Anda di halaman 1dari 29

A.

      Kurban      


1.         Pengertian Kurban dan Syariatnya
Qurban merupakan salah satu ibadah yang asal muasalnya dari kisah Nabi Ibrahim ‘alayhis
salam dan Nabi Isma’il ‘alayhis salam, hal ini diabadikan oleh Allah Subahanhu wa Ta’alaa
didalam Al-Qur’an:

َ ‫ي ِإنِّي َأ َرى فِي ْال َمنَ ِام َأنِّي َأ ْذبَح‬


‫ُك فَانظُرْ َما َذا تَ َرى‬ َ ‫فَلَ َّما بَلَ َغ َم َعهُ ال َّسع‬
َ َ‫ْي ق‬
َّ َ‫ال يَا بُن‬
ُ‫ فَلَ َّما َأ ْسلَ َما َوتَلَّه‬.‫ين‬
َ ‫ت ا ْف َعلْ َما تُْؤ َم ُر َستَ ِج ُدنِي ِإن َشاء هَّللا ُ ِم َن الصَّابِ ِر‬ ِ َ‫قَا َل يَا َأب‬
.‫ين‬ َ ِ‫ك نَجْ ِزي ْال ُمحْ ِسن‬ َ ‫ قَ ْد‬.‫ َونَا َد ْينَاهُ َأ ْن يَا ِإب َْرا ِهي ُم‬.‫ين‬
َ ‫ص َّد ْق‬
َ ِ‫ت الرُّ ْؤ يَا ِإنَّا َك َذل‬ ِ ِ‫لِ ْل َجب‬
ُ ِ‫ِإ َّن هَ َذا لَه َُو ْالبَاَل ء ْال ُمب‬
ٍ ‫ َوفَ َد ْينَاهُ بِ ِذب‬.‫ين‬
‫ْح َع ِظ ٍيم‬
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,.
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaaffat 37 :
102-107)

Ibadah penyembelihan hewan qurban itu dikenal juga dengan istilah udh-hiyah ( ‫أضحیة‬

) sebagai bentuk jamak dari bentuk tunggalnya dhahiyyah (‫)ضحیة‬. Dalam istilah yang baku,

hewan-hewan qurban disebut dengan hewan adhahi ( ‫) أضاحي‬, yaitu hewan yang disembelih
untuk ibadah ritual pada tanggal 10 Zulhijjah setelah usai shalat ‘Idul Adha hingga tanggal 13
Dzulhijjah (Hari Tasyri’)
َ ْ‫( َأض‬adh-
Qurban bahasa arabnya adalah ‫( األضحية‬al-udhiyah) diambil dari kata ‫حى‬

َ ْ‫( َأض‬adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang
ha). Makna ‫حى‬
selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha di saat terbitnya
matahari hingga menjadi putih cemerlang.

Adapun ‫( األضحية‬al-udhiyah / qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih


dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah
yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik adalah hari ke 11, 12,
dan 13 Dzulhijah.

Imam Zakariyya Al Anshori didalam Fathul Wahab bi-syarhi Minhajith Thullab


mengatakan : “Udlhiyyah adalah apa-apa yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan
untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak hari ‘Idun Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari
Tasyriq (13 Dzulhijjah)”.

 Dari pengertian ini, maka hewan qurban hanya disembelih pada tanggal 10, 11, 12 dan 13
Dzulhijjah, sebab dihari-hari tersebut adalah hari suka cita dan makan-makan bagi umat Islam.
Sehingga diluar hari tersebut, maka itu bukan qurban, melainkan termasuk kategori shadaqah.

ِ ‫ُكلُّ َأي َِّام التَّ ْش ِر‬


)‫يق َذ ْب ٌح (رواه الدارقطنى و البيهقى‬
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al
Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)

         Allah mensyariatkan kurban dalam Firman-Nya:

‫ك َوا ْن َحر‬ َ َ‫ف‬


َ ِ‫ص ِّل لِ َرب‬
Artinya: Maka Solatlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah (QS. Al Kautsar : 2)

‫ولك ّل امةجعلنامنسكاليدكروااسم هللا علي مارزقهم من بهيمة االنعام‬


Artinya : Dan Kami jadikan sembelihan untuk seluruh umat supaya bisa berdzikir kepada Allah
atas rizki yang telah diberikan kepada mereka daripada hewan-hewan ternak
         Dasar Hadits:

ّ
‫عنهاان النبي صل ّى هللا عليه وسلم‬ ‫وخبر الترمذي عن عائشة رضي هللا‬
‫ماعمل ابن ادم يوم النّحرمن عمل احبّ الي هللا تعالي من اراقة ال ّدم انّها‬:‫قال‬
‫وان ال ّدم ليقع من هللا بمكان قبل ان يقع‬
ّ ‫لتاتي يوم القيامة بقرونها واظال فيها‬
.‫من االرض فطيّبوا بهانفسا‬
Khabar Turmudzi dari Aisyah RA : “ Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, bersabda: tidak ada
amalan yang dikerjakan oleh ibnu Adam pada hari Idul Qurban yang lebih dicintai Allah SWT.
Selain dari pada mengalirkan darah (qurban). Sungguh yakin, hewan qurban pasti datang
menjemput tuannya pada hari kiamat dengan tanduk dan sepatunya. Dan sesungguhnya darah
sembelihan qurban yakni akan tiba disisi Allah sebelum menetes ke bumi, oleh karena itu
relakan jiwamu dengan qurbanmu.

         Dasar Qaul Ulama

Dalam kitab Syarqowi disebutkan:

‫عظموا ضحايكم فانّها علي الصراط مطاياكم‬


“Besarkan, agungkan qurbanmu maka sesungguhnya qurban itu sebagai kendaraan bagimu atas
jembatan menuju Syurga (Syiroth).

Hukum menyembelih qurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama adalah
sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan
yang memupuk makna kasih sayang dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.

Dan sunnah disini ada 2 macam :

1.        Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.

2.        Sunnah Kifayah, yaitu : Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keuarga dengan menyembelih 1
ekor atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.

Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban
datang pada tahun ke-2 (dua) Hijriyah. Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah
wajib, dan ini adalah hukum khusus bagi beliau. Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab
Imam Syafi’i dan jumhur Ulama ?

Qurban akan menjadi wajib dengan 2 hal :

1.        Dengan bernadzar, seperti: Seseorang berkata: “Aku wajibkan atasku qurban tahun ini.” Atau
“Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.

2.        Dengan menentukan, maksudnya: Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata:
“Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut
adalah wajib.

Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan seseorang: “Aku mau berkorban dengan
kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum
memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku
jadikan kambing ini kambing qurban.”

2.         Syarat-Syarat Berkurban


Syarat Orang Yang Berqurban :

a.       Seorang muslim / muslimah

b.      Usia baligh, Baligh ada 3 tanda, yaitu : a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada
usia 9 tahun hijriah. b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan). c. Jika
tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15
tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun Dan jika ada anak yang belum baligh
maka tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban
atas nama anak tersebut.

c.       Berakal , maka orang gila tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi
walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.

d.      Mampu, Mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal
untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.

Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, sunnah baginya untuk
melakukan ibadah qurban.         
3.         Waktu Berkurban
Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha’ tentang awal dan akhir pelaksanan kurban, serta
dalam haramnya berkurban pada malam hari raya.

Namun fuqaha’ sepakat bahwa afdholnya berkurban pada hari pertama sebelum
tergelincirnya matahari, sebab itu adalah sunnah, di dalam hadits Al-Bara’ ibn ‘Azib berkata
Rasulullah saw bersabda:

‫اب‬
َ ‫ص‬ َ ُ‫ِإ َّن َأ َّو َل َما نَ ْب َدُأ بِ ِه فِي يَ ْو ِمنَا هَ َذا َأ ْن ن‬
َ ‫ َم ْن فَ َعلَهُ فَقَ ْد َأ‬،‫صلِّ َي ثُ َّم نَرْ ِج َع فَنَ ْن َح َر‬
‫ك فِي َش ْي ٍء‬ ِ ‫ْس ِم َن النُّ ُس‬َ ‫ُسنَّتَنَا َو َم ْن َذبَ َح قَ ْب ُل فَِإنَّ َما هُ َو لَـحْ ٌم قَ َّد َمهُ َأِل ْهلِ ِه لَي‬
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah sholat. Kemudian kita pulang
lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan
sunnah kami, dan barangsiapa yang telah menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging
yang dia persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah sedikitpun.” (Shohih Al-
Bukhari no. 5545 dan Shohih Muslim no. 1961)

‫"و وقت الذبح من وقت صالة العيد إلى غروب الشمس من آخر أيام‬
".‫التشريق‬
“Dan waktu penyembelihan hewan kurban yakni mulai shalat idul adha hingga terbenamnya
matahari pada akhir hari tasyriq.”[1]

Dan berikut ini adalah perbedaan di kalangan fuqaha’:

a.         Hanafiyah

‫ ويستمر‬،‫ يدخل وقت التضحية عند طلوع فجر يوم األضحى‬:‫قال الحنفية‬
‫ـ إال أنه ال يجوز ألهل األمصار‬،‫إلى قبيل غروب شمس اليوم الثالث‬
‫ ولو‬،‫المطالبين بصالة العيد الذبح في اليوم األول إال بعد أداء صالة العيد‬
‫ وأما‬.‫ أو بعد مضي مقدار وقت الصالة في حال تركها لعذر‬،‫قبل الخطبة‬
.‫ فيذبحون بعد فجر اليوم األول‬،‫أهل القرى الذين ليس عليهم صالة العيد‬
Awal masuknya pelaksanaan kurban dimulai dari terbitnya fajar dihari Ied Adha dan berakhir
hingga waktu sebelumnya sedikit tenggelamnya matahari ketiga , hanya saja tidak
diperbolehkan nagi penduduk kota yang dituntut menjalankan shalat Ied menyembelih kurban
dihari pertama kecuali setelah menjalankan shalat Ied meskipun sebelum pelaksanaan khutbah.
Sedang bagi yang meninggalkan shalat Ied karena udzur setelah berjalannya waktu seukuran
mengerjakan shalat, dan bagi penduduk desa yang tidak dijumpai pelaksaan shalat Ied
ditempatnya boleh menyembelihnya setelah terbitnya fajar dihari pertama.[2]

Sedangkan dalam redaksi yang lain, di antara syarat-syarat sahnya menyembelih kurban adalah
sesudah imam shalat dan berkhutbah. Namun, penduduk kampung sudah boleh berkurban
sesudah terbit fajar kedua.[3]

b.        Malikiyah

‫ يبتدئ وقت التضحية إلمام صالة العيد بعد الصالة‬: ‫وقال المالكية‬
‫ بعد‬،‫ وغير اإلمام يذبح في اليوم األول‬.‫ فلو ذبح قبلها لم يجز‬،‫والخطبة‬
‫ فإن‬،‫ أو مضي زمن قدر ذبح اإلمام أضحيته إن لم يذبح اإلمام‬،‫ذبح اإلمام‬
‫ وعليه فال‬،‫ ويعيد ذبح أضحية أخرى‬،‫ذبح أحد قبل اإلمام متعمداً لم يجزئه‬
.‫ وال قبل ذبح اإلمام‬،‫جزئ الذبح قبل الصالة‬
Bagi Imam shalat Ied awal masuknya pelaksanaan kurban dimulai setelah ia rampung menjalani
shalat Ied beserta khutbahnya, bila ia menyembelih sebelumnya maka tidak diperbolehkan,
sedang bagi selain Imam pelaksanaan kurbannya selepas imam menyembelih kurbannya atau
setelah terlewatnya waktu ukuran pelaksanaan penyembelihan kurbannya imam bila ia tidak
berkurban, bila seseorang berkurban sebelum imam menyembelih kurbannya maka tidak
diperbolehkan. Dengan demikian penyembelihan sebelum dilaksanakan shalat Ied dan sebelum
imam menyembelih kurbannya maka tidak diperbolehkan.[4]
Sesuai hadits Nabi saw. yang artinya:

“Hadis riwayat Jundab bin Sufyan ra., ia berkata:  Aku pernah berhari raya kurban bersama
Rasulullah saw. Beliau sejenak sebelum menyelesaikan salat. Dan ketika beliau telah
menyelesaikan salat, beliau mengucapkan salam. Tiba-tiba beliau melihat hewan kurban sudah
disembelih sebelum beliau menyelesaikan salatnya. Lalu beliau bersabda: Barang siapa telah
menyembelih hewan kurbannya sebelum salat (salat Idul Adha), maka hendaklah ia
menyembelih hewan lain sebagai gantinya. Dan barang siapa belum menyembelih, hendaklah ia
menyembelih dengan menyebut nama Allah. ” (Shahih Muslim No.3621)

c.       Syafi’iyah

‫ يدخل وقت التضحية بمضي قدر ركعتين وخطبتين‬:‫وقال الشافعية‬


‫ ثم ارتفاعها في األفق كرمح على‬،‫خفيفاتـ بعد طلوع شمس يوم النحر‬
‫ـ فإن ذبح قبل ذلك لم تقع أضحية‬،‫األفضل وهو بدء وقت صالة الضحى‬
‫ «أول ما نبدأ به في يومنا‬:‫لخبر الصحيحين عن البراء بن عازب المتقدم‬
‫ فننحر‬،‫ ثم نرجع‬،‫هذا نصلي‬
Awal masuknya pelaksanaan berkurban adalah telah terlewatnya ukuran waktu dua rakaat dan
dua khutbah ringan setelah terbitnya matahari dihari kurban, kemudian bila pelaksanaannya
saat matahari dicakrawala meninggi sepenggalah (waktu yang biasanya awal shalat dhuha)
adalah saat yang utama, bila pelaksaan kurban sebelum waktu tersebut hewan kurbannya tidak
tergolong udhiyyah berdasarkan hadits riwayat al-barraa’ Bin ‘Aazib “Permulaan
pelaksanaannya dihari kami ini adalah saat kami shalat, kemudian pulang maka kami mulai
menyembelih” (HR. Bukhori-Muslim)

Demikian pula di dalam buku Fiqih Empat Madzhab yang merupakan terjemahan Kitab Rahmah
al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah karya Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-
Dimasyqi disebutkan dengan redaksi yang lain bahwa waktu penyembelihan hewan kurban
adalah sejak terbit matahari pada hari nahar (Idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari
raya dan dua khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum. Sedangkan akhir waktu
bolehnya menyembelih kurban adalah hari tasyrik terakhir.
d.      Hanbaliyah

‫ يبدأ وقت الذبح من نهار األضحى بعد مضي قدر صالة‬:‫وقال الحنابلة‬
‫ واألفضل أن يكون‬،‫العيد والخطبتين في أخف ما يكون كما قال الشافعية‬
،‫ خروجا ً من الخالف‬،‫الذبح بعد الصالة وبعد الخطبة وذبح اإلمام إن كان‬
]5[.‫ال فرق في هذا بين أهل المصر وغيرهم‬
Waktu penyembelihan kurban dimulai dihari kurban selepas waktu kira-kira pelaksanaan shalat
Ied dengan dua khutbahnya yang teringan sebagaimana kalangan Syafi’iyyah.

Yang paling utama pelaksanaannya setelah dikerjakannya shalat Ied dan khutbah serta
menyembelihnya Imam pada kurbannya bila ia berkurban demi keluar dari pendapat yang
mewajibkannya. Dalam ketentuan tersebut tidak terdapat perbedaan antara penduduk kota dan
selainnya.

4.         Hewan Kurban dan Sifatnya

‫ إبل وبقر (ومنها‬:‫اتفق العلماء على أن األضحية ال تصح إال من نَ َعم‬


.‫الجاموس( وغنم (ومنها المعز) بسائر أنواعها فيشمل الذكر واألنثى‬
‫ والظباء‬،‫ فال يجزئ غير النعم من بقر الوحش و غيره‬،‫والخصي والفحل‬
‫ (( ولكل أمة جعلنا منسكا ً ليذكروا اسم هللا على ما‬:‫وغيرها لقوله تعالى‬
‫ولم ينقل عنه صلى هللا عليه وسلم وال‬،)34‫رزقهم من بهيمة األنعام))(الحج‬
]6[‫عن أصحابه التضحية بغيرها‬
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa kurban tidak diperbolehkan kecuali dengan binatang
ternak yaitu : Unta, Sapi (termasuk kerbau) dan kambing (termasuk kambing kacang) dengan
segala jenisnya mencakup ternak jantan atau betina, yang dikebiri atau menjadi pejantan.

Dengan demikian kurban tidak diperkenankan memakai selain binatang ternak seperti sapi
alasan (hutan), kijang dan lain-lain berdasarkan firman Allah “Dan bagi tiap-tiap umat telah
Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap
binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka” (QS. 22:34.)

Dan tidak diriwayatkan dari nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabat berkurban memakai selain binatang ternak.

a.          Baqar (Sapi)

‫ َو َعلَى‬، ‫ق َعلَى األ ْهلِ ِّي َو ْال َوحْ ِش ِّي‬ ُ َ‫ُطل‬ ْ ‫ َوي‬: ‫ قَال اب ُْن ِسي َد ْه‬. ‫س‬ ٍ ‫ ا ْس ُم ِج ْن‬: ‫ْالبَقَ ُر‬
‫اح ٌد ِم َن‬ ِ ‫ َو َو‬، ‫الذ َك ِر َواُأل ْنثَى‬
ِ ‫ ِإنَّ َما َد َخلَ ْتهُ ْالهَا ُء ألنَّهُ َو‬: ‫ َوقِيل‬، ٌ‫اح ُدهُ بَقَ َرة‬ َّ
‫وس بِ ْالبَقَ ِر فِي األحْ َك ِام‬
َ ‫ َوقَ ْد َس َّوى ْالفُقَهَا ُء ْال َجا ُم‬، ‫ات‬ ٌ ‫ بَقَ َر‬: ‫ َو ْال َج ْم ُع‬. ‫س‬
ِ ‫ْال ِج ْن‬
‫اح ٍد) المصباحـ المنير ولسان العرب والقاموس‬ ٍ ‫ َو َعا َملُوهُ َما َك ِج ْن‬،
ِ ‫س َو‬
. ‫المحيط في المادة‬
Al-Baqar (Sapi) adalah kata jenis, berkata Ibn Siidah “Sapi diucapkan untuk menamai yang
jinak maupun yang liar, jantan atau betina, bentuk tunggalnya baqaratun dikatakan dalam
kalimatnya terdapat ta’ karena bentuk tunggal dari isim jinis, bentuk jamaknya baqaraatun.

Ulama Fuqaha menyamakan hukumnya dengan kerbau dan menjadikan keduanya seperti satu
jenis. (Mishbah al-Muniir, Lisaan al-‘Arab dan Kamus al-Muhiith)[7]

b.        Binatang Ternak

‫ ولم يُذ َكر ألنه‬، ‫ وألحق بالبقر الجاموس‬، ‫ يُراد بها اإلبل والبقر‬: ‫األنعام‬
‫ والغنم وتشمل الضأن والماعز‬، ‫لم ي ُك ْن موجوداً بالبيئة العربية‬
Yang dikehendaki dengan binatang ternak adalah unta, sapi dan kambing (domba). Kerbau
disamakan dengan sapi dalam al-Quran tidak disebut karena binatang ini tidak terdapat
dilingkuran arab.[8]

Hewan kurban yang sakit (cacat) sedikit tidak menghalangi bolehnya dijadikan kurban. Tetapi
jika cacatnya besar, maka tidak dibolehkan.

Hewan tua yang sudah tidak baik dagingnya, tidak sah dijadikan kurban. Juga, hewan yang
kudisan tidak boleh dijadikan kurban, karena telah merusakkan dagingnya. Hewan yang buta dan
cacat matanya tidak boleh dijadikan kurban. Demikian menurut kesepakatan para imam
madzhab.

Binatang yang tanduknya patah adalah makruh dipakai kurban. Hanbali berpendapat: Tidak sah
kurban dengan hewan yang patah tanduknya.

Tidak sah berkurban dengan hewan yang pincang. Demikian menurut pendapat Maliki dan
Syafi’i. Hanafi berpendapat: Sah.

Menurut kesepakatan para ulama, binatang yang terpotong telinganya tidak sah dipakai untuk
kurban. Demikian pula, binatang yang terpotong ekornya karena hilang sebagian dagingnya. Jika
ekor tersebut hanya sedikit saja terpotong, maka menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat:
Tidak boleh.Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama Syafi’i kemudian: Boleh. Hanafi
dan Maliki berpendapat: Jika sedikit saja yang hilangnya maka boleh, sedangkan jika banyak
maka tidak boleh. Dari Hanbali diperoleh dua riwayat, di antaranya adalah tidak boleh jika yang
terpotong lebih dari sepertiganya.[9]

5.         Usia Hewan yang Sah untuk Berkurban       


Para ulama –rahimahullah- sepakat bahwa syari’at telah menentukan umur tertentu pada
hewan kurban, yang tidak boleh berkurban dengan binatang ternak yang berumur dibawah yang
telah ditentukan. Dan barang siapa yang berkurban dengan binatang di bawah umur, maka
kurbannya tidak sah.[10]

Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan hal itu, di antaranya adalah:

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (5556) dan Muslim (1961) dari al Barra’ bin ‘Azib –
radhiyallahu ‘anhuma- berkata: Pamanku yang bernama Abu Burdah berkurban sebelum shalat,
maka Rasulullah bersabda kepadanya:

. ‫اجنًا َج َذ َعةً ِم ْن ْال َم َع ِز‬


ِ ‫ ِإ َّن ِع ْن ِدي َد‬، ِ ‫ُول هَّللا‬ َ َ‫ فَق‬. ) ‫ك َشاةُ لَحْ ٍم‬
َ ‫ يَا َرس‬: ‫ال‬ َ ُ‫( َشات‬
‫) ( فَِإ َّن ِع ْن ِدي‬5563 ( ‫ وفي رواية للبخاري‬. ) ً‫ ( َعنَاقا ً َج َذ َعة‬: ‫وفي رواية‬
َ ‫ َولَ ْن تَصْ لُ َح لِ َغي ِْر‬، ‫ ( ْاذبَحْ هَا‬: ‫َج َذ َعةً ِه َي َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ِسنَّتَي ِْن ْآذبَ ُحهَا ؟) قَا َل‬
)‫ك‬
َ ‫ (ال تُجْ ِزئ َع ْن َأ َح ٍد بَ ْع َد‬: ‫وفي رواية‬
َ َ‫ثُ َّم ق‬. ) ‫ك‬
‫ ( َم ْن َذبَ َح قَب َْل الصَّال ِة‬: ‫ال‬
َ‫اب ُسنَّة‬
َ ‫ص‬َ ‫ َوَأ‬، ُ‫ َو َم ْن َذبَ َح بَ ْع َد الصَّال ِة فَقَ ْد تَ َّم نُ ُس ُكه‬، ‫فَِإنَّ َما يَ ْذبَ ُح لِنَ ْف ِس ِه‬
َ ‫ْال ُم ْسلِ ِم‬
(‫ين‬
“Kambingmu kambing pedaging”. ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya mempunyai jadza’ah
(usia 8-9 bulan) dari kambing”. dan dalam sebuah riwayat: “jadza’ah dari kambing betina”. Dan
dalam riwayat Bukhori (5563) “Saya mempunyai jadza’ah dari kambing, itu lebih baik dari dua
musinnah (yang berumur 1 tahun) yang saya sembelih ?” beliau bersabda: “Sembelihlah, namun
tidak untuk selainmu”. dan dalam riwayat yang lain: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain
sesudahmu”. Kemudian beliau bersabda:

، ُ‫ َو َم ْن َذبَ َح بَ ْع َد الصَّال ِة فَقَ ْد تَ َّم نُ ُس ُكه‬، ‫) َم ْن َذبَ َح قَب َْل الصَّال ِة فَِإنَّ َما يَ ْذبَ ُح لِنَ ْف ِس ِه‬
َ ‫اب ُسنَّةَ ْال ُم ْسلِ ِم‬
(‫ين‬ َ ‫ص‬َ ‫َوَأ‬
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri,
dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka ia telah menyempurnakan kurbannya,
dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin”.

Di dalam hadits ini disebutkan bahwa jadza’ah dari kambing belum boleh untuk berkurban.
Arti Jadza’ah akan dijelaskan selanjutnya.

Ibnul Qayyim dalam “Tahdzibus Sunan” berkata: “ Sabda Rasulullah: “Hal itu tidak
dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Maka larangan tersebut sifatnya qat’i, yaitu; tidak
dibolehkan kepada selainnya.

Hadits yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim 1963, dari Jabir –
radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

(‫ضْأ ِن‬
َّ ‫) ال تَ ْذبَحُوا ِإال ُم ِسنَّةً ِإال َأ ْن يَ ْع ُس َر َعلَ ْي ُك ْم فَتَ ْذبَحُوا َج َذ َعةً ِم ْن ال‬
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun), dan jika kalian
sulit mendapatkannya, maka sembelihlah jadza’ah (antara usia 8-9 bulan) dari domba/biri-biri”.

Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa yang boleh disembelih adalah musinnah,
kecuali untuk domba/biri dibolehkan untuk menyembelih jadza’ah “. 

An Nawawi dalam “Syarah Muslim” berkata:


“Para ulama berkata: “al Musinnah adalah yang tanggal gigi serinya ke atas baik dari unta,
sapi atau kambing, dari sini sudah jelas bahwa tidak boleh sama sekali menyembelih jadza’ah
kecuali dari domba/biri-biri”.

Al Hafidz berkata:

“Yang jelas makna hadits tersebut menunjukkan bahwa jadza’ah dari domba tidak boleh
kecuali sulit mendapatkan yang berusia musinnah. Sedangkan ijma’ menyangkalnya. Maka wajib
di takwil dan fahami kepada makna yang lebih utama, jadi yang dimaksud adalah disunnahkan
untuk tidak menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun)”. Demikian pernyataan
Imam Nawawi dalam “Syarah Muslim” nya. [11]

Disebutkan dalam “ ‘Aunul Ma’bud”: “Takwil ini adalah yang seharusnya dilakukan”.

Kemudian beliau menyebutan beberapa hadits yang membolehkan menyembelih jadza’ah


dari kambing untuk berkurban, di antaranya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir –radhiyallahu
‘anhu- berkata:

ُ‫ضْأن ) َأ ْخ َر َجه‬ ٍ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ِج َذ‬


َّ ‫ع ِم ْن ال‬ َ ‫ض َّح ْينَا َم َع َرسُول هَّللا‬
َ (
ّ ‫ قَا َل ْال َحافِظ َسنَده قَ ِو‬. )4382( ‫النَّ َساِئ ُّي‬
‫ي وصححه األلباني في صحيح‬
‫النسائي‬
“Kami berkurban bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan jadza’ah (usia 8-9
ulan ) dari domba”. (HR. Nasa’i 4382. al Hafidz berkata: sandnya kuat, dan dishahihkan oleh al
Baani dalam “Shahih Nasa’i)

Disebutkan juga dalam “al Mausu’ah al Fikhiyah” 5/83, ketika menyebutkan syarat-syarat
berkurban:

Agar hewan kurban mencapai usia yang telah ditentukan, yaitu; Tsaniyah (yang tanggal
gigi serinya), atau di atasnya, baik dari unta, sapi atau kambing. Jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari
kambing atau di atasnya, tidak dibolehkan berkurban dengan hewan yang belum tanggal gigi
serinya kecuali kambing, juga tidak boleh jadza’ah kecuali kambing…. Syarat ini sudah
disepakati oleh para ulama, namun mereka berbeda pendapat pada penafsiran makna Tsaniyah
dan Jadza’ah.
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa
jadza’ah dari kambing atau hewan ternak yang lain tidak boleh untuk berkurban kecuali domba,
yang boleh untuk berkurban adalah mulai tsaniyah (tanggal gigi serinya) ke atas dari semua
hewan ternak. Boleh jadza’ah dari domba dengan usia yang telah ditentukan”. (Tartib Tamhid:
10/267)

“Adalah merupakan konsensus umat, bahwa tidak boleh berukurban dengan unta, sapi atau
kambing kecuali tsaniyah (tanggal gigi serinya), dan dengan domba kecuali jadza’ah (usia 8-9
bulan). Semua yang disebutkan di atas boleh dilakukan kecuali pendapat sebagian rekan kami
Ibnu Umar dan Zuhri bahwasanya ia berkata: Jadza’ah dari domba tidak boleh. Dari ‘Atha’ dan
Auzaa’i beliau menyatakan: Dibolehkan berkurban dengan jadza’ah dari unta (usia 4 masuk 5
tahun), jadza’ah dari sapi (usia 2 masuk 3 tahun), jadza’ah dari kambing atau domba (usia 8-9
bulan)”. [12]

Adapun usia yang menjadi syarat berkurban para imam berbeda pendapat:

Jadza’ah dari domba/biri-biri: Yang berusia genap 6 bulan menurut Hanafiyan dan
Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah yang genap berusia satu tahun.

Musinnah (Tsaniyah) dari kambing: Yang berusia genap satu tahun, menurut Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah: yang berusia genap dua tahun.

Musinnah dari sapi: Yang berusia genap dua tahun menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah adalah berusia tiga tahun.

Musinnah dari unta: Yang berusia genap lima tahun menurut Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanbaliyah.

Baca: “Bada’ius Shana’i’ “ : 5/70, “Al Bahrur Raiq”: 8/202, “At Taaju wal Iklil”: 4/363,
“Syarh Mukhtashar Kholil”: 3/34, “al Majmu’: 8/365, “al Mushni”: 13/368.

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata dalam “Ahkam Udhhiyyah”:

“Tsaniy dari unta: yang berusia genap 5 tahun, tsaniy dari sapi yang berusia genap 2 tahun,
tsaniy dari kambing yang berusia genap 1 tahun. Sedangkan Jadza’ah adalah yang berusia genap
½ tahun. Dan tidak sah kurbannya dengan hewan ternak di bawah usia tsaniy dari unta, sapi atau
kambing. dan di bawah usia jadza’ah dari domba”.
“Dalil-dalil syar’i telah menunjukkan bahwa usia minimal dari domba/biri-biri adalah 6
bulan, dan dari kambing 1 tahun, dari sapi usia 2 tahun, da dari unta usia 5 tahun, di bawah usai
di atas tidak boleh untuk hady (sembelihan haji) atau kurban. Inilah makna mustaisirun min hady
(sembelihan yang mudah didapatkan); karena dalil dari al Qur’an dan Hadits satu sama lain
menafsiri yang lainnya”. [13]

“Penyebutan usia hewan kurban tersebut di atas adalah untuk mencegah kurangnya usia,
bukan larangan untuk usia maksimal. Bahkan jika seseorang berkurban dengan usia di bawahnya
tidak dibolehkan, dan jika berkurban dengan usia di atasnya boleh dan lebih utama. Juga tidak
dibolehkan untuk berkurban hewan ternak yang sedang bunting, peranakan kambing yang jantan,
anak sapi yang jantan dan anak unta; karena tidak termasuk dalam usia yang telah ditentukan
oleh syari’at sebagaimana yang kami sebutkan tadi”. [14]

Dengan demikian menjadi jelas bahwa menyembelih sapi di bawah usia 2 tahun tidak satu
pun para ulama membolehkannya.

6.         Adab Berkurban


Adab berkurban mencakup tata cara dan sunnah berkurban
Tata Cara Berqurban

Pertama: dianjurkan untuk menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih.

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ ْ ِ‫ان َحف‬


ِ ‫ظتُهُ َما َع ْن َرس‬ ٍ ‫َع ْن َش َّدا ِد ب ِْن َأ ْو‬
ِ َ‫س قَا َل ثِ ْنت‬
‫ان َعلَى ُك ِّل َش ْى ٍء فَِإ َذا قَتَ ْلتُ ْم فََأحْ ِسنُوا ْالقِ ْتلَةَ َوِإ َذا َذبَحْ تُ ْم‬ َ ‫ب اِإل حْ َس‬ َ َ‫قَا َل « ِإ َّن هَّللا َ َكت‬
.» ُ‫يحتَه‬ َ ِ‫فََأحْ ِسنُوا ال َّذب َْح َو ْلي ُِح َّد َأ َح ُد ُك ْم َش ْف َرتَهُ فَ ْلي ُِرحْ َذب‬
Dari Syadad bin Aus, beliau berkata, “Ada dua hal yang kuhafal dari sabda Rasulullah yaitu
Sesungguhnya Allah itu mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian
membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Demikian pula, jika kalian menyembelih
maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian tajamkan pisau dan kalian buat
hewan sembelihan tersebut merasa senang” (HR Muslim no 5167).

Kedua: penyembelih dianjurkan untuk menghadap kiblat dan menghadapakan hewan


sembelihan ke arah kiblat.
ُ‫ان ِإ َذا َأ ْه َدى هَ ْديًا ِم ْن ْال َم ِدينَ ِة قَلَّ َدهُ َوَأ ْش َع َره‬
َ ‫َع ْن نَافِ ٍع َع ْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ُع َم َرَأنَّهُ َك‬
ُ‫ك فِي َم َكا ٍن َوا ِح ٍد َوهُ َو ُم َو َّجهٌ لِ ْلقِ ْبلَ ِة يُقَلِّ ُده‬ َ ِ‫بِ ِذي ْال ُحلَ ْيفَ ِة يُقَلِّ ُدهُ قَب َْل َأ ْن يُ ْش ِع َرهُ َو َذل‬
ِ َّ‫ف ِب ِه َم َع الن‬
َ‫اس بِ َع َرفَة‬ ُ ‫ق اَأْل ْي َس ِر ثُ َّم يُ َسا‬
َ َ‫ق َم َعهُ َحتَّى يُوق‬ ِّ ‫بِنَ ْعلَي ِْن َويُ ْش ِع ُرهُ ِم ْن ال ِّش‬
‫ق َأ ْو‬َ ِ‫ثُ َّم يَ ْدفَ ُع بِ ِه َم َعهُ ْم ِإ َذا َدفَعُوا فَِإ َذا قَ ِد َم ِمنًى َغ َداةَ النَّحْ ِر نَ َح َرهُ قَ ْب َل َأ ْن يَحْ ل‬
‫صفُّه َُّن قِيَا ًما َوي َُوجِّ هُه َُّن ِإلَى ْالقِ ْبلَ ِة ثُ َّم يَْأ ُك ُل‬
ُ َ‫ان هُ َو يَ ْن َح ُر هَ ْديَهُ بِيَ ِد ِه ي‬
َ ‫يُقَصِّ َر َو َك‬
ْ ‫َوي‬
‫ُط ِع ُم‬
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, adalah Ibnu Umar jika membawa hadyu dari Madinah maka
beliau tandai bahwa hewan tersebut adalah hewan hadyu dengan menggantungkan sesuatu
padanya dan melukai punuknya di daerah Dzul Hulaifah. Beliau gantungi sesuatu sebelum beliau
lukai. Dua hal ini dilakukan di satu tempat. Sambil menghadap kiblat beliau gantungi hewan
tersebut dengan dua buah sandal dan beliau lukai dari sisi kiri. Hewan ini beliau bawa sampai
beliau ajak wukuf di Arafah bersama banyak orang kemudian beliau bertolak meninggalkan
Arafah dengan membawa hewan tersebut ketika banyak orang bertolak. Ketika beliau tiba di
Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah beliau sembelih hewan tersebut sebelum beliau
memotong atau menggundul rambut kepala. Beliau sendiri yang menyembelih hadyu beliau.
Beliau jajarkan onta-onta hadyu tersebut dalam posisi berdiri dan beliau arahkan ke arah
kiblat kemudian beliau memakan sebagian dagingnya dan beliau berikan kepada yang lain (HR
Malik dalam al Muwatha’ no 1405).

.‫عن نافع أن ابن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير القبلة‬
Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih
dengan tidak menghadap kiblat (Riwayat Abdur Razaq no 8585 dengan sanad yang shahih).

.‫ كان يستحب أن توجه الذبيحة إلى القبلة‬: ‫عن ابن سيرين قال‬
Dari Ibnu Sirin (seorang tabiin) beliau mengatakan, “Dianjurkan untuk menghadapkan hewan
sembelihan ke arah kiblat” (Riwayat Abdur Razaq no 8587 dengan sanad yang shahih).
Riwayat-riwayat di atas dan yang lainnya menunjukkan adanya anjuran untuk menghadapkan
hewan yang hendak disembelih kea rah kiblat. Namun jika hal ini tidak dilakukan daging hewan
sembelihan tersebut tetap halal dimakan. An Nawawi menyebutkan adanya anjuran untuk
membaringkan sapi dan kambing pada lambung kirinya. Dengan demikian proses
penyembelihan akan lebih mudah. Bahkan dalam al Mufhim 5/362, al Qurthubi mengatakan
bahwa membaringkan hewan yang hendak disembelih pada lambung kirinya adalah suatu yang
telah dipraktekkan kaum muslimin semenjak dahulu kala.

Bahkan Ibnu Taimiyyah mengklaim tata cara seperti ini sebagai salah satu sunnah Nabi. Beliau
berkata, “Hewan sembelihan baik hewan kurban ataupun yang lainnya hendaknya dibaringkan
pada lambung kiri dan penyembelih meletakkan kaki kanannya di leher hewan tersebut
sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih dari Rasulullah. Setelah itu hendaknya
penyembelih mengucapkan bismilah dan bertakbir. Lengkapnya yang dibaca adalah sebagai
berikut “Bismillahi allahu akbar. Allahumma minka wa laka. Allahumma taqabbal minni kama
taqabbalta min Ibrahim khalilika”.

Barang siapa yang membaringkan hewan tersebut pada lambung kanannya dan meletakkan kaki
kirinya di leher hewan tersebut akhirnya orang tersebut harus bersusah payah menyilangkan
tangannya agar bisa menyembelih hewan tersebut maka dia adalah seorang yang bodoh terhadap
sunnah Nabi, menyiksa diri sendiri dan hewan yang akan disembelih. Akan tetapi daging hewan
tersebut tetap halal untuk dimakan. Jika hewan tersebut dibaringkan pada lambung kirinya maka
lebih nyaman bagi hewan yang hendak disembelih dan lebih memperlancar proses keluarnya
nyawa serta lebih mudah dalam proses penyembelihan. Bahkan itulah sunnah yang dipraktekkan
oleh Rasulullah dan seluruh kaum muslimin bahkan praktek semua orang. Demikian pula
dianjurkan agar hewan yang hendak disembelih tersebut dihadapkan ke arah kiblat” (Majmu
Fatawa 26/309-310).

Ketiga: Dimakruhkan memotong leher hewan yang disembelih

‫عن نافع أن بن عمر كان ال يأكل الشاة إذا نخعت‬


Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau memakan daging kambing yang disembelih
hingga lehernya terputus (Riwayat Abdur Razaq no 8591dengan sanad yang shahih).
‫عن بن طاووس عن أبيه قال لو أن رجال ذبح جديا فقطع رأسه لم يكن بأكله‬
‫بأس‬
Dari Ibnu Thawus dari Thawus, beliau berkata, “Andai ada orang yang menyembelih hewan
hingga lehernya putus maka daging hewan tersebut tetap boleh dimakan” (Riwayat Abdur Razaq
no 8601 dengan sanad yang shahih).

‫عن معمر قال سئل الزهري عن رجل ذبح بسيفه فقطع الرأس قال بئس ما‬
‫فعل فقال الرجل فيأكلها قال نعم‬
Dari Ma’mar, Az Zuhri –seorang tabiin- ditanya tentang seorang yang menyembelih dengan
menggunakan pedang sehingga leher hewan yang disembelih putus. Jawaban beliau, “Sungguh
jelek apa yang dia lakukan”. “Apakah dagingnya boleh dia makan?”, lanjut penanya. “Boleh”,
jawab az Zuhri (Riwayat Abdur Razaq no 8600 dengan sanad yang shahih).

Tentang hal ini, ada juga ulama yang memberi rincian. Jika dilakukan dengan sengaja maka
dagingnya jangan dimakan. Akan tetapi jika tanpa sengaja maka boleh. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Atha, seorang ulama dari generasi tabiin.

‫عن عطاء قال إن ذبح ذابح فأبان الرأس فكل ما لم يتعمد ذلك‬
Dari Atha’, beliau berkata, “Jika ada orang yang menyembelih hewan hingga kepala terpisah dari
badannya maka silahkan kalian makan asalkan orang tersebut tidak sengaja” (Riwayat Abdur
Razaq no 8599 dengan sanad yang shahih).

Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau membenci perbuatan ini jika dilakukan
dengan sengaja sebagaimana dalam Sualat Abdullah bin Ahmad hal 260 no 980 dan 981.
Demikian pula Imam Syafii membenci hal ini (al Hawi 15/87-91).[15]

Sunnah-sunnah Berqurban

Disunnahkan sewaktu menyembelih korban beberapa perkara berikut ini

           Membaca “Bismillah Wallahu Akbar” dan Shalawat atas Nabi s.a.w.
           Orang yang berkurban sendiri disunnatkan menyembelihnya, dan jika ia  wakil
menyembelihkannya, maka disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.

           Berdoa supaya kurban diterima Allah.

Sunnat membaca do’a :

) ‫ َو ِم ْن ُأ ّم ِة ُم َح َّم ٍد‬,‫آل ُم َح َّم ٍد‬


ِ ‫ اَللَّهُ َّم تَقَبَّلْ ِم ْن ُم َح َّم ٍد َو‬,ِ ‫بِس ِْم هَّللَا‬
"Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan
umatnya." Kemudian beliau berkurban dengannya.”

           Binatang yang disembelih disunnatkan dihadapkan ke kiblat[16]

7.         Hukum Memakan Daging Kurban dan Pendistribusiannya


Dan cara pembagiannya daging qurbannya adalah dengan disunnahkan bagi orang yang
berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada para kerabat, dan
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir.  Rasulullah bersabda:

‫س ْالفَقِي َْر‬ ْ ‫او‬


َ ‫اط ِع ُم ْو ْاالبَاِئ‬ َ َ‫فَ ُكلُ ْوا ِم ْنه‬
“Maka makanlah daripadanya beri makanlah orang-orang yang sangat fakir ”.

Dalam kaitan ini para ulama mengatakan: Yang afdhal bahwa ia memakan sepertiga,
bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut sekalipun ke
Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan tidak boleh memberi tukang
potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang
yang berqurban bersedekah dan boleh mengambil daripadanya untuk dimanfaatkan. Menurut
Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan bayarannya disedekahkan atau membelikannya
barang yang bermanfaat untuk rumah.[17]

Dalam pembagian daging kurban masa sekarang tata caranya tidak jauh berbeda. Hanya
saja bentuk pendistribusiannya yang berbeda, pelaksanaan kurban cara baru, yaitu melalui
system kemasan (kornet). Lebih praktis dan tahan lama.

KH Ma’ruf Amin, salah seorang pengurus PBNU, yang juga ketua Komisi Fatwa MUI
Pusat membolehkan pengiriman daging kurban siap saji (baca : dalam bentuk kornet, dll),
asalkan penyembelihan dilakukan pada masa hari tasyrik (tanggal 10 – 13 Dzulhijah).
Kornet dapat di-analog-kan (dikategorikan) dalam iddikhar,menyimpan dalam waktu lebih
dari tiga hari, karena kebutuhan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pendistribusian
hewan kurban dalam bentuk kornet adalah sebagai berikut:

      Waktu penyembelihan harus tetap pada hari Tasyriq (tanggal 10-13 Zulhijjah), yaitu setelah
Sholat Idul Adha s.d sebelum Maghrib tgl. 13 Zulhijjah.

Hadits Rasulullah SAW,”Setiap sudut kota Makkah adalah tempat penyembelihan dan setiap
hari-hari tayriq adalah [waktu] penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi,
Thabrani, dan Daruquthni).

Pendapat Imam Syafi’i mengenai masalah ini ”Jika matahari telah terbenam pada akhir hari-
hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah], lalu seseorang menyembelih kurbannya, maka kurbannya
tidak sah.”

      Adanya hajat sebagai dasar penyimpanan daging kurban lebih dari tiga hari.misalnya masih
adanya kaum muslimin yang miskin, menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa
bencana, dan sebagainya.[18]

8.      Hikmah Disyariatkan Berkurban


a.    Taqqarub (medekatkan diri) kepada Allah subhanahu wa ta'ala,karena Allah telah berfirman

ْ‫ص ِّل لِ َرب َِّك َوا ْن َحر‬


َ َ‫ف‬
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah (berqurban).”

b.    Menghidupkan sunah imam ahli tauhid, Ibrahim 'alaihissalam ketika beliau diperintahkan oleh
Allah untuk menyembelih putranya Ismail 'alaihissalam, kemudian Allah menggantinya dengan
domba yang besar, Allah berfirman:

.]107:‫وفديناه بذبح عظيم [الصافات‬


“Dan kami gantikan gengan sembelihan yang besar.”(Ash-Shaaffat: 107)

c.    Berbagi kesenangan kepada orang fakir dan miskin, dengan daging yang disedekahkan kepada
mereka.

d. Merupakan bentuk syukur kepada Allah yang telah menundukkan binatang ternak kepada kita.
Allah berfirman:
َ ‫ك َس َّخرْ نَاهَا لَ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكر‬
( ‫ُون‬ ْ ‫فَ ُكلُوا ِم ْنهَا َوَأ‬
َ ِ‫ط ِع ُموا ْالقَانِ َع َو ْال ُم ْعتَ َّر َك َذل‬
َ ِ‫ال هَّللا َ لُحُو ُمهَا َواَل ِد َماُؤ هَا َولَ ِكن يَنَالُهُ التَّ ْق َوى ِمن ُك ْم َك َذل‬
‫ك َس َّخ َرهَا‬ َ َ‫) لَن يَن‬36
.]37،36:‫ين [الحج‬ َ ِ‫لَ ُك ْم لِتُ َكبِّرُوا هَّللا َ َعلَى َما هَ َدا ُك ْم َوبَ ِّش ِر ْال ُمحْ ِسن‬
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.Daging-daging unta
dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwan dari
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkanya untuk kamu supaya
kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj:36-37)

Akikah      
1.    Pengertian Akikah dan Hukumnya
Akikah merupakan kata dari Bahasa Arab yaitu aqiqah yang memiliki arti potongan.
Bentuk kata lainnya adalah (al-aqiq), (al-aqiqah), (al-iqqah) berarti rambut yang tumbuh di
kepala jabang bayi saat dilahirkan.

Seperti perkataan Abu ‘Abid:

]19[‫ و جمعها عقائق‬.‫األصل في العقيقة الشعر على المولود‬


“Asal kata akikah adalah rambut yang tumbuh diatas bayi yang lahir. Dan bentuk
jamaknya adalah ‘aqaiq. ”

Imam Syaukani berpendapat bahwa akikah adalah sembelihan untuk bayi. Sedang al-aqqu
pada dasarnya bermakna asy-syaqqu (memotong) dan al-qathu (memotong). Sembelihan itu
dinamakan akikah karena tenggorokannya (lehernya) dipotong.

Terkadang akikah berarti rambut sang bayi, arti inilah yang digunakan Zamakhsyari
sebagai arti dasar. Akikah juga berarti kambing (yang disembelih) tetapi menurut Zamakhsyari
ini bukan arti dasar.
"Aqqa an waladihi aqqan," artinya menyembelih kambing untuk anaknya pada hari
ketujuh dari kelahirannya, juga berarti mencukur rambut anaknya.

Sedangkan Akikah menurut syara berarti memotong kambing dalam rangka mensyukuri
kalahiran sang bayi yang dilakukan pada hari ketujuh dari kelahirannnya sebagai salah satu
sunnah Rasulullah Saw.

Praktek akikah sebetulnya sudah dilaksanakan oleh masyarakat Arab sebelum datangnya
risalah Muhammad Saw. Namun hanya berlaku bagi bayi berjenis kelamin laki-laki. bahkan
mereka melumuri kepala bayi dengan darah kambing yang telah disembelih itu.

Setelah Rasulullah Saw diutus, praktek akikah masih dilaksanakan, namun Nabi mengubah
tradisi mereka yang tidak benar.

Hukum asal akikah adalah:

]20[‫ و ذبحها أفضل من الصدقة بثمنها‬,‫و الصحيح أنها سنة مئكدة‬


“Memang benar bahwa akikah hukumnya sunnah muakkad, dan penyembelihannya lebih
utama daripada sedekah dengan harga hewan sembelihannya.”

Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i, akikah itu disyariatkan. Hanafi berpendapat: Akikah
dibolehkan, dan saya tidak berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah. Dari Hanbali diperoleh dua
riwayat. Pertama, yang masyhur, yaitu disunnahkan. Kedua, yang dipilih oleh sebagian ulama
pengikutnya: Wajib hukumnya. Menurut pendapat al-Hasan dan Dawud, akikah adalah wajib.
[21]

2.    Jenis, Usia, dan Sifat Hewan yang Sah untuk Akikah
 Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pendapat tentang masyru’-nya kambing
atau domba untuk ‘aqiqah. Boleh dari jenis jantan ataupun betina. Hal ini didasarkan oleh
hadits :

‫ عن الغالم شاتان‬: ‫عن أم كرز قالت سمعت النبي صلى هللا عليه وسلم يقول‬
‫وعن الجارية شاة ال يضركم أذكرانا كن أم إناثا‬
Dari Ummu Kurz ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda : ”Untuk seorang anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan
adalah seekor kambing. Tidak mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina”
Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau domba (misalnya :
onta atau sapi).

a.         Jumhur ulama membolehkannya.

Mereka berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya :

‫أن أنس بن مالك كان يعق عن بنيه الجزور‬


”Bahwasannya Anas bin Malik mengaqiqahi dua anaknya dengan onta”.

‫عن أنس بن مالك قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من ولد له غالم‬
‫فليعق عنه من اإلبل أو البقر أو الغنم‬
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda : ”Barangsiapa dikaruniai seorang anak laki-laki, hendaklah ia beraqiqah dengan onta,
sapi, atau kambing”.
Namun atsar ini tidak shahih.

Mereka (jumhur) juga beralasan bahwa makna syaatun (‫ )شاة‬dalam bahasa Arab bisa bermakna
domba, kambing, sapi, unta, kijang, dan keledai liar.

b.         Sebagian ulama tidak membolehkannya, bahkan mereka menyatakan tidak sah ’aqiqah selain
dari jenis kambing atau domba.

Dalil mereka adalah dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan di atas yang semuanya
menyebut dengan istilah domba atau kambing. Selain itu, mereka juga berdalil dengan atsar
berikut :

‫عن يوسف بن ماهك قال دخلت أنا وبن مليكة على حفصة بنت عبد‬
‫الرحمن بن أبي بكر وولدت للمنذر بن الزبير غالما فقلت هال عققت‬
‫جزورا على ابنك فقالت معاذ هللا كانت عمتي عائشة تقول على الغالم‬
‫شاتان وعلى الجارية شاة‬
Dari Yusuf bin Maahik ia berkata : ”Aku dan Ibnu Mulaikah masuk menemui Hafshah binti
’Abdirrahman bin Abi Bakr yang saat itu sedang melahirkan anak dari Mundzir bin Az-Zubair.
Aku pun berkata: ’Mengapa engkau tidak menyembelih seekor onta untuk anakmu ?’. Ia pun
menjawab : ’Ma’aadzallah (aku berlindung kepada Allah) ! Bibiku, yaitu ’Aisyah, pernah
berkata : ”Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.

‫س لِ َع ْب ِد‬َ ِ‫ال َس ِمعْت اب َْن َأبِي ُملَ ْي َكةَ يَقُو ُل { نُف‬ َ َ‫َّار ب ِْن َورْ ٍد ْال َم ِّك ُّي ق‬
ِ ‫عن َع ْب ِد ْال َجب‬
‫ين ُعقِّي َع ْنهُ َج ُزورًا‬ َ ِ‫يل لِ َعاِئ َشةَ يَا ُأ َّم ْال ُمْؤ ِمن‬
َ ِ‫الرَّحْ َم ِن ب ِْن َأبِي بَ ْك ٍر ُغاَل ٌم فَق‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َشاتَا ِن‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ت َم َعا َذ هَّللا ِ َولَ ِك ْن َما ق‬‫فَقَالَ ْـ‬
} ‫ان‬ ِ َ‫ُم َكافََأت‬
Dari ’Abdil-Jabbar bin Ward Al-Makkiy ia berkata : Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah
berkata : ”Ketika anak laki-laki ’Abdurrahman bin Abi Bakr lahir, ditanyakan kepada ’Aisyah :
’Wahai Ummul-Mukminin, apakah boleh seorang anak laki-laki di-’aqiqahi dengan seekor
onta ?’. ’Aisyah menjawab : ’Ma’aadzallah, akan tetapi sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam : ’Dua ekor kambing yang setara/sama’”.

‫عن أم كرز وأبي كرز قاال نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن‬
‫ولدت امرأة عبد الرحمن نحرنا جزورا فقالتـ عائشة رضى هللا تعالى عنها‬
‫ال بل السنة أفضل عن الغالم شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة‬
Dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata : ”Telah bernadzar seorang wanita dari
keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika istrinya melahirkan anak, mereka akan menyembelih
seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata : ”Jangan, bahkan yang disunnahkan itu
lebih utama. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor
kambing”.

Dari dua pendapat di atas, yang rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang menyatakan
ketidakbolehan ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba. Walaupun telah shahih riwayat
dari Anas radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia menyembelih onta, namun itu tidak dapat
dipertentangkan dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu ’’alaihi wasallam yang semuanya
menyebutkan atau membatasi pada jenis kambing atau domba saja. Apalagi telah shahih
pengingkaran ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa tentang hal itu. ’Aqiqah merupakan satu bentuk
ibadah yang dalam pelaksanaannya bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash). Termasuk di
dalamnya adalah dalam penentuan jenisnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak
beraqiqah dengan selain kambing/domba, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula
memberikan taqrir (persetujuan) kepada para shahabat. Oleh karena itu, sunnah beliau shallallaau
’alaihi wasallam tidaklah bisa dibatalkan oleh ijtihad Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu.

Adapun alasan bahwa secara bahasa syaatun itu bisa bermakna pada selain kambing, maka
jawabannya : ”Pada asalnya kata syaatun itu jika diucapkan secara mutlak, maka tidak ada
makna lain kecuali kambing. Adapun makna selain kambing, maka ia adalah makna secara
majazy yang hanya bisa dipakai jika ada qarinah (keterangan) yang menunjukkan pada makna
tersebut. Oleh karena itu, Ibnul-Mandzur dalam Lisaanul-’Arab berkata : ”Syaat adalah bentuk
tunggal dari kambing, baik jantan maupun betina. Dikatakan : Syaat adalah domba, kambing,
kijang, sapi, onta, dan keledai liar”.

Al-Hafidh berkata :

‫ وعندي أنه ال يجزئ‬....‫ويذكر الشاة والكبش على أنه يتعين الغنم للعقيقة‬
‫غيرها‬
”Dan disebut asy-syaatun dan al-kabsyun adalah untuk menentukan jenis kambing untuk
‘aqiqah..... Dan menurutku, tidak boleh (untuk ’aqiqah) selain dari jenis kambing”.

3.    Waktu Berakikah


Para ulama sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para
hari ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak dia lahir pertama
kali di dunia ini.

Dasarnya adalah beberapa hadits berikut ini :

ُ‫ق َرْأ ُسه‬


ُ َ‫ُكلُّ ُغالَ ٍم َر ِه ْينَةٌ بِ َعقِ ْيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَ ْو َم َسابِ ِع ِه َويُ َس َّمى فِ ْي ِه َويُحْ ل‬
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki
tergadaikan dengan hewan aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi
nama lalu digunduli dan (HR. Abu Daud)

‫الح َس ِن َوال ُح َسي ِْن َعلَ ْي ِه َما ال َّسالَ ِم يَ ْو َم السَّابِ ِع َو َس َّماهُ َما‬ َّ ‫َع‬
َ ‫ق َرسُو ُل هللاِ َع ِن‬
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk
Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-
Baihaqi)

Namun para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih
aqiqah bila waktunya bukan pada hari ketujuh.

Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk menyembelih hewan aqiqah hanya pada
hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini
tidak lagi disyariatkan penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.

Asy-Syafi’iyah

Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka membolehkan aqiqah disembelih
meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun membolehkan disembelihkan aqiqah meski
waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.

Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh adalah waktu
ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih. Namun seandainya tidak ada pilihan, maka
boleh dilakukan kapan saja.

Al-Hanbaliyah

Mazhab Al-Hanbaliyah berpendapat bahwa bila seorang ayah tidak mampu menyembelih hewan
aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya, maka dia masih dibolehkan untuk
menyembelihnya pada hari keempat-belas.

Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu melakukannya, maka boleh dikerjakan
pada hari kedua-puluh satu.
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila menyembelih hewan aqiqah sebelum hari
ketujuh, namun bila lewat dari hari ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah
dan kewajibannya tetap berlaku sampai kapan saja.

Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah.
Sehingga karena dalam anggapannya wajib, maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau
diqadha’. Dan qadha’ itu tetap berlaku sampai kapan pun.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan
hewan aqiqah.

Sebagian ada yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada
waktu Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada saat
matahari terbit.

Dan sebagian yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam
pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu Dhuha,
siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.

Pendapat yang terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak
dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada penyembelihan
hewan udhiyah.

Cara Menghitung Waktu Berakikah

Para ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat
untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka
berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran bayi ikut
dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh pada hari berikutnya.

a.         Cara Al-Malikiyah

Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi adalah keesokan harinya atau sehari
setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari
pertama adalah Rabu, hari kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima
Ahad, hari keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa. 
Maka waktu untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari Selasa, yaitu hari yang sama dengan
hari kelahiran bayi, seminggu kemudian.

Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat tengah malam sebelum terbit fajar, maka
hari kelahirannya itu sudah mulai dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa
dini hari jam 02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari
ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa.

Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para ulama lain seperti Al-Imam An-
Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab Asy-Syafi’iyah.

b.        Cara Ibnu Hazm

Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya adalah dengan menjadikan hari
kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama
adalah Selasa, hari kedua Rabu, hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari
keenam Ahad, dan hari ketujuh adalah Senin.

Maka hewan aqiqah disembelih pada hari Senin dan bukan hari Selasa.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.

Tabel

Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan dari keduanya, silahkan lihat
tabel di bawah ini :

HARI Malikiyah Ibnu Hazm

Selasa Hari 0 : LAHIR Hari 1 : LAHIR

Rabu Hari 1 Hari 2

Kamis Hari 2 Hari 3

Jumat Hari 3 Hari 4

Sabtu Hari 4 Hari 5

Ahad Hari 5 Hari 6

Senin Hari 6 Hari 7 : AQIQAH


Selasa Hari 7 : AQIQAH -

Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya berbeda. Dan sayangnya tidak ada
dalil yang qath'i dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang contoh penghitungannya. Sehingga
terjadi peluang perbedaan pendapat dalam cara penghitungannya.

Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah bukan pada resepsi acaranya, melainkan
pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting
penyembelihannya itu sendiri. Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih
hewan dan bukan pesta.

4.    Hukum Daging dan Kulit Hewan Akikah


Daging kambing aqiqah boleh di makan oleh keluarga sendiri dan juga dibagikan sebagai
sedekah kepada orang lain baik dalam bentuk daging mentah atau sebagai sebuah hidangan
menurut jumhur ulama kecuali Malikiyah.

Dianjurkan untuk memisahkan bagian hewan aqiqah pada persendiannya (jika


memungkinkan) agar tidak mematahkan tulangnya sebagai symbol optimisme harapan agar
anggota tubuh bayi juga sehat sempurna dan tidak mengalami kekurangan.

Untuk kulit dan kepala kambing aqiqah juga tidak boleh di jual belikan namun hendaknya
disedekahkan. Hal ini menurut mayoritas ulama selain imam ahmad bin hambal dalam satu
riwayat dari beliau.

5.    Hikmah Disyariatkan Akikah


         Akikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat
yang telah Allah berikan berupa kelahiran seorang anak.

         Akikah merupakan kurban seorang hamba untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
SWT sebagai ungkapan rasa senang dan gembira karena memeroleh nikmat berupa kelahiran
seorang anak.

         Akikah merupakan tebusan untuk menebus sang bayi dari segala macam musibah dan
malapetaka. Allah SWT menebus Isma'il dengan seekor domba yang disembelih, sehingga
peristiwa tersebut menjadi sunnah (tradisi) yang masih dilaksanakan oleh anak cucu Isma'il.
Ketika Rasulullah diutus, sunnah tersebut tetap beliau lestarikan.
         Akikah berfungsi untuk membuka ketertahanan sang bayi sehingga ia dapat memberi syafaat
kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Samurah. Akikah
merupakan sebuah acara keislaman yang mengandung nilai-nilai sosial.

         Akikah berfungsi juga sebagai sarana untuk memperkuat ikatan kasih sayang antara individu
anggota masyarakat Muslim, melalui berkumpulnya mereka pada undangan pelaksanaan akikah
dan mengucapkan selamat kepada kedua orang tua bayi.

         Akikah merupakan sarana untuk merealisasikan takaful ijtima'I (kepedulian sosial) yang akan
membantu terwujudnya keadilan dalam masyarakat. Karena dalam perayaan akikah orang-orang
berkumpul baik yang miskin, yang kaya, yang besar maupun yang kecil tanpa mengistimewakan
suatu golongan saja.

         Akikah merupakan simbol perwujudan seruan Nabi yang mulia ketika beliau bersabda,
"Sesungguhnya aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain."

         Akikah merupakan bukti kebaikan orang tua terhadap anaknya sehingga anak tersebut kelak
dapat menjadi anak yang berbakti dan dapat memberikan syafaat kepada orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai