Anda di halaman 1dari 85

Judul e-Book:

67 Hukum Seputar Kurban

Penulis:
Muhammad Shalih al-Munajjid

Penerjemahan dan Distribusi:


Tim Belajar Tauhid

Penerbit:
Belajar Tauhid
Email: cs.belajartauhid@gmail.com
Telp: 087871995959

b ela ja r t a u h i d

Dilarang memperbanyak isi buku ini


tanpa izin tertulis dari Tim Belajar Tauhid 

[2]
Prolog

E-Book “67 Hukum Seputar Kurban”


diterjemahkan dan didistribusikan oleh Tim
@belajartauhid secara gratis. Diizinkan kepada
berbagai pihak untuk menyebarluaskan E-Book
ini kepada kaum muslimin tanpa tujuan
komersil.

Semoga E-Book ini bermanfaat bagi kaum


muslimin dan menjadi amal shalih yang
memperberat timbangan kebaikan kita semua.

Salam.

[3]
Pengantar

Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat


dan salam tercurah kepada Rasulullah.
Berikut ini adalah sejumlah kesimpulan
ringkas dalam topik Udhiyah (Kurban) dan
hukum-hukumnya. Kami memohon kepada
Allah agar memberi manfaat kepada sidang
pembaca dari hukum-hukum tersebut dan
memberi balasan pahala bagi setiap orang yang
berkontribusi dalam penyusunan dan
penyebaran materi ini.

Muhammad Shalih al-Munajjid

[4]
Hukum Pertama

Udhiyah adalah binatang ternak (unta, sapi


dan kambing) yang disembelih pada hari-hari
Adha (Idul Adha dan hari-hari Tasyriq) dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Dinamakan dengan udhiyah karena hewan-
hewan itu pada hari tersebut disembelih di
waktu Dhuha, yaitu tatkala menjelang siang.
Nama lain udhiyah adalah idhiyah dan dhahiyah.

[5]
Hukum Kedua

Berkurban disyari’atkan pada tahun kedua


Hijriyah dan merupakan salah satu syi’ar Islam
berdasarkan al-Quran, hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesepakatan
kaum muslimin (ijma’).
Allah ta’ala berfirman,
ْ َ ‫َﻓ‬
‫ﺼ ِ ّﻞ ِﻟ َﺮِّ َﻚ َواﻧ َﺤ ْﺮ‬
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu;
dan berkurbanlah.” [al-Kautsar: 2].
Allah ta’ala berfirman,
َ َ َ ‫َ ُ ّ ُ ﱠ َ ََْ َ ْ َ ً َ ْ ُ ُ ْ ﱠ‬
‫اﺳ َﻢ اﻟﻠ ِﮫ َﻋ ٰ َﻣﺎ َرزﻗ ُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ‬ ‫وِﻟ ِﻞ أﻣ ٍﺔ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﻣ ﺴ ﺎ ِﻟﻴﺬﻛﺮوا‬
ْ
ُْ ّ َ ََ َٰ ُ َٰ َ َْ ْ
‫َ ِ َﻴﻤ ِﺔ اﻷ َﻌ ِﺎم ۗ ﻓ ِﺈﻟ ُ ﻜ ْﻢ ِإﻟ ٌﮫ َو ِاﺣ ٌﺪ ﻓﻠ ُﮫ أ ْﺳ ِﻠ ُﻤﻮا ۗ َو َ ِﺸ ِﺮ اﳌﺨ ِﺒ ِﺘ َن‬
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami
syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap
binatang ternak yang telah direzekikan Allah
kepada mereka, maka sembahanmu ialah
Sembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah
dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar

[6]
gembira kepada orang-orang yang tunduk
patuh (kepada Allah).” [al-Hajj: 34].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkurban sebagaimana hal itu diinformasikan
dari perbuatan dan perkataan beliau, dan
demikian pula kaum muslimin telah turun-
temurun melakukannya.

[7]
Hukum Ketiga

Berkurban memiliki keutamaan yang


sangat besar, akan tetapi tidak terdapat hadits
shahih yang menentukan batasan dan kadar
keutamaan tersebut.
Ibnu al-Arabi al-Maliki mengatakan,
“Sejumlah orang meriwayatkan berbagai riwayat
aneh perihal keutamaan udhiyah.”1
Mereka yang gemar menyebarluaskan
berbagai hadits Nabi di media sosial dan media
lain, harus memperhatikan hal ini dengan
seksama.

1
Aridhah al-Ahwadzi 6/228.

[8]
Hukum Keempat

Hukum udhiyah (berkurban) adalah


sunnah muakkadah, sunnah yang sangat
ditekankan untuk dilakukan menurut mayoritas
alim ulama. Sejumlah ulama berpandangan
berkurban wajib dilakukan bagi mereka yang
mampu. Pendapat yang terakhir ini merupakan
pendapat Abu Hanifah, salah satu riwayat dari
Malik, Ahmad dan menjadi pilihan pendapat
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Dengan begitu,
tidak patut bagi seorang mukmin yang memiliki
kelapangan harta melalaikan syi’ar berkurban.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
mengatakan,
َ ‫َ ْ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ َ ْ ُ َ ّ ََ َ ْ ََ ﱠ ُ َ ﱠ‬
‫ﺼﻼﻧﺎ‬ ‫ ﻓﻼ ﻳﻘﺮ ﻦ ﻣ‬, ِ ‫ﻣﻦ ﺎن ﻟﮫ ﺳﻌﺔ وﻟﻢ ﻳ‬
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta)
namun tidak mau berkurban maka jangan
sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”2

2
HR. Ibnu Majah: 3123 secara marfu’. Namun, al-Baihaqi
dan al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkan pendapat bahwa
riwayat ini mauquf dan merupakan perkataan Abu
Hurairah.

[9]
Hukum Kelima

Udhiyah disyari’atkan bagi setiap orang


yang mampu, baik pria maupun wanita; orang
yang bermukim maupun bersafar; warga
pedalaman ataupun warga kota; baik orang itu
tengah berada di negeri kaum muslimin atau
tidak; kecuali jema’ah haji, menurut imam Malik,
yang disyari’atkan bagi dirinya adalah
menyembelih hewan hadyu dan bukan
menyembelih udhiyah. Pendapat tersebut juga
diamini oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah,
murid beliau, Ibnu al-Qayyim dan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumullah.

[10]
Hukum Keenam

Seorang yang tidak memiliki uang untuk


membeli udhiyah (hewan kurban), tidak
mengapa meminjam uang untuk membeli
udhiyah jika dia mampu melunasi, seperti
seorang pegawai yang kemudian meminjam
uang untuk membeli udhiyah dan baru
melunasi ketika menerima gaji bulan depan atau
dia membeli udhiyah dengan mencicil
pembayarannya.
Jika orang tersebut diperkirakan sulit
melunasi, maka lebih baik dia tidak usah
meminjam uang demi membeli udhiyah,
sehingga dia tidak menyibukkan dirinya dengan
sesuatu yang tidak diwajibkan atas dirinya.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Apabila dia memiliki kemampuan untuk
melunasi, kemudian dia berutang untuk
membeli udhiyah, maka hal itu bagus, meski hal
tersebut (berutang untuk membeli udhiyah)
tidak wajib dilakukannya.”3

3
Majmu’ al-Fatawa 26/305.

[11]
Hukum Ketujuh

Salah satu bentuk sedekah yang dianjurkan


adalah menggembirakan kaum muslimin yang
belum mampu berkurban, yaitu dengan
menyedekahkan sejumlah uang kepadanya agar
dapat membeli hewan kurban atau
menghadiahkan hewan agar dia dapat
berkurban dengannya.
Dari Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, dia
menginformasikan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membagi-bagikan hewan
kurban kepada para sahabat beliau.4
Demikian pula, salah satu contoh kebajikan
dan kedermawanan yang mulia adalah seorang
yang memiliki sejumlah udhiyah (hewan kurban)
memberikan sebagian hewan kurban miliknya
kepada kerabat atau tetangga yang fakir dan
memiliki keluarga, dan menjadikan mereka
sebagai wakil untuk menyembelih hewan
kurban tersebut di rumah mereka, sehingga
mereka pun turut merasakan kegembiraan.

4
HR. al-Bukhari: 5547 dan Muslim: 1965.

[12]
Hukum Kedelapan

Di antara hikmah berkurban:


- Beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan apa yang
disyari’atkannya. Allah ta’ala berfirman,
ُ َٰ ُ َ ‫َ ْ ََ َ ﱠ‬
ُ ُ ُ ‫اﻟﻠ َﮫ‬
‫ﻮﻣ َ ﺎ َوﻻ ِد َﻣﺎؤ َ ﺎ َوﻟ ِﻜ ْﻦ َﻳ َﻨﺎﻟ ُﮫ‬ ‫ﻟﻦ ﻳﻨﺎل‬
ُ
‫اﻟﺘ ْﻘ َﻮ ٰى ِﻣ ْﻨﻜ ْﻢ‬
‫ﱠ‬
“Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya.” [al-
Hajj: 37].
- Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim al-
Khalil ‘alahi as-salam.
- Wujud rasa syukur kepada Allah ta’ala
atas nikmat-Nya yang begitu banyak
dan salah satunya adalah nikmat
mampu memiliki dan/atau membeli
hewan ternak untuk dikurbankan.

[13]
Allah ta’ala berfirman,
َ ‫ﱠ‬ ْ ‫ﻟ َ ْﺸ َ ُﺪوا َﻣ َﻨﺎﻓ َﻊ َﻟ ُ ْﻢ َو َ ْﺬ ُﻛ ُﺮوا‬
‫اﺳ َﻢ اﻟﻠ ِﮫ ِ أ ﱠﻳ ٍﺎم‬ ِ ِ
ُُ َ َ َْ ْ َ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ ٰ ََ ُ
َ ‫َﻣ ْﻌﻠ‬
‫ﺎت ﻋ ﻣﺎ رزﻗ ﻢ ِﻣﻦ ِ ﻴﻤ ِﺔ اﻷ ﻌ ِﺎم ۖ ﻓ ﻠﻮا‬ ٍ ‫ﻮﻣ‬
َ ‫ﺲ ْاﻟ َﻔ ِﻘ‬َ ِ ‫ِﻣ ْ َ ﺎ َو َأ ْﻃ ِﻌ ُﻤﻮا ْاﻟ َﺒﺎ‬
“...supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan atas rezeki yang
Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara
dan fakir.” [al-Hajj: 28].
- Ikut berpartisipasi dengan para jama’ah
yang tengah menunaikan haji di
Baitullah pada sebagian syi’ar-syiar
ibadah haji.
- Melapangkan hati diri sendiri dan
keluarga; memuliakan tetangga, kerabat
dan kolega; bersedekah kepada orang-
orang fakir di hari Idul Adha.

[14]
Hukum Kesembilan

Menyembelih udhiyah (berkurban) lebih


utama daripada bersedekah dengan uang yang
senilai hewan kurban. Karena berkurban
merupakan syi’ar agama Allah dan sunnah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam yang sangat
dianjurkan untuk dilakukan.
Pendapat ini merupakan pendapat imam
fikih yang empat. Sa’id bin al-Musayyib
rahimahullah berkata, “Saya lebih suka
berkurban dengan seekor kambing daripada
bersedekah seratus dirham.”5
Alasan lainnya adalah menyembelih
kurban kepada Allah merupakan ibadah dan
syi’ar tersendiri, apabila seseorang lebih memilih
untuk bersedekah ketimbang berkurban,
niscaya akan menghilangkan syi’ar tersebut.

5
Mushannaf Abdurrazzaq 4/388.

[15]
Hukum Kesepuluh

Pada dasarnya berkurban merupakan syi’ar


yang dilakukan atas nama orang yang masih
hidup seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau yang berkurban
untuk diri dan keluarga mereka.
Berkurban disyari’atkan atas nama orang
yang telah wafat, yang mewasiatkan pihak
keluarga untuk berkurban atas namanya atau
dia disertakan ke kurban orang yang hidup,
semisal orang yang berkurban atas nama diri
dan keluarganya, dengan niat mencakup
keluarga yang masih hidup dan telah wafat.

[16]
Hukum Kesebelas

Berkurban atas nama orang yang telah


wafat secara tersendiri diperbolehkan.
Sejumlah ulama menyatakan bahwa
pahalanya sampai kepada mayit dan bermanfaat
bagi dirinya. Hal itu dianalogikan dengan
perbuatan bersedekah atas nama orang yang
telah wafat.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa bersedekah dengan uang yang setara
dengan harga hewan kurban atas nama mayit
lebih utama daripada berkurban atas nama
dirinya, karena berkurban atas nama mayit tidak
lazim dilakukan para salaf.

[17]
Hukum Keduabelas

Agar berkurban sah, hewan kurban


dipersyaratkan berupa hewan ternak (bahimah
al-an’am), yaitu unta, sapi dan kambing/domba
dengan berbagai jenisnya berdasarkan firman
Allah ta’ala,
َ َ َ ‫َ ُ ّ ُ ﱠ َ ََْ َ ْ َ ً َ ْ ُ ُ ْ ﱠ‬
‫اﺳ َﻢ اﻟﻠ ِﮫ َﻋ ٰ َﻣﺎ َرزﻗ ُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ‬ ‫وِﻟ ِﻞ أﻣ ٍﺔ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﻣ ﺴ ﺎ ِﻟﻴﺬﻛﺮوا‬
َ‫اﻷ ْ َﻌﺎم ۗ َﻓﺈ َٰﻟ ُ ُﻜ ْﻢ إ َٰﻟ ٌﮫ َواﺣ ٌﺪ َﻓ َﻠ ُﮫ َأ ْﺳﻠ ُﻤﻮا ۗ َو َ ّﺸﺮ ْاﳌُ ْﺨﺒﺘ ن‬
َْ َ َ
‫ِ ﻴﻤ ِﺔ‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami
syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap
binatang ternak yang telah direzekikan Allah
kepada mereka, maka Sembahan-mu ialah
Sembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah
dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang tunduk
patuh (kepada Allah).” [al-Hajj: 34].

[18]
Hukum Ketigabelas

Berkurban satu kambing mencukupi untuk


satu keluarga. Apabila salah satu anggota
keluarga berkurban, atau istri berkurban atas
nama suami dan keluarganya, syi’ar berkurban
telah tercapai dan seluruh anggota keluarga
memperoleh pahala berkurban.
Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu
berkata,
ُُ ْ َ َ َ َ
‫ ﻓ َﻴﺄ ﻠﻮ َن‬، ‫ﺎﻟﺸ ِﺎة َﻋ ْﻨ ُﮫ َو َﻋ ْﻦ أ ْ ِﻞ َﺑ ْ ِﺘ ِﮫ‬
‫ﱠ‬ َ ‫اﻟﺮ ُﺟ ُﻞ ُﻳ‬
‫ﻀ ِ ّ ِﺑ‬ ‫ﺎن ﱠ‬
ْ
‫َو ُ ﻄ ِﻌ ُﻤﻮ َن‬
“Ada seseorang pada zaman Rasulullah
shallallahu alahi wa sallam berkurban dengan
seekor kambing untuk dirinnya dan
keluarganya, lalu mereka memakan
(sebagiannya) dan memberi makan orang lain
(sebagian lainnya).”6

6
HR. at-Tirmidzi: 1505. Dinilai shahih oleh al-Albani.

[19]
Hukum Keempatbelas

Meski seorang yang berkurban tidak


berniat menyertakan keluarganya dalam
udhiyah, secara otomatis keluarganya (ahli bait)
turut tercakup.
Ahli bait adalah setiap orang yang tercakup
ke dalam istilah “keluarga/ahli bait” ditinjau dari
segi adat-istiadat (‘urf) yang berlaku pada
masyarakat atau bahasa. Dan menurut ‘urf, yang
dimaksud ahli bait adalah mereka yang berada
di bawah tanggungan seseorang seperti istri,
anak dan kerabat.

[20]
Hukum Kelimabelas

Apabila dalam satu rumah terdiri dari


beberapa keluarga dengan anak-anak mereka
dan makan bersama-sama, maka satu hewan
kurban sudah mencukupi mereka semua.
Adapun jika mereka memiliki rumah yang
terpisah, maka yang disyari’atkan masing-
masing kepala keluarga berkurban dengan
hewan kurban yang khusus untuk mereka.

[21]
Hukum Keenambelas

Seorang yang memiliki beberapa istri,


maka dia cukup berkurban dengan satu hewan
kurban dan diniatkan untuk semua,
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang berkurban atas nama diri dan istri-istri
beliau. Akan tetapi, jangan sampai
mengkhususkan salah seorang istri dengan
hewan kurban tersebut, karena suami wajib
berbuat adil pada para istri-istrinya.

[22]
Hukum Ketujuhbelas

Untuk pengadaan hewan kurban,


pengadaan unta mencukupi dari tujuh orang;
dan pengadaan sapi mencukupi dari tujuh
orang. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin
Abdillah radhiallahu ‘anhu,
ْ ‫ﱠ‬ َ ‫ﱠ َﱠ ﱠ‬ َ َ
‫ﺻ اﻟﻠ ُﮫ َﻋﻠ ْﻴ ِﮫ َو َﺳﻠ َﻢ َﻋ َﺎم ا ُ َﺪ ْﻳ ِ َﻴ ِﺔ‬ ‫ﻧ َﺤ ْﺮﻧﺎ َﻣ َﻊ َر ُﺳﻮ ِل اﻟﻠ ِﮫ‬
َ َ ْ ََ ْ
‫اﻟ َﺒ َﺪﻧﺔ َﻋ ْﻦ َﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ َواﻟ َﺒﻘ َﺮة َﻋ ْﻦ َﺳ ْﺒ َﻌ ٍﺔ‬
"Kami pernah menyembelih kurban
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban
seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu
tujuh orang dalam pengadaannya."7

7
HR. Muslim: 1318.

[23]
Hukum Kedelapanbelas

Boleh berserikat (patungan) dalam


pengadaan hewan kurban sapi dan unta, meski
sebagian partisipan yang mengikuti patungan
tidak ingin berkurban, misal dia patungan
karena ingin melaksanakan nadzar; mengolah
daging hewan sembelihan untuk menjamu
tamu; menyedekahkan dagingnya; atau alasan
yang lain. Setiap partisipan bergantung pada
niatnya dalam pengadaan hewan kurban
tersebut.

[24]
Hukum Kesembilanbelas

Dalam berserikat pengadaan hewan


kurban unta atau sapi, diperbolehkan jika
partisipan kurang dari tujuh orang, karena jika
pengadaan hewan kurban diperbolehkan dari
tujuh orang, tentu lebih diperbolehkan lagi jika
partisipan kurang dari itu, sehingga setiap
partisipan dapat berdonasi dengan kelebihan
tersebut.

[25]
Hukum Keduapuluh

Tidak sah berserikat lebih dari satu orang


dalam pengadaan hewan kurban
kambing/domba karena tidak dalil yang
mendukung hal tersebut.
Ketentuan yang sama juga berlaku bagi
unta dan sapi, sehingga tidak sah jika
pengadaan keduanya berasal dari delapan
orang atau lebih. Ibadah bersifat tauqifiyah
(ditopang dalil), sehingga tidak boleh
melanggar batasan yang telah ditetapkan, baik
dalam hal jumlah ataupun tata cara.

[26]
Hukum Keduapuluh satu

Dari segi jenis, yang lebih utama menjadi


hewan kurban (udhiyah), menurut sebagian alim
ulama adalah kambing/domba kibasy (jantan)
sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Sedangkan mayoritas alim ulama
berpendapat yang lebih utama menjadi hewan
kurban adalah unta kemudian sapi apabila
dalam pengadaannya tidak berserikat (hanya
berasal dari satu orang), kemudian domba (adh-
dha’n), kemudian kambing (al-ma’iz).
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
َ ََ َ َ َ ‫َ ْ َْ َ َ َْ َ ْ ُ ُ َ ُ ْ َ ْ ََ َ ُ ﱠ‬
‫اح ﻓﻜﺄ ﱠﻧ َﻤﺎ ﻗ ﱠﺮ َب‬ ‫ﻣﻦ اﻏ ﺴﻞ ﻳﻮم ا ﻤﻌ ِﺔ ﻏﺴﻞ ا ﻨﺎﺑ ِﺔ ﺛﻢ ر‬
َ ‫اﻟﺜﺎﻧ َﻴﺔ َﻓ َﻜ َﺄ ﱠﻧ َﻤﺎ َﻗ ﱠﺮ َب َﺑﻘ َﺮة َو َﻣ ْﻦ َر‬
‫اح‬
ً َ ‫ﱠ َ ﱠ‬ َ ‫َﺑ َﺪ َﻧ ًﺔ َو َﻣ ْﻦ َر‬
ِ ِ ‫اﻟﺴﺎﻋ ِﺔ‬ ِ ‫اح‬
َْ َ َ َََ
‫اﻟﺜ ِﺎﻟ َﺜ ِﺔ ﻓﻜﺄ ﱠﻧ َﻤﺎ ﻗ ﱠﺮ َب ﻛ ْ ًﺸﺎ أﻗ َﺮ َن‬
‫ﱠ َ ﱠ‬
‫ِ اﻟﺴﺎﻋ ِﺔ‬
“Barangsiapa mandi pada hari jumat
sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat
menuju masjid, maka dia seolah berkurban
dengan seekor unta. Barangsiapa yang datang
pada kesempatan (waktu) kedua maka dia
[27]
seolah berkurban dengan seekor sapi.
Barangsiapa yang datang pada kesempatan
(waktu) ketiga maka dia seolah berkurban
dengan seekor kambing yang bertanduk.”8
Pada hadits di atas, didahulukan unta, sapi
pada derajat yang kedua, kemudian kambing.

8
HR. al-Bukhari: 881 dan Muslim: 850.

[28]
Hukum Keduapuluh dua

Hewan kurban yang lebih utama adalah


yang paling gemuk, yang lebih banyak memiliki
daging; berfisik tubuh yang paling sempurna
dan paling bagus dipandang.
Abu Umamah bin Sahl berkata,
ْ َ َ َ َ َْ َ ‫ُ ﱠ ُ َ ّ ُ ْ ُ ْ ﱠ‬
‫ﺎن اﳌُ ْﺴ ِﻠ ُﻤﻮ َن ُ َﺴ ِّﻤ ُﻨﻮ َن‬ ‫ﻛﻨﺎ ﺴ ِﻤﻦ اﻷ ِ ﻴﺔ ِﺑﺎﳌ ِﺪﻳﻨ ِﺔ و‬
“Dulu kami menggemukkan hewan kurban
ketika di Madinah dan kaum muslimin juga
melakukannya.”9
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata, Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam
menyembelih kurban berupa dua ekor
kambing/domba kibasy besar yang tubuhnya
didominasi warna putih dan bertanduk.10

9
Disampaikan oleh al-Bukhari dalam Shahih 7/100 beliau
secara mu’allaq.
10
HR. al-Bukhari: 5564 dan Muslim 1966.

[29]
Hukum Keduapuluh tiga

Hewan kurban harus mencapai usia yang


telah ditentukan syari’at berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ً َ ْ َ ُ َ َ ‫ً ﱠ‬ ‫ﱠ‬ َْ َ
‫ ِإﻻ أ ْن َ ْﻌ ُﺴ َﺮ َﻋﻠ ْﻴﻜ ْﻢ ﻓ َﺘﺬ َﺑ ُﺤﻮا َﺟﺬ َﻋﺔ‬,‫ﻻ ﺗﺬ َﺑ ُﺤﻮا ِإﻻ ُﻣ ِﺴ ﱠﻨﺔ‬
ْ‫َ َ ﱠ‬
‫ﻟﻀﺄ ِن‬ ‫ِﻣﻦ ا‬
“Janganlah kalian menyembelih kecuali
musinnah, namun jika kalian sulit
mendapatkannya maka sembelihlah domba.”11
Musinnah adalah hewan yang berkriteria
tsaniyah atau di atasnya, sedangkan jadza’ah
adalah kriteria di bawahnya.
Unta musinnah adalah unta yang telah
genap berumur lima tahun dan memasuki umur
enam tahun.
Sapi musinnah adalah sapi yang telah
genap berumur dua tahun dan memasuki umur
tiga tahun.

11
HR. Muslim: 1963.

[30]
Kambing musinnah adalah kambing yang
genap berumur setahun dan memasuki umur
dua tahun.
Domba jadza’ah adalah domba yang
berumur enam bulan dan memasuki umur tujuh
bulan.
Berpedoman pada umur yang ditetapkan
syari’at dalam pemilihan hewan kurban adalah
hal yang wajib, tidak boleh menyelisihi
ketentuan tersebut dengan memilih hewan
kurban di bawah umur yang telah ditetapkan
dan boleh memilih hewan yang umurnya
melebihi ketentuan di atas.

[31]
Hukum Keduapuluh empat

Hewan kurban harus milik pekurban


(shahib al-kurban), baik diperoleh dengan cara
pembelian, hibah, diwarisi, pembibitan atau
yang lain.
Kurban yang dilakukan oleh seorang wali
atas nama anak yatim dari harta anak tersebut
hukumnya sah, jika sang anak memiliki
kelapangan harta, memang ingin berkurban dan
akan bersedih jika tidak berkurban.
Ibnu Qudamah mengatakan,
‫ و ﻮﻓﺮ ﺎ‬،‫ء ﻣ ﺎ‬ ‫ﻣ ﺿ ﻋﻦ اﻟﻴ ﻴﻢ ﻟﻢ ﻳﺘﺼﺪق‬
‫ﻟﻨﻔﺴﮫ ﻷﻧﮫ ﻻ ﻳﺠﻮز اﻟﺼﺪﻗﺔ ء ﻣﻦ ﻣﺎل اﻟﻴ ﻴﻢ ﺗﻄﻮﻋﺎ‬
“Ketika wali mengurbankan hewan atas
nama anak yatim, dia tidak boleh
menyedekahkan bagian kurban tersebut dan
menyediakan kurban itu untuk anak yatim
tersebut, karena tidak boleh bersedekah sunnah
dengan harta anak yatim.”12

12
Al-Mughni 9/448.

[32]
Hukum Keduapuluh lima

Untuk keabsahan hewan kurban,


dipersyaratkan hewan kurban disembelih pada
waktu yang telah ditentukan syari’at.
Waktu penyembelihan hewan kurban
(udhiyah) dimulai dari selepas shalat Idul Adha
berdasarkan hadits
َ َ ُ َّ ُ ْ َ َ َ َ َْ ْ َُ َْ َ َ ‫ﱠ َﱠ‬
‫ﺛ ﱠﻢ ﻧ ْﺮ ِﺟ َﻊ ﻓ َﻨ ْﻨ َﺤ َﺮ‬ َ ِ ‫ﺼ‬ ‫ﻧ‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ﺬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬
ِ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ِ ِ ِ ‫ِإن أول ﻣﺎ ﻧﺒﺪ‬
‫ﻣ‬ ‫ﮫ‬ ‫ﺑ‬ ‫أ‬
ََ ‫َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ﱠ‬
‫ﻓﻤﻦ ﻓﻌﻞ ﺬا ﻓﻘﺪ أﺻﺎب ﺳﻨ ﻨﺎ‬
"Sesungguhnya yang pertama kali kita
lakukan pada hari ini adalah melaksanakan
shalat (Idul Adha) kemudian kembali pulang dan
menyembelih binatang kurban, barangsiapa
melakukan hal ini, berarti dia telah bertindak
sesuai dengan sunnah kita.”13

13
HR. al-Bukhari: 968 dan Muslim: 1961.

[33]
Hukum Keduapuluh enam

Setiap orang yang menyembelih hewan


kurban sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha,
maka hal itu tidak mencukupi dan tidak
terhitung sebagai hewan kurban berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ﻚ‬
ِ ‫ﺴ‬ ِ َ ْ ‫َو َﻣ ْﻦ َﻧ َﺤ َﺮ َﻓﺈ ﱠﻧ َﻤﺎ ُ َﻮ َ ْ ٌﻢ ُﻳ َﻘ ِّﺪ ُﻣ ُﮫ ِ َﻷ ْ ِﻠ ِﮫ َﻟ‬
ُ ‫ﺲ ﻣ ْﻦ اﻟ ﱡ‬
ِ ِ
َ
‫ْ ٍء‬
“Barangsiapa menyembelih binatang
kurban sebelum (shalat Idul Adha), maka
sembelihannya itu hanya berupa daging yang ia
berikan kepada keluarganya, tidak ada
hubungannya dengan ibadah kurban
14
sedikitpun."

14
HR. al-Bukhari: 968 dan Muslim: 1961.

[34]
Hukum Keduapuluh tujuh

Waktu penyembelihan hewan kurban


berakhir dengan terbenamnya matahari pada
hari ketiga dari rangkaian hari-hari Tasyriq, yaitu
hari-hari penyembelihan yang terdiri dari empat
hari, hari Idul Adha dan tiga hari setelahnya.

[35]
Hukum Keduapuluh delapan

Waktu penyembelihan hewan kurban yang


paling utama adalah hari pertama an-Nahr, yaitu
di hari Idul Adha setelah kaum muslimin selesai
melaksanaan shalat Idul Adha, dan setiap hari
an-Nahr lebih utama daripada hari setelahnya
karena lebih bergegas dalam melaksanakan
kebaikan.
Lebih aman tidak menunda
penyembelihan hewan kurban pada hari
keempat karena mempertimbangkan pendapat
sejumlah ulama yang menyatakan hari an-Nahr
hanya berlangsung selama tiga hari saja.

[36]
Hukum Keduapuluh sembilan

Boleh menyembelih hewan kurban di


waktu siang ataupun malam hari. Lebih utama
menyembelih di siang hari karena berkurban
merupakan syi’ar agama yang ditampakkan dan
agar orang-orang fakir dapat melihat
pelaksanaannya.

[37]
Hukum Ketigapuluh

Apabila seseorang tidak menyembelih


hewan kurbannya hingga waktu yang
ditetapkan berakhir, maka:
- Apabila kurbannya bersifat sunnah,
maka dia berkewajiban melakukan apa
pun.
- Apabila kurban yang dilakukannya
bersifat wajib, misal dia bernadzar untuk
berkurban di tahun tertentu, maka dia
berkewajiban menyembelih hewan
kurban tersebut dalam rangka
mengqadha nadzarnya. Pelaksanaannya
seperti penyembelihan hewan kurban
pada umumnya.

[38]
Hukum Ketigapuluh satru

Salah satu syarat hewan kurban adalah


terbebas dari cacat yang menyebabkan
ketidakabsahan kurban. Kurban adalah bentuk
ibadah yang menjadi media pendekatan diri
hamba kepada Allah ta’ala, sedangkan Allah
adalah Dzat yang Mahabaik dan hanya
menerima yang baik. Dengan begitu,
sepatutnya hewan kurban berada dalam kondisi
yang baik dan terbebas dari cacat.

[39]
Hukum Ketigapuluh dua

Ada empat cacat hewan kurban yang


tercantum dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dimana cacat-cacat tersebut dapat
menyebabkan ketidakabsahan hewan ternak
sebagai hewan kurban.
ْ ْ ْ ْ ُ َ
‫ﻻ َﻳ ُﺠﻮز ِﻣ ْﻦ اﻟ ﱠ َ َﺎﻳﺎ اﻟ َﻌ ْﻮ َر ُاء اﻟ َﺒ ِّ ُن َﻋ َﻮ ُر َ ﺎ َواﻟ َﻌ ْﺮ َﺟ ُﺎء اﻟ َﺒ ِّ ُن‬
ُ َ ‫ْ َ ﱠ‬ ُ ‫ﻀ ُﺔ ْاﻟ َﺒ ّ ُن َﻣ َﺮ‬ َْ َ َ ُ َ َ
‫ﺿ َ ﺎ َواﻟ َ ْ ﻔ ُﺎء اﻟ ِ ﻻ ﺗ ْﻨ ِﻘﻲ‬ ِ
َ ‫اﳌﺮ‬
ِ ‫ﻋﺮﺟ ﺎ و‬
"Tidak boleh ada hewan kurban yang buta
sebelah matanya, yaitu yang jelas kebutaannya;
sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas
pincangnya; dan yang sangat kurus hingga
seperti tidak memiliki sumsum.”15

15
HR. Abu Dawud: 2802; at-Tirmidzi: 1497; dan selainnya.
Dinilai shahih oleh al-Albani.

[40]
Hukum Ketigapuluh tiga

Kriteria sakit yang jelas adalah sakit yang


gejalanya nampak jelas pada hewan ternak
seperti demam yang membuat hewan tersebut
tak mampu lagi berjalan ke ladang
penggembalaan (padang rumput) dan
mengilangkan nafsu makannya; skabies yang
nampak jelas dan merusak daging dan
memengaruhi kesehatan hewan ternak; luka
dalam yang memengaruhi kesehatannya.
Adapun sakit ringan tidaklah berpengaruh
pada keabsahan kurban, demikian pula dengan
pincang dan kurus yangtidak seberapa.

[41]
Hukum Ketigapuluh empat

Ketentuan empat cacat di atas turut


berlaku pada cacat yang semisal atau lebih
parah dari keempatnya. Dengan demikian, tidak
boleh berkurban dengan:
- Hewan ternak yang buta, karena lebih
parah daripada hewan yang buta
sebelah dan jelas kebutaannya.
- Hewan yang tengah sekarat, karena sakit
yang tengah dialaminya lebih parah
daripada sakit yang jelas penyakitnya
dan pincang yang jelas kepincangannya.
- Hewan yang salah satu kaki atau
tangannya terpotong, karena lebih
parah daripada hewan yang pincang
dan jelas kepincangannya.

[42]
Hukum Ketigapuluh lima

Telinga, tanduk,ekor dan pantat apabila


hilang dari bentuk asalnya, maka sah menjadi
hewan kurban tanpa karahah. Namun, jika
terpotong maka berkurban dengan hewan itu
sah tapi makruh, kecuali domba yang pantatnya
terpotong maka tidak sah karena termasuk cacat
yang jelas pada bagian tubuh yang diinginkan.

[43]
Hukum Ketigapuluh enam

Dimakruhkan berkurban dengan hewan


ternak yang telinganya terpotong, robek;
sebagian giginya tanggal; atau tanduknya
pecah.

[44]
Hukum Ketigapuluh tujuh

Boleh berkurban dengan hewan ternak


yang telah dikastrasi (dikebiri). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkurban dengan dua
ekor kambing kibasy yang dikebiri. Alasan
hewan dikebiri karena dapat memperbaiki
kualitas daging hewan ternak.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak
mengetahui adanya perselihan alim ulama akan
keabsahan berkurban dengan hewan ternak
yang telah dikebiri.”16

16
Al-Mughni 3/476.

[45]
Hukum Ketigapuluh delapan

Suatu hewan ternak dinyatakan menjadi


hewan kurban dengan dua cara, yaitu:
- Dengan perkataan, seperti seorang yang
menunjuk hewan tertentu dan
mengatakan, “Hewan ini hewan kurban.”
- Dengan membeli hewan tersebut
dengan niat untuk dikurbankan.

[46]
Hukum Ketigapuluh sembilan

Penetapan suatu hewan menjadi hewan


kurban melahirkan sejumlah hukum, yaitu:
- Tidak boleh memindahkan kepemilikan
hewan tersebut dengan cara dijual,
dihibahkan ataupun cara yang lain,
karena status hewan tersebut seperti
hewan yang telah menjadi obyek
nadzar, kecuali pemiliknya ingin
mengganti dengan hewan kurban yang
lebih baik atau pemilikinya menjualnya
untuk membeli hewan kurban yang
lebih baik.
- Apabila hewan tersebut mengalami
cacat yang menyebabkan
ketidakabsahan kurban, maka wajib
menggantinya dengan hewan kurban
yang setara, kecuali cacat yang dialami
hewan tersebut terjadi tanpa adanya
unsur melampaui batas atas kelalaian.
Dalam kondisi yang terakhir, pemilik
boleh menyembelihnya sebagai hewan
kurban dan hal itu sudah mencukupi
(tidak perlu mengganti).

[47]
- Apabila hewan kurban itu hilang atau
dicuri, pemilik hewan kurban wajib
mengganti dnegan yang setara, kecuali
hal itu terjadi tanpa ada unsur
melampaui batas atau kelalaian dari
pemilik. Pada kondisi tersebut, pemilik
tidak berkewajiban apapun.
- Apabila hewan kurban melahirkan anak,
maka hukum anaknya sama dengan
hukum sang induk, yaitu sama-sama
berstatus hewan kurban sehingga
disembelih bersama dengan induknya.

[48]
Hukum Keempat puluh

Setiap orang yang niat berkurban


kemudian membatalkan niatnya, maka tidak ada
dosa dan kewajiban apa pun atas dirinya jika
membatalkan niatnya berkurban. Kecuali jika dia
telah menetapkan hewan kurban, maka pada
kondisi tersebut dia wajib menyembelih hewan
kurban tersebut. Dia tidak boleh membatalkan
niat berkurban karena dengan melakukan
penetapan hewan kurban, hewan tersebut telah
keluar dari kepemiikannya.

[49]
Hukum Keempatpuluh satu

Pekurban dianjurkan melakukan sendiri


penyembelihan hewan kurban jika
berkompeten, karena menyembelih adalah
ibadah dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala,
sehingga dianjurkan untuk dilakukan sendiri.
Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menyembelih dengan tangannya sendiri dan
pada tindakan beliau terdapat keteladanan yang
baik bagi kita.
Jika pekurban tidak berkompeten, maka
dia boleh menyerahkannya kepada orang ang
berkompeten.

[50]
Hukum Keempatpuluh dua

Penyembelihan hewan kurban boleh


diwakilkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menyembelih sendiri 63 ekor unta pada
saat pelaksanaan haji Wada’ dan mewakilkan
penyembelihan hewan kurban yang tersisa
kepada sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu
;anhu hingga genap 100 ekor.

[51]
Hukum Keempat puluh tiga

Lebih utama mewakilkan penyembelihan


hewan kurban kepada orang yang bertakwa dan
mengetahui tata cara dan hukum-hukum
penyembelihan hewan.
Al-Qarafi rahimahullah mengatakan, “Kaum
muslimin sering mewakilkan proses
penyembelihan hewan kurban mereka kepada
orang yang shalih.”17
Lebih baik seorang muslim tidak
mewakilkan proses penyembelihan hewan
kurban kepada ahli kitab.

17
Adz-Dzakhirah 4/155.

[52]
Hukum Keempatpuluh empat

Setiap orang yang ingin berkurban, maka


dia jangan mencabut rambut, menggunting
kuku dan mengambil kulit dari tubuhnya,
dimulai dari malam pertama bulan Dzulhijjah
hingga dia menyembelih hewan kurbannya.
Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah
radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َ ‫إ َذا َد َﺧ َﻠ ْﺖ ْاﻟ َﻌ ْﺸ ُﺮ َو َأ َ َاد َأ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َأ ْن ُﻳ‬
‫ﻀ ِ ّ َ َﻓﻼ َﻳ َﻤ ﱠ‬
‫ﺲ ِﻣ ْﻦ‬ ‫ر‬ ِ
ً‫َﺷ َﻌﺮﻩ َو َ َﺸﺮﻩ َﺷ ْ ﺌﺎ‬
ِِ ِِ
“Jika sepuluh hari awal Dzul Hijjah sudah
masuk, dan seseorang dari kalian ingin
berkurban, maka hendaknya tidak menyentuh
(memotong) rambut dan kulit tubuhnya
sedikitpun.”
dalam satu riwayat tercantum dengan
redaksi,
َ ‫َﻓ َﻼ َﻳ ْﺄ ُﺧ َﺬ ﱠن ﻣ ْﻦ َﺷ ْﻌﺮﻩ َوَﻻ ﻣ ْﻦ َأ ْﻇ َﻔﺎ ﻩ َﺷ ْ ًﺌﺎ َﺣ ﱠ ُﻳ‬
َ ِّ ‫ﻀ‬ ِ ‫ِر‬ ِ ِِ ِ

[53]
“...maka janganlah ia mengambil
sedikitpun dari rambut, serta kukunya hingga ia
menyembelih.”18
An-Nawawi mengatakan,
‫واﳌﺮاد ﺑﺎﻟﻨ ﻋﻦ أﺧﺬ اﻟﻈﻔﺮ واﻟﺸﻌﺮ اﻟﻨ ُ ﻋﻦ إزاﻟﺔ اﻟﻈﻔﺮ‬
ُ ْ
‫ أو‬,‫واﳌﻨﻊ ﻣﻦ إزاﻟﺔ اﻟﺸﻌﺮ ﺑﺤﻠﻖ‬ ،‫ أو ﻏ ﻩ‬,‫ أو ﻛﺴﺮ‬,‫ﺑﻘﻠﻢ‬
،‫ أو ﻏ ذﻟﻚ‬,‫ أو أﺧﺬﻩ ِﺑ َﻨﻮرة‬,‫ أو إﺣﺮاق‬,‫ أو ﻧﺘﻒ‬, ‫ﺗﻘﺼ‬
ُ ‫وﺳﻮاء‬
‫ وﻏ ذﻟﻚ ﻣﻦ‬,‫ واﻟﺮأس‬,‫ واﻟﻌﺎﻧﺔ‬,‫ واﻟﺸﺎرب‬,‫ﺷﻌﺮ اﻹﺑﻂ‬
‫ﺷﻌﻮر ﺑﺪﻧﮫ‬
“Yang dikehendaki dengan larangan
mengambil kuku dan rambut yaitu larangan
memotong kuku, membelah atau dengan cara
yang lain. Dan larangan menghilangkan rambut
adalah menghilangkan rambut dengan cara
mencukur, memotong, mencabut, membakar,
mengambilnya dengan kapur atau dengan cara
yang lain, apakah itu rambut ketiak, jenggot,
rambut kemaluan, kepala dan rambut-rambut
lain yang terdapat di badan.”19

18
HR. Muslim: 1977.
19
Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim 13/138.

[54]
Tidak boleh mengambil semua itu sebelum
pelaksanaan shalat Idul Adha, meski dengan
alasan menghias diri. Apabila penyembelihan
ditunda setelah hari idul Adha, maka larangan
tersebut tetap berlaku hingga penyembelihan
dilakukan.

[55]
Hukum Keempatpuluh lima

Hukum di atas hanya khusus berlaku pada


pekurban dan tidak mencakup keluarga
pekurban, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyembelih hewan kurban atas nama
diri dan keluarganya, namun demikian tidak ada
informasi riwayat yang dinukil bahwa beliau
memerintahkan keluarganya untuk menuruti
larangan tersebut.
Berdasarkan hal itu, keluarga pekurban
boleh mengambil rambut, kuku dan kulitnya
pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

[56]
Hukum Keempatpuluh enam

Larangan pada poin keempatpuluh empat


di atas berlaku khusus pada diri orang yang
memiliki niatan berkurban atas nama dirinya
seperti yang ditunjukkan dalam hadits.
Adapun seorang yang berkurban atas
nama orang lain karena melaksanakan wasiat
atau perwakilan, maka tidak tercakup dalam
larangan tersebut. Apa yang dilakukan oleh
beberapa wanita yang mewakilkan proses
penyembelihan hewan kurban kepada saudara
laki-laki atau anaknya agar dia tetap bisa
memotong rambut di sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah merupakan tindakan yang tidak
tepat, karena hukum laragan tersebut terkait
pada diri pekurban, baik dia mewakilkan
penyembelihan hewan kurbannya atau tidak.

[57]
Hukum Keempatpuluh tujuh

Apabila pekurban mencukur rambut,


memotong kuku atau mengambil kulit
tubuhnya, maka tidak ada kaffarah yang perlu
ditunaikan, hal itu tidak menghalangi dan tidak
membatalkan kurbannya seperti anggapan
sebagian orang. Namun, hendaknya dia
beristighfar kepada Allah karena telah
melanggar larangan.

[58]
Hukum Keempatpuluh delapan

Jika memang ada kebutuhan untuk


melakukan apa yang dilarang dalam hadits di
atas (lihat poin keempatpuluh empat), maka dia
boleh melakukannya dan dia tidak berdosa. Hal
ini seperti seorang yang kukunya patah
sehingga perlu dipotong agar tidak menyakiti;
seorang yang memotong rambutnya yang telah
memanjang hingga menutup mata; atau dia
perlu memotong rambut pada tubuhnya untuk
mengobati luka yang ada. Tidak mengapa
menyisir rambut, meski hal itu akan
menyebabkan sebagian rambut rontok asal
tidak disengaja.

[59]
Hukum Keempatpuluh sembilan

Salah satu adab dalam menyembelih


adalah menggiring hewan kurban dengan cara
yang baik, tidak dengan cara yang kasar.
Dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, dia
berkata, “Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhu
pernah menegur seorang pria yang menyeret
seekor kambing dengan kakinya untuk
disembelih. Beliau berkata, “Celaka engkau!
Giringlah dia kepada kematian dengan cara
yang baik.”20

20
Mushannaf Abdurrazzaq: 8605.

[60]
Hukum Kelimapuluh

Hendaknya pisau diasah sebelum


penyembelihan, karena tujuannya adalah
memberi kenyamanan pada hewan sembelihan.
Hal itu merupakan bentuk perlakuan baik
yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabda beliau,
ََ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ََ َ‫ّ ﱠ‬
‫ ﻓﺈذا ﻗ َﺘﻠ ُﺘ ْﻢ ﻓﺄ ْﺣ ِﺴ ُﻨﻮا‬.‫ﺎن َﻋ َ ِ ّﻞ ْ ٍء‬ ‫اﻹﺣﺴ‬ ِ ‫إن اﻟﻠﮫ ﻛﺘﺐ‬
َ َ ُ َ ْ ‫ﱠ‬ َ َ َ َ ََ ْ
.‫ َوﻟ ُﻴ ِﺤ ّﺪ أ َﺣ ُﺪﻛ ْﻢ ﺷ ْﻔ َﺮﺗ ُﮫ‬.‫ َوِإذا ذ َﺑ ْﺤ ُﺘ ْﻢ ﻓﺄ ْﺣ ِﺴ ُﻨﻮا اﻟﺬ ْﺑ َﺢ‬.‫اﻟ ِﻘ ْﺘﻠﺔ‬
‫ رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬."‫ﻴﺤ َﺘ ُﮫ‬ َ ‫َﻓ ْﻠ ُ ْح َذﺑ‬
ِ ِ
“Sesungguhnya Allah ta'ala telah
mewajibkan agar berbuat ihsan (baik) terhadap
segala sesuatu. Bila kamu membunuh, maka
bunuhlah secara baik dan bila kamu
menyembelih, maka sembelihlah secara baik
dan hendaklah salah seorang diantara kamu
mengasah mata pisaunya, lantas menenangkan
binatang sembelihannya.”21

21
HR. Muslim: 1955.

[61]
Tidak boleh mengasah pisau di hadapan
hewan sembelihan dan tidak boleh
menyembelih hewan sembelihan di hadapan
hewan sembelihan yang lain, karena akan
menghilangkan kandungan perintah
memperlakukan hewan sembelihan dengan
baik yang ada pada hadits di atas.

[62]
Hukum Kelimapuluh satu

Dianjurkan membaringkan kambing dan


sapi di atas lambungnya ketika disembelih Tidak
menyembelihnya dalam keadaan berdiri atau
berlutut, tapi dibaringkan menyamping karena
itu lebih nyaman baginya.
Kambing dan sapi dibaringkan di atas
lambung kirinya, karena hal itu lebih
memudahkan penyembelihan, kemudian
penyembelih memegang pisau dengan tangan
kanan dan menahan kepala hewan dengan
tangan kiri.
Bagi orang yang bertangan kidal, maka dia
boleh membaringkan hewan sembelihan di atas
lambung kanannya dengan menghadap kiblat
dan menyembelih dengan menggunakan
tangan kiri.
Adapun unta, sunnahnya disembelih
sambil berdiri di atas tiga kaki, sedangkan kaki
kiri depan diikat.

[63]
Hukum Kelimapuluh dua

Menghadap kiblat dan menghadapkan


hewan sembelihan ke arah kiblat adalah hal
yang dianjurkan setiap kali menyembelih,
terlebih lagi ketika menyembelih hewan hadyu
dan hewan kurban. Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma mengatakan, “Hendaknya kalian
meletakkan hewan sembelihan di antara diri
kalian dan kiblat ketika menyembelih.”

[64]
Hukum Kelimapuluh tiga

Berkurban adalah ibadah dan yang


namanya ibadah ditetapkan oleh niat
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ُ
‫ﺎﻟﻨ ﱠﻴ ِﺔ َوِﻟ ِ ّﻞ ْاﻣ ِﺮ ٍئ َﻣﺎ َﻧ َﻮى‬
ّ ‫ﺎل ﺑ‬ ََْْ َ‫ﱠ‬
ِ ِ ُ ‫ِإﻧﻤﺎ اﻷﻋﻤ‬
“Amal itu bergantung pada niat dan
seseorang akan menuai hasil sesuai dengan apa
yang diniatkan.”22
niat berkurban harus ada sehingga kita
dapat membedakan antara aktivitas ibadah dan
adat. Dan di antara aktivitas ibadah yang
memerlukan niat adalah berkurban. Dan dengan
semata-mata membeli dan menyembelih hewan
kurban sudah dianggap mencukupi, karena niat
berkurban terletak di hati dan aktivitas itu telah
mengindikasikan adanya niat tersebut.

22
HR. al-bukhari: 1 dan Muslim: 1907.

[65]
Hukum Kelimapuluh empat

Disyari’atkan mengucapkan basmalah,


bertakbir dan berdo’a ketika menyembelih,
dimana orang yang menyembelih
mengucapkan,
ََ ‫َ َ ﱠ‬ َ ‫ﱠ َْ َ ﱠ‬ ‫ﱠ‬
‫ َواﻟﻠ ُﮫ أﻛ َ ُ اﻟﻠ ُ ﱠﻢ ِإ ﱠن َ ﺬا ِﻣ ْﻨ َﻚ َو ﻟ َﻚ اﻟﻠ ُ ﱠﻢ ﺗﻘ ﱠﺒ ْﻞ‬،‫ِ ْﺴ ِﻢ اﻟﻠ ِﮫ‬
ّ‫ﻣ‬
ِِ
“Bismillah wallohu akbar. Allohumma inna
hadza minka wa laka. Allohumma taqobbal
minni.”
Artinya: “Dengan nama Allah, aku
menyembelih hewan ini. Ya Allah,
sesungguhnya hewan kurban ini berasal dari
karunia-Mu dan dikurbankan untuk-Mu, maka
terimalah pengurbananku.”
ketika menyembelihkan hewan kurban
ّ ََ
orang lain, redaksi “ ِ ‫ ”ﺗﻘ ﱠﺒ ْﻞ ِﻣ‬diganti dengan
mengucapkan redaksi,
َُ ْ ََ
‫ﺗﻘ ﱠﺒﻠ ُﮫ َﻋ ْﻦ ﻓﻼ ٍن‬

[66]
“...terimalah pengurbanan dari fulan (nama
pekurban).”
Hal yang wajib dilakukan adalah
mengucapkan basmalah, sementara bacaan
yang lain bersifat anjuran, tidak diwajibkan.

[67]
Hukum Kelimapuluh lima

Tidak boleh menjual daging hewan kurban


atau hewan hadyu. Tidak boleh pula menjual
kulit, bulu dan rambutnya, karena hewan yang
telah diperuntukkan kepada Allah ta’ala tidak
boleh diambil kembali dan menjual sebagian
anggota tubuh hewan tersebut termasuk dalam
hal itu.
Imam Ahmad mengatakan, “Mahasuci
Allah! bagaimana bisa seorang menjualnya,
padahal hewan kurban itu telah diperuntukkan
kepada Allah ta’a’ala?!”

[68]
Hukum Kelimapuluh enam

Boleh memanfaatkan kulit hewan kurban


atau memberikannya kepada yayasan-yayasan
sosial yang akan menjual dan menyedekahkan
hasil penjualan kulit tersebut.

[69]
Hukum Kelimapuluh tujuh

Tidak boleh memberikan jatah hewan


kurban sebagai upah menyembelih dan
menguliti kepada tukang jagal berdasarkan
hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia
berkata,
ََ َ ُ َ ْ َ َ ‫ََ َ َ ُ ُ ﱠ َﱠ ﱠ ُ ََْ َ َ ﱠ‬
‫ُﺑ ْﺪ ِﻧ ِﮫ‬ ‫أﻣﺮِ ﻲ رﺳﻮل اﻟﻠ ِﮫ ﺻ اﻟﻠﮫ ﻋﻠﻴ ِﮫ وﺳﻠﻢ أن أﻗﻮم ﻋ‬
ْ ُ َ َ ‫َ ﱠ‬ ُ ُ َ َ ْ َ َ ‫ََ ْ ََ َ ﱠ‬
‫ا َ ﱠﺰ َار‬ ‫ﻮد َ ﺎ َوأ ِﺟﻠ ِ َ ﺎ َوأ ْن ﻻ أ ْﻋ ِﻄ َﻲ‬ ِ ‫وأن أﺗﺼﺪق ِﺑ ِﻤ ﺎ وﺟ‬
‫ﻠ‬
َ ُ َ َ َ َْ
‫ﺎل ﻧ ْﺤ ُﻦ ْﻌ ِﻄ ِﻴﮫ ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻨ ِﺪﻧﺎ‬‫ِﻣ ﺎ ﻗ‬
"Aku diperintahkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengurus penyembelihan
hewan kurban, menyedekahkan daging dan
kulitnya, serta mengurus segala sesuatu yang
berhubungan dengan kesempurnaan kurban.
Tetapi aku dilarang oleh beliau mengambil upah
dari hewan kurban itu untuk tukang jagal, maka
untuk upahnya kami ambilkan dari uang kami
sendiri."23
Hewan kurban diperuntukkan kepada Allah
ta’ala, maka menjadikan bagian hewan kurban

23
HR. al-Bukhari: 1716 dan Muslim: 1318.

[70]
sebagai upah tukang jagal dianggap seperti
menjual bagian hewan kurban, sehingga
termasuk ke dalam mengambil kembali
sebagian hewan kurban. Dengan begitu, hal
tersebut tidak diperbolehkan.

[71]
Hukum Kelimapuluh delapan

Apabila tukang jagal adalah seorang yang


fakir atau seorang yang jujur, maka tidak
mengapa memberikan jatah kurban kepadanya
sebagai sedekah atau hadiah tanpa ada
persyaratan sebelumnya. Status tukang jagal
yang demikian seperti orang lain pada
umumnya, bahkan boleh jadi lebih layak
menerima jatah kurban karena dirinyalah yang
langsung menangani penyembelihan dan lebih
menginginkannya.

[72]
Hukum Kelimapuluh sembilan

Disyari’atkan bagi pekurban untuk


memakan daging kurban, menghadiahkan dan
menyedekahkannya berdasarkan firman Allah
ta’ala,
َ ِ ‫َﻓ ُ ُﻠﻮا ِﻣ ْ َ ﺎ َو َأ ْﻃ ِﻌ ُﻤﻮا ْاﻟ َﺒﺎ‬
َ ‫ﺲ ْاﻟ َﻔ ِﻘ‬
“Maka makanlah sebahagian daripadanya
dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir.” [al-hajj:
28].
dan firman-Nya,
َُ َ َٰ َ َ ُ ْ َْ ْ َ ُُ
‫ﻠﻮا ِﻣ ْ َ ﺎ َوأﻃ ِﻌ ُﻤﻮا اﻟﻘﺎ ِ َﻊ َواﳌ ْﻌ ﱠ ۚ ﻛﺬ ِﻟ َﻚ َ ﱠ ْﺮﻧﺎ َ ﺎ ﻟﻜ ْﻢ‬
َ ‫َﻟ َﻌ ﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َ ْﺸ ُﻜ ُﺮ‬
‫ون‬
“...maka makanlah sebahagiannya dan beri
makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta.” [al-Hajj: 36].
Dari Salamah bin al-Akwa’, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ َ ُُ
‫ﻠﻮا َوأﻃ ِﻌ ُﻤﻮا َو ﱠاد ِﺧ ُﺮوا‬

[73]
“Makanlah daging kurbanmu, berilah
orang lain makan dari daging tersebut dan
simpanlah sebagian.”24

24
HR. al-Bukhari: 5569.

[74]
Hukum Keenampuluh

Alim ulama berselisih pendapat perihal


seberapa banyak daging kurban yang dimakan,
dihadiahkan dan disedekahkan. Hal ini lapang
dan pendapat yang terpilih adalah sepertiga
dimakan sendiri, sepertiga dihadiahkan dan
sepertiga disedekahkan. Pendapat ini
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhum.
Abu Ja’far an-Nahhas mengatakan,
“Mayoritas alim ulama, di antaranya Ibnu
Mas’ud, Ibnu Umar, Atha, dan ats-Tsauri,
menganjurkan agar sepertiga daging kurban
disedekahkan; sepertiga dihadiahkan; dan
sepertiga dimakan pekurban dan
25
keluarganya.”
Apabila lebih dari sepertiga, juga
diperbolehkan.

25
An-Nasikh wa al-Mansukh hlm. 563.

[75]
Hukum Keenampuluh satu

Apabila wakil yang diamanahi dalam


pengurusan hewan kurban diizinkan oleh
muwakkil (pihak yang meminta diwakilkan)
memakan, menghadiahkan dan
menyedekahkan jatah jurban, maka dia boleh
melakukan hal tersebut. Jika tidak diizinkan,
maka dia mesti menyerahkannya pada
muwakkil.

[76]
Hukum Keenampuluh dua

Wajib menyedekahkan sebagian dari


hewan kurban, , baik sedikit atau banyak,
kepada kaum muslimin yang fakir dan
membutuhkan. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala,
َ ِ ‫َﻓ ُ ُﻠﻮا ِﻣ ْ َ ﺎ َو َأ ْﻃ ِﻌ ُﻤﻮا ْاﻟ َﺒﺎ‬
َ ‫ﺲ ْاﻟ َﻔ ِﻘ‬
“Maka makanlah sebahagian daripadanya
dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir.” [al-hajj:
28].

[77]
Hukum Keenampuluh tiga

Diperbolehkan memberi makan ahli


dzimmah (non-muslim) dengan sebagian hewan
kurban tersebut. Khususnya, jika mereka fakir
dan tetangga pekurban atau merupakan kerabat
atau dalam rangka melunakkan hati mereka,
berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala,
َ
‫َوﻟ ْﻢ‬ ّ
‫اﻟﺪ ِﻳﻦ‬ ْ ُ ُ َ ُ ْ َ َ ‫َ ََْ ُ ُ ﱠ ُ َ ﱠ‬
ِ ِ ‫ﻻ ﻳ ﺎﻛﻢ اﻟﻠﮫ ﻋ ِﻦ َاﻟ ِﺬﻳﻦ ﻟﻢ ﻳﻘﺎ ِﺗﻠﻮﻛﻢ‬
‫ﱠ‬ َ ُ ُ َ ُ ُ ْ
‫اﻟﻠ َﮫ‬ ‫ُﻳﺨ ِﺮ ُﺟﻮﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِد َﻳ ِﺎرﻛ ْﻢ أ ْن ﺗ َ ﱡ و ُ ْﻢ َوﺗ ْﻘ ِﺴﻄﻮا ِإﻟ ْ ِ ْﻢ ۚ ِإ ﱠن‬
ُْ
‫ُﻳ ِﺤ ﱡﺐ اﳌ ْﻘ ِﺴ ِﻄ َن‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” [al-Mumtahanah: 8].

[78]
Hukum Keenampuluh empat

Tercantum dalam hadits-hadits yang


shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menyimpan daging kurban pada
suatu tahun. Kemudian beliau mengizinkan
untuk menyimpannya setelah itu. Artinya,
larangan menyimpan daging kurban telah
dihapus. Inilah yang menjadi pendapat
mayoritas alim ulama.
Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu
‘anhu, dia berkata,
َ َ ُ َ ‫َﻗ‬
‫ﺿ ﱠ ِﻣ ْﻨﻜ ْﻢ ﻓﻼ‬ َ ‫ َﻣ ْﻦ‬- ‫ ﺻ ﷲ ﻋﻠﻴﮫ وﺳﻠﻢ‬- ‫اﻟﻨ ﱡ‬
ِ
‫ﺎل ﱠ‬
ُ‫ﺎن ْاﻟ َﻌﺎم‬َ َ ‫ َﻓ َﻠ ﱠﻤﺎ‬. « ‫ﺼﺒ َﺤ ﱠﻦ َ ْﻌ َﺪ َﺛﺎﻟ َﺜﺔ َو َﺑ ْ ﺘﮫ ﻣ ْﻨ ُﮫ َ ْ ٌء‬ ْ ُ
ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ ‫ﻳ‬
َ ‫َﻗ‬ َْ َ َ َ َْ َ َ َ ُ َ ْ َ ‫ُْْ ُ َ ُ َ َ ُ َ ﱠ‬
‫ﺎل‬ ِ ‫اﳌﻘ ِﺒﻞ ﻗﺎﻟﻮا ﻳﺎ رﺳﻮل اﻟﻠ ِﮫ ﻧﻔﻌﻞ ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻠﻨﺎ ﻋﺎم‬
‫ﺎ‬ ‫اﳌ‬
‫ﺎس َﺟ ْ ٌﺪ‬ ‫ﺎن ﺑ ﱠ‬
‫ﺎﻟﻨ‬ َ َ ‫» ُ ُﻠﻮا َو َأ ْﻃﻌ ُﻤﻮا َو ﱠادﺧ ُﺮوا َﻓﺈ ﱠن َذﻟ َﻚ ْاﻟ َﻌ َﺎم‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ َ ََ
»‫ﻓﺄ َر ْد ُت أ ْن ِﻌﻴﻨﻮا ِﻓ َ ﺎ‬
ُ

”Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Barangsiapa di antara kalian berkurban, maka
janganlah ada daging kurban yang masih tersisa
dalam rumahnya setelah hari ketiga.” Salamah
mengatakan, “Ketika datang tahun berikutnya,

[79]
para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah,
apakah kami harus melakukan sebagaimana
tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun
sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi
berikan kepada orang lain dan sebagian lagi
simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang
mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan
supaya kalian membantu mereka dalam hal
itu.”26

26
HR. al-Bukhari: 5569 dan Muslim: 1974.

[80]
Hukum Keeenampuluh lima

Pada asalnya hewan kurban disembelih di


wilayah domisili pekurban dan didistribusikan di
wilayah tersebut.
Diperbolehkan menyembelih dan
mendistribusikan daging kurban di luar domisili
pekurban karena adanya kebutuhan dan
maslahat yang terdukung bukti, seperti jumlah
hewan kurban yang begitu banyak di suatu
wilayah sementara jumlah fakir miskin sangat
sedikit, atau kaum muslimin di wilayah lain lebih
membutuhkan dan kekurangan.

[81]
Hukum Keeenampuluh enam

Pekurban yang tengah bermigrasi dari


keluarga dan negaranya diperbolehkan
mewakilkan pembelian dan penyembelihan
hewan kurban di negaranya kepada orang lain;
berikut pendistribusiannya kepada kerabat dan
penduduk negaranya yang membutuhkan.

[82]
Hukum Keenampuluh tujuh

Berkurban tidak bisa menggantikan


kewajiban akikah, karena masing-masing dari
keduanya adalah ibadah yang bersifat
maqshudah li dzatiha, yaitu ibadah yang berdiri
sendiri dan diperintahkan untuk dilaksanakan
secara khusus. Keduanya memiliki sebab yang
berbeda satu sama lain, sehingga tidak bisa
saling menggantikan.

[83]
Penutup

Kami memohon kepada Allah ta’ala agar


memberikan taufik sehingga kita dapat
melakukan segala apa yang dicintai dan
diridhai-Nya. Kita meminta perlindungan
kepada-Nya dari segala fitnah, baik yang
nampak maupun yang tersembunyi. Dan kita
memohon kepada-Nya agar berkenan
menerima amal ibadah kita dan kaum muslimin.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

[84]
[85]

Anda mungkin juga menyukai