Anda di halaman 1dari 7

1.

Mubham dalam Al-Qur’an


a. Hakikat Al-Mubham
Kata al-Mubhamat menurut bahasa, berasal dari kata al-ibham yang menunjuk kepada
makna tersembunyi (‫( ءافخال‬dan tertutup (‫ قالغتسإال‬.(Misalnya kalimat tariq mubham yaitu jalan
tersembunyi dan tidak jelas. 1Kata alMubhamat berasal juga dari kata abhama yang bermakna
samar-samar. Artinya suatu lafaz yang maknanya tidak jelas, sehingga untuk memahaminya
diperlukan dalil lain. 2
Adapun menurut istilah memiliki makna yaitu semua lafaz yang
termaktub dalam Al-Qur’an tanpa menyebutkannya secara spesifik atau sesuatu yang tertentu
yang dikenal, baik dari manusia maupun selainnya. 3 Ilmu tentang mubhamat merupakan salah
satu disiplin ilmu Al-Qur’an yang hanya bersumber pada penukilan (periwayatan), tidak pada
yang lain. Misalnya yang terdapat dalam QS. Al-Naml (27): 23, yang artinya sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.8 Berdasarkan
terjemahan ayat tersebiut di atas, bahwa yang dimaksud dengan wanita dalam ayat
tersebut adalah Ratu Balqis binti Syarahil yang memerintah kerajaan Saba’ pada masa
Nabi Sulaiman. Negeri Saba’ adalah kerajaan yang ibukotanya adalah Ma’rib yang
terletak dekat Kota San’a (saat ini bernama, Yaman).

b. Sebab Mubham/Ibham dalam Al-Qur’an


Imam al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, pada pasal mengenai ‘Ilmu al-
Mubhamat dan Imam al-Suyuti dalam al-Itqan fi ‘Ulum alQur’an pada pasal fi al-Mubhamat,
keduanya menguraikan sebab-sebab atas ketidakjelasan (mubham) dalam beberapa ayat Al-
Qur’an. Hal-hal tersebut diuraikan sebagai berikut;

1
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir; Jam’an wa Dirasatan, Jilid II (Cet. I; Madinah: Dar Ibn ‘Affan,
1421H), h. 717
2
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h.
1192
3
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, loc. cit.
‫وا ٱهَّلل َ َوٱ ْبتَ ُغ ٓو ۟ا لَ ْي ‪ِ F‬ه ْٱل َو ِس ‪F‬يلَةَ َو ٰ َج ِه ‪F‬د ۟‬
‫ُوا‬ ‫ُوا فِى َسبيلِ ِهۦ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُونَ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ۟‬
‫وا ٱتَّقُ ۟‬ ‫وا ٱهَّلل َ َوٱ ْبتَ ُغ ٓو ۟ا لَ ْي ِه ْٱل َو ِسيلَةَ َو ٰ َج ِهد ۟‬ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ۟‬
‫وا ٱتَّقُ ۟‬
‫ِإ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫ِإ‬ ‫َ‬
‫۟‬ ‫۟‬ ‫ٓ‬ ‫۟‬ ‫۟‬ ‫۟‬ ‫۟‬ ‫ٓ‬
‫‪F‬وا ِإلَ ْي‪ِ F‬ه ْٱل َو ِس‪F‬يلَةَ َو ٰ َج ِه‪F‬دُوا فِى َس‪F‬بِيلِ ِهۦ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح‪FF‬ونَ ٰيََأيُّهَ‪FF‬ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ‪F‬وا ٱتَّقُ‪F‬وا ٱهَّلل َ‬ ‫فِى َسبِيلِ ِهۦ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُونَ ٰيََأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ‪FF‬وا ٱتَّقُ‪F‬وا ٱهَّلل َ َوٱ ْبتَ ُغ‪ٓ F‬‬
‫َوٱ ْبتَ ُغ ٓو ۟ا لَ ْي ِه ْٱل َو ِسيلَةَ َو ٰ َج ِهد ۟‬
‫ُوا فِى َسبِيلِ ِهۦ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُونَ‬ ‫ِإ‬
Kaidah-Kaidah Mubham dalam Al-Qur’an Pada bagian kaidah-kaidah Mubham dalam
Al-Qur’an ini, pemakalah merujuk kepada karya Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Qawa’id al-
Tafsir; Jam’an wa Dirasatan. 19 Dalam kitab ini dijelaskan 3 (tiga) kaidah yang terkait
B. Gharib Dalam Al-Qur’an

1. pengertian

Lafadz gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari Gharibah yang
berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Al-Qur’an maka yang
dimaksud adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir

tidak dapat dimengerti seperti kata ‫أبا‬dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa (‫أبا‬ ‫)وفاكهة و‬.

Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW dengan
periwayatan dari Anas sesungguhnya Umar bin Khattab RA membaca ayat‫وفاكهة و أبا‬diatas
mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang  apa yang
dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan pada
dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak
mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam
bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih serta Al-Qur’an diturunkan
kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.
Dari peristiwa diatas dapat kita ketahui bahwa GharibAl-Qur’an bukanlah hal yang
baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami langsung, bahkan Ulama tedahulu
tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang sulit dipahami mereka lebih memilih
untuk memauqufkannya dan tidak berpendapat sedikitpun, karena keterhati-hatiannya.
Seperti ungkapannya shahabat Abu Bakar RA saat ditanya tentang firman Allah yang
berbunyi ‫وفاكهة و أبا‬, beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana aku
tinggal, jika aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak mengetahuinya”.
Menurut Abu Sulaiman al Khatthabi : GharibAl-Qur’anadalah suatu hal yang samar
dan jauh dari kepahaman. Beliau membagi GharibAl-Qur’an menjadi dua, yang pertama
adalah hal yang jauh makananya serta samar, yang hanya dapat dipahami  setelah melalui
proses pemikiran yang dalam. Yang kedua adalah perkataan seseorang yang rumahnya jauh
dari kabilah arab sehingga jika kalimat tersebut diungkapkan kepada kita (orang arab) maka
otomatis kita langsung menganggapnya aneh.
Sedangkan menurut Muchotob HamzahGharibAl-Qur’an adalah Ilmu Al-Qur’an yang
membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam Al-Qur’an yang tidak biasa
digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Dari ketiga definisi, dapat kita simpulkan bahwa GharibAl-Qur’an adalah ilmu yang
membahas suatu makna kata dari ayat Al-Qur’an yang dianggap aneh (tidak cocok) dan sulit
dipahami.
Orang yang pertama kali membahas GharibAl-Qur’anadalah Abdullah bin Abbas
sebelum terjadi perang dunia ke-2. Pendapat ini bertendensi pada naskah yang ditemukan di
berlin, namun pendapat ini dibantah oleh Dr. Husain Nashar: buku ini adalah kumpulan
pendapat yang dilontarkan oleh Abdullah bin Abbas bukan beliau yang membukukannya tapi
para muridnyalah yang membukukannya,sebagai landasan pendapat ini ada salah seorang
dari penerjemahnya Abdullah bin Abbas tidak menisbatkan kitab seperti ini kepada beliau.

2. Cara menafsirkan ayat yang Gharaib


Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW.
wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan
kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta keagamaan muncul
saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan
kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh
dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang
siapa yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
َ َ ‫ بـَعْـ َدهُـ َما ِكـتـ‬F‫ضـلُّـوْ ا‬
   ‫اب هللاِ َو سُـنَّـتِى‬ ِ ‫ت فِـ ْي ُكـ ْم َشـيْـَئـي‬
ِ َ ‫ْـن لَ ْن تـ‬ ُ ْ‫تـ َ َركـ‬
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya
yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.

Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat An Nisaayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri
(pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada Al-Qur’an  dan hadits boleh dikatakan tidak ada
masalah, tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu
diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh karena hal itu
cara yang digunakan oleh Ulama dalam memahami Gharib Al-Qur’an (dan ini disebut juga
“Ahsana Al Thuruq” oleh  sebagian Ulama) adalah sebagi berikut :
a. Menafsirkan Al-Qur’andengan Al-Qur’an.
Contoh surat Al An’am ayat 82,Kata ‫ظلم‬dalam ayat tersebut jika diartikan secara
tekstual maka terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan
kenyataan sebab hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak
pernah melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang
mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan
kata dzulmun dengan syirik berdasarkan pada surat Luqman ayat 13,
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulmun dalam
surat Al An’am berarti syirk bukan kedzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah
persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat Al An’am ayat 82
diterjemahkan sebagai berikut “orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang
mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.
b.  Menafsirkan Al-Qur’andengan Sunnah Rasul.
As-Sunnah adalah penjelas dari Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an telah
menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh
karena itu Rasulullah bersabda                    
ُ ‫َأالَ إنِّي ُأوْ تِي‬
‫ْت القُرآنَ َو ِم ْثلَهُ َم َعهُ يَ ْعنِي ال ُسنَّة‬
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Al-Qur’an dan bersamanya pula
sesuatu yang serupa dengannya” yaitu Sunnah.
c. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah
berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang
bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari
sebuah ayat maupun surat dari Al-Qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa,
keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat
terhadap kalam Allah SWTbahkan menjadikan mereka mampu menemukan rahasia-
rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.
d. Jika masih belum didapati pemecahannya maka  sebagian ulama memeriksa
pendapat tabi’in.
Diantara tabi’In ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak
jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan
istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini
adalah penukilan yang shohih.
e. Melalui sya’ir.
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini
dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari
perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah
banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan
sya’ir-sya’ir dengan kata-kata yang asing bagi Al-Qur’andan yang musykil (yang
sulit)”.
Sy’air-sya’ir itu bukanlah dijadikan sebagi dasar Al-Qur’anuntuk berhujjah
melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di Al-Qur’an,
karena Allah berfirman dalam surat Az -Zukhruf ayat 3:
“Sesungguhnya Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Sya’ir-sya’ir itu sebagai perbendaharaan bangsa Arab. Jika salah satu huruf
dalam Al-Qur’antidak diketahui dalam bahsa arab maka dikembalikan pada
perbendaharaan mereka (bangsa Arab), dan dicari maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing
di dalam Al-Qur’anmaka carilah maknanya pada sya’ir-sya’ir. Sesungguhnya syair-
syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
Contoh: ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi
oleh sekelompok kaum  dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat,
diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat ‫وابتغو اليه الوسيلة‬yang ada pada
surat Al Maidah ayat 35. Kata ‫يلة‬FF‫الوس‬ diartikan oleh Ibnu Abbas dengan
“kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari sya’ir yang dikatakan oleh Antarah
yang berbunyi:
‫ ان يأخذوك تكحاي و تخضبي‬       ‫ان الرجال لهم اليك وسيلة‬
Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu. Jika mereka hendak
mengambilmu, maka pakailah celak dan semir.

Anda mungkin juga menyukai