seperti akdzab al-nas
(manusia yang paling dusta), ilayhi muntaha al-kidzb
(dialah puncak kebohongan), huwa ruknul-kidzb
(dialah soko guru kebohongan), manba’ alkhidzb
(sumber kebohongan), dan lain-lain.
Tentang empat tingkatan terakhir, al-syakhawi
berkata, “tidak layak bagi seorang untuk
menggunakan salah satu hadits mereka baik untuk
berhujjah, syahid (penguat), maupun I’tibar”.
Sementara itu, hukum tingkatan-tingkatan Al-
Jarh terbagi atas dua, yakni: 1) untuk dua tingkatan
pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap
hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja dan tentunya orang untuk tingkatan
kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan
pertama, 2) empat tingkatan terakhir tidak boleh

Studi Hadits
dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak
dianggap sama sekali.

2. Sifat-sifat Rawi yang Diterima


dan yang Ditolak Riwayatnya
Informasi dari kalangan ulama kritikus perawi
hadis sangat dibutuhkan untuk mengenali keadaan
pribadi para perawi hadis. Ulama yang ahli dalam bidang
kritik para periwayat hadis disebut sebagai al jarh wal
mu’addil. Jumlah mereka relative tidak banyak sebab
syarat-syarat untuk menjadi dan diakui sebagai kritikus
hadis tidak ringan.165 Hanya kritikus yang memenuhi
syarat saja yang dapat dipertimbangkan kritikannya
untuk menetapkan kualitas perawi hadis. Untuk itu, tidak
setiap kritikan tentang kualitas perawi harus diterima.166
Pada garis besarnya terdapat dua persyaratan
penting yang harus dipenuhi oleh kritikus perawi hadis,
yaitu :
1. Syarat yang berkenaan dengan sifat pribadi
a) Bersifat adil adalah sifat yang tetap terjaga ketika
melakukan penilaian terhadap perawi hadis.
b) Tidak bersifat fanatik terhadap aliran yang
dianutnya.

165
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ulumul Hadis, (Jakarta :
Amzah, 2012) hlm 70
166
Ahamd ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhah al Nazar Syarh
Nukhbah al-Fikar, (Semarang : Maktabah al Munawwar, tth) hlm
67-68

Studi Hadits
c) Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang
berbeda aliran dengannya.
2. Syarat yang berkenaan dengan penugasan
pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam yang berkaitan
dengan, yakni :
a) Ajaran Islam.
b) Bahasa Arab.
c) Hadis dan Ilmu Hadis.
d) Pribadi Perawi yang dikritiknya.
e) Adat Istiadat.
f) Sebab-sebab yang menterbelakangi sifat-sifat
ulama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.
Di samping syarat-syarat tersebut, mereka juga
terikat oleh norma-norma tertentu dengan tujuan untuk
menjaga objektivitas penilaian secara bertanggung jawab
dan menjaga dari segi akhlak mulia. Norma – norma
yang harus diperhatikan oleh ulama kritikus periwayat
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kritik tidak boleh hanya mengemukakan sifat – sifat
tercela yang dimiliki perawi saja, tetapi juga
mengemukakan sifat – sifat utamanya.
2. Sifat – sifat utama yang dikemukakan oleh kritikus
dapat berupa penjelasan secara global. Hal ini didasari
oleh pertimbangan bahwa sifat seseorang sulit
diungkapkan secara detail.

Studi Hadits
3. Sifat – sifat tercela yang diungkapkan secara rinci dan
tidak dinyatakan secara berlebihan. Artinya harus secara
wajar sebatas pada hal – hal yang berhubungan
periwayatan hadis, disamping itu harus sopan.167

167
Muhammad Ajjaj al-Khafib, Usul al-Hadis, h. 266-268

Studi Hadits
Farah Dwi W.
Ika Nuril Abidah

BAB XII
_______________________________________
PERANAN ULAMA KRITIKUS
PERIWAYAT HADITS

Studi Hadits
A. Peranan Ulama Kritikus
Periwayat Hadits dalam
Penetapan Sifat Adilah dan
Dabit Perawi
Manusia bukan tempat segala hal yang sempurna,
setiap dari mereka pasti pernah melakukan kesalahan.
Ulama’ Al-Jarh wa Al-Ta’dil merupakan mereka yang
menjadikan manusia buta akan kebenaran menuju ke
jalan yang benar sesuai dengan ketentuan dan ketetapan
Allah SWT.168 Peran ulama’’ al-jarh wa ta’dil terhadap
para perawi hadits sangat penting dalam menetapkan
sifat ‘adalah dan dabit perawi, oleh karena itu para
ulama’’ kritikus perawi hadits menetapkan syarat-syarat
tertentu bagi para perawi hadits untuk mengetahui
kualitas perawi hadits. Selain itu, peranan ulama’’ al-jarh
wa ta’dil lainnya yaitu:
1. Meneliti suatu sanad hadis itu apakah lemah atau kuat.
2. Menghindarkan suatu sanad dari keadaan meragukan.
3. Melakukan penelitian sanad hadis secara mendalam;
bagian lambang-lambang, periwayat.
4. Penelitian terhadap matan hadis; pendekatan sejarah,
rasio, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
5. Pengkajian sejarah para periwayat hadis.
6. Penghimpunan hadis secara massal dan resmi.
https://asysyariah.com/ulama’-al-jarh-wa-at-tadil-sosok-penjaga-
168

dan-pembela-agama-allah/ diakses pada 25 Mei 2020.

Studi Hadits
7. Mengadakan I’tibar untuk mengetahui keadilan dari
periwayat hadis.

B. Syarat Ulama Kritikus


Periwayat Hadits (Al-Jarh wa Al-
Ta’dil)
Ulama’ yang ahli di bidang kritik para perawi
hadits disebut al-jarih wal-muaddil. Melakukan jarh dan
ta’dil merupakan pekerjaan yang rawan sebab
menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi
yang akan ditentukan periwayatannya mengenai diterima
atau ditolaknya suatu hadits, maka jumlah ulama’
kritikus periwayat hadits ini tidak banyak dan
syarat₋syarat untuk diakui sebagai seorang ulama’
kritikus perawi hadits juga tidak ringan. Selain itu ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
a. Syarat dan norma yang harus diperhatikan ulama’
kritikus perawi hadits
1) Harus seorang yang ‘alim (berilmu
pengetahuan)
2) Bertaqwa
3) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat, dosa kecil, dan makruhat)
4) Jujur
5) Belum pernah dijarh
6) Menjauhi fanatik golongan

Studi Hadits
7) Mengetahui sebab₋sebab untuk menta’dilkan
dan mentajrihkan
Apabila persyaratan₋persyaratan ini tidak
terpenuhi maka periwayatannya tidak diterima. Ada pula
yang mengklasifikasikan syarat seorang ulama’ kritikus
perawi hadits menjadi dua, yaitu persyaratan yang
berkenaan dengan sikap pribadi dan persyaratan yang
berkenaan dengan penguasaan pengetahuan.169
1) Syarat yang berkenaan dengan sifat pribadi
a) Bersifat adil. Dalam konteks ilmu hadits dan sifat
adil itu tetap terpelihara ketika melakukan
penilaian terhadap perawi hadits
b) Tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang
dianutnya
c) Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang
berbeda aliran dengannya.
2)Syarat yang berkenaan dengan penguasaan
pengetahuan
a) Ajaran Islam
b) Bahasa Arab
c) Hadits dan ilmu hadits
d) Pribadi perawi yang dikritiknya
e) Adat istiadat
f) Sebab₋sebab keutamaan dan ketercelaan
170
periwayat.

169
Idris, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) h.296
170
Idri dkk, Studi Hadits, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2019)
cet. Ke-9, Jilid 2, h.219

Studi Hadits
Selain kedua syarat yang harus dipenuhi oleh
ulama’ kritikus perawi hadits tersebut, ada pula syarat
diterimanya al-jarh wa ta’dil
1) Al-jarh wa ta’dil diucapkan oleh ulama’ yang telah
memenuhi segala syarat sebagai ulama’ al-jarh wa
ta’dil
2) Jarh tidak dapat diterima kecuali djelaskan sebab-
sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus
disertai penjelasan sebab-sebabnya
3) Dapat diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan
sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak
ada yang menta’dilkannya171
Selain syarat₋syarat tersebut, para kritikus perawi
hadits juga terikat oleh norma₋norma tertentu ketika
melakukan kritikannya, tujuannya adalah untuk menjaga
obyektifitas penilaian secara bertanggung jawab dan
menjaga dari segi akhlak mulia.
Adapun norma₋norma yang harus diperhatikan
oleh ulama’ kritikus perawi hadits, yaitu
1) Kritik tidak boleh hanya megemukakan sifat₋sifat
tercela yang dimiliki perawi saja, tetapi juga
mengemukakan sifat₋sifat utamanya
2) Sifat₋sifat utama yang dikemukakan oleh kritikus
dapat berupa penjelasan secara global. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa sifat utama seseorang
tidak terbatas dan sulit diungkapkan secara rinci

171
TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Jilid 2, h.41

Studi Hadits
3) Sifat₋sifat tercela yang diungkapkan secara rinci, dan
tidak dinyatakan secara berlebihan. Artinya cara
penjelasannya harus secara wajar sebatas pada hal₋hal
yang berhubungan periwayatan hadits, di samping
juga harus sopan.172
b. Sikap ulama’ kritikus perawi hadits
1) Sikap yang ketat (tasyaddud)
2) Sikap yang longgar (tasahul)
3) Sikap yang berada di tengah ₋ tengah antara
keduanya, yakni moderat (tawasut).
Ulama’ yang dikenal sebagai mutasyaddid
ataupun mutasahil, ada yang berkaitan dengan sikap
dalam menilai keshahihan hadits dan ada yang berkaitan
dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan
hadits. Ulama’ yang dikenal sebagai mutasyaddid adalah
An₋Nasa’i dan Ibn Al₋Madini. Al₋Hakim
An₋Naisaburi dan Jalaludin As₋Suyuti dikenal sebagai
mutasahil dalam menilai keshahihan hadits, sedangkan
Ibn Al₋Jawzi dikenal sebagai mutasahil dalam
menyatakan kepalsuan hadits. Sementara Al₋Zahabi
dikenal sebagai mutawasit dalam penilaian periwayat dan
kualitas hadits.
Perbedaan sikap para kritikus hadits tersebut
membuat penilaian yang dilakukan tidak hanya berfokus
pada periwayat haditsnya saja, melainkan para
kritikusnya juga.

172
Ibid.

Studi Hadits
C. Tata Tertib Ulama Al-Jarh wa
Al-Ta’dil
Tata tertib yang perlu diperhatikan oleh para
ulama’ al-jarh wa ta’dil ketika akan mentajrih dan
menta’dilkan seorang perawi hadits, diantaranya :
1) Bersikap objektif dalam tazkiyah, tidak meninggikan
seorang rawi dari tingkatan yang sebenarnya dan juga
sebaliknya
2) Tidak boleh menjarh melebihi kebutuhan karena jarh
itu disyariatkan lantaran darurat, sementara darurat itu
ada batasnya
3) Tidak boleh mengutip jarh saja sehubungan dengan
orang yang dinilai jarh oleh kritikus, tapi dinilai adil
oleh sebagian yang lainnya, karen sikap yang
demikian itu berarti telah merampas hak rawi yang
bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap
tersebut
4) Tidak boleh jarh menjarh seorang rawi yang tidak
perlu dijarh karena hukumnya disyariatkan lantaran
darurat.173

173
TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Jilid 2, h.40

Studi Hadits
D. Bentuk dan Tingkatan Lafal
Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Dalam menilai seorang perawi, para kritikus hadits
sering mengungkapkannya dalam bentuk kata atau
kalimat tertentu. Penggunaan kata atau kalimat tertentu
untuk menerangkan kualitas seorang perawi yang
diperkenankan oleh ulama’, sepanjang kata atau kalimat
itu mempunyai pengertian yang jelas. Mengingat jumlah
perawi hadits yang sangat banyak dan kualitasnya
beragam, maka kata atau kalimat yang dipakai untuk
menyifati mereka juga beragam.
Terdapat pengelompokan kata atau kalimat oleh
ulama’ hadits yang dipakai untuk menyifati seorang
perawi dalam peringkat-peringkat tertentu.
Pengelompokan itu mencakup sifat-sifat ketercelaan dan
keterpujian perawi. Dalam ilmu hadits, hal ini disebut
dengan istilah muratib alfaz al-jarh wa al-ta’dil yang
artinya peringkat lafal-lafal ketercelaan dan keterpujian.
Jumlah peringkat lafal yang berlaku usntuk ilmu
al-Jarh wa al-Ta’dil tidak disepakati oleh ulama’.
Demikian adanya karena Ibn Hatim al-Razi yang
pendapatnya diikuti oleh Ibn al-Salah dan al-Nawawi
menetapkan empat tingkatan untuk masing-masing sifat
al-jarh maupun al-ta’dil. Hal ini menyebabkan banyak
perbedaan penetapan dari masing-masing ulama’ hadits.
Salah satu contohnya adalah ‘Abd Allah al-Zahabi dan
al-Iraqi menetapkan lima tingkatan. Sementara Ibn Hajar

Studi Hadits
al-Asqalani menetapkan enam tingkatan untuk hal yang
sama.174
Al-Razi, Ibn Salah dan al-Nawawi memiliki bentuk
penetapan pelafalan dan ungkapan al-ta’dil yang persis
tanpa menyalahi sedikitpun. Berikut ini bentuk pelafalan
dan ungkapannya:
1) Siqah, mutqin, sabt, dabit, hafiz, hujjah
(peringkat tertinggi)
2) Saduq, mahalluh al-saduq, la ba’sa bih.
3) Syaikh, wasat, rawa’anh al-nas (wasat adalah
penambahan dari al-Nawawi)
4) Salih al-hadits.175
Sedangkan untuk tingkatan lafal-lafal al-jarh
sebagai berikut:
1) Kazzab, matruk al-hadits, zahib al-
hadits(peringkat terberat)
2) Da’if al-hadits
3) Laisa bi qawiyy
4) Laiyyin al-hadits
Adapun juga tambahan dari Al-Zahabi dengan
menambah satu tingkatan untuk masing-masing al-Jarh
dan al-Ta’dil sehingga masing-masing memiiliki lima
tingkatan. Klasifikasi al-Zahabi ini juga diikuti oleh al-
Iraqi, berikut adalah tingkatan untuk al-ta’dil:

174
Al-Razi, Kitab al-Jarh waal-Ta’dil., h.37
175
Ibid., h.37

Studi Hadits
1) Siqah siqah, sabt sabt, sabt hujjah, sabt
hafiz, sabt mutqin, dan lain-lain (pengucapan
berulang ulang)
2) Siqah, sabt, mutqin
3) Saduq, la ba’sa, laisa bihi ba’sun
4) Mahalluh al-sidq, jayyid al-hadits, salih al-
hadits, syaikh, wasat, saduq insya Allah, arju
an la ba’sa bih.176
Begitu pula dengan tingkat pelafalan al-jarh:
1) Kazzab, dajjal, wadda, yada’ al-hadits
(peringkat terberat)
2) Muttaham bi al-kazib, muttafaq ‘ala tarkih
3) Matruk, laisa bi al-siqah, dan sakatu ‘anh
4) Wahim bi marrah, laisa bi syai’in, da’if
jiddan, dan da’afuh
5) Yad’afuh, fih du’fun, qad da’ufa, laisa bi al-
qawi.177
Dibanding dengan al-Zahabi, Ibn Hajar Al-Asqalani
menambah satu tingkatan lagi dari rumusan al-Zahabi
sehingga menjadi enam tingkatan di masing-masing al-
jahr dan al-ta’dil. Tingkatan lafal al-jarh dan al-ta’dil
yang ditetapkan oleh al-Asqalani banyak diikuti oleh
ulama’ hadits lain, seperti Nur al-Din Itr dan Muhammad
Abu Syuhbah. Berikut adalah bentuk tingkatan lafal al-
Ta’dil oleh al-Asqalani:

176
Ibid.
177
Ibid., h.93-94

Studi Hadits
1) Af’al al tafdil, ausaq al-nas, asbat al-nas,
adbat al-nas, ilaih al-muntaha fi al-tasabbut,
fulan la yus’al ‘anh dan sebagainya
2) Siqah siqah, sabt hujjah, sabt sabt, sabt
siqah, siqah sabt (pengulangan)
3) Siqah, sabt, hujjah, imam, hafiz, dabit, dan
lain-lain
4) Saduq, la ba’sa bih, ma’mun
5) Mahalluh al-sidq, saduq sayyi’ al-hadits,
syaikh, dan husn al-hadits
6) Saduq insya allah, arju an la ba’sa bih,
maqbul, layyin al-hadits
Bentuk lafal dan tingkatan al-jarh menurut al-Asqalani :
1) Peringkat terberat dengan pelafalan yang sangat
dalam al-jarh seperti: akzab al-nas, ilaih al-
muntaha fi al-kizb, huwa rukn al-kizb dan
sebagainya.
2) Kazzab, dajjal, wadda, dan lain-lain
3) Muttaham bi al-kizb, yasriq al-hadits, matruk al-
hadits, zahib al-hadits, dan lain-lain
4) Da’if jiddan, rudda haditsuh, la yuktab haditsuh,
laisa bi syai’ dan lain-lain
5) La yuhtajj bih, mudtarib al-hadits, da’afuh, da’if
dan lain-lain
6) Fih maqal laisa bi hujjah layyin al-hadits fih du’f
dan lain-lain

Studi Hadits
Daftar Pustaka
BUKU
Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis, Yogyakarta:
Teras 2004.
Abd al-Fattah Mahmud Idris, al-Mawsu’ah al-
Islamiyyah, Kairo: Majlis al-A’la, 2001.
Abdiddar, Ibdu’ , Jami’ al-Bayan.
Abdul Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits,
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007.
Ad-Darimi. Maktabah Dar al-Ihya’al-Sunnah.
Kairo: Mesir.
Adz-Dzahabi. Tadzkiratul Hafid. Tth.
Ajjaj dkk. 1975. Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa
Mushthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Hakim al-
Naysaburi, Ma’rifah’Ulum al-Hadis, Madinah: al-
Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1997.
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail al-
Bukhori, Sahih al-Bukhori, kitab al-Janaiz, bab iza mata
sabiyyu.
Abu Hafish ibn Ahmad ibn Sahih, al-Nasikh wa
al-Mansukh min al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1992.
Abu ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-
Tirmizi, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001.
Abu Lubabah Husain, al-Jarh wa al-Ta’dil,
Riyad: Dar al-Liwa, 1979.

Studi Hadits
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami
Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005.
al-Asqalani, Ahmad ibn Ali ibn Hajar. 2013.
Nuzhah al Nazar Syarh Nukhbah al-Fikar, Semarang;
Maktabah al Munawwar
Al-Bukhari. Sahih Al-bukhari.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1963. al-Sunnah
qabl al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah.
------------, 1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa
Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Siba’I, al-Sunnah wa makanatuha fi Tasyri’
al-Islam,  ttp. Dar al-Qaumiyyah, 1966.
Al-Zafzaf, Muhammad. 1979. al-Ta’rif fi al-
Qur’an wa al-Hadis, Kuwait: Maktabah al-Falah.
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000
Ar-Razi, Abi Hatim. 1952. al-Jarh wa al-Ta’dil,
Mathba’ah al-Hindi.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang
As-Suyuthi. Tadrib al-Rawi Fi Syarh Taqrib al-
Nawawi.
At-Tirmasyi, Manhaju Thalibin.
H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. 1984.
Ilmu Mushtholah Hadis. Jakarta: PT Hadikarya Agung.
Hadi, Ahmad Fuad. 2013. Sejarah Penulisan
Hadis, Kutai Timur: STAI Sangatta.
Hajar, Ibnu. Taqrib at-Tahdzib.

Studi Hadits
Ibn Ḥajar al-Asqalāni, Tahẓ īb al-Tahẓ īb, Kairo:
Dar al-Hadis, 2010.
Ibnu Abdil Bar, Abi ‘Umar Yusuf, Jami’ al-
Bayan al-‘ilmi wa Fadl luhu, Mesir: Mathba’ah al-Idarah
al-Muniriyyah, t.t
Idri, dkk. Studi Hadits. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press, 2019.
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010
Ismail, M. Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadis.
Bandung: Angkasa.
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis,
Jakarta; Amzah.
Khon, Abdul Majid. 2014. Takhrij dan Metode
Memahami Hadis. Jakarta; Amzah.
M. Hasbi As-Siddiqy. 1987. Pokok-Pokok
Dirayah Hadis I. Jakarta: Bulan Bintang
M. Ma’shum Zein. Ilmu Memahami Hadist.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Mahmud al-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadis,
Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979 M.

Studi Hadits
Mahmud Thahhan, Ilmu Hadits Praktis, Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 2012.
Mahmud Thahhan, Dasar-Dasar Ilmu Hadits,
Jakarta: Ummul Qura, 2016.
Manna al-Qattan, Mabahis fi’Ulum al-Qur’an,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1988.
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 1999.
Muh. Haris Zubaidillah, Nilai-Nilai Pendidikan
Adversity Quotient pada Cerita Nabi Musa dalam
Alquran, Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan
Kemasyarakatan, Vol. 11, No. 24, 2017.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis
Ulumuh wa Mustalahuh, Beirut: Dar al –‘Fikr, 1989.
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-
Bukhārī, Kitab al-Salah, bab wujub al-salah fi al-ṡiyab.
Muhy al-Din ibn Syarf al-Nawawi, al-Taqrib wa
al-Taysir, Beirut: Dār alKutub al-‘Arabi, 1985
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT.
MUTIARA SUMBER WIDYA, 2001.
Nur al-Din ‘Itr, Ulum al-Hadits, Bandung:
Rosdakarya, 1994.
Nuruddin, Ulumul Hadit, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Relit Nur Edi, AS-SUNNAH (HADITS) ASAS, vol
6 no 2, Juli 2016.

Studi Hadits
Riza Nazlianto. Ḥadīts Zaman Rasululah Saw
dan Tatacara Periwayatannya Oleh Sahabat.
Aceh : Al-Murshalah, 2016.
S}ubhi al-S}alih, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Must}alahuh,
Beirut: Dar al-‘Ilmli al Malayin, 1988 M.
Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadits wa
Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Ilim li al-Malayin, 1973.
Sulaiman, M. Nur. 2008. Antologi Ilmu Hadis.
Jakarta: Gaung Persada Press
Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-
Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughis Syarh Alfiyah
al-hadis li al-Traqi, al-Madinah al-Munawwarah: al-
Maktabah al- Salafiyah, 1968.
TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1998
Ya’qub, Ali Musthafa. 1996. Imam Bukhari dan
Metodologi Kritis dalam Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Yusuf, Muhammad. Metode dan Aplikasi
Pemaknaan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah Pengantar
Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Zainul Arifin. 2010. Studi Kitab Hadis. Surabaya:
al-Muna.
Zahwu, Muhammad Abu. 1984. Al-Hadith wa al-
Muhaddithun, Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat
al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-
Iryad.

Studi Hadits
Zein, Ma’shum. 2016. Ilmu Memahami Hadits
Nabi, Yogyakrta: PT LKiS Printing Cemerlang.
Zuhri, Moh. 1997. Hadis Nabi: Sejarah dan
Metodologinya, Yogyakarta: Tiara Wacana.
JURNAL
Zubaidillah, Muh. Haris. 2018. “Epistemological
Views of Islamic Education Phylosophy as a Islamic
Education Basis”. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan
dan Kemasyarakatan 12, no.1
MAKALAH
Dita Khairunnisa, dkk. 2018. DALIL-DALIL
KEHUJJAHAN HADIST dan FUNGSI HADIST
TERHADAP AL-QUR’AN

INTERNET
https://almanhaj.or.id/2748-sunnah-juga-
merupakan-wahyu.html
http://naimar117.blogspot.com/2016/04/dalil-
kehujjahan-hadits.html
https://quran.kemenag.go.id
https://www.rumahfiqih.com/fikrah-222-wahyu-
allah-al-qur%E2%80%99an-dan- as-sunnah.html
“Pengertian Hadits Maqbul dan Mardud”, dalam
“https://juraganberdesa.blogspot.com/2019/11/pengertian
-hadits-maqbul-dan-mardud.html?m=1”

Studi Hadits
Studi Hadits

Anda mungkin juga menyukai