Anda di halaman 1dari 4

Ushul fiqh sebagai ilmu mengandung nilai atau berguna untuk memperoleh hukum

syara‟ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terinci.Kegunaan ushul fiqh yang demikian
itu masih sangat diperlukan, bahkan dapat dikatakan “inilah kegunaan pokoknya”. Karena
meskipun para ulama terdahulu telah berusaha mengeluarkan hukum dalam berbagai
persoalan, namun dengan perubahan dan perkembangan zaman, demikian pula dengan
bervariasinya lingkungan alam dan kondisi sosial di berbagai daerah- adalah faktor yang
sangat memungkinkan sebagai penyebab timbulnya persoalan-persoalan baru yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah dan belum pernah terpikirkan
oleh para ulama terdahulu. Untuk dapat mengeluarkan ketetapan hukum persoalan-persoalan
baru tersebut, seseorang harus mengetahui kaidah-kaidah dan mampu menerapkannya pada
dalil-dalilnya.

Lebih dari itu, ushul fiqh dapat digunakan untuk mengetahui alasan-alasan pendapat
para ulama dan ini akan menjadi lebih penting ketika seseorang akan memilih pendapat yang
dipandang lebih valid atau paling tidak untuk menghindari taklid buta.1

Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Secara istilah, mujmal adalah lafaz yang sighatnya tidak jelas menunjukkan apa yang
dimaksud. Sedangkan mubayyan adalah lafaz yang sighatnya jelas menunjukkan apa yang
dimaksud.

mujmal adalah lafal yang kandungan maknanya masih global dan memerlukan perincian atau
penjelasan dari pembuat mujmal atau syara‟ itu sendiri.

al-Mubayyan berarti „yang menjelaskan atau yang merinci. Sedangkan menurut istilah,
terdapat dua redaksi yang sama-sama dikemukakan Ulama Ushul Fiqh tentang pengertian al-
Mubayyan. Pertama, al-Mubayyan adalah upaya menyingkapkan makna dari suatu
pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terperinci hal-hal yang tersembunyi dari
pembicaraan tersebut kepada orang-orang yang dibebani hukum (mukallaf).Kedua, al-
Mubayyan adalah mengeluarkan suatu ungkapan dari keraguan menjadi jelas.9Maksudnya ,
jika ada suatu ungkapan yang masih mujmal (samar), maka dengan mubayyan ungkapan itu
menjadi jelas.

Berdasarkan kedua definisi tentang al-Mubayyan di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan al-Mubayyan adalah suatu lafal atau perkataan yang jelas maksudnya
setelah mendapatkan penjelasan dari lainnya,baik dari Allah langsung atau melalui penjelasan
sunnah Rasulullah SAW.

Lafaz mujmal dapat terjadi pada:

Pertama, lafaz mufrad, baik dalam bentuk isim, fi’il, maupun huruf yang bentuknya isim,
seperti lafaz ٌ‫ قُسْ ء‬bisa berarti suci dan haid. Yang berbentuk fi’il, seperti lafaz ٌْ‫ َع ْس َعس‬bisa
berarti datang dan pergi. Yang berbentuk huruf, seperti ‫ الوو‬bisa untuk „ataf, awal kalimah,
atau sumpah (huruf qasam).

Kedua, susunan kalimat, seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 237,

ِ ‫اَوْ ٌيَ ْعفُ َواٌالَّ ِريْ ٌبِيَ ِد ٖهٌ ُع ْق َدةٌُالنِّ َك‬


ٌ‫اح‬

“Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah...”


ٌِ ‫ الَّ ِريْ ٌبِيَ ِد ٖه ٌ ُع ْق َدةُ ٌالنِّ َك‬dalam ayat tersebut belum jelas, apakah wali atau
Yang dimaksud dengan ‫اح‬
suami.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, lafaz mujmal itu masih memerlukan penjelasan
(bayan), sehingga dapa diketahui maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal,
maka hukumnya ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan).

Tingkatan Bayan

Yang dimaksud dengan bayan adalah menjelaskan status yang tidak jelas sehingga menjadi
jelas. Tingkatan bayan sendiri ada lima:

1. Bayan Qauli

Yaitu bayan menggunakan kata-kata, atau disebut juga sebagai bayan penguat, misalnya
dalam firman Allah,

ْ ِ‫صيَا ُمٌثَ ٰلثَ ِتٌاَي ٍَّامٌف‬


ٌ‫ىٌال َحجِّ ٌ َو َس ْب َع ٍتٌاِ َذاٌ َز َج ْعتُ ْنٌٌۗتِ ْلكٌَ َع َش َسةٌ َكا ِهلَت‬ ِ َ‫ف‬

“Maka wajib (puasa) tiga hari tiga malam dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang.
Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah 196)

ٌٍ ‫ ثَ ٰلثَ ِتٌاَي‬dan ‫ َس ْب َع ٌٍت‬yang ditegaskan dalam sebelumnya.


Kata-kata ٌ‫ َعش ََسةٌ َكا ِهلَت‬menguatkan kata ‫َّام‬

2. Bayan Fi’li

Yaitu bayan menggunakan perbuatan, seperti sabda Nabi, “Shalatlah sebagaimana kamu
melihat shalatku.” Hadis tersebut menguatkan pelaksanaan shalat yang dilakukan Nabi.

3. Bayan Isyarah

Yaitu bayan dengan menggunakan isyarah. Contoh, penjelasan Nabi tentang keharaman emas
dan perak bagi kaum laki-laki. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya dua (barang ini haram atas umatku yang laki-laki.” (Al-Hadis)

4. Bayan Tarku

Yaitu bayan dengan meninggalkan, seperti hadis riwayat Ibnu Hibban,

“Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi Saw. adalah tidak mengambil wudu karena
memakan sesuatu yang dimasak.”

5. Bayan Sukut

Yaitu bayan dengan cara diam setelah ada pertanyaan. Contohnya ketika salah seorang
sahabat Uwaimir al-Jalany bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang istrinya yang
kelihatannya berselingkuh, maka Rasul diam tidak memberikan jawaban.
Hal ini menunjukkan tidak ada hukum Li‟an. Setelah turun ayat Li‟an, Nabi bersabda,
“Sesungguhnya telah diturunkan (ayat) Al-Qur’an mengenai kamu dan istrimu, dan Nabi
menjalankan Li’an antara keduanya.”

Penangguhan Bayan

Setiap lafaz „Am, Mutlaq, Mujmal, majas dan Musytak diperlukan penjelasan atau
keterangan, tetapi penjelasan tidak mesti segera datang atau ditangguhkan. Penangguhan
dalam bayan ada dua:

Pertama, penangguhan penjelasan dari waktu dibutuhkan. Dalam masalah ini, para ulama
sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu diperlukan. Sebab dampaknya
penangguhan berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang masih mujmal (global).

Contohnya dalam hadis riwayat Siti „Aisyah mengenai kedatangan Fatimah binti Abu Hubais
kepada Nabi seraya bertanya, “Hai Rasulullah, saya perempuan yang berpenyakit istihadah.
Sebab itu saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?”

Lalu Nabi menjawab,

“Tidak, itu hanya semacam cairan, bukan haid. Maka apabila datang haid, maka
tinggalkanlah shalat dan apabila (haid) telah berlalu (berhenti), maka basuhlah darah itu
dari dirimu dan laksanakan shalat.”

Hadis di atas menerangkan tentang wajibnya bersuci bagi wanita mustahadhah (wanita yang
mengalami istihadhah) setiap kali ingin mengerjakan shalat, sebab bila wajib bersuci, niscaya
Rasul memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena pada waktu itulah penjelasan (bayan)
diperlukan.

Kedua, penangguhan penjelasan dari waktu khitab, artinya bahwa pada saat turunnya perintah
tidak ada penjelasan pelaksanaannya. Kemudian Jibril mencontohkan kepada Nabi, dan
selanjutnya Nabi mencontohkan kepada umat-umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini
menurut jumhur ulama fiqih dan ulama kalam hukumnya boleh.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai mujmal dan mubayyan. Semoga apa yang kami
sampaikan bermanfaat. Wallahu A‟lam

Mujmal.
Pengertian Mujmal. Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/majemuk.
Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya
apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafadh
yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir). Seperti pada
Al-Qur'an Surat An Nur ayat 56, yang masih memerlukan penjelasan tentang tatacara
melaksanakanya.
َ ‫الز َكا َة َوأَطِ يعُوا الرَّ سُو َل َل َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم‬
‫ُون‬ َّ ‫َوأَقِيمُوا الص َََّل َة َوآ ُتوا‬
“ dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu
diberi rahmat.” (QS. An Nur : 56) Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih
mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tata caranya, maka butuh dalil lainnya untuk
memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat” dalam ayat di atas masih mujmal
karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih diperlukan dalil
lainnya.
Macam-macam Mubayyan.
1. Bayan Perkataan.
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat
196:
ُِ ِْ ‫ان ِم ْْ ُك ْم َم ِريًاا أَ ْو‬ َ ‫ُوس ُك ْم َح َّتٰ َي ْْلََُ ْال ََ ُُْْ َم ِحلَّ ُُ ََ َمنْ َك‬
َ ‫ْس َر م َِن ْال ََ ُِْْ ۖ َو ََل َتحْ لِقُوا ُرء‬ َ ‫ّلِل ََإِنْ أُحْ صِ رْ ُت ْم ََ َما اسْ َتي‬
ِ َّ ِ ‫َوأَ ِتمُّوا ْال َح َّج َو ْالعُمْ َر َة‬
َ
ٍ ‫ج ْْ ََصِ َيا ُم َث ََل َث ِة أي‬
‫َّام‬ ِ ‫ْس َر م َِن ْال ََ ُِْْ ََ َمنْ َل ْم َي‬َ ‫ص َْ َق ٍة أَ ْو ُْسُكٍ ََإِ َذا أَ ِم ْْ ُت ْم ََ َمنْ َت َم َّت َع ِْ ْال ُعم َْر ِة إِ َلٰ ْال َح ِّج ََ َما اسْ َتي‬ َ ‫أَ اذى مِنْ َر ْأسِ ُِ ََف ِْْ َي ٌة مِنْ صِ َي ٍام أَ ْو‬
ِ ‫َّللا َشِْي ُْ ْال ِع َقا‬
‫ب‬ َ َّ َّ‫َّللا َواعْ َلمُوا أَن‬ ِ ْ‫َِي ْال َح ِّج َو َسْ َْع ٍة إِ َذا َر َجعْ ُت ْم ۗ ت ِْل َك َع َش َرةٌ َكا ِم َل ٌة ۗ َذلِ َك لِ َمنْ َل ْم َي ُكنْ أَهْ لُ ُُ َحاًِ ِرُ ْال َمس‬
َ َّ ‫ج ِْ ْال َح َر ِام َوا َّتقُوا‬
”dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah,
Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Baqarah ayat 196) Ayat tersebut merupakan bayan
(penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban
(menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau
tidak mampu.
2. Bayan Perbuatan.
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li) Contohnya Rasulullah Saw melakukan perbuatan-
perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu yakni: memulai dengan yang kanan, batas-
batas yang dibasuh, Rasulullah Saw mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya.
3. Bayan Isyarat.
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-
Baqarah ayat 43: ‫…“ َوأَقِيمُوا الص َََّل َة‬dan dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqarah : 43) Perintah
mendirikan shalat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan
bagaimana tata cara shalat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas
bukit kemudian melakukan shalat hingga sempurna, lalu bersabda: “Shalatlah kalian,
sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).
4. Bayan dengan Tulisan.
Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para
Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
5. Bayan dengan Isyarat.
Penjelasan dengan isyarat contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
6. Bayan dengan Meninggalkan Perbuatan.
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut
pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu
bulan kemudian beliau meninggalkannya.
7. Bayan dengan Taqrir/tidak Melarang/Diam.
Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah Saw melihat suatu kejadian, atau
Rasulullah Saw mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah Saw mendiamkannya
(tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah Saw tidak
melarangnya. Kalau Rasulullah Saw diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya
Rasulullah Saw masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.

Anda mungkin juga menyukai