Judul:
Penulis:
Ust. Abu Harits, Lc
Editor:
Ust. Zaid Royani, S.Pd.I
Muroja'ah/Koreksi:
Dr. Muhammad Ubaidillah Al
Ghifari, Lc,
Penerbit:
MADINA PUBLISHING
(Majelis Dakwah Islam Indonesia)
Cetakan:
Pertama, 2020
2
Daftar Isi
Muqaddimah………………………………………………………………………………….4
Keutamaan Ibadah Qurban…………………………………………………………….6
Definisi Qurban dan Udlhiyyah……………………………………………………….7
Hukum Qurban……………………………………………………………………………….7
Jenis dan Umur Hewan Qurban……………………………………………………….10
Hewan yang lebih Afdhol untuk Qurban ?……………………………………….12
Apakah Untuk Setiap Orang Harus Satu Hewan Qurban ?…………………13
Persyaratan Hewan Qurban…………………………………………………………….14
Waktu Pelaksanaan Qurban…………………………………………………………….15
Adab-Adab Penyembelihan Hewan Qurban……………………………………..16
Hukum Daging Qurban dan Bagian Tubuh Darinya……………………………17
Hukum Berqurban Untuk Orang Lain Yang Sudah Meninggal……………19
Saat Berkumpulnya Hari Ied dengan Hari Jumat………………………………..20
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………..23
3
Muqaddimah
Segala puji bagi Ar Rohman yang telah mensyari’atkan qurban, sebagai tanda
kebesaran-Nya atas seluruh alam. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Khotamin Nabiyyin wal Mursalin Muhammad , beserta keluarganya, para
sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti.
Qurban ataupun disebut juga sebagai udlhiyyah merupakan salah satu syi’ar
Islam yang agung. Bagi seorang hamba beriman menunaikan qurban adalah upaya
membuktikan iman dan cinta kepada Ar Rohman. Motivasi ini hadir dalam diri seorang
mukmin karena didasarkan pada keimanannya pada hadits Nabi :
((誢( ( 믰 誢( ( 먐먐 鲰깽 먐먐 벐
(ڳ 〳( 먐 誢 ((誢( ° 룐 誢( ( 誢
誢( (
Artinya: Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak
ada satu amalan yang dikerjakan oleh seorang manusia di hari penyembelihan (hewan
qurban) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari mengalirkan darah (hewan qurban),
sesungguhnya besok pada hari kiamat hewan sembelihannya akan datang dengan
tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya, sesungguhnya darahnya telah sampai
(pahalanya) di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah maka jiwanya menjadi baik”. [HR.
Tirmidzi]
Berawal dari harapan menggapai cinta Ar Rohman, seorang mukmin tertuntut
untuk melakukan amalan qurban yang sesuai dengan apa yang disyari’atkan dalam Islam.
Karena hakikat dari ibadah qurban bukan penyerahan daging dan darah namun
sejatinya adalah sikap ketaqwaan dan ketundukan kepada Allah sebagaimana yang
disebutkan dalam Al Quran :
i 룐 ai(( ڳ ( ( iÊ 誢 a 誢 ċ誢 i a 誢( 誢 誢 鲰 ( 誢
( 먐誢(
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan
Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-
orang yang berbuat baik”. [QS. Al Hajj: ayat 37]
4
Berangkat dari kesadaran untuk mempersembahkan amalan terbaik kepada
Allah , seorang mukmin harus memperhatikan syarat dan ketentuan suatu amalan
ibadah. Keikhlasan dan bersesuaian dengan tuntunan syari’at Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam setiap amal ibadah.
Upaya untuk merealisasikan dua hal tersebut tentunya harus dengan bimbingan ilmu
dari para ulama.
Tulisan sederhana ini hadir sebagai upaya kecil membantu kaum muslimin untuk
lebih mudah memahami dan melaksanakan ibadah penyembelihan hewan qurban.
Penulis berupaya untuk menghadirkan panduan praktis yang tetap mengacu pada dalil-
dalil shohih dan penjelasan para ulama. Penulis sangat menyadari bahwa panduan
praktis ini masih jauh dari yang diharapkan dan juga masih banyak kekurangan. Saran
dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan.
Akhirnya hanya kepada Allah semata kita berharap dan bermunajat agar Allah
menerima setiap amal ibadah kita dan menjadikannya pemberat timbangan kebaikan
kita di hari akhirat nanti.
5
Keutamaan Ibadah Qurban
Setiap amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada para hambanya
senantiasa diiringi dengan kabar janji kebaikan dan keutamaan di dalamnya. Tentunya
hadirnya kedua perkara ini bertujuan memotivasi para hamba untuk siap sedia
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Tidak terkecuali ibadah qurban. Amalan ini adalah syiar Allah yang agung dan
mulia. Di dalamnya terdapat banyak hikmah dan ibroh serta kemuliaan yang akan
didapatkan bagi hamba beriman.
Di antara hikmah dan ibroh utama dari ibadah qurban ini adalah sebagai
penyeleksi setiap hamba dalam perkara taqwa. Hal ini disebutkan dalam firman Allah :
((誢( ( 믰 誢( ( 먐먐 鲰깽 먐먐 벐
(ڳ 〳( 먐 誢 ((誢( ° 룐 誢( ( 誢
誢( (
Artinya: Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak
ada satu amalan yang dikerjakan oleh seorang manusia di hari penyembelihan (hewan
qurban) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari mengalirkan darah (hewan qurban),
sesungguhnya besok pada hari kiamat hewan sembelihannya akan datang dengan
tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya, sesungguhnya darahnya telah sampai
(pahalanya) di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah maka jiwanya menjadi baik”. [HR.
Tirmidzi]
6
Definisi Qurban dan Udlhiyyah
Qurban secara bahasa adalah segala perkara yang ditujukan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah dari penyembelihan hewan dan perkara lainnya.1
Adapun secara istilah syar’i adalah penyembelihan hewan tertentu dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah di waktu yang telah ditentukan2.
Dalam kajian kitab fiqh ibadah qurban sering disebut juga dengan istilah
Udlhiyyah. Secara bahasa kata udlhiyyah berasal dari kata 벐 yang artinya
menyembelih di waktu dluha dan di hari ‘Iedul Adlha3. Sedangkan kata 벐〳(
bermakna domba atau sejenisnya yang disembelih di hari ‘Iedul Adlha.
Hukum Qurban
Berqurban ataupun udlhiyyah merupakan ibadah agung yang disyaratkan dalam
Islam. Syari’at ini didasarkan pada firman Allah :
b( ċi룐 誢 i먐
Artinya: “Maka sholatlah untuk Robbmu dan sembelihlah (hewan qurban)”. [QS. Al
Kautsar: 2]
1
Musthofa, Ibrahim. et.all., Al Mu’jam al Wasith (Istanbul: al Maktabah al Islmiyyah, tt, tc) bab;
al Qoof, juz 2 hal 723
2
Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu (Damaskus: Daar al Fikr, cetakan
IV, tahun 1997 M) juz 4 hal 2702
3
Musthofa, Ibrahim. et.all., Al Mu’jam al Wasith, bab; Ad Dlood, juz 1 hal 535
7
Penyembelihan hewan yang diniatkan untuk qurban dalam Islam hanya ada tiga
macam, yaitu: hadyu (penyembelihan hewan dalam manasik haji), udlhiyyah dan
aqiqoh. Selain dari tiga macam ini maka penyembelihan jenis hewan yang halal untuk
kebutuhan manusia hukumnya mubah. Adapun penyembelihan dengan niat qurban
untuk selain kepada Allah adalah bathil dan haram. Contoh dalam perkara ini adalah
seperti menyembelih kambing dalam rangka tolak bala’ ataupun untuk sesaji kepada
laut, bumi dan lainnya.
Adapun hukum pelaksanaan udlhiyyhah ataupun qurban di hari ‘Iedul Adlha,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat wajib bagi yang
mampu. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Sementara jumhur
(mayoritas) Ulama berpendapat tidak wajib namun sangat dianjurkan atau disebut juga
dengan istilah sunnah muakkadah.4
Secara khusus Imam As Syafi’i mendetailkan hukum qurban ini dengan sunnah
‘ain bagi setiap individu sekali dalam seumur hidupnya. Kemudian sunnah kifayah jika
yang berqurban dari anggota keluarganya lebih dari satu. Maknanya jika ada salah satu
anggota keluarga yang mau berqurban maka cukuplah satu orang tersebut mewakili
anggota keluarga lainnya.5
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur yang
mengatakan hukum qurban adalah sunnah dan tidak wajib. Ada beberapa dalil yang
dijadikan landasan oleh jumhur ulama tentang penetapan hukum ini, di antaranya
adalah :
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pelaksanaan qurban berkaitan erat dengan
keinginan serta kemampuan. Tatkala suatu ibadah disertai dengan ta’liq keinginan
ataupun kemampuan maka hukum dari ibadah tersebut sunnah bukan wajib.6
4
Kamal bin As SayyidSalim, Abu Malik, Shohiih Fiqh As Sunnah (Kairo: Al Maktabah al Taufiqiyah,
tc, tt) juz 2 hal 367 - 368
f5 Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, juz 4 hal 2704
6
Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, juz 4 hal 2704
8
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
Artinya: dari Ibnu ‘Abbas –semoga Allah meridhoinya- ia berkata: saya telah
mendengar Rasulullah bersabda: “Ada tiga perkara yang wajib atas diriku dan
sunnah bagi kalian; sholat witir, menyembelih hewan qurban dan sholat dhuha”. [HR.
Ahmad, Hakim dan Daruquthni]
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Aku pernah menyaksikan bersama
Rasulullah di hari ‘idul Adlha di tempat sholat ‘ied, maka ketika beliau telah
menyelesaikan khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan seekor
domba jantan lalu Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya sendiri seraya
mengucap: Bismillah waAllohu akbar (dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar) ini
(qurban) dariku dan dari siapa saja yang belum berqurban dari umatku”. [HR. Abu
Dawud]
Hadits inilah yang dijadikan landasan kuat bahwa ibadah udlhiyyah hukumnya
sunnah kifayah karena seorang yang menyembelih seekor domba sudah cukup
untuk mewakili anggota keluarganya.7
4. Atsar yang dinisbahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
bahwa beliau berdua pernah tidak menyembelih hewan qurban sebagai bentuk
kekhawatiran agar umat tidak menganggapnya sebagai perkara wajib.8
7
Syaroful Haq al ‘Adzim Abadi, Muhammad, ‘Aun al Ma’bud ‘alaa Syarh Sunan Abi Dawud
(Beirut: Daar Ibnu Hazm, cetakan I, tahunn 1426 H/ 2005 M) Jilid 1 hal 1273
8
Ibrahim bin Ali bin Yusuf al Fairuzabadi al Syirozi, Abu Ishaq, Al Muhadzdzab fii Fiqh Madzhab
al Imam al Syafi’i (Beirut: Daar al Fikr, tc, 1414 H-1994 M) juz 1 hal 331
9
Jenis dan Umur Hewan Qurban
Adapun jenis hewan qurban yang disyari’atkan adalah dari jenis binatang ternak
yaitu unta, sapi, kerbau, kambing dan domba. Penentuan hewan qurban ini didasarkan
atas firman Allah :
Artinya: “Janganlah kalian menyembelih kecuali yang sudah berumur, kecuali jika kalian
kesulitan (mendapatkannya) maka sembelihlah jadz’ah dari domba”. [HR. Muslim]
Makna kata ᓀᒙሖ (musinnah) dalam hadits tersebut adalah semua hewan yang
telah tumbuh dua gigi dewasanya di rahang bawah bagian depan atau disebut dengan
istilah ᓀir 㷟 (tsaniyyah). Rincian musinnah dari masing-masing hewan qurban adalah
sebagai berikut:
- Unta : telah berumur lima tahun dan memasuki tahun ke enam
- Sapi : telah berumur dua tahun dan memasuki tahun ke tiga
- Kambing dan domba : telah berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua
Sedangkan makna dari kata alir 㷟 ሖ ᓀሔᎳመ (jadz’ah dari domba) para ulama
berbeda pendapat tentang penentuan umurnya. Sebagian berpendapat domba yang
berumur enam bulan, sebagian mengatakan delapan bulan dan sebagian pendapat
mengatakan domba yang telah genap berumur satu tahun. Pendapat terakhir ini lah
yang dikuatkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah dalam syarh Shohih Muslim.9
Dari hadits tersebut bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa minimal usia domba
yang diperbolehkan untuk dijadikan sebagai hewan qurban adalah berumur jadz’ah
9
Abu Zakariyah Yahya bin Syarof al Nawawi, Muhyiddin, Shohih Muslim bi Syarh al Nawawi
(Daar al Taqwa, tc,tt) juz 13 hal 2436
10
yaitu genap berumur satu tahun. Adapun jadz’ah dari jenis kambing maka tidak
diperbolehkan.
11
Hewan yang Lebih Utama Untuk Qurban ?
Dari jenis-jenis hewan qurban tersebut yang paling afdhol urutannya adalah unta,
sapi, kemudian kambing atau domba. Hal ini didasarkan pada banyak dan besarnya
daging yang dimungkinkan untuk dibagikan secara meluas, di samping itu juga dilihat
dari harga dari setiap hewan qurban. Semakin lebih mahal dan besar pengorbanannya
maka lebih afdhol dan mulia.
Urutan keutamaan hewa qurban ini didasarkan pada penjelasan Nabi
Muhammad dalam hadits yang menunjukkan keutamaan datang awal waktu pada hari
Jum’at dan beliau menyebutkan secara urut dan bertingkat, dimulai dari unta hingga
kambing.
(룐 a i ¬( ڳ룐 㷟( 먐 ͘ °먐㷟( ( 먐 ͘( 벐
誢( ¬( ia i 誢 誢( 誢( ¬( 룐a i 誢( 誢( ¬(
먐誢( 뛰 Ë믰 ( 䁘( É (먐 Ë룐 a i ( 誢( ¬( 鲰 a i °룐( 誢(
誢( ( ii 誢( °먐
Artinya: Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah telah
bersabda: “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah kemudia
pergi (ke masjid di waktu pertama) maka seperti orang yang berqurban dengan unta,
dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu kedua maka seperti seorang yang
berqurban dengan sapi, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu ketiga maka
seperti seorang yang berqurban dengan domba yang bertanduk, dan barang siapa yang
pergi (ke masjid) di waktu keempat maka seperti seorang yang berqurban dengan
seekor ayam, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu kelima maka seperti
seorang yang berqurban dengan sebutir telur. Maka apabila Imam telah keluar (naik
mimbar) maka para malaikat hadir mendengarkan peringatan”. [HR. Bukhori dalam
kitab shohihnya]
12
Apakah Untuk Setiap Orang Harus Satu Hewan Qurban ?
誢( ( 룐 i벐 ǂ 룐 iË 誢( i
Artinya: “Dahulu Nabi menyembelih dua domba jantang dan saya menyembelih dua
domba jantan”. [HR. Bukhori]
Sedangkan unta dan sapi diperbolehkan untuk patungan tujuh orang atau kurang
dari itu. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:
aڳ ( ° 誢( ° ( 誢( ( (( ǂb
13
Persyaratan Hewan Qurban
Termasuk perkara penting yang harus diperhatikan dalam ibadah qurban adalah
persyaratan fisik hewan qurban. Hewan yang disiapkan untuk qurban tidak boleh dalam
kondisi cacat. Ketetapan kondisi cacat yang tidak diperbolehkan terdapat dalam hadits
Nabi Muhammad :
10
Kamal bin As SayyidSalim, Abu Malik, Shohiih Fiqh As Sunnah, juz 2 hal 373
14
Waktu Pelaksanaan Qurban
Artinya: Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata: Nabi telah
bersabda: “Barang siapa yang menyembelih sebelum sholat (‘ied) maka sesungguhnya
dirinya menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang menyembelih setelah
sholat (‘Ied) maka sungguh dia telah sempurna ibadah qurbannya dan sesuai dengan
sunnah kaum muslimin”. [HR. Bukhori]
Waktu penyembelihan hewan qurban berlangsung dari mulai tanggal 10
Dzulhijjah setelah sholat ‘Ied hingga akhir hari tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Ketetapan waktu penyembelihan ini didasarkan pada hadits Nabi :
( ( ڳ룐먐 誢( (i 먐i
15
Adab-Adab Penyembelihan Hewan Qurban
16
Hukum Daging Qurban dan Bagian Tubuh Darinya
誢( ( 誢 벐 벐 (¸ ڳÈ
Artinya: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka tiada baginya
(pahala) berqurban”. [HR. Baihaqi]
Daging qurban atau bagian tubuh lainnya juga tidak diperbolehkan dijadikan
upah untuk tukang jagal atas jasa pemotongan hewan. Kalaupun tukang jagal ingin
diberikan upah maka dananya hendaklah diambilkan dari alokasi dana lain. Hal ini
didasarkan pada hadits shohih :
17
kulitnya serta apa yang ada pada hewan itu dari kain penutupnya dan tidak
memberikan upah kepada tukang jagal darinya. Dan beliau berkata: kami memberikan
upah kepadanya (tukang jagal) dari dana kami sendiri. [HR. Muslim]
Akan tetapi diperbolehkan memberikan sebagian daging qurban kepada tukang
jagal dalam bentuk shodaqoh atau hadiah pemberian.
Diperbolehkan bagi mudlohhi memanfaatkan kulit hewan qurban dengan
mempergunakannya dalam bentuk barang-barang yang bisa digunakan sehari-hari
seperti tempat air minum, selimut atau kerajinan tangan lainnya. Boleh juga baginya
untuk menshodaqohkan atau menghadiahkan kepada orang lain.
Catatan penting bagi panitia penyelenggara pemotongan hewan qurban
hendaknya mereka tidak menjual bagian tubuh hewan qurban dikarenakan barang
tersebut bukan hak milik mereka. Hewan qurban kepemilikannya adalah bagi mudlohhi
(orang yang berqurban). Maka tugas panitia hanyalah sebagai perwakilan dari para
mudlohhi untuk membantu pelaksanaan penyembelihan hewan qurban, membagikan
dan mendistribusikan semua yang ada pada hewan sembelihan tersebut kepada yang
berhak secara merata.
Terkait dengan siapa saja yang berhak menerima bagian dari hewan qurban
maka tidak ada ketentuan yang membatasinya. Berbeda dengan harta zakat, para
mustahiqnya telah ditetapkan dalam syari’at yaitu 8 ashnaf (golongan) yang tertera
dalam QS. At Taubah: ayat 60. Diperbolehkan bagi mudlohhi untuk membagikan hewan
qurbannya kepada siapa saja yang dirasa berhak untuk menerimanya bahkan kepada
orang kaya sekalipun.11
Adapun hukum daging, kulit serta bagian tubuh lainnya dari hewan qurban yang
sudah sampai ke tangan mustahiq (orang yang berhak menerima) maka hukumnya
layaknya milik sendiri. Dengan kata lain bahwa bagian tersebut sudah menjadi hak
miliknya dan ia berhak untuk menggunakannya sesuai kebutuhannya, baik itu dengan
mengkonsumsinya atau menjualnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
11
Al Khin, Musthafa DR dan al Bugha, Musthafa, DR., al Fiqh al Manhaji ‘alaa Madzhab al Imam
al Syaafi’i (Damaskus: Daar al Qolam, cetakan XIV, tahun 1434 H – 2013 M) Jilid 1 hal 236
18
Hukum Berqurban Untuk Orang Lain Yang Sudah Meninggal
a 誢( ° Ì誢 誢
Artinya: “Dan tidaklah bagi seorang insan (pahala) melainkan apa yang telah ia
kerjakan”. [QS. An Najm: 39]
Akan tetapi jika orang yang meninggal dunia mewasiatkan kepada ahli warisnya
untuk berqurban maka hal itu diperbolehkan dan daging qurbannya wajib disedekahkan
semua untuk faqir miskin serta tidak boleh bagi keluarganya untuk mengambil
sedikitpun darinya dikarenakan tanpa adanya izin dari yang telah wafat.
Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Malikiyah berpendapat makruh tatkala
sang mayit belum mewasiatkannya. Jika telah mewasiatkan tanpa bermaksud nadzar
maka hal tersebut merupakan perkara mandub (sunnah) bagi ahli waris untuk
melaksankannya.
Berbeda halnya dengan ulama dari kalangan madzhab hanabilah, bahwa mereka
berpendapat boleh dan sah serta hukum daging qurbannya seperti hukum daging
qurban pada umumnya, yaitu boleh dimakan oleh keluarganya, disedekahkan dan
disimpan untuk keperluan di kemudian hari.
Adapun ulama dari kalangan madzhab hanafiyah sependapat dengan ulama
hanabilah hanya saja mereka tidak membolehkan bagi keluarga mayit untuk memakan
dagin qurbannya dan wajib atas mereka untuk menyedekahkan semua.12
Dari perbedaan pendapat di antara ulama tersebut, penulis lebih condong
kepada pendapat ulama syafi’iyyah. Didasarkan pada pemahaman bahwa ibadah qurban
merupakan salah satu ibadah mahdloh (syarat dan ketentuan sudah diatur oleh syari’at)
yang hukum asalnya tidak bisa digantikan oleh orang lain seperti ibadah haji dan yang
semisal lainnya, kecuali jika hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya nadzar ataupun
wasiat dari sang mayit.
12
Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, juz 4 hal 2743-2744
19
Saat berkumpulnya Hari Ied dengan Hari Jumat
Bila waktu-waktu yang mulia betemu dalam satu momentum maka ini termasuk
anugerah bagi setiap hamba beriman untuk lebih bersemangat dalam beribadah kepada
Allah . Seperti bertemunya hari ‘ied dan hari jumat. Keduanya merupakan bagian dari
syiar-syiar Islam yang agung.
Terkait dengan pelaksanaan sholat jumat bagi yang telah menunaikan sholat ‘ied
maka pembahasan hukumnya tidak terlepas dari perbedaan para ulama. Pendapat
pertama, mengatakan bahwa sholat jumat tetap wajib dilaksanakan bagi yang sudah
melaksanakan sholat ‘ied. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhuhr ulama dari kalangan
syfi’iyyah, malikiyyah dan hanafiyah. Pendapat ini didasarkan pada keumuman perintah
sholat jumat yang disebutkan dalam al Quran:
a i a 誢 É a 誢먐 誢( ( 먐 ( i먐 (° °먐㷟( ( ڳ誢 鲰 (먐 ( 깽 誢( i
°먐㷟( 먐ڳ°
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.[QS. Al Jumu’ah: ayat 9]
Ulama dari kalangan syafi’iyyah (bermadzhab syafi’i) menkhususkan rukhshoh
(keringanan) tidak sholat jum’at hanya bagi penduduk badui (yang tinggal di pedesaan
jauh dari tempat sholat jum’at). Pendapat ini didasarkan pada atsar yang dinisbahkan
kepada Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu :
20
saja yang tidak mendapati sholat ‘ied. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanabilah
(ulama bermadzhab Hanbali, pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Pendapat ini
didasarkan pada atsar yang shohih :
Artinya: Dari ‘Atho ia berkata: “Ibnu Zubair pernah mengimami kami sholat (‘ied) di hari
‘ied di hari Jum’at di waktu pagi hari, kemudian kami berangkat untuk mengerjakan
sholat jum’at dan beliau tidak keluar, lalu kami (sholat jum’at) sendiri (tanpa beliau),
dan saat itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Thoif. Maka tatkala beliau datang kami
mengabarkan kepada beliau tentang perkara itu, lalu beliau menjawab : “Dia telah
sesuai sunnah”, perkara itu pun sampai kepada Ibnu Zubair, lalu beliaupun berkata:
“Aku telah melihat Umar bin Khotthob ketika berkumpulnya dua hari raya (hari ‘ied dan
hari jum’at) beliau melakukan seperti ini”. [HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Khuzaimah]
Dari dua pendapat tersebut penulis lebih condong mengikuti pendapat pertama
dari kalangan jumhur. Didasarkan pada pemahaman hadits Ustman bin Affan yang
memberikan isyarat jelas bahwa ibadah Jumat tetap dilaksanakan kewajibannya untuk
orang-orang muqim. Sementara rukhshoh (keringanan) hanya untuk penduduk
badui/pedesaan yang jauh dari masjid Nabawi pada saat itu. Karena hukum asal sholat
jumat bagi mereka adalah tidak wajib.
Imam Ibnu Hajar al ‘Asqolani rahimahullah menjelaskan :
Artinya: “Maka makna yang Nampak dari hadits itu (hadits Utsman) berkaitan dengan
penduduk desa yang mana mereka tidak diwajibkan sholat Jum’at dikarenakan jauhnya
rumah-rumah mereka dari masjid, dan telah adanya hadits marfu’ yang menjelaskan
tentang pokok masalah ini”.13
Disamping itu hukum sholat jum’at adalah wajib sebagaimana sholat dzuhur.
Maka ketika hari ‘Ied bertepatan dengan selain hari Jum’at kewajiban sholat dzuhur
tetap ditegakkan14. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sholat Jumat yang
bertepatan dengan hari ‘ied tetap harus dilaksanakan oleh orang yang telah memenuhi
syarat wajibnya kecuali orang-orang yang telah diberikan rukhshoh dalam syari’at.
13
Ibn ‘Ali bin Hajar al ‘Asqolani, Ahmad, Fath al Baari bi Syarh Shohih al Bukhori (Kairo:
Maktabah al Shofa, cetakan I, tahun 1424 H/ 2003 M) Juz 10 hal 33
14
Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, juz 2 hal 1420
21
Daftar Pustaka
Ibn ‘Ali bin Hajar al ‘Asqolani, Ahmad, Fath al Baari bi Syarh Shohih al Bukhori (Kairo: Maktabah
al Shofa, cetakan I, tahun 1424 H/ 2003 M)
Al Khin, Musthafa DR dan al Bugha, Musthafa, DR., al Fiqh al Manhaji ‘alaa Madzhab al Imam
al Syaafi’i (Damaskus: Daar al Qolam, cetakan XIV, tahun 1434 H – 2013 M)
Abu Zakariyah Yahya bin Syarof al Nawawi, Muhyiddin, Shohih Muslim bi Syarh al Nawawi
(Daar al Taqwa, tc,tt)
Ibrahim bin Ali bin Yusuf al Fairuzabadi al Syirozi, Abu Ishaq, Al Muhadzdzab fii Fiqh Madzhab al
Imam al Syafi’i (Beirut: Daar al Fikr, tc, 1414 H-1994 M)
Syaroful Haq al ‘Adzim Abadi, Muhammad, ‘Aun al Ma’bud ‘alaa Syarh Sunan Abi Dawud
(Beirut: Daar Ibnu Hazm, cetakan I, tahunn 1426 H/ 2005 M)
Kamal bin As SayyidSalim, Abu Malik, Shohiih Fiqh As Sunnah (Kairo: Al Maktabah al Taufiqiyah,
tc, tt)
Musthofa, Ibrahim. et.all., Al Mu’jam al Wasith (Istanbul: al Maktabah al Islmiyyah, tt, tc)
Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu (Damaskus: Daar al Fikr, cetakan
IV, tahun 1997 M)
Muslim bin al Hajjaj, Abu al Husain, Shohih Muslim (Kairo: Daar Ibn al Haitsam, tc, tahun 1422
H/ 2001 M)
Muhammad bin Ismail al Ju’fi al Bukhori, Abu Abdillah, Shohih Bukhori (Kairo: al Maktabah al
Taufiqiyah, tc, tt)
Diib al Bugha, Musthofa, Pof., DR., al Tadzhib fii Adillatin min al Ghooyah wa al Taqriib
(Damaskus: Daar al Musthofa, cetakan I, tahun 1440 H/ 2019 M)
22