Anda di halaman 1dari 13

PROSES PELAKSANAAN KURBAN DAN AKIKAH

Ilustrasi Penyembelihan Qurban dan Aqiqah

            
Islam mengajarkan umat muslim agar menjalin tiga jenis hubungan, yaitu hubungan manusia
dengan Allah SWT (hablum min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum
min al-nas) dan hubungan manusia dengan alam semesta (hablum min al-‘alam). Ketiga
hubungan tersebut dapat ditemui dalam syariat qurban dan aqiqah.
            
Jika ditelisik dari awal sejarahnya, baik qurban maupun aqiqah, sama-sama dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Dengan demikian, qurban dan aqiqah bernuansa
hablum min Allah. Qurban dan aqiqah juga sama-sama bernuansa hablum min al-nas, karena
daging qurban dan aqiqah harus dibagikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Bahkan
nuansa hablum min al-‘alam juga tampak pada keharusan untuk menjadikan binatang sebagai
objek qurban dan aqiqah.

Jadi, lengkap sudah ketiga jenis hubungan versi Islam terdapat dalam syariat qurban dan aqiqah. 
Oleh sebab itu, tulisan ini membahas qurban dan aqiqah, baik dari segi teori, praktik maupun
hikmahnya.

Perbandingan Qurban dan Aqiqah


Kambing yang dijadikan sebagai qurban maupun aqiqah harus memenuhi sejumlah kriteria
sebagaimana tertera dalam gambar di bawah ini:

Kriteria Kambing Qurban dan Aqiqah

A. TATA CARA PELAKSANAAN QURBAN

1.  Pengertian
            
Menurut bahasa, qurban berasal dari bahasa Arab qaruba yang berarti ‘dekat’. Yang dimaksud di
sini adalah ‘dekat kepada Allah SWT’. Istilah lainnya adalah udhhiyyah yang berarti hewan
qurban yang disembelih pada waktu dhuha.
            
Menurut istilah, qurban atau udhhiyyah adalah menyembelih hewan ternak tertentu (unta, sapi,
kerbau, kambing) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari-
hari Nahr (penyembelihan), yaitu Idul Adha hingga hari Tasyriq (10-13 Dzulhijjah).

2. Dasar Hukum
            
Qurban disyariatkan pada tahun ke-2 H, sama dengan disyariatkannya zakat dan shalat hari raya.

Perintah berqurban dijelaskan dalam Surat al-Kautsar [108]: 2

ْ‫ك َوا ْن َحر‬ َ َ‫ف‬


َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah (Q.S. al-Kautsar [108]: 2)

3. Hukum Qurban
            
Hukum menyembelih qurban menurut Imam Hanafi adalah wajib berdasarkan Hadis riwayat
Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:

َ ‫ُض ِّح فَاَل يَ ْق َربَ َّن ُم‬


َ   ‫صالَّنَا‬
)َ‫(ر َواهُ إبْنُ َما َجه‬ َ ‫َم ْن َكانَ لَهُ َس َعةٌ َولَ ْم ي‬
Barangsiapa memiliki keluasan (rezeki), dan tidak berqurban, maka jangan sekali-kali dia
mendekati tempat shalat kami (H.R. Ibnu Majah).
            
Sedangkan tiga Mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) menghukumi sunah muakkad,
sehingga orang yang mampu berqurban makruh meninggalkannya.
           
Lebih dari itu, Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa qurban merupakan ibadah sunah perorangan
yang seyogianya dilaksanakan paling tidak sekali dalam seumur hidup. Namun demikian, jika
anggota keluarganya banyak, lalu hanya ada satu orang yang berqurban mewakili keluarganya,
maka hal itu sudah mencukupi.

Dalil kesunahan qurban adalah Hadis Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

.)ُ‫( َر َواهُ أَحْ َمد‬ ‫صاَل ةُ الضُّ َحى‬


َ ‫ع ْال َو ْت ُر َوالنَّحْ ُر َو‬
ٌ ‫ي فَ َرائِضُ َوه َُّن لَ ُك ْم تَطَ ُّو‬ ٌ ‫ثَاَل‬
َّ َ‫ث ه َُّن َعل‬
Tiga hal yang wajib bagiku, dan sunah bagi kalian: shalat witir, menyembelih qurban dan
shalat dhuha (H.R. Ahmad).
4. Syarat Orang yang Berqurban
            
Syarat orang yang berqurban adalah mampu. Pengertian mampu menurut Mazhab Syafi’i adalah
orang yang memiliki kelebihan uang di luar biaya hidup untuk dirinya dan keluarganya selama
Idul Adha dan hari-hari Tasyriq.

Menurut Mazhab Hambali, yang dimaksud mampu adalah orang yang memungkinkan baginya
untuk berqurban walaupun dengan cara berhutang terlebih dahulu, jika dia berkeyakinan dapat
melunasinya. Misalnya: Jika ada yang orang memiliki gaji bulanan, sedangkan gajinya itu lebih
dari cukup untuk biaya hidupnya, maka dia boleh berhutang terlebih dahulu untuk membeli
hewan qurban dan segera melunasinya setelah memperoleh gaji bulanan.
            
Selain itu, ada lagi cara agar orang muslim dapat berqurban, yaitu dengan cara patungan
sebanyak 7 (tujuh) orang untuk membeli sapi. Namun dalam hal ini disyaratkan biaya yang
dikeluarkan masing-masing orang harus sama, yaitu 1/7 (sepertujuh) harga sapi. Misalnya sapi
seharga 7 (tujuh) juta, maka masing-masing harus membayar 1 (satu) juta, tidak boleh kurang
atau lebih. Demikian persyaratan menurut Mazhab Maliki.

5. Syarat Binatang Qurban


            
Syarat binatang qurban adalah: Selamat dari cacat yang menyebabkan dagingnya berkurang atau
bisa membahayakan kesehatan bagi orang yang hendak makan dagingnya. Jadi, tidak boleh
berqurban dengan binatang yang buta, pincang, jelas-jelas berpenyakit, atau terlalu kurus.
            
Al-Barra’ ibn ‘Azib RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ُ‫ َو ْال َك ِس|ي ُر الَّتِى الَ تَ ْنقَى ( َر َواه‬،‫ َو ْال َعرْ َج| ا ُء بَي ٌِّن ظَ ْل ُعهَ||ا‬،‫ضهَا‬ َ ‫ َو ْال َم ِري‬،‫ ْال َعوْ َرا ُء بَي ٌِّن َع َو ُرهَا‬:‫ضا ِحي‬
ُ ‫ضةُ بَي ٌِّن َم َر‬ َ َ‫أَرْ بَ ٌع الَ تَجُو ُز فِي األ‬
.)َ‫اَبُوْ دَا ُود‬
Empat (hal) yang tidak diperbolehkan dalam binatang qurban: Buta atau juling yang jelas
kebutaannya; sakit yang jelas penyakitnya; pincang yang jelas kepincanganya; dan kurus yang
hilang lemak tulangnya (dagingnya). (H.R. Abu Dawud)
Para ulama sepakat bahwa hewan qurban yang sah hanyalah binatang ternak, yaitu unta, sapi
(termasuk kerbau), kambing, domba dan sejenisnya; baik jantan maupun betina.
            
Menurut Mazhab Maliki, hewan yang utama untuk diqurbankan adalah kambing, karena Allah
SWT dulu mengganti posisi Nabi Isma’il AS dengan kambing. Namun bagi Mazhab Syafi’i dan
Hambali, yang paling utama adalah unta, sapi, lalu kambing (domba). Dalam hal ini, yang
dijadikan patokan adalah banyaknya daging. Semakin banyak dagingnya, semakin banyak orang-
orang yang dapat menikmatinya.
            
Ulama Syafi’iyyah juga menambahkan bahwa binatang jantan lebih utama dibandingkan betina,
karena lebih lezat rasanya; yang gemuk lebih baik daripada yang kurus; dan warna putih lebih
baik dibandingkan warna lain. Semua ini dimaksudkan untuk mengagungkan syiar-syiar Allah
SWT.
            
Berkaitan dengan batasan usia, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa batas usia unta adalah
lima tahun dan memasuki tahun keenam, batas usia sapi dan kambing adalah dua tahun dan
memasuki tahun ketiga, sedang batas usia domba adalah satu tahun dan memasuki tahun kedua.
           
Memang benar jika dikatakan bahwa satu kambing untuk satu orang, sedangkan satu unta atau
sapi untuk tujuh orang. Hal ini sesuai dengan Hadis dalam Al-Muwaththa’ yang diriwayatkan
Jabir ibn ‘Abdillah RA:

    .)ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم ْال ُح َد ْيبِيَ ِ|ة ْالبَ َدنَةَ| ع َْن َس ْب َع ٍة َو ْالبَقَ َرةَ ع َْن َس ْب َع ٍة ( َر َواهُ َمالِك‬
َ ِ ‫ن ََحرْ نَا َم َع َرسُو ِل هَّللا‬
Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah SAW pada tahun (perjanjian)
Hudaibiyyah, berupa 1 ekor unta untuk 7 orang dan 1 ekor sapi untuk 7 orang (H.R. Malik).
            
Kendati demikian, jika salah seorang anggota keluarga sudah ada yang berqurban, sebenarnya
qurbannya itu sudah menjadi sunah kifayah atau sunah yang mencukupi bagi seluruh anggota
keluarga. Bahkan Mazhab Hambali menegaskan seseorang boleh berqurban dengan seekor
kambing untuk seluruh anggota keluarganya. Pendapat ini dilandasi oleh Hadis ‘Aisyah RA yang
menceritakan bahwa Nabi SAW pernah berqurban dengan dua kambing, satu untuk diri beliau
sendiri dan satu lagi untuk umat beliau.

.)‫ضحِّ ِم ْن أُ َّمتِ ْي ( َر َواهُ ْال َحا ِك ُم‬


َ َ‫اَللَّهُ َّم هَ َذا َعنِّ ْي َوعَن َم ْن لَ ْم ي‬
Ya Allah, (qurban) ini adalah dari saya dan dari umatku yang tidak sempat berqurban (H.R. al-
Hakim).
            
Hadis di atas sekaligus kabar gembira bagi kaum muslimin yang hingga kini masih belum
sempat berqurban; karena Rasulullah SAW telah berqurban atas nama seluruh umat beliau secara
umum.

6. Waktu Penyembelihan dan Pembagian Daging Qurban


            
Waktu penyembelihan qurban yang paling baik adalah hari pertama (sesudah shalat Idul Adha)
hingga matahari terbenam di akhir hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Dalilnya adalah Hadis
riwayat al-Barra’ ibn ‘Azib RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini (Idul Adha) adalah shalat
kemudian pulang; setelah itu menyembelih qurban. Barang siapa melakukannya, maka dia telah
mendapatkan kesunahan; dan barang siapa menyembelih (qurban) sebelum itu, maka
sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan
termasuk binatang qurban. (H.R. Bukhari).

serta dalam riwayat Jubair ibn Muth’im RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

…. Dalam seluruh hari tasyriq merupakan (waktu diperbolehkan) menyembelih (hewan


qurban) (HR. Ibn Hibban).
            
Yang perlu diingat adalah makruh menyembelih hewan qurban pada malam hari, karena
dikhawatirkan melakukan kesalahan ketika sedang menyembelih atau dikhawatirkan jumlah
orang-orang fakir yang datang ke tempat penyembelihan lebih sedikit, dibandingkan jika
penyembelihan dilakukan pada waktu siang hari.
            
Bagi umat muslim yang berqurban, sunah untuk tidak memotong rambut dan kukunya hingga
hewan qurbannya disembelih. Berdasarkan Hadis riwayat Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

.)‫(ر َواهُ ُم ْسلِ ُم‬ ْ َ‫ْر ِه َوأ‬


ِ َ ‫ظف‬
َ ‫ار ِه‬ ِ ‫ض ِّح َي فَ ْليُ ْم ِس ْك ع َْن َشع‬
َ ُ‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ْم ِهالَ َل ِذي ْال ِح َّج ِة َوأَ َرا َد أَ َح ُد ُك ْم أَ ْن ي‬

Apabila kalian melihat hilal Dzulhijjah; dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih
qurban, maka hendaklah dia membiarkan rambut dan kukunya (H.R. Muslim).
            
Selain itu, bagi umat muslim yang yakin bahwa penyembelihannya baik menurut syari’at,
sebaiknya menyembelih sendiri hewan qurbannya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Namun, bagi yang tidak berkenan, boleh mewakilkan kepada ahli penyembelih
qurban. Yang demikian ini juga berdasarkan Hadis di mana Rasulullah SAW menyembelih 100
ekor unta, namun sebagiannya dipasrahkan kepada Ali RA.
            
Berkenaan dengan pembagian daging qurban, Mazhab Syafi’i menggariskan bahwa jika
tergolong qurban wajib, misalnya qurban karena nazar, maka orang yang berqurban maupun
keluarga yang wajib dia nafkahi, tidak boleh makan dagingnya sedikitpun; semuanya wajib
disedekahkan. Sedangkan jika berupa qurban sunah, maka orang yang berqurban sunah ikut
memakannya –setidaknya satu suapan– semata-mata untuk memperoleh barakah. Sikap ini
sesuai dengan Surat al-Hajj [22]: 28

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).
Serta Hadis riwayat Buraidah ibn al-Hushaib RA:

.)‫( َر َواهُ ْالبَ ْيهَقِ ُّي‬ ‫ َو َكانَ إِ َذا َر َج َع أَ َك َل ِم ْن َكبِ ِد أُضْ ِحيَتِ ِه‬،‫َوإِ َذا َكانَ األَضْ َحى لَ ْم يَأْ ُكلْ َش ْيئًا َحتَّى يَرْ ِج َع‬

Pada saat Idul Adha, beliau (Nabi SAW) tidak makan apapun hingga pulang (dari shalat idul
adha); dan ketika pulang, beliau makan limpa hewan qurban beliau  (H.R. al-Baihaqi).
            
Demikian juga boleh memberikan sebagian daging kepada rekan-rekan atau tetangga yang
sebenarnya kaya dengan niat sebagai hadiah untuk mempererat persaudaraan. Dalam Qaul Jadid
(pendapat baru Imam Syafi’i) disebutkan bahwa orang yang qurban boleh ikut makan sepertiga
daging hewan qurbannya. Wajib pula menyedekahkan sebagian daging qurban kepada fakir
miskin, walaupun hanya seorang saja.
            
Yang lebih utama adalah orang yang berqurban hanya makan sedikit hewan qurbannya dengan
niat mencari barakah semata. Orang yang berqurban boleh memilih, antara mengambil kulitnya
untuk dirinya sendiri maupun untuk disedekahkan, namun yang lebih utama adalah
disedekahkan.

7. Proses Penyembelihan
            
Bagi hewan yang mudah disembelih, cara penyembelihannya adalah di bagian atas dan bagian
bawah leher depan. Sedangkan penyembelihan yang sempurna adalah memotong tenggorokan
(saluran atau urat pernafasan), kerongkongan (saluran atau urat makanan) dan dua buah urat
darah di dua sisi leher. Memotong semua urat ini dengan sempurna adalah sunah, karena lebih
memudahkan keluarnya ruh dan merupakan bentuk berbuat baik kepada hewan yang disembelih.
Inilah salah satu contoh bentuk hablum min al-‘alam (hubungan manusia dengan semesta alam),
yaitu memperlakukan binatang dengan sebaik-baiknya.
Sasaran Penyembelihan Binatang Qurban dan Aqiqah

Bagi hewan yang sulit disembelih, misalnya karena liar, maka cara penyembelihannya adalah
dengan melukainya sesuai kemampuan. Luka tersebut harus dapat menghilangkan ruhnya di
bagian manapun yang memungkinkan dari badannya. Alat penyembelihan adalah segala sesuatu
yang bisa melukai, kecuali dengan gigi dan kuku. Sebab menyembelih dengan keduanya dapat
menyiksa hewan.
            
Menyembelih induk binatang dianggap juga menyembelih janin itu, kecuali jika janin lahir
dalam keadaan hidup, maka janin harus disembelih.
            
Hal-hal yang disunahkan dalam penyembelihan hewan adalah:
(a) Membaca Basmalah
(b) Membaca Shalawat
(c) Menghadap Kiblat
(d) Berdoa agar diterima oleh Allah SWT.
B.  TATA CARA PELAKSANAAN AQIQAH
1.  Pengertian
           
Aqiqah menurut bahasa adalah membelah dan memotong. Pada mulanya, aqiqah adalah sebutan
bagi pemotongan rambut yang ada di kepala bayi ketika kelahirannya. Kemudian sebutan aqiqah
juga ditujukan pada hewan yang dipotong (disembelih) berkenaan dengan pemotongan rambut
bayi tersebut.

2. Dasar Hukum
           
Menurut mazhab Hanafi, hukum aqiqah adalah mubah, bukan sunah. Sedangkan menurut
mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) hukum aqiqah adalah sunah muakkad bagi orang
yang dikaruniai anak. Hukum aqiqah menjadi wajib apabila dinazarkan.
           
Dasar hukum aqiqah adalah Hadis riwayat Samurah ibn Jundub RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda:

ِ ‫( َر َواهُ ْالبُ َخ‬ ‫ق َويـ ُ َس َّمى‬


.) ُّ‫اري‬ ُ َ‫ُكلُّ ُغالَ ٍم ُمرْ تَ ِه ٌن بِ َعقِ ْيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُ|ح َع ْنهُ فِي يَوْ ِم َسابِ ِع ِه َويُحْ ل‬

Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh (dari
kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama (pada hari ketujuh tersebut) (H.R. al-
Bukhari).

3. Ketentuan Binatang Aqiqah


           
Sebenarnya binatang aqiqah sama dengan binatang qurban, yaitu unta, sapi dan kambing. Akan
tetapi, pendapat yang populer adalah aqiqah hanya boleh menggunakan kambing.
           
Menurut Mazhab Maliki, aqiqah untuk anak laki-laki maupun wanita adalah 1 (satu) ekor
kambing. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, aqiqah untuk anak laki-laki adalah 2 (dua) ekor
kambing, sedangkan aqiqah untuk anak wanita adalah 1 (satu) ekor kambing. Pendapat ini
didasarkan pada Hadis riwayat ‘Aisyah RA berikut:

ِ ‫ق َع ِن ْال ُغالَ ِم بِ َشاتَ ْي ِن َو َع ِن ْال َج‬


َ .‫اريَ ِة بِ َشا ٍة‬
.)َ‫(ر َواهُ إبْنُ َما َجه‬ َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن نَ ُع‬
َ ِ‫أَ َم َرنَا َرسُوْ ُل هللا‬

“Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengaqiqahkan anak laki-laki dengan


(menyembelih) dua ekor kambing dan mengaqiqahkan anak wanita dengan (menyembelih)
seekor kambing”. (H.R. Ibn Majah).
           
Demikian juga diperkenankan aqiqah dengan seekor unta atau sapi untuk 7 (tujuh) anak.
           
Selain itu, disunahkan untuk memotong rambut bayi pada hari ketujuh, lalu bersedekah dengan
emas dan perak sesuai dengan timbangan rambut yang dipotong. Hal ini berlaku bagi anak laki-
laki maupun wanita. Ketentuan ini didasarkan pada Hadis riwayat ‘Ali ibn Abi Thalib RA yang
menceritakan bahwa Rasulullah SAW mengaqiqahi Husain dengan seekor domba dan beliau
bersabda, “Wahai Fatimah, potonglah rambutnya dan bersedekahlah dengan timbangan
rambutnya”.

Disunahkan pula memberi nama yang terbaik kepada bayi di hari ketujuh dan melumuri kepala
bayi dengan minyak wangi, seperti za’faran.
           
Pada hari kelahiran, sunah dikumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga
kirinya. Hal ini dimaksudkan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat
tauhid.

4. Waktu Aqiqah
           
Pelaksanaan aqiqah disunahkan pada hari ke-7 (tujuh) dari kelahiran anak. Perhitungan dimulai
dari hari kelahiran. Jika lahir pada malam hari, maka perhitungan dimulai pada hari berikutnya.
           
Jika seseorang kurang mampu, maka aqiqah boleh dilaksanakan pada hari sesudahnya, sebelum
anak dewasa. Yang lebih utama adalah hari ke-14 dan ke-21 kelahiran anak. Oleh sebab itu, jika
bayi meninggal dunia sebelum hari ketujuh, maka tidak diaqiqahi.

5. Doa Aqiqah
           
Doa ketika menyembelih aqiqah berdasarkan Hadis riwayat ‘Aisyah RA, bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

.)‫(ر َواهُ ْالبَ ْيهَقِ ُّي‬


َ ‫ك هَ ِذ ِه َعقِيقَةُ فُالَ ٍن‬ َ َ‫ اللَّهُ َّم ل‬،ُ‫ َوهَّللا ُ أَ ْكبَر‬ ،ِ ‫ بِس ِْم هَّللا‬:‫ْاذبَحُوا َعلَى ا ْس ِم ِه َوقُولُوا‬
َ ‫ك َوإِلَ ْي‬

Sembelihlah atas nama-Nya dan ucapkanlah: “Dengan menyebut nama Allah; Allah Maha
Besar; Ya Allah, milik-Mu dan bagi-Mu, ini adalah aqiqah Fulan (disebutkan nama anak yang
diaqiqahi)” (H.R. al-Baihaqi).

6.  Pembagian Daging


           
Sebagaimana qurban, daging aqiqah boleh dimakan, disedekahkan dan tidak boleh diperjual-
belikan. Disunahkan untuk memasak daging aqiqah, lalu anggota keluarga ikut makan daging
tersebut. Disunahkan pula untuk tidak memecah tulang binatang aqiqah, sebagai harapan atas
keselamatan anak yang diaqiqahi.

C. HIKMAH QURBAN DAN AQIQAH

1. Hikmah Qurban

Pertama, Qurban pada dasarnya untuk menguji kualitas keimanan manusia kepada Allah SWT,
dengan mengorbankan sebagian harta demi kepentingan kemanusiaan, khususnya fakir miskin

Kedua, Dengan qurban dapat diciptakan suasana yang gembira antara yang kaya dan yang
miskin.
Ketiga, Menghidupkan sunah Nabi Ibrahim AS sekaligus mensyukuri keberadaan umat manusia
hingga kini. Seandainya saja dulu Allah SWT tidak mengganti Nabi Isma’il AS dengan hewan
qurban, bisa jadi setiap manusia wajib menyembelih anaknya sebagai qurban. Dalam Surat al-
Shaffat ayat 107-109 disebutkan: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian. (Yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim"  (Q.S. al-Shaffat [37]:
107-109).

Kelima, Mencontoh  betapa harmonisnya hubungan antara Nabi Ibrahim AS sebagai ayah, Nabi
Ismail AS sebagai anak, dan Hajar sebagai ibu, terutama dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah SWT.

Keenam, Mendidik manusia dan masyarakat  guna mencapai kesadaran  untuk memajukan
agama, bangsa dan negara.

2. Hikmah  Aqiqah

Pertama, Merupakan perwujudan rasa syukur kita kepada Allah SWT atas kehadiran seorang
anak dan keselamatannya  sejak dalam rahim hingga terlahir ke dunia.
Kedua, Diharapkan akan  menambah erat jalinan rasa kasih dan sikap hormat seorang anak
kepada orang tuanya, karena dia telah mengetahui bahwa kehadirannya di dunia ini diharapkan
dan disyukuri oleh orang tuanya melalui aqiqah.
Ketiga, Dengan menyantap bersama-sama daging aqiqah, diharapkan akan terjalin hubungan
akrab antara keluarga dan tetangga, sehingga pada gilirannya akan tercipta kebersamaan.
Keempat, Mengikuti sunah Rasulullah SAW.
Kelima, Membiasakan dan mendidik kedermawanan, sebab dengan  pendidikan dan pembiasaan
ini  kita akan mudah berkorban  demi kepentingan  agama dan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai