Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya dalam menyelesaikan makalah ini. kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Kayuagung, November 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Qiyas merupakan sumber hukum islam yang keempat. Qiyas menurut bahsa atinya
ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau
perkara, kemudian diberikan kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang
memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang
telah tetap hukumnya.
Qiyas juga merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’
dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Keterkaitan dengan qiyas sangan erat sekali dengan hukum dan sebab.
Maka, makalah ini menjelaskan tentang qiyas dan seluk-beluk sedikit banyak
berupa apa yang dinamakan dengan qiyas.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian qiyas?
2. Macam-macam qiyas
3. Kedudukan dan permasalahan qiyas

C. Tujuan Makalah
Secara khusus, makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas struktur ataun sebagai
persyaratan mata kuliah ushul fiqih.
Secara umum, makalah ini sedikit banyak membahas tentang qiyas, semoga
mendapatkan manfaat dan tambahan pengetahuan tentang qiyas bagi yangn membacanya
terutama di kalangan para siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang di pakai oleh nujtahid dalam
upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak
di sebutkan di nash secara tegas
Kata qiyas menurut etimologi qadr (ukuran,bandingan).sedangkan menurut
terminologi qiyas yaitu menyusun peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan
peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya.
Menurut beberapa ulama qiyas dapat di artikan sebagai berikut:
1. Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain Karena ada
kesamaan ‘illah hukum mujtahid yang menyamakan hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal menurut
pandangan mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal) tersebut pada
cabang.
3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang
hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya
persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.

Meskipun defenisi qiyas dari beberaopa ulama berbeda beda, tetapi pada
hakikatnya sama, dimana dari beberapa definisi tersebut mengandung unsur unsur qiyas
yaitu: al-ashl (dasar, pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah :
1. Al-ashl (dasar, pokok)
Yang di maksud dengan al-ashl ialah segala sesuatu yang telah di tetapkan ketentuan
hukumnya berdasarkan nash,baik nash tersebut berupa al qur’an maupun al hadits.
Dalam kata lain maqis ‘alaih (yang diqiyaskan atasnya). Al-ashl juga memiliki
beberapa persyaratan yaitu:
1. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber
pengqiyasan masih berlaku pada masa hidup rosulullah.
2. Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak
ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’ bukan
ketentuan hukum yang lain.
3. Bukan hukum yang di kecualikan. Jia al-ashl ini merupakan pengecualian, maka
tidak dapat menjadi wadah qiyas.
2. Al-far’u (cabang)
Adapun yang di maksud dengan al-far’u ialah masalah yang hendak di qiyaskan yang
tida ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-far’u
juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1. Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.
2. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat
dalam al-far’u
3. Tidak ada dalil qhat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
4. Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang terdapat dalam
al-far’u.

3. Hukum Ashl
yang dimaksud hukum ashl ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan
hukumnya ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-qur’an maupun al-hadits. Hukum
ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1. Hukum tersebut adalah hukum syara’,
2. ‘illah hukum tersebut dapat di temukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami
‘illah nya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyah rosulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rosulullah,bukan ketentuan hukum yang
sudah di batalkan.

4. ‘illah
Yang di maksud dengan ‘illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu
peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa
hukum.

B. Macam-macan qiyas
a. Qiyas aula (qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas yang
‘ilatnya itulah yang mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas hukum
yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada cabang. Contoh qiyas
tidak boleh memukul orang tua, kepada tidak bolenya kita mengucapkan perkataan
yang menyakitkan hatinya, kepada orang tua. Hukum “tidak boleh” ini lebih patut
diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada mengucapkan perkataan
yang menyakitkan hatinya.
b. Qiyas musawi yaitu suatu qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau
mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut
menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual harta anak yatim diqiyaskan
kepada memakan harta anak yatim.
c. Qiyas adna atau qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut
menerima hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut menerima
hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba
fadhal karena keduanya mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis
makanan
d. Qiyas al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau menetapkan
lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang
hal ‘ilat.
e. Qiyas assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan
penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.
f. Qiyas Dalalah, yaitu qiyas yang ‘ilatnya tidak disebut tetapi merupakan petunjuk
yang menunjukan adanya ‘ilat untuk menetapkan sesuatu hukum dari sesuatu
pristiwa.
g. Qiyas fi ma’nal ashli, yaitu qiyas yang tidak dijelaskan washaf (sebab ‘ilat) yang
mengumpulkan antara pokok dan cabang didalam mengqiyaskan itu
h. Qiyas al-ikhalati wal munasabati, yaitu qiyas yang jalan menetapkan ‘ilat yang
dipetik dari padanya (yang dikeluarkan dengan jalan ijtihad), ialah munasabah,
yakni kemaslahatan memelihara maksud (tujuan)
i. Qiyas ‘ilat, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan
‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada
khamar.

C. Kedudukan Qiyas dalam islam


Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam
yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. Seperti yang sudah kita ketahui,
bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa
ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid
harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk
memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek.
Firman Allah SWT:

ُ ‫لى ا ُ ْو يَـآ فَـاعْــتَــبِــ ْي‬


‫ــر ْوا‬ ِ َ‫ص ِاربــْـاْال‬
َ
“hendaklah kamu mengambil I’tibar, hai orang-orang yang berfikiran”
Hadist Nabi SAW :

‫ث ُمعَاذًا ِإلَى ْال َي َم ِن‬َ ‫ لَ َّما أَ َرادَ أ َ ْن يَ ْب َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أَ َّن َر‬
« ‫ َقا َل‬.ِ‫َّللا‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫ضى ِب ِكتَا‬ ِ ‫ َقا َل أ َ ْق‬.» ‫ضا ٌء‬ َ ‫ض لَ َك َق‬
َ ‫ع َر‬ ِ ‫ْف تَ ْق‬
َ ‫ضى إِذَا‬ َ ‫َقا َل « َكي‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
َّ ‫سو ِل‬
.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ُ ِ‫ قَا َل فَب‬.» ِ‫َّللا‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫فَإِ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ِكتَا‬
‫ َوالَ فِى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫قَا َل « فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
َّ ‫سو ُل‬
‫صلى هللا عليه‬- ِ‫َّللا‬ ُ ‫ب َر‬ َ َ‫ ف‬.‫ قَا َل أَ ْجت َ ِهدُ َرأْ ِيى َوالَ آلُو‬.» ِ‫َّللا‬
َ ‫ض َر‬ َّ ‫ب‬ِ ‫ِكتَا‬
‫ضى‬ َّ ‫سو ِل‬
ِ ‫َّللاِ ِل َما يُ ْر‬ ُ ‫ص ْد َرهُ َوقَا َل « ْال َح ْمدُ ِ َّّلِلِ الَّذِى َوفَّقَ َر‬
ُ ‫سو َل َر‬ َ -‫وسلم‬
َّ ‫سو َل‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫َر‬
Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman
beliau bertanya :, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu
diajukan sebuah perkara? Mu’adz menjawab : “Saya menetapkan hukum berdasarkan
Kitab Allah”. Rasul bertanya lagi : “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam
Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Dengan Sunnah Rasul”, Rasul bertanya lagi : “Jika dalam
Sunnah juga engkau tidak menemukannya?”, Mu’adz menjawab : Saya akan
menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya. Rasul bersabda, “Segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufiq atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi
Rosul-Nya”.

Selain kriteria dalam dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
oleh mujtahid :
1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat
menghubungkan dengan hukum furu’(cabang).
2. Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan
dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar
qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illat-
illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian
hukum fiqih.

Seorang mujtahid harus mengetahui syarat-syaratnya yang mu’tabar , karena hal ini
menjadi kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-
hukum yang rinci.
Namun, jika kita tilik sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam
kehujjahan qiyas ini karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan
mengenai kehujjahan ini, berikut yang telah diringkas :
1. Jumhur ulama Ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum
berlandaskan surat Al-Hasyr : 2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat
urutan pengambilan hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Qur’an), Rasulnya
(hukum dan sunnah), dan mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para
jumhur ulama ini juga mengambil rujukan sumber hukumnya berdasarkan peristiwa
Muadz bin Jabal ketika akan diutus menjadi qodhi di Yaman.
2. Sebagian ulama Syiah dan segolongan dari ulama Mu’tazilah seperti An-Nazzamjuga
ulama Dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua
peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Qur’an dan sunnah baik yang yang
ditunjukkan nash dengan kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang
tersirat). Karena itu kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah.
3. Al-Kuffalusysyasyi, dari Syafi’iyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mu’tazilah,
keduanya berpendapat bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama
atau syari’at.

Alasan madzab ketiga iniseperti juga alas an pada madzhab pertama tadi, yakni
berdasarkan dalil-dalill dan dialog Muadz dengan Rasul sewaktu akan dikirim menjadi
qodhi di Yaman.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu
yangn lain yang terdapat nash baginya.
Meskipun banyak yang berbeda pendapat, meyoritas jumhur ulama mengatakan
bahwa qiyas merupakan hujjah (sumber hukum islam) yang ke empat setelah al-Qur’an,
hadist, dan ijma’. Bahkan Imam Syafi’I telah menhatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya
adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad. 2002. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus

Umam, Chaerul. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia

Baltaji, Muhamma. 2005. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa

Abdullah, Sulaiman Haji. 1996. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam.
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya

Anda mungkin juga menyukai