Islam mengajarkan umat muslim agar menjalin tiga jenis hubungan, yaitu hubungan manusia
dengan Allah SWT (hablum min Allah), hubungan manusia dengan sesama manusia (hablum
min al-nas) dan hubungan manusia dengan alam semesta (hablum min al-‘alam). Ketiga
hubungan tersebut dapat ditemui dalam syariat qurban dan aqiqah.
Jika ditelisik dari awal sejarahnya, baik qurban maupun aqiqah, sama-sama dimaksudkan sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Dengan demikian, qurban dan aqiqah bernuansa
hablum min Allah. Qurban dan aqiqah juga sama-sama bernuansa hablum min al-nas, karena
daging qurban dan aqiqah harus dibagikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Bahkan
nuansa hablum min al-‘alam juga tampak pada keharusan untuk menjadikan binatang sebagai
objek qurban dan aqiqah.
Jadi, lengkap sudah ketiga jenis hubungan versi Islam terdapat dalam syariat qurban dan aqiqah.
Oleh sebab itu, tulisan ini membahas qurban dan aqiqah, baik dari segi teori, praktik maupun
hikmahnya.
1. Pengertian
Menurut bahasa, qurban berasal dari bahasa Arab qaruba yang berarti ‘dekat’. Yang dimaksud di
sini adalah ‘dekat kepada Allah SWT’. Istilah lainnya adalah udhhiyyah yang berarti hewan
qurban yang disembelih pada waktu dhuha.
Menurut istilah, qurban atau udhhiyyah adalah menyembelih hewan ternak tertentu (unta, sapi,
kerbau, kambing) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari-
hari Nahr (penyembelihan), yaitu Idul Adha hingga hari Tasyriq (10-13 Dzulhijjah).
2. Dasar Hukum
Qurban disyariatkan pada tahun ke-2 H, sama dengan disyariatkannya zakat dan shalat hari raya.
3. Hukum Qurban
Hukum menyembelih qurban menurut Imam Hanafi adalah wajib berdasarkan Hadis riwayat
Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:
Dalil kesunahan qurban adalah Hadis Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Menurut Mazhab Hambali, yang dimaksud mampu adalah orang yang memungkinkan baginya
untuk berqurban walaupun dengan cara berhutang terlebih dahulu, jika dia berkeyakinan dapat
melunasinya. Misalnya: Jika ada yang orang memiliki gaji bulanan, sedangkan gajinya itu lebih
dari cukup untuk biaya hidupnya, maka dia boleh berhutang terlebih dahulu untuk membeli
hewan qurban dan segera melunasinya setelah memperoleh gaji bulanan.
Selain itu, ada lagi cara agar orang muslim dapat berqurban, yaitu dengan cara patungan
sebanyak 7 (tujuh) orang untuk membeli sapi. Namun dalam hal ini disyaratkan biaya yang
dikeluarkan masing-masing orang harus sama, yaitu 1/7 (sepertujuh) harga sapi. Misalnya sapi
seharga 7 (tujuh) juta, maka masing-masing harus membayar 1 (satu) juta, tidak boleh kurang
atau lebih. Demikian persyaratan menurut Mazhab Maliki.
ُ َو ْال َك ِس|ي ُر الَّتِى الَ تَ ْنقَى ( َر َواه، َو ْال َعرْ َج| ا ُء بَي ٌِّن ظَ ْل ُعهَ||ا،ضهَا َ َو ْال َم ِري، ْال َعوْ َرا ُء بَي ٌِّن َع َو ُرهَا:ضا ِحي
ُ ضةُ بَي ٌِّن َم َر َ َأَرْ بَ ٌع الَ تَجُو ُز فِي األ
.)َاَبُوْ دَا ُود
Empat (hal) yang tidak diperbolehkan dalam binatang qurban: Buta atau juling yang jelas
kebutaannya; sakit yang jelas penyakitnya; pincang yang jelas kepincanganya; dan kurus yang
hilang lemak tulangnya (dagingnya). (H.R. Abu Dawud)
Para ulama sepakat bahwa hewan qurban yang sah hanyalah binatang ternak, yaitu unta, sapi
(termasuk kerbau), kambing, domba dan sejenisnya; baik jantan maupun betina.
Menurut Mazhab Maliki, hewan yang utama untuk diqurbankan adalah kambing, karena Allah
SWT dulu mengganti posisi Nabi Isma’il AS dengan kambing. Namun bagi Mazhab Syafi’i dan
Hambali, yang paling utama adalah unta, sapi, lalu kambing (domba). Dalam hal ini, yang
dijadikan patokan adalah banyaknya daging. Semakin banyak dagingnya, semakin banyak orang-
orang yang dapat menikmatinya.
Ulama Syafi’iyyah juga menambahkan bahwa binatang jantan lebih utama dibandingkan betina,
karena lebih lezat rasanya; yang gemuk lebih baik daripada yang kurus; dan warna putih lebih
baik dibandingkan warna lain. Semua ini dimaksudkan untuk mengagungkan syiar-syiar Allah
SWT.
Berkaitan dengan batasan usia, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa batas usia unta adalah
lima tahun dan memasuki tahun keenam, batas usia sapi dan kambing adalah dua tahun dan
memasuki tahun ketiga, sedang batas usia domba adalah satu tahun dan memasuki tahun kedua.
Memang benar jika dikatakan bahwa satu kambing untuk satu orang, sedangkan satu unta atau
sapi untuk tujuh orang. Hal ini sesuai dengan Hadis dalam Al-Muwaththa’ yang diriwayatkan
Jabir ibn ‘Abdillah RA:
.)ُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم ْال ُح َد ْيبِيَ ِ|ة ْالبَ َدنَةَ| ع َْن َس ْب َع ٍة َو ْالبَقَ َرةَ ع َْن َس ْب َع ٍة ( َر َواهُ َمالِك
َ ِ ن ََحرْ نَا َم َع َرسُو ِل هَّللا
Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah SAW pada tahun (perjanjian)
Hudaibiyyah, berupa 1 ekor unta untuk 7 orang dan 1 ekor sapi untuk 7 orang (H.R. Malik).
Kendati demikian, jika salah seorang anggota keluarga sudah ada yang berqurban, sebenarnya
qurbannya itu sudah menjadi sunah kifayah atau sunah yang mencukupi bagi seluruh anggota
keluarga. Bahkan Mazhab Hambali menegaskan seseorang boleh berqurban dengan seekor
kambing untuk seluruh anggota keluarganya. Pendapat ini dilandasi oleh Hadis ‘Aisyah RA yang
menceritakan bahwa Nabi SAW pernah berqurban dengan dua kambing, satu untuk diri beliau
sendiri dan satu lagi untuk umat beliau.
Sesungguhnya permulaan sesuatu yang kami lakukan pada hari ini (Idul Adha) adalah shalat
kemudian pulang; setelah itu menyembelih qurban. Barang siapa melakukannya, maka dia telah
mendapatkan kesunahan; dan barang siapa menyembelih (qurban) sebelum itu, maka
sembelihannya itu hanyalah daging yang dihidangkan untuk keluarganya dan sama sekali bukan
termasuk binatang qurban. (H.R. Bukhari).
serta dalam riwayat Jubair ibn Muth’im RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Apabila kalian melihat hilal Dzulhijjah; dan salah seorang di antara kalian ingin menyembelih
qurban, maka hendaklah dia membiarkan rambut dan kukunya (H.R. Muslim).
Selain itu, bagi umat muslim yang yakin bahwa penyembelihannya baik menurut syari’at,
sebaiknya menyembelih sendiri hewan qurbannya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Namun, bagi yang tidak berkenan, boleh mewakilkan kepada ahli penyembelih
qurban. Yang demikian ini juga berdasarkan Hadis di mana Rasulullah SAW menyembelih 100
ekor unta, namun sebagiannya dipasrahkan kepada Ali RA.
Berkenaan dengan pembagian daging qurban, Mazhab Syafi’i menggariskan bahwa jika
tergolong qurban wajib, misalnya qurban karena nazar, maka orang yang berqurban maupun
keluarga yang wajib dia nafkahi, tidak boleh makan dagingnya sedikitpun; semuanya wajib
disedekahkan. Sedangkan jika berupa qurban sunah, maka orang yang berqurban sunah ikut
memakannya –setidaknya satu suapan– semata-mata untuk memperoleh barakah. Sikap ini
sesuai dengan Surat al-Hajj [22]: 28
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).
Serta Hadis riwayat Buraidah ibn al-Hushaib RA:
.)( َر َواهُ ْالبَ ْيهَقِ ُّي َو َكانَ إِ َذا َر َج َع أَ َك َل ِم ْن َكبِ ِد أُضْ ِحيَتِ ِه،َوإِ َذا َكانَ األَضْ َحى لَ ْم يَأْ ُكلْ َش ْيئًا َحتَّى يَرْ ِج َع
Pada saat Idul Adha, beliau (Nabi SAW) tidak makan apapun hingga pulang (dari shalat idul
adha); dan ketika pulang, beliau makan limpa hewan qurban beliau (H.R. al-Baihaqi).
Demikian juga boleh memberikan sebagian daging kepada rekan-rekan atau tetangga yang
sebenarnya kaya dengan niat sebagai hadiah untuk mempererat persaudaraan. Dalam Qaul Jadid
(pendapat baru Imam Syafi’i) disebutkan bahwa orang yang qurban boleh ikut makan sepertiga
daging hewan qurbannya. Wajib pula menyedekahkan sebagian daging qurban kepada fakir
miskin, walaupun hanya seorang saja.
Yang lebih utama adalah orang yang berqurban hanya makan sedikit hewan qurbannya dengan
niat mencari barakah semata. Orang yang berqurban boleh memilih, antara mengambil kulitnya
untuk dirinya sendiri maupun untuk disedekahkan, namun yang lebih utama adalah
disedekahkan.
7. Proses Penyembelihan
Bagi hewan yang mudah disembelih, cara penyembelihannya adalah di bagian atas dan bagian
bawah leher depan. Sedangkan penyembelihan yang sempurna adalah memotong tenggorokan
(saluran atau urat pernafasan), kerongkongan (saluran atau urat makanan) dan dua buah urat
darah di dua sisi leher. Memotong semua urat ini dengan sempurna adalah sunah, karena lebih
memudahkan keluarnya ruh dan merupakan bentuk berbuat baik kepada hewan yang disembelih.
Inilah salah satu contoh bentuk hablum min al-‘alam (hubungan manusia dengan semesta alam),
yaitu memperlakukan binatang dengan sebaik-baiknya.
Sasaran Penyembelihan Binatang Qurban dan Aqiqah
Bagi hewan yang sulit disembelih, misalnya karena liar, maka cara penyembelihannya adalah
dengan melukainya sesuai kemampuan. Luka tersebut harus dapat menghilangkan ruhnya di
bagian manapun yang memungkinkan dari badannya. Alat penyembelihan adalah segala sesuatu
yang bisa melukai, kecuali dengan gigi dan kuku. Sebab menyembelih dengan keduanya dapat
menyiksa hewan.
Menyembelih induk binatang dianggap juga menyembelih janin itu, kecuali jika janin lahir
dalam keadaan hidup, maka janin harus disembelih.
Hal-hal yang disunahkan dalam penyembelihan hewan adalah:
(a) Membaca Basmalah
(b) Membaca Shalawat
(c) Menghadap Kiblat
(d) Berdoa agar diterima oleh Allah SWT.
B. TATA CARA PELAKSANAAN AQIQAH
1. Pengertian
Aqiqah menurut bahasa adalah membelah dan memotong. Pada mulanya, aqiqah adalah sebutan
bagi pemotongan rambut yang ada di kepala bayi ketika kelahirannya. Kemudian sebutan aqiqah
juga ditujukan pada hewan yang dipotong (disembelih) berkenaan dengan pemotongan rambut
bayi tersebut.
2. Dasar Hukum
Menurut mazhab Hanafi, hukum aqiqah adalah mubah, bukan sunah. Sedangkan menurut
mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hambali) hukum aqiqah adalah sunah muakkad bagi orang
yang dikaruniai anak. Hukum aqiqah menjadi wajib apabila dinazarkan.
Dasar hukum aqiqah adalah Hadis riwayat Samurah ibn Jundub RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh (dari
kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama (pada hari ketujuh tersebut) (H.R. al-
Bukhari).
Disunahkan pula memberi nama yang terbaik kepada bayi di hari ketujuh dan melumuri kepala
bayi dengan minyak wangi, seperti za’faran.
Pada hari kelahiran, sunah dikumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamah di telinga
kirinya. Hal ini dimaksudkan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat
tauhid.
4. Waktu Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah disunahkan pada hari ke-7 (tujuh) dari kelahiran anak. Perhitungan dimulai
dari hari kelahiran. Jika lahir pada malam hari, maka perhitungan dimulai pada hari berikutnya.
Jika seseorang kurang mampu, maka aqiqah boleh dilaksanakan pada hari sesudahnya, sebelum
anak dewasa. Yang lebih utama adalah hari ke-14 dan ke-21 kelahiran anak. Oleh sebab itu, jika
bayi meninggal dunia sebelum hari ketujuh, maka tidak diaqiqahi.
5. Doa Aqiqah
Doa ketika menyembelih aqiqah berdasarkan Hadis riwayat ‘Aisyah RA, bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
Sembelihlah atas nama-Nya dan ucapkanlah: “Dengan menyebut nama Allah; Allah Maha
Besar; Ya Allah, milik-Mu dan bagi-Mu, ini adalah aqiqah Fulan (disebutkan nama anak yang
diaqiqahi)” (H.R. al-Baihaqi).
1. Hikmah Qurban
Pertama, Qurban pada dasarnya untuk menguji kualitas keimanan manusia kepada Allah SWT,
dengan mengorbankan sebagian harta demi kepentingan kemanusiaan, khususnya fakir miskin
Kedua, Dengan qurban dapat diciptakan suasana yang gembira antara yang kaya dan yang
miskin.
Ketiga, Menghidupkan sunah Nabi Ibrahim AS sekaligus mensyukuri keberadaan umat manusia
hingga kini. Seandainya saja dulu Allah SWT tidak mengganti Nabi Isma’il AS dengan hewan
qurban, bisa jadi setiap manusia wajib menyembelih anaknya sebagai qurban. Dalam Surat al-
Shaffat ayat 107-109 disebutkan: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian. (Yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim" (Q.S. al-Shaffat [37]:
107-109).
Kelima, Mencontoh betapa harmonisnya hubungan antara Nabi Ibrahim AS sebagai ayah, Nabi
Ismail AS sebagai anak, dan Hajar sebagai ibu, terutama dalam melaksanakan ketaatan kepada
Allah SWT.
Keenam, Mendidik manusia dan masyarakat guna mencapai kesadaran untuk memajukan
agama, bangsa dan negara.
2. Hikmah Aqiqah
Pertama, Merupakan perwujudan rasa syukur kita kepada Allah SWT atas kehadiran seorang
anak dan keselamatannya sejak dalam rahim hingga terlahir ke dunia.
Kedua, Diharapkan akan menambah erat jalinan rasa kasih dan sikap hormat seorang anak
kepada orang tuanya, karena dia telah mengetahui bahwa kehadirannya di dunia ini diharapkan
dan disyukuri oleh orang tuanya melalui aqiqah.
Ketiga, Dengan menyantap bersama-sama daging aqiqah, diharapkan akan terjalin hubungan
akrab antara keluarga dan tetangga, sehingga pada gilirannya akan tercipta kebersamaan.
Keempat, Mengikuti sunah Rasulullah SAW.
Kelima, Membiasakan dan mendidik kedermawanan, sebab dengan pendidikan dan pembiasaan
ini kita akan mudah berkorban demi kepentingan agama dan masyarakat.