Anda di halaman 1dari 6

Ushul Fiqh Dan Pembahasan-Pembahasan bab di dalamnya

 Qat}iyyu al-Dala>lah (‫)قطعي الداللة‬


Qat}iyyu al-Dala>lah (‫ )قطعي الداللة‬adalah apa yang bisa dipahami
maknanya secara gamblang dalam satu maksud dan tidak melalui
proses takwil serta tidak mencakup manka lain, semisal firman
Allah:
‫ا َك ا ُك ِاْن ُك َّن َلٌۚد‬ ‫ِن‬
‫َو َلُك ْم ْصُف َم َتَر َاْزَو ُج ْم ْمَّل َي ْن ُهَّل َو‬
Artinya: Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak
(al-Nisa>’ 12). Ayat ini penunjukan maknanya satu maksud
(Qat}iyyu al-Dala>lah) bahwa suami yang ditinggal istrinya dan si
istri tidak memiliki anak yang ditinggal, ia mendapat separuh harta
warisan, tidak ada makna lainya.
‫َالَّزاِن ُة الَّزا َفا ِلُد ا ُك َّل اِح ٍد ِّم ا ِم اَئَة ْل َد ٍۖة َّواَل َتْأ ْذُك ِهِب ا ْأَفٌة ِد ِن الّٰل ِه‬
‫ُخ ْم َم َر ْيِف ْي‬ ‫َج‬ ‫ْنُه َم‬ ‫َي َو ْيِن ْج ْو َو‬
‫۝‬٢ ‫ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِبالّٰلِه َواْلَيْو اٰاْلِخ ِۚر َو ْلَيْش َه ْد َعَذ اَبُه َم ا َطۤإِى َفٌة ِّم َن اْلُم ْؤ ِمِنَنْي‬
‫ِم‬

Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari


mereka berdua serratus kali dan rasa belas kalih kalian kepada
mereka jangan sampai menghalangi kalian untuk menjalankan
(hukum) agama Allah, jika kamu sekalian beriman kepada Allah
dan hari akhir, dan hendaklam pelaksanaan siksaan mereka berdua
disaksikan oleh sekelompok orang-orang mukmin. Dalam ayat ini
mengandung satu hukum yang tidak bisa ditakwil atau dialihkan
kepada makna lain yaitu hukuman serratus dera (cambuk) kepada
masing-masing pezina baik laki-laki atau perempuan. Begitu juga
setiap ayat yang penunjukan maknanya jelas dan tidak
mengandung makna lain.
 Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahat yang secara hukum tidak
dijumpai Keputusan realnya dari shari1 dan tidak ada dalil sharia
yang memutuskan keberlangsungan hukum atau peniadaan hukum.
Dinamakan Mursalah karena Keputusan hukum tidak diikat oleh
dalil nas yang mengikat. Sebagaimana para sahabat yang membuat
penjara2 dan mata uang, pajak dll.
 Hadith Mutawatir
Hadith yang diriwayatkan oleh sekelompok para sahabat, dimana
masing-masing dari mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta,
karena jumlah mereka banyak, sifat amanah mereka dan perbedaan
mereka dari aspek lingkungan atau lainnya dan terus diterima oleh
kaum setelah mereka sampai pada kita seperti tentang hadith
amalyah Nabi didalam mempraktikan pelaksanaan shalat, puasa
azan dan lainnya yang secara terus menerus dilanjutkan oleh para
sahabat, tabiin dan sampai pada kita dan semua hadith yang
tersampaikan dan diterima oleh orang banyak dari masa ke masa.
Qiyas

Qiyas

Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum


ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah
ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat.
Menganalogikan diartikan sebagai mempersamakan dua persoalan
hukum sekaligus status hukum di antara keduanya. Karena hukum
dapat diketahui dengan diketahuinya sebuah illat. Dalam
pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun sebagai
berikut:

a. Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan

1
Shari adalah Rasulullah
2
Namun istilah penjara sudah disinggu oleh al-Qur’an disaat
mengisahkan tentang Nabiyullah Yusuf
hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun
hadits.

b. Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan


hukumnya.

c. Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh


nash.

d. Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat:


sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak
berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.3

Hukum wadh’i

Hukum wadh’ terbagi menjadi lima, karena dalam


penelitian ditemukan bahwa hukum itu adakalanya
merupakan sebab dari sesuatu, berupa syarat, berupa
penghalang, dan hal yang membuat rukhsakh itu boleh
dilakukan sebagaia ganti ibadah Azimah baik sahih atau
tidak. Jadi hukum wadh’I lebih bersifat berupa penjelasan
situasi bagaimana hukum itu kenapa diberlakukan. Syekh
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan hukum wadh’i sebagai
berikut:

‫ أو مانًع ا‬،‫ أو شرًطا له‬،‫ فهو ما اقتضى وضع شيء سبًبا لشيء‬:‫وأما احلكم الوضعي‬
‫منه‬

Artinya: “Hukum wadh’i ialah tuntunan meletakkan


sesuatu sebagai sebab, syarat, atau pencegah bagi lainnya
3
Silvi Luqman sari, Sumber Hukum Yang disepakati para
Ulamahttps://jateng.nu.or.id/opini/sumber-hukum-islam-yang-
disepakati-para-ulama-EkKtN
(terciptanya hukum). Seperti ayat yang menjelaskan bahwa
keinginan untuk melaksanakan shalat menjadi sebab
kewajiban wudlu:

‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ِذ ْي ٰاَمُنْٓو ا ِاَذا ُقْم ُتْم ِاىَل الَّص ٰل وِة َفاْغ ِس ُلْو ا ُج ْو َه ُك ْم َاْي ِد َيُك ْم ِاىَل اْل اِف ِق‬
‫َمَر‬ ‫َو‬ ‫ُو‬ ‫َن‬
‫َو اْم َسُحْو ا ِبُر ُءْو ِس ُك ْم َو َاْر ُج َلُك ْم ِاىَل اْلَك ْعَبْي‬

Sebagai contoh. Hukum shalat shubuh adalah wajib.


Wajib adalah hukum taklifi karena dalam hal ini kita
“dituntut” oleh kewajiban untuk menunaikan shalat shubuh
tersebut. Tentang bagaimana “situasi” shalat shubuh tersebut
dapat terlaksana, maka kita menengok hukum wadh’i untuk
mengetahui apa saja sebab, syarat, serta penghalang dari
terciptanya kewajiban shalat zhuhur tersebut. Hukum wadh’i
yang pertama ialah sebab. Syekh Wahbah Az-Zuhaily
mendefinisikan sebab hukum sebagai: ‫اهر‬JJ‫ف ظ‬JJ‫و وص‬JJ‫بب ه‬JJ‫الس‬
‫ا للحكم‬JJJ‫ه معرف‬JJJ‫معي على كون‬JJJ‫دليل الس‬JJJ‫بط دل ال‬JJJ‫ منض‬Artinya, “Sebab
hukum ialah sifat yang jelas dan memberikan pembatasan, di
mana dalil sam’i menyebut keberadaannya sebagai
pemberitahu adanya hukum taklifi,” (Lihat Az-Zuhaily,
Ushulul Fiqh Al-Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005], juz I,
halaman 99). Secara sederhana, sebab hukum ini bisa
diartikan sebagai kondisi pasti yang memberikan batasan
tertentu, di mana teks syariat menganggap hal tersebut
sebagai penanda keberlangsungan hukum. Contohnya, terbit
fajar shidiq sebagai penanda waktu shubuh. Terbitnya fajar
shidiq merupakan sebuah kondisi yang jelas, atau tampak di
ufuk langit, di mana ia bisa menjadi pembatas sekaligus teks
syariat menyatakan hal tersebut sebagai penanda masuknya
waktu shubuh. Ketika fajar shidiq tersebut terbit, maka
kewajiban menunaikan shalat shubuh dimulai. Masih dari
kitab yang sama, dalam bahasa lain, sebab hukum dinyatakan
sebagai: ‫دم‬JJ‫ه الع‬JJ‫ود ومن عدم‬JJ‫وده الوج‬JJ‫ ما يلزم من وج‬Artinya, “Sebab
hukum ialah sesuatu yang keberadaannya menetapkan
keberadaan, dan ketiadaannya menetapkan ketiadaan.”
Mengacu pada contoh di atas, berarti adanya fajar shidiq
menetapkan adanya kewajiban shalat shubuh, dan ketiadan
fajar shidiq meniadakan ketiadaan kewajiban shalat shubuh.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa sebab hukum adalah: ‫ما‬
‫ يوجد عنده الحكم ال به‬Artinya, “Sebab hukum adalah sesuatu yang
dengan keberadaannya, hukum taklif bisa ditemukan, meski
sebab hukum itu bukan merupakan bagian dari hukum taklif
itu sendiri. Sebagian ulama ada yang memperjelas bahwa
sebab hukum berlaku juga secara umum pada hal-hal yang
tidak selaras dengan hukum. Sementara jika selaras dengan
hukum, sebab itu disebut sebagai 'illat hukum. Sekarang, kita
akan masuk pada beberapa contohnya agar bisa memperjelas
pemahaman kita. "Sedang berpergian" merupakan sebab
diperbolehkannya tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini
selaras dengan pensyariatan hukum dengan pertimbangan
adanya rasa payah yang bisa menimbulkan kemurahan.
"Memabukkan" merupakan sebab diharamkannya arak.
Memabukkan ini merupakan sifat yang selaras atau relevan
karena bisa mengakibatkan hilangnya akal. Tapi di sisi lain,
akal kita tidak bisa menemukan keselarasan antara
tergelincirnya matahari dan masuknya waktu zhuhur, dan
lainnya. Berpijak dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa
“sebab hukum lebih umum dari 'illat”. Tiap ‘illat adalah
sebab meski tak semua sebab adalah ‘illat. Pada akad jual
beli, yang ditunjukkan dengan kerelaan keberpindahan hak
milik, kita bisa menyebutnya sebagai sebab dan ‘illat, namun
pada tergelincirnya waktu zhuhur sebagai penanda shalat
zhuhur, kita hanya menyebutnya sebagai sebab hukum, bukan
‘illat hukum. Illat hukum ini bisa didefinisikan sebagai:
‫به‬JJ‫ا لحكم يناس‬JJ‫ الوصف الظاهر المنضبط الذي جعل مناط‬Artinya, “Sebuah
sifat yang tampak dan terdefinisikan yang dijadikan sebagai
pijakan bagi hukum yang menyelarasinya.” Tentu saja hal
tersebut berbeda dengan hikmah, di mana hikmah merupakan
kemaslahatan yang ditimbulkan dari pemberlakuan sebuah
hukum atau kerusakan yang bisa timbul dari peniadaan
hukum tersebut. Sebab hukum dan ‘illat hukum bisa menjadi
pertimbangan hukum, sementara hikmah tidak bisa.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Muhammad
Ibnu Sahroji)

Sumber: https://nu.or.id/syariah/hukum-wadhi-situasi-
penentu-hukum-syariat-CYkSk

___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman
terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

Anda mungkin juga menyukai