Anda di halaman 1dari 21

1

67 Persoalan Seputar
Kurban
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid
Hafidzhahullah

Menghimpun berbagai macam permasalahan seputar kurban secara umum


yang terjadi di antara kaum muslimin. Silahkan disebarkan untuk meraih
manfaatnya, barakallahufiikum

Penerjemah : Muhammad Adz Dzahabie


Editor : Abu Yusuf Akhmad Ja’far

2
67 Persoalan Seputar Kurban
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid Hafidzhahullah

Ini adalah ringkasan dari berbagai permasalahan “Udhiyah dan


Hukum-Hukumnya”.
Kita memohon kepada Allah agar ringkasan ini bermanfaat bagi umat.
Semoga Allah membalas kebaikan segenap tim yang turut membantu dalam
mempersiapkan materi ini dan turut dalam menyebarkannya.
1. Udhiyah (kurban) adalah segala sesuatu yang disembelih dari binatang
ternak (Unta, Sapi, Kambing) pada hari Idul Adha sebagai bentuk
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dinamakan “Udhiyah” karena hewan kurban disembelih pada hari id
saat waktu dhuha, yaitu ketika matahari telah naik. Bisa juga kita sebut
dengan “Idhiyyah” dan “Dhuhiyyah”.

2. Berkurban disyariatkan sejak tahun ke-2 H. Kurban merupakan salah


satu syiar Islam yang disyariatkan dalam Al-Quran, As-Sunnah, serta
Ijma’ (Kesepakatan) kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman
ِّ َ‫ف‬
َ ِّ‫ص ِّل لَرب‬
‫ك َو حٱْنَحر‬ َ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
(QS. Al-Kautsar :2)

ِّ ُ‫ٱَّللِّ فَِّإنهها ِّمن تَ حقوى ٱلح ُقل‬ ِّ ِّ ِّ


‫وب‬ َ َ ‫َٰذَل‬
َ ‫ك َوَمن يُ َعظ حم َش ََٰعَٰٓئَر ه‬
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan
syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati.” (QS. Al-Hajj : 34)

Telah diriwayatkan tentang syariat kurban ini dari Nabi Shalallahu


‘Alaihi Wasallam, baik pernyataan beliau maupun perbuatan serta
telah berlangsung amalan umat kaum muslimin.

3
3. Keutamaan berkurban ini sangatlah agung. Namun tidak terdapat
hadits shahih yang menyebutkan batasan keutamaanya ataupun kadar
pahalanya secara khusus.
Ibnul ‘Arobi Al-Maliky berkata, “…dan sungguh banyak orang yang
meriwayatkan kisah-kisah aneh tentang kurban yang tidak shahih.”
Bagi anda yang suka membagikan hadits-hadits Nabi tentang
keutamaan berkurban di media sosial atau semisalnya, hendaknya
memperhatikan perkara ini.

4. Berkurban hukumnya Sunnah Muakkadah menurut jumhur


(mayoritas) ulama. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa hukumnya
wajib bagi yang mampu. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah
dan salah satu riwayat dari Imam Malik & Imam Ahmad, ini juga
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Maka tidak
sepatutnya bagi seorang mukmin yang mampu dan memiliki
kelapangan harta untuk melewatkan ibadah ini.
Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang
memiliki kelapangan harta, namu tidak berkurban; maka janganlah dia
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah secara Marfu’, akan
tetapi Imam Baihaqi dan Ibnu Hajar Al-Asqolany merojihkan bahwa
hadist ini mauquf kepada Abu Hurairoh)

5. Berkurban disyariatkan bagi seluruh manusia (kaum muslimin) : baik


pria maupun wanita, orang yang muqim maupun musafir (sedang
dalam safar), orang yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan,
tinggal di negeri muslimin ataupun selainnya. Kecuali orang yang
sedang haji –menurut Imam Malik- maka tidak berkurban, melainkan
menyembelih hadyu. Hal ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim serta yang dipilih oleh
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahumullah.

6. Barangsiapa yang tidak memiliki uang sebesar harga hewan kurban,


maka tidak mengapa dia berhutang untuk membeli hewan kurban jika
dia mampu untuk melunasi hutangnya tersebut. Seperti halnya seorang
pegawai, dia berhutang pada awal bulan untuk membeli hewan kurban
hingga ia dapat membayarkan hutangnya setelah mendapatkan gaji
pada akhir bulan. Atau dia membelinya dengan cara kredit (cicilan).
Namun jika dia tidak mampu untuk melunasi hutangnya tersebut, maka
yang lebih utama baginya adalah tidak berhutang untuk membeli
hewan udhiyah, agar ia tidak disibukkan dengan perkara yang pada
asalnya tidak wajib baginya.

4
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ia mampu (atau bertekad-
pent.) untuk melunasi hutangnya, maka ia berhutang untuk berkurban
dengannya, maka hal tersebut baik, akan tetapi ia tidak wajib untuk
melakukan hal tersebut (yaitu berhutang untuk berkurban)”.

7. Diantara bentuk Shadaqah yang dianjurkan adalah membahagiakan


orang yang lemah atau tidak mampu untuk berkurban dengan ber-
tabarru’ kepadanya sejumlah harga hewan udhiyah atau memberinya
hadiah seekor kambing untuk dikurbankan dengannya. Diriwayatkan
dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, “Bahwasannya Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam membagikan hewan kurban kepada para sahabatnya.”
Termasuk bentuk kebaikan yang mulia adalah orang yang memiliki
banyak hewan kurban, mewakilkan kurbannya tersebut kepada
keluarga yang faqir dari kerabatnya atau tetangganganya, agar mereka
bisa menyembelihnya di rumah mereka. Tujuannya adalah untuk
membuat mereka dan keluarganya bahagia.

8. Di antara hikmah kurban:


 Beribadah kepada Allah dengan menghidupkan syariatnya,
Allah Ta’ala berfirman:

ۚ ‫وم َها َوََل ِّد َمآَُٰؤَها َوَٰلَ ِّكن يَنَالُهُ ٱلته حق َو َٰى ِّمن ُك حم‬
ُ ُ‫ٱَّللَ ُل‬
‫لَن يَنَ َال ه‬
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah
yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj : 37)

 Menghidupkan sunnah Al-Khalil Ibrahim ‘Alaihissalam.


 Bentuk syukur kepada Allah Ta’ala atas segala karunia nikmat
yang diberikan, di antaranya adalah nikmat binatang ternak.
Allah Ta’ala berfirman:

ٍ ‫ٱَّللِّ ِِّف أَ هَّيٍم همعلُوم‬ ۟ ِّ ‫لِّي حشه ُد ۟وا م َٰن‬


‫َٰت َعلَ َٰى َما َرَزقَ ُهم‬
َ ‫ح‬ َٰٓ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ٱس‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ر‬‫ك‬ُ ‫ذ‬
‫ح‬ ‫ي‬‫و‬ ‫م‬ ‫َل‬
َ
َ ‫َ َ َ َ َ ُح َ َ ُ ح‬ ‫ع‬ ‫ف‬
ۖ ‫يم ِّة حٱْلَنح َع َِّٰم‬ ِّ‫ِّم ۢن ََب‬
َ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan berupa rezeki yang Allah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj :28)

5
 Keikutsertaan penduduk negeri bersama para jamaah haji yang
pergi ke baitullah pada sebagian syiar-syiar haji.
 Melapangkan jiwa dan keluarga, menghormati tetangga,
kerabat, dan kawan kawan. Serta bersedekah untuk kaum fakir
pada hari Idul Adha.

9. Menyembelih hewan kurban lebih utama daripada bersedekah dengan


harganya. Karena kurban adalah salah satu syiar dari syiar-syiar agama
Allah dan sunnah muakkad (yang ditekankan) dari ajaran Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ini adalah pendapat empat imam madzhab. Said bin Musayyib berkata,
“Aku berudhiyah dengan seekor kambing lebih aku cintai daripada
bersedekah sebesar 100 dirham.”
Karena menyembelih untuk Allah merupakan syiar dan ibadah yang
hanya boleh ditujukan kepada Allah saja. Allah Ta’ala berfirman:

ِّ َ‫ف‬
َ ِّ‫ص ِّل لَرب‬
‫ك َو حٱْنَحر‬ َ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
(QS. Al-Kautsar :2)

Jika manusia mengalihkan ibadah menyembelih menjadi shadaqah


maka akan hilang (terhenti) syiar menyembelih kurban.

10. Hukum asalnya kurban ini disyariatkan bagi orang-orang yang masih
hidup. Sebagaimana halnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
dan para sahabatnya berkurban atas nama diri mereka sendiri dan juga
keluarganya.
Disyariatkan juga berkurban atas nama orang yang telah meninggal
dalam rangka menunaikan wasiatnya. Atau diikutkan dengan orang
yang masih hidup, seperti halnya seorang laki-laki menyembelih
kurban atas nama dirinya dan juga atas nama keluarganya, dengan niat
atas nama keluarganya yang masih hidup maupun yang telah
meninggal.

11. Berkurban dengan niat untuk mayyit secara khusus hukumnya boleh,
para fuqaha menyebutkan bahwasanya pahala kurbannya sampai
kepada mayyit dan bermanfaat baginya. Hal ini diqiyaskan dengan
shadaqah atas nama mayyit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa,”Bershadaqah
dengan harga hewan kurban atas nama mayyit lebih utama daripada
menyembelih kurban atas nama mayyit. Karena menyembelih secara

6
khusus untuk mayyit tidak dikenal oleh kalangan salaf (pendahulu
ummat ini).”

12. Syarat sahnya hewan kurban adalah binatang ternak, yaitu: unta, sapi,
dan kambing, dengan segala jenisnya. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala:

ِّ‫ٱَّللِّ علَى ما رزقَهم ِّم ۢن ََب‬ ۟ ِّ


ۗ ‫يم ِّة حٱْلَنح َع َِّٰم‬
َ ُ َ َ َ َٰ َ ‫نس ًكا ليَ حذ ُك ُر ح َ ه‬
‫م‬‫ٱس‬ ‫ا‬
‫و‬ َ ‫َولِّ ُك ِّل أُهم ٍة َج َع حلنَا َم‬
‫ي‬ ِّ‫فَِّإ َََٰل ُكم إَِّٰلَه َٰو ِّح ٌد فَلََٰٓهۥ أَسلِّم ۟وا ۗ وب ِّش ِّر ٱلحمخبِّت‬
َ ‫ُح‬ ََ ُ ‫ُ ح‬ ٌَ ‫ُ ح‬
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang
ternak yang telah direzekikan kepada mereka, maka Tuhanmu ialah
Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.
Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh
(kepada Allah)” (QS. Al-Hajj:34)

13. Satu ekor kambing cukup untuk kurban satu keluarga, jika salah
seorang anggota keluarga berkurban dengan seekor kambing atau
seorang wanita berkurban untuk suami dan keluarganya; maka ia telah
menghidupkan syiar agama dan keluarganya masuk dalam hitungan
pahala kurban bersamanya.
Abu Ayyub Al-Anshari berkata, “Dahulu seorang laki laki berkurban
seekor kambing untuk dirinya dan juga keluarganya, maka merekapun
menyantapnya dan juga memberikan makanan tersebut (kepada orang
lain, pent).”

14. Jika seorang yang berkurban belum berniat kurban untuk keluarganya
(menyertakan niat kurban bersama keluarga, pent.); maka secara
otomatis keluarganya telah termasuk dalam niatnya tersebut. Yang
dimaksud keluarga disini adalah secara bahasa atau secara ‘urf (adat).
Seacara ‘urf (adat atau kebiasaan): keluarga adalah setiap orang yang
berada dalam tanggungannya (nafkahnya) seperti istri, anak, dan
kerabat.

15. Apabila ada sebuah rumah besar, terkumpul di dalamnya sejumlah


saudara dengan anak-anaknya. Mereka saling turut serta dalam makan
secara bersama sama (masih makan bersama dengan nafkah dari
kepala keluarga, pent.); maka satu hewan kurban sudah mencukupi
bagi mereka semua. Akan tetapi jika setiap dari mereka memiliki

7
rumah yang terpisah, maka yang dianjurkan adalah masing-masing
dari mereka berkurban secara sendiri-sendiri.

16. Bagi yang memiliki lebih dari seorang istri maka kurban salah seorang
dari mereka sudah mencukupi untuk semuanya, sebagaimana Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkurban untuk istri-istrinya semua,
akan tetapi beliau tidak mengkhususkan salah satu istrinya daripada
yang lain.

17. Seekor unta boleh dijadikan kurban untuk 7 orang (kolektif, pent.),
seekor sapi boleh dijadikan kurban untuk 7 orang. Sebagaimana
pernyataan dari Jaabir bin Abdillah, “Kami berkurban bersama
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada tahun perjanjian
Hudaibiyah dengan badanah (unta gemuk) untuk tujuh orang, dan sapi
juga untuk tujuh orang”.

18. Boleh berkurban secara kolektif pada sapi atau unta walaupun
sebagian yang ikut kolektif tidak berniat udhiyah, tetapi ia niat nazar
atau sekedar ingin bagian daging untuk menjamu tamunya, atau
sebagai shadaqah atau selainnya. Setiap orang tergantung dengan
niatnya sendiri.

19. Boleh berkolaborasi kurang dari 7 orang untuk kurban sapi atau unta.
Karena jika dibolehkan kolaborasi kurban hingga 7 orang, maka
terlebih lagi jika kurang dari 7 orang tentu dibolehkan. Kelebihannya
terhitung sebagai amal tathawwu’.

20. Tidak sah berkurban kambing secara kolaborasi lebih dari satu orang,
karena tidak ada dalil yang membolehkan hal tersebut. Begitu juga 8
orang atau lebih berkolaborasi untuk berkurban unta atau sapi. Karena
ibadah itu sifatnya tauqifiyyah, tidak boleh melebihi batas jumlah dan
tata cara yang telah ditetapkan syariat.

21. Beberapa ahli ilmu mengatakan bahwa jenis hewan kurban yang paling
utama adalah domba, karena hal ini sesuai dengan perbuatan Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Adapun menurut jumhur ulama, yang
paling utama adalah berkurban dengan (1) unta, kemudian dengan (2)
sapi jika ia berkurban sempurna secara sendiri (tidak kolektif, -pent.),
kemudian (3) domba (biri-biri), kemudian (4) kambing.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Siapa


yang berangkat sholat Jum’at di awal waktu, maka dia seperti

8
berkurban dengan unta. Siapa yang berangkat sholat Jum’at di waktu
kedua, maka dia seperti berkurban dengan sapi. Siapa yang berangkat
sholat Jum’at di waktu ketiga, maka dia seperti berkurban dengan
kambing gibas yang bertanduk…”
Maka yang didahulukan adalah unta, adapun sapi ada pada derajat
kedua, kemudian kambing.

22. Hewan kurban yang paling utama adalah:


 Yang paling gemuk badannya,
 Paling banyak dagingnya,
 Paling sempurna rupanya,
 Paling baik atau enak dipandang.

Abu Umamah bin Sahl berkata, ‘Kami menggemukkan hewan kurban


di Madinah dan kaum muslimin yang lain juga menggemukkannya.”
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu bahwasannya
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berkurban dengan dua gibas
(domba jantan) putih yang bertanduk.
23. Umur hewan kurban harus memenuhi batas minimal yang telah
ditetapkan oleh syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah.
Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari
domba.”
Musinnah adalah tsaniyyah (tumbuhnya salah satu dari 4 gigi depan)
dan selebihnya, Jadz’ah adalah dibawah usia tsaniyyah.
Musinnah dari unta adalah berusia genap lima tahun yang masuk tahun
keenam.
Musinnah dari sapi adalah umur dua tahun yang sedang masuk tahun
ketiga.
Musinnah dari kambing adalah yang telah berusia satu tahun yang
sedang masuk tahun kedua.
jadza’ah dari domba adalah yang telah berusia enam bulan yang
sedang masuk bulan ketujuh.
Keharusan berkurban dengan batasan usia hewan yang telah ditetapkan
oleh syariat adalah perintah yang mengandung makna wajib. Tidak
boleh menyelisihinya dengan berkurban dibawah usia yang telah
ditentukan, namun boleh berkurban dengan usia hewan diatas batas
yang telah ditentukan.

9
24. Hewan kurban merupakan hewan milik mudhahy (orang yang
berkurban), baik mendapatkannya dengan cara membeli, atau hibah,
atau harta warisan, atau hasil dari peranakan.
Sah bagi wali yatim berkurban untuk anak yatim menggunakan
hartanya, jika kondisinya dalam keadaan lapang dan hal tersebut
membuatnya senang serta hatinya menjadi sedih jika meninggalkan
kurban.
Ibnu Qudamah berkata, “Ketika seorang anak yatim berkurban, maka
tidak boleh ada bagian yang disedekahkan, akan tetapi semuanya
diperuntukkan untuk dirinya sendiri (yaitu: anak yatim). Karena tidak
boleh bershadaqah dengan apapun menggunakan harta anak yatim.”

25. Syarat sahnya udhiyah adalah menyembelih hewan kurban pada waktu
yang telah ditentukan oleh syariat.
Waktu penyembelihan dimulai dari setelah pelaksanaan shalat ‘id.
Sebagaimana hadits, “Hal pertama yang kita lakukan dalam memulai
hari ini adalah kita mengerjakan shalat ‘id, kemudian kita pulang dan
menyembelih hewan kurban. Barangsiapa yang telah melakukan hal
ini maka ia telah menjalankan sunnah kita.”

26. Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat id,


maka kurbannya tidak sah dan tidak terhitung sebagai ibadah udhiyah.
Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Barangsiapa
yang menyembelih sebelum shalat, maka itu adalah daging yang
diperuntukkan untuk keluarganya saja, bukan termasuk bagian dari
ibadah kurban.”

27. Waktu penyembelihan hewan kurban berakhir pada saat terbenamnya


matahari pada hari ketiga dari hari-hari tasyrik (yaitu tanggal 13
Dzulhijjah, -pent), yaitu hari pemotongan yang keempat (hari id dan
tiga hari setelahnya).

28. Waktu yang paling utama untuk penyembelihan hewan kurban adalah
pada hari pertama, yaitu saat hari raya idul adha (10 Dzulhijjah, -pent)
setelah orang selesai dari mengerjakan shalat id. Setiap harinya yang
lebih awal lebih baik daripada setelahnya, karena dengannya terdapat
bentuk penyegeraan dalam melaksanakan kebaikan. Yang lebih
selamat adalah dengan tidak menundannya hingga hari yang keempat,
ini sebagai bentuk perhatian kita terhadap pendapat yang menyatakan
bahwa hari penyembelihan itu hanya tiga hari saja.

10
29. Boleh menyembelih hewan kurban pada siang hari dan malam hari.
Penyembelihan diwaktu siang lebih utama, karena syiarnya lebih
tampak dan dapat disaksikan oleh orang-orang fakir.

30. Jika telah terlewat waktu kurban dan belum sempat menyembelih, jika
ia berkurban tathawwu’ (sunnah) maka tidak ada kewajiban baginya.
Namun jika ia berkurban karena nazar, maka dia wajib
menyembelihnya dengan niat qadha’ dan melakukan pembagiannya
sebagaimana pembagian saat udhiyah (kurban).

31. Di antara syarat hewan kurban adalah harus selamat dari berbagai
macam cacat yang dapat menghalangi diterimanya ibadah kurban.
Karena ibadah kurban ini tujuannya adalah untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya. Allah Ta’ala Maha Baik dan tidak menerima
kecuali yang baik. Maka hewan kurban haruslah hewan yang baik
(sehat), bebas dari cacat fisik.

32. Telah terdapat dalam As-Sunnah empat kriteria cacat yang dapat
menghalangi diterimanya ibadah kurban.

Dari Al Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-
tengah kami dan berkata, “Ada empat cacat yang tidak dibolehkan
pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2)
pincang dan tampak jelas pincangnya, (3) sakit dan tampak jelas
sakitnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak mempunyai sumsum
tulang.”

33. Sakit yang jelas adalah penyakit yang tampak ciri-cirinya pada hewan
ternak seperti demam yang menyebabkan hewan tersebut duduk di
tempat ternaknya dan hilang nafsu makannya. Penyakit kulit yang
tampak dapat merusak kualitas dagingnya atau mempengaruhi
kesehatannya. Luka yang dalam pada dirinya sehingga mempengaruhi
kesehatannya dan yang semisalnya.
Adapun penyakit ringan maka tidak membahayakannya (tidak
mengapa berkurban dengannya, -pent), begitu pula dengan pincang
sedikit, dan sedikit kurus.

34. Termasuk kategori cacat yang empat ini adalah cacat yang semisalnya
atau lebih parah, maka tidak boleh berkurban dengan:
 Buta (kedua matanya, -pent), karena buta lebih parah daripada
buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya.

11
 Hewan yang nyaris mati, namun belum mati. Karena yang
menimpanya lebih parah daripada sakit yang jelas dan pincang
yang jelas.
 Terpotongnya salah satu tangan atau kaki, karena hal ini lebih
parah daripada pincang dan tampak jelas pincangnya.

35. Hewan kurban yang tidak memiliki telinga, tanduk, ekor, dan pantat
sejak kecilnya, maka kurbannya diterima dengan keadaan tersebut
tanpa dibenci syariat. Namun jika anggota tersebut hilang karena sebab
terpotong, maka kurbannya diterima dengan hukum makruh. Kecuali
pada domba yang terpotong bagian pantatnya, maka tidak diterima
kurbannya. Karena hal tersebut cacat yang sangat jelas dan
mengurangi esensi ibadah kurban.

36. Makruh berkurban dengan hewan ternak yang terbakar telinganya;


robek telinga secara vertical atau horizontal; copot sebagian giginya;
patah tanduknya.

37. Boleh berkurban dengan hewan kurban yang dikebiri. Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam berkurban dengan dua ekor yang dikebiri. Karena
daging hewan kurban yang dikebiri rasanya lebih enak. Ibnu Qudamah
Rahimahulah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya pebedaan
pendapat pada masalah ini.”

Sebagaimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga berkurban


dengan hewan jantan yang sempurna (tidak dikebiri). Para perawi kitab
sunan meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudhry
Radhiyallahu’anhu beliau berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam
berkurban dengan seekor domba besar, bertanduk dan jantan, bulu di
mulutnya, matanya dan kaki-kakinya hitam.”

38. Penetapan status hewan kurban dapat dilakukan dengan dua cara:
 Perkataan, seperti perkataan: “ini adalah hewan kurban”
 Membeli hewan dengan niat untuk berkurban.

39. Penetapan status hewan kurban mengandung beberapa konsekuensi


hukum, diantaranya:
 Hewan kurban tersebut tidak boleh berpindah status
kepemilikannya dengan cara dijual, dihibahkan, atau selain
keduanya. Karena statusnya sama seperti nazar, kecuali jika ia
menggantinya dengan jenis yang lebih baik dari sebelumnya.

12
Atau hewan tersebut dijual untuk dibelikan yang lebih baik dari
sebelumnya.
 Jika hewan tersebut ada cacat yang mempengaruhi keabsahan
ibadah kurban, maka wajib baginya untuk mengganti hewan
kurban tersebut dengan hewan yang sehat dan semisal
(seharga) , kecuali jika cacat tersebut bukan disebabkan oleh
unsur kesengajaan atau kelalaian pemiliknya maka dia boleh
menyembelih hewan kurban tersebut dan kurbannya sah.
 Jika hewan kurban hilang atau dicuri, maka pemilik hewan
wajib menanggung dengan harga yang semisal. Kecuali jika
hilangnya tersebut bukan disebabkan oleh unsur kesengajaan
atau kelalaian pemiliknya maka tidak wajib baginya.
 Jika hewan kurban melahirkan anak, maka anak tersebut
dihukumi seperti induknya. Anak tersebut disembelih
bersamaan dengan induknya.

40. Barangsiapa yang berniat untuk berkurban, kemudian membatalkan


niatnya maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Kecuali jika ia
telah menetapkan hewan kurban, maka pada kondisi seperti ini wajib
baginya untuk menyembelih hewan kurban tersebut dan tidak boleh ia
membatalkan niatnya.

41. Dianjurkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih hewan


kurbannya sendiri jika ia pandai dalam menyembelih hewan. Karena
menyembelih merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala, maka dianjurkan seseorang untuk mengerjakannya secara
langsung tanpa diwakilkan. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan
oleh panutan kita atau suri tauladan kita, Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam.
Jika ia tidak mampu untuk menyembelihnya sendiri, maka ia serahkan
hewan kurban tersebut kepada yang mampu menyembelihkan
untuknya.

42. Boleh mewakilkan kepada orang lain dalam penyembelihan hewan


kurban. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyembelih 63 unta pada
saat haji wada’ dengan tangannya sendiri dan mewakilkan kepada Ali
bin Abi Thalib penyembelihan sisa hewan kurban hingga mencapai
100 hewan.

43. Yang lebih utama adalah mewakilkan penyembelihan kepada seorang


laki-laki yang bertakwa dan memiliki pengetahuan tentang tata cara
penyembelihan serta hukum hukum berkaitan dengan sembelihan. Al-

13
Qarafi berkata, “Dahulu orang memilih penyembelih hewan kurban
yang ahli agama.” Yang lebih aman bagi seorang muslim adalah tidak
mewakilkan penyembelihan hewan kurbannya kepada ahlul kitab
(non-muslim).

44. Barangsiapa yang ingin berkurban, maka tidak boleh mengambil


sedikitpun dari rambutnya, kukunya, atau kulitnya dari awal malam
bulan Dzulhijjah hingga ia menyembelih hewan kurbannya.
Berdasarkan hadits Ummu Salamah bahwasannya Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika telah masuk 10 hari awal bulan
Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian ingin berkurban, maka
janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan (bulu) kulitnya
sedikitpun”.
Dalam redaksi lain: “…Maka janganlah mengambil (mencabut)
rambut dan (memotong) kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih
kurbannya”.
Imam An-Nawawi berkata, “yang dimaksud pelarangan mengambil
kuku dan rambut adalah larangan menghilangkan kuku dengan
memotongnya atau memecahkannya atau selainnya. Larangan
menghilangkan rambut adalah dengan memangkasnya,
memendekkannya, mencabutnya, membakarnya, atau mencabutnya
dengan alat potong dan yang semisalnya. Sama saja hukumnya baik
rambut ketiak, kumis, rambut disekitar kemaluan, rambut kepala, dan
rambut lainnya yang tumbuh dibadannya.”
Maka tidak boleh mencabut sesuatupun darinya sebelum shalat ‘id,
walaupun dengan niatan merias diri untuk shalat. Jika penyembelihan
kurban diakhirkan dari hari raya idul adha, maka ia tetap dalam
keadaan tersebut hingga hewannya disembelih.

45. Hukum ini berlaku bagi orang yang berkurban. Adapun keluarganya,
tidak terikat dengan pelarangan tersebut. Karena Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam dahulu berkurban untuk keluarganya, namun tidak
ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan
keluarganya untuk menahan diri dari pelarangan tersebut. Oleh karena
itu, boleh bagi keluarga orang yang berkurban pada sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah memotong (mencabut) rambut, kuku, dan
kulitnya.

46. Larangan ini berlaku secara khusus bagi orang yang berkurban untuk
dirinya sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits.
Adapun jika ada orang yang berkurban atas nama orang lain, karena

14
sebab wasiat atau sebagai perwakilan, maka ia tidak termasuk dalam
pelarangan tersebut.
Adapun perbuatan sebagian wanita yang minta diwakilkan oleh
saudaranya atau anaknya ketika berkurban, dengan tujuan agar dirinya
terlepas dari larangan memotong rambut pada 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah maka ini tidak benar. Karena hukum larangan tersebut
berkaitan dengan pemilik hewan kurban, sama saja ia wakilkan kepada
orang lain atau tidak.

47. Jika seorang yang ingin berkurban mengambil sebagian dari


rambutnya, kukunya, atau kulitnya; maka tidak ada kafarat baginya.
Hal tersebut tidak menghalanginya untuk berkurban. Kurbannya tidak
batal –seperti yang disangka sebagian orang- dan hendaknya ia
memohon ampun kepada Allah (beristighfar).

48. Jika dia ada kebutuhan mendesak untuk mengambilnya, maka ia boleh
melakukannya dan tidak ada dosa baginya. Seperti:

 Kukunya pecah lalu melukainya, maka boleh dia mencabut


kuku tersebut,
 Rambutnya panjang hingga menutupi matanya, maka boleh ia
pangkas,
 Memangkas rambut dengan tujuan pengobatan luka dan
semisalnya.
 Tidak masalah menyisir rambut, walaupn sebagian rambutnya
ada yang rontok tanpa sengaja.

49. Di antara adab ketika menyembelih adalah menuntun hewan kurban


dengan baik, tidak secara kasar. Diriwayatkan dari Muhammad bin
Sirin, ia berkata, Umar bin Khatthab melihat seorang laki laki menarik
kaki kambing secara kasar ke tempat penyembelihan, maka Umar
berkata kepada laki-laki tersebut, “Celakalah engkau ! Tuntunlah
kambing tersebut kepada kematian dengan baik”

50. Tajamkanlah pisau sebelum menyembelih. Karena kita dituntut untuk


membuat rileks hewan kurban ketika penyembelihan. Hal ini termasuk
bentuk ihsan yang disebutkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala
sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara
yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan
cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan
senangkanlah hewan yang akan disembelih.”

15
Tidak boleh menajamkan pisau di depan hewan kurban. Tdak boleh
menyembelih hewan kurban dan hewan kurban lainnya
menyaksikannya, karena ini bertentangan dengan nilai ihsan yang
diperintahkan oleh agama.

51. Dianjurkan untuk membaringkan kambing dan sapi ketika


menyembelih. Tidak boleh menyembelihnya dalam keadaan hewan
tersebut berdiri dan sedang menderum, tetapi harus dibaringkan.
Karena hal tersebut lebih rileks bagi hewan saat disembelih.

Dibaringkan ke sisi kirinya, karena hal tersebut lebih mudah untuk


menyembelih. Orang yang menyembelih memegang pisau dengan
tangan kanannya dan tangan kirinya memegang kepala hewan kurban.
Siapa yang susah untuk melakukan hal tersebut, seperti orang
bertangan kidal maka ia membaringkan hewan kurban ke sisi
kanannya menghadap kiblat. Menyembelihnya dengan menggunakan
tangan kiri, karena tangan kirinya lebih cakap dan baik dalam
menyembelih.
Adapun unta, maka disunnahkan untuk menyembelihnya dalam
keadaan berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan
diikat.

52. Dianjurkan bagi orang yang menyembelih menghadap ke arah kiblat


begitu juga hewan yang disembelih, dihadapkan ke arah kiblat. Hal ini
berlaku pada setiap sembelihan, namun pada saat menyembelih hadyu
dan hewan kurban lebih dianjurkan. Ibnu Abbas berkata,”Hendaknya
seorang diantara kalian memposisikan dirinya dengan hewan kurban
menghadap ke arah kiblat.”

53. Kurban adalah ibadah, suatu ibadah tergantung dengan niatnya.


Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “Setiap
amalan tergantung niatnya, setiap orang akan mendapatkan apa yang
ia niatkan.”
Niat ini harus ada saat berkurban. Tujuannya untuk membedakan suatu
amalan ibadah dengan kebiasaan biasa, yaitu niat berkurban.
Sekedar membeli hewan kurban atau memotongnya pada waktu yang
telah ditentukan oleh syariat sudah cukup, niatnya terhitung. Karena
niat adalah amalan hati, suatu perbuatan cukup mencerminkan niatnya.

16
54. Disyariatkan ketika menyembelih untuk menyebut nama Allah,
bertakbir, dan berdoa. Hendaknya ia mengucapkan,

‫ك َو لك الله ُه هم تَ َقبه حل ِّمين‬ ِّ


َ ‫بِّ حس ِّم هللا َوهللاُ أَ حكبَ ُر الله ُه هم إن هذا ِّمحن‬
“Bismillahi wallahu akbar, Allahumma inna hadzaa minka wa laka,
Allahumma taqabbal minny”
“Dengan nama Allah dan Allah yang Maha Besar, Ya Allah ini adalah
kurban dariku untuk-Mu, Ya Allah terimalah kurbanku”
Jika ia berkurban untuk orang lain, maka ia mengucapkan:
‫تقبله عن فالن‬
“Taqabbalhu ‘an fulan”
“Terimalah kurban dari fulan (sebutkan namanya, -penj)”
Yang wajib dari ucapan ini adalah menyebut nama Allah, adapun
selebihnya hukumnya sunnah, tidak wajib.

55. Tidak boleh menjual daging kurban dan hadyu. Begitu pula tidak boleh
menjual kulitnya, bulu-bulunya (wol), dan rambutnya. Karena segala
sesuatu yang dikeluarkan oleh hamba untuk Allah tidak boleh ditarik
kembali selamanya, menjual sebagian organ dari hewan kurban
termasuk bentuk dari penarikan kembali ibadah tersebut.
Imam Ahmad berkata, “Subhaanallah (Maha suci Allah)!, Bagaimana
ia menjualnya sedangkan hal tersebut diperuntukkan untuk Allah
Tabaaraka wa Ta’aala?”

56. Tidak masalah mengambil manfaat dari kulit hewan kurban, apapun
bentuknya. Atau bisa juga dengan memberikan kulit hewan kurban
kepada lembaga sosial yang berkompeten untuk menjualnya dan
bersedekah dengan harganya.

57. Tidak boleh memberikan tukang jagal sesuatu apapun dari daging
kurban sebagai bentuk upah penyembelihan ataupun menguliti. Hal ini
berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah
memerintahkanku untuk mengurus unta (unta hadyu yang berjumlah
100 ekor,-pent), lalu beliau memerintahkan untuk membagikan
seluruh daging kurban, kulitnya, dan ajillah (kulit yang ditaruh di
punggung unta untuk melindungi diri dari dingin). Dan aku tidak boleh
memberikan bagian apa pun dari hasil kurban kepada tukang jagal
(sebagai upah). Beliau berkata, ‘Kami memberi upah kepada tukang
jagal dari uang kami sendiri.”

17
Karena kurban adalah ibadah yang dikeluarkan untuk Allah Ta’ala,
maka menjadikan sebagian dari hewan kurban sebagai upah tukang
jagal menyerupai bentuk jual beli, ini termasuk bentuk dari penarikan
kembali ibadah tersebut, maka tidak boleh.

58. Jika tukang jagal tersebut fakir dan baik, maka tidak mengapa
memberikan kepadanya bagian hewan kurban sebagai shadaqah. Atau
sebagi hadiah, tanpa mensyaratkan sebelumnya, maka sama saja
seperti penerima lainnya. Bahkan bisa jadi lebih utama, karena dia
memang menginginkannya.

59. Disyariatkan bagi orang yang berkurban untuk makan dari daging
kurbannya, menghadiahkan, dan bersedekah dengan sebagiannya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫س ٱلح َف ِّق َي‬ِّ‫فَ ُكلُ ۟وا ِّمحن ها وأَطحعِّم ۟وا ٱلحبآَٰئ‬


َ َ ُ َ َ
“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
(QS. Al-Hajj: 28)
Dan juga firman Allah Ta’ala,

‫ك َس هخ حرَََٰنَا لَ ُك حم لَ َعله ُك حم تَ حش ُك ُرو َن‬ ِّ‫فَ ُكلُ ۟وا ِّمحن ها وأَطحعِّم ۟وا ٱلح َقانِّع وٱلحمعت هر ۚ َك ََٰذل‬
َ َ‫َ َ ُ ح‬ ُ َ َ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untuk itu
kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj: 36)

Yang dimaksud (‫ )القانع‬adalah orang yang meminta-minta penuh

harap. Sedangkan (‫ )املعرت‬adalah orang yang berharap pemberian tanpa


meminta.
Dari Salamah bin Al-Akwa, bahwasannya Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, “Makanlah, beri makanlah kepada orang lain,
dan simpanlah.”

18
60. Ulama berbeda pendapat pada takaran jumlah yang boleh dimakan,
dihadiahkan, dan disedekahkan. Perkara dalam masalah ini luas
(longgar).

Yang dipilih adalah sepertiga untuk dimakan, sepertiga untuk


dihadiahkan, sepertinganya untuk sedekah. Hal ini diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
Abu Ja’far An-Nahhas berkata, “Kebanyakan ulama –diantaranya
adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Atha’, dan Ats-Tsauri- menganjurkan
untuk bersedekah dengan sepertiga dari hewan kurban, memberi
makan orang lain dari sepertiganya, dan dia makan bersama
keluarganya dari sepertiga.”
Kalau dia makan dari hewan kurban lebih dari sepertiganya, boleh.

61. Orang yang mewakilkan dalam kurban, jika diberikan izin oleh
pemilik hewan kurban –secara omongan atau ‘urf- dalam pembagian
makan, hadiah, dan shadaqah maka boleh ia melaksanakannya. Jika
tidak diizinkan, maka dikembalikan kepada pemilik hewan kurban.
62. Wajib bersedekah dengan sesuatu –baik sedikit atau banyak- dari
daging kurban kepada para fakir dan orang-orang yang membutuhkan
dari kaum muslimin. Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫س ٱلح َف ِّقي‬ِّ‫فَ ُكلُ ۟وا ِّمحن ها وأَطحعِّم ۟وا ٱلحبآَٰئ‬


َ َ ُ َ َ
“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
(QS. Al-Hajj: 28)

63. Boleh memberikan makan dari daging kurban kepada ahlu dzimmah
(orang kafir yang hidup damai berdampingan dengan kaum muslimin,-
pent), terlebih jika mereka termasuk kategori fakir atau tetangga dekat
pemilik kurban. Atau orang kafir tersebut masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan pemilik hewan kurban. Atau untuk melunakkan
hati mereka. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Ta’ala:

‫ين َوََلح ُُيح ِّر ُجوُكم ِّمن ِّديََِّٰرُك حم أَن‬ ِّ ‫ٱَّلل ع ِّن ٱله ِّذين ََل ي ََٰقتِّلُوُكم ِِّف‬
ِّ ‫ٱلد‬ ‫َ حُ ح‬ َ ُ‫هَل يَحن َه َٰى ُك ُم ه‬
ِّ ‫ب ٱلحم حق ِّس‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ۟ ِّ
‫ي‬
َ ‫ط‬ ‫ُي‬
ُ ُّ ُ َ ‫ٱَّلل‬
‫ه‬ ‫ن‬‫ه‬ ‫إ‬ ۚ ‫م‬
‫وه حم َوتُ حقسطَُٰٓ ح ح‬
‫ه‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫إ‬ ‫ا‬‫و‬ ُ ‫تَبَ ُّر‬

19
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8)

64. Terdapat dalam hadits shahih bahwasannya Nabi Shalallahu ‘Alaihi


Wasallam dalam salah satu tahunnya melarang untuk menyimpan
daging kurban. Kemudian setelah itu, beliau mengizinkan untuk
menyimpan daging kurban. Ini menunjukkan bahwa larangan
menyimpan daging kurban telah mansukh (dihapuskan), inilah
pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban,
janganlah dia menyisakan sedikitpun dagingnya di dalam rumahnya
setelah hari (Tasyriq) yang ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah, pent).”
Ketika tiba hari raya kurban tahun berikutnya, mereka (para sahabat)
bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan sebagaimana
tahun lalu?” Beliu menjawab: “(Tidak), untuk sekarang, silahkan
kalian makan, berikan kepada yang lain, dan silahkan menyimpannya.
Karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan
(kelaparan), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang
membutuhkan makanan, pent)”.

65. Pada asalnya seseorang hendaknya berkurban di negeri tempat dia


tinggal. Hendaknya daging kurbannya dibagikan di daerah sekitarnya.
Dibolehkan menyembelih hewan kurban atau mendistribusikan daging
kurban di luar daerah pemilik kurban karena disebabkan kebutuhan
tertentu atau ada maslahat tertentu (dampak positif). Seperti jika
banyaknya orang yang berkurban di suatu daerah, namu jumlah orang
fakirnya sedikit, atau jika kaum muslimin di daerah lain lebih
membutuhkan daging kurban dan dalam keadaan melarat.

66. Dibolehkan bagi orang yang jauh dari keluarga dan negerinya, untuk
berkurban dengan cara mewakilkan pembelian dan penyembelihan
hewan kurban di negaranya. Serta membagikannya kepada para
kerabatnya dan kepada orang-orang yang membutuhkan di negerinya.

67. Tidak sah jika kurban digabungkan dengan aqiqah, karena masing-
masing merupakan ibadah yang memiliki tujuan tersendiri. Sebabnya
pun berbeda satu sama lainnya, maka tidak mungkin salah satunya
menggantikan kedudukan ibadah yang lain.

20
Wallahua’lam
Kita memohon kepada Allah agar menerima amalan kita dan amalan
kaum muslimin
Segala puji bagi rabb semesta alam.

Selesai diterjemahkan oleh


Muhammad Adz Dzahabie
Denpasar, 30 Dzulqa’dah 1441 H
Selasa, 21 Juli 2020

21

Anda mungkin juga menyukai