USHUL FIQH II
Ta’arudl al-Adillah
DISUSUN OLEH :
Alhamdulillah segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nyaa sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi yang Mulia, Nabi Muhammad SAW.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah Ushul Fiqih II yang
berjudul Ta’arudl al-Adillah dengan tepat waktu. Di samping itu, kami mengucapkan
banyak berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini sehingga dapat terselasaikan.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kekurangan didalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran sebagai batu loncatan. Demikian, semoga makalah ini bermanfaat.
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam
kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan
manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga
berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang
menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Ta’arudh al-adillah adalah suatu istilah yang dijumpai dalam Ilmu Ushul
Fiqh. Secara etimologi ta’arudh yaitu saling bertentangan atau pertentangan antara dua
perkara.
Adapun Ta’arudh al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah Berhadap-
hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.
Sebenarnya, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan
dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam
kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil
yang qath’I maupun zanni.
Dalam keberangsuran turunnya wahyu ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya (ta’arudh al-adillah). Hal ini sering
dijadikan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang ingin menyesatkan umat Islam. Misalnya
dengan menganggap perbedaan pendapat (penyimpangan pendapat) sebagai hal yang
juga ditemukan dalam tasyri’ hukum Islam. Untuk itu, kita harus mengetahui bagaimana
melihat konteks yang bertentangan tersebut.
Hal inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membuat makalah yang
berjudul “Ta’arudh al-adillah”. Selain itu, makalah ini ditulis juga di latar belakangi
untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh II di mana penulis ditunjuk untuk menyajikan makalah
dengan judul tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya.
Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dan kata dalil, yang berarti argumen,
alasan dan dalil.
dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya
dan (menjadikannya) perhiasan...” (Q.S An-Nahl [16]: 8).
Dalam ayat ini, kuda dan bighal hanya diperuntukkan untuk kendaraan dan hiasan
saja, sedang ayat ini mengandung ketentuan lain.
َُوا ِم ۡنهَا َو ِم ۡنهَا ت َۡأ ُكلُون
ْ ٱللَّهُٱلَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم ٱَأۡل ۡن ٰ َع َم لِت َۡر َكب
“Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam
keadaan junub karena melakukan jima’ kemudian mandi dan menjalankan
puasa.” (H.R Bukhari Muslim).
Hadist ini bertentangan dengan hadist yang berbunyi :
“Bila telah dipanggil untuk sembahyang Subuh, sedang salah satu di antaramu
dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu.” (H.R Imam Ahmad dan Ibnu
Hibban).
4. Ta’arudh antara sunnah dengan qiyas
Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam
menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual
beli unta atau kambing yang diikat puting susunya agar kelihatan besar, sedang
setelah dibeli dan diperah air susunya terbukti adanya ghahar.
Dalam hadist ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian unta atau kambing
itu pembeli dengan membayar satu sha’ dari tamar. Ini pendapat Jumhur. Ulama
Hadawiyah berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila
masih dan bila telah habis dengan mengganti harga air susu itu, hal ini diqiyaskan
pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak
yang menggunakan barang orang lain itu mengganti sejumlah atau senilai dengan
yang telah dipergunakan.
5. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Muhammad Abu Zahra mencontohkan tentang perwalian. Aliran Hanafiah
memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran Syafi’i tentang illat perwalian
bagi anak perempuan. Menurut Imam Abu Hanifah, illat perwalian
adalah sighar (keadaan di bawah umur), oleh karena itu hak perwalian hilang
apabila anak itu sudah sampai usia baligh.
1. Bila ta’arudh itu antara ayat dengan ayat, maka yang diprioritaskan adalah dengan
mengadakan jama’ dan taufiq.
2. Bila antara sunnah dengan sunnah, dilakukan jama’ taufiq kemudian tarjih. Bila tidak
dapat dilakukan tarjih dicari mana yang lebih dahulu wurudnya dan mana yang
kemudian. Yang kemudian dinyatakan nasikh dan yang dahulu dinyatakan mansukh.
3. Bila antara sunnah dengan qiyas, maka dibedakan :
a. Bila hal itu urusan ibadah, maka dinyatakan ta’arudh tidak ada, karena qiyas tidak
dipergunakan dalam ibadah, dengan kata lain kita tinggalkan qiyas dan kita pakai
sunnah.
b. Bila ta’arudh itu bukan urusan ibadah, maka kita adakan jama’ dan taufiq, dalam
arti kita takwilkan arti pada sunnah itu sehingga sesuai qiyas.
4. Bila antara qiyas dengan qiyas, maka langsung kita tarjihkan. Yang rajih kita pakai dan
yang marjuh kita tinggalkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali Pers.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Alaiddin Koto. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Amzah.
https://ashaabullkahfi.blogspot.com/2018/05/makalah-usul-fiqh-tentang-taarudhl.html
http://kisahgadihrantau.blogspot.com/2017/05/makalah-ushul-fiqh-taarudh-al-adillah.html