Anda di halaman 1dari 15

QIYAS

Definisi Qiyas
Kata Qiyas (‫ )قياس‬menurut bahasa berasal dari akar kata qaasa -yaqishu – qiyaasan
yang berarti ukuran. Artinya, perkara yang satu diukur dengan perkara lain yang memiliki
ukuran dan ukurannya itu adalah nash yang jelas.
Menurut istilah ahli ushul, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qurʼan, dan Sunnah dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapakan hukumnya berdasarkan nash. Suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan
perkara lain yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya alasan hukum (illat).
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para
pakar ushul fikih, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Di
antaranya dikemukakan Shadr asy Syari'ah (w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fikih Hanafi)
‫تعدية الحكم من األصل إلى الفرع لعلة متحدة ال تدرك بمجرد اللغة‬
Artinya: Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illah yang
tidak dapat dicapai melalui hanya dengan pendekatan bahasa.
Maksudnya, 'illah yang ada pada satu nash sama dengan 'illah yang ada pada kasus
yang sedang dihadapi seorang pakar, dan karena kesatuan 'illah ini, maka hukum dari kasus
yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily mengutip beberapa pendapat dari para ulama ushul
menyebutkan bahwa mereka mendefisnikan pengertian qiyas sebagai :
ُ‫إلحاق أمر غير منصوص على ُحمكه الشرعي بما يُمائِلُه‬
“Menjelaskan status hukum syariah pada suatu masalah yang tidak disebutkan nash-nya,
dengan masalah lain yang sebanding dengannya.”
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para
pakar ushul fikih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat
menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan
hukum dari awal (itsbat al-hukm wa nsya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan
menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-izhhar li al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum
jelas hukumnya.
Misalnya, seorang pakar ushul fikih [mujtahid] ingin mengetahui hukum minuman bir
atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu
mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Zat yang
memabukkan inilah yang menjadi ‘illah diharamkannya khamar. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat [5: 90-91]. Dengan demikian, pakar tersebut telah menemukan hukum
untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamar, karena ‘illah keduanya adalah sama,
yakni memabukkan. Kesamaan illah antara kasus yang tidak ada nasnya. dengan hukum yang
ada nasnya dalam Alquran atau Hadis, menyebabkan adanya kesatuan hukum. Inilah yang
dimaksudkan para pakar ushul fikih bahwa penentuan hukum melalui metode qiyas bukan
berarti menentukan hukum sejak semula, tetapi menyingkapkan dan menjelaskan hukum
untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hukum yang ada pada
nash, disebabkan kesamaan '‘illah antara keduanya.

Rukun Qiyas Dan Syarat – Syaratnya


Berdasarkan beberapa definisi qiyas di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur pokok
(rukun) qiyas terdiri dari empat unsur yaitu:
1. Ashl - ‫( االصل‬pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan atau
biasa disebut maqis 'alaih. Menurut para ahli ushul fiqh, ashl adalah nash yang
menentukan hukum. karena nash inilah yang dijadikan patokan dalam menentukan
hukum far'u. Ahmad Hanafi mengemukakan beberapa syarat ashl antara lain:
 Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashl). Kalau
sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah, maka
tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
 Hukum yang terdapat pada ashl itu hendaklah hukum syara'.
 Hukum ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang
lupa, meskipun makan dan minum.
2. Far'u - ‫( الفرع‬cabang)
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far'u itulah yang dikehendaki untuk disamakan
hukumnya dengan ashl. la disebut juga dengan maqis, yang dianalogikan.
Para ulama Ushul fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi antara lain:
 Illatnya sama dengan 'illat yang ada pada nash, baik pada zatnya maupun pada
jenisnya. Contoh 'illat yang sama zatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamar,
karena keduanya sama-sama memabukkandan yang memabukkan itu sedikit atau
banyak, apabila diminum hukumnya haram. 'Illat yang ada pada wisky sama zat atau
materinya dengan 'illat yang ada pada khamar. Contoh yang jenisnya sama adalah
mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenangwenang terhadap anggota badan
kepada qishash dalam pembunuhan, karena keduanya samasama perbuatan pidana.
 Hukum ashl tidak berubah setelah diqiyaskan.
 Hukum far'u tidak mendahului hukum ashl, artinya hukum far'u itu harus datang
kemudian dari hukum ashl.
 Tidak ada nash atau ijma' yang menjelaskan hukum far'u, artinya tidak ada nash atau
ijma' yang menjelaskan hukum far'u dan hukumitu bertentangan dengan qiyas,
karena jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau
ijma'.
3. Hukum ashl (‫)حكم االصل‬
Yaitu hukum syar'i yang ditetapkan oleh nash. Syarat-syarat hukum ashl menurut Abu
Zahrah, antara lain:
 Hukum ashl hendaknya hukum syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan,
karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal
perbuatan.
 Hukum ashl dapat ditelususri 'illat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat
ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan
hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat hukumnya. ( seperti masalah bilangan
makna).
 Hukum ashl itu lebih dahulu disyari'atkan dari far'u, dalam hal ini tidak boleh
mengqiyaskan wudhu dengan tayamum, sekalipun 'illat-nya sama, karena syari'at
wudhu dahulu turunnya dari pada tayamum
4. Illat (‫)العلة‬
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah ashl mempunyai
suatu hukum dan dengan itulah terdapat banyak cabang sehingga hukum cabang itu
disamakan dengan ashl.
Para ulama ushul fiqh mengemukakan sejumlah syarat 'illat yang dapat dijadikan sebagai
sifat dalam menentukan suatu hukum, di antaranya adalah:
 Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum.
Maksudnya, fungsi 'illat adalah bagian dari tujuan disyari'atkannya hukum, yaitu
untuk kemaslahatan umat manusia.
 Illat itu adalah suatu sifatyang jelas, nyata dan dapat ditangkap indera manusia.
Karena 'illat merupakan pertanda adanya hukum. Contohnya: sifat memabukkan bagi
haramnya khamar dan minuman keras lainnya. Sifat memabukkan itu jelas, dapat
disaksikan dan dapat dibedakan dengan sifat serta keadaan lain. Karena jelasnya,
maka 'illat itu dapat diketahui hubungannya dengan hukum.
 Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya, 'illat itu memiliki
hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk setiap orang dan keadaan. Misalnya,
pembunuhan merupakan 'illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta
warisan dari orang yang dibunuh. 'Illat ini bisa diterapkan kepada pembunuh dalam
kasus wasiat.
 Harus ada hubungan keserasian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi 'illat. Maksudnya, 'illat yang ditentukan berdasarkananalisis mujtahid sesuai
dengan hukum yang diqiyaskan. Contohnya; sakit menjadi 'illat bolehnya seseorang
membatalkan puasa. Sifat yang tidak ada hubungan kesesuaian dengan hukum tidak
dapat dijadikan 'illat, seperti mengantuk dijadikan 'illat bagi bolehnya berbuka puasa.
 Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma'.
 Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl. Maksudnya, hukumnya telah ada,
baru datang 'illatnya.

Dalil Kehujjahan Qiyas Dari Al-Qur’an, Hadits, Dan Logika


1. Al – Qur’an
 Allah SWT berfirman pada Q.S. an-Nisâ': 58
ٰٓ ِ ‫االمٰ ٰن‬
َ ْ ‫ّٰللا َيأ ْ ُم ُركُ ْم ا َ ْن ت ُ َؤدُّوا‬
‫ّٰللا نِ ِع َّما َي ِعظُكُ ْم ِب ٖه‬ ِ َّ‫ت ا ِٰلى ا َ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬
َ ‫اس ا َ ْن ت َ ْحكُ ُم ْوا ِب ْال َعدْ ِل ۗ ا َِّن ه‬ َ ‫ان ه‬َّ

ِ َ‫س ِم ْيعً ۢا ب‬
‫صي ًْرا‬ ‫ۗۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللاَ َكان‬

Artinya:
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada Allah
dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang
menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari alquran dan sunnah untuk
dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya
memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang diperselisihkan
 Firman Allah SWT dalam surat al Hasyr ayat 2:
َ ‫ار ِه ْم ِالَ َّو ِل ْال َح ْش ۗ ِر َما‬
َ ‫ظنَ ْنت ُ ْم ا َ ْن يَّ ْخ ُر ُج ْوا َو‬
‫ظنُّ ْٰٓوا اَنَّ ُه ْم َّمانِعَت ُ ُه ْم‬ ِ َ‫ب م ِْن ِدي‬ ِ ‫ي ا َ ْخ َر َج الَّ ِذيْنَ َكف َُر ْوا م ِْن ا َ ْه ِل ْال ِك ٰت‬
ْٰٓ ‫ه َُو الَّ ِذ‬
َ‫ْب يُ ْخ ِرب ُْونَ بُي ُْوت َ ُه ْم بِا َ ْي ِد ْي ِه ْم َوا َ ْيدِى ْال ُمؤْ ِمنِ ْي ۙن‬ ُّ ‫ف فِ ْي قُلُ ْوبِ ِه ُم‬
َ ‫الرع‬ َ َ‫ْث لَ ْم يَ ْحت َ ِسب ُْوا َوقَذ‬
ُ ‫ّٰللاُ م ِْن َحي‬‫ّٰللاِ فَا َ ٰتى ُه ُم ه‬
‫ص ْونُ ُه ْم ِِّمنَ ه‬ ُ ‫ُح‬
‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ْ ‫فَا ْعتَ ِب ُر ْوا ٰيٰٓاُولِى‬
َ ‫اال ْب‬
Artinya:
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman
mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada
mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan
ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka
dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka
ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan yang tajam."
Pada ayat di atas terdapat perkataan‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ْ ‫( فَا ْعت َ ِب ُر ْوا ٰيٰٓاُو ِل‬maka ambillah maka
َ ‫اال ْب‬
tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan
tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar
membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi
pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti
perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa.
Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu
hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
2. Hadits
 Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya:
َّ ‫ قَا َل فَبِسُنَّ ِة َرسُ ْو ِل‬. ِ‫ّٰللا‬
ِ‫ّٰللا‬ ِ ‫ قَا َل فَإ ِ ْن لَ ْم ت َِج ْد فِي ِكت َا‬. ِ‫ب هللا‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫ضي بِ ِكت َا‬ ِ ‫ قَا َل أ َ ْق‬.‫ضا ُء‬َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫ع َر‬ َ ‫ضي إِذَا‬ ِ ‫ْف ت َ ْق‬
َ ‫َكي‬
‫ قَا َل أ َ ْجت َ ِهد ُ َرأْ ِيي‬. ِ‫ب هللا‬
ِ ‫سلَّ َم َو َال فِي ِكت َا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّٰللاُ عَلَ ْي ِه َو‬ َ ِ َّ‫ قَا َل فَإ ِ ْن لَ ْم ت َِجدْ فِي سُنَّ ِة َرسُو ِل ّٰللا‬.‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ
‫ضي‬ ِ ‫ّٰللاِ ِل َما ي ُْر‬ ِ َّ ِ ُ ‫صد َْرهُ َو َقا َل ْال َح ْمد‬
َّ ‫ّلِل الَّذِي َو َّفقَ َرسُ ْو َل َرسُو ِل‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ َّ ‫ب َرسُو ُل‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫ َف‬. ‫َو َال آلُو‬
ِ َّ‫َرسُولَ ّٰللا‬
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu
peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika
engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan
dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah?
Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan
berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya
dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang
diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-
Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-
Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
 Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang
dikemukakan sahabat kepadanya, seperti hadits nabi:

‫َت أَفَأ َ ُح ُج‬


ْ ‫ت أ َ ْن ت َ َح َّج فَلَ ْم ت َ ْح َّج َحتَّى َمات‬ْ ‫ت ِإ َّن أ ُ ِّمي نَذَ َر‬ْ َ‫ت إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فَقَال‬ ْ ‫ام َرأَة ٌ م ِْن ُج َم ْينَةَ َجا َء‬
ْ ‫أ َ َّن‬
‫اّلِلُ أ َ َح ُّق ِب ْال َوفَاءِ (رواه البخاري‬ َ َّ ‫اضيَةً ا ْقضُوا‬
َّ َ‫ّٰللا ف‬ ِ َ‫ت ق‬ ُ
ِ ‫علَى أ ِّمِكِ دَ ْي ٌن أَكُن‬ ِ ‫ع ْن َها أ َ َرأ َ ْي‬
َ َ‫ت لَ ْو َكان‬ َ ‫ع ْن َها قَا َل نَ َع ْم ُح ِ ِّري‬
َ
)‫والنسائي‬

"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah


SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji,
tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku
berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar,
laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang,
tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang
kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan
hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah
meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat
menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW
menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal
dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau
menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada
manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah
lebih utama harus dibayar.
3. Logika
Para ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal
saja.13 Pertama, ‘illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun
isyarat. Contoh pada qiyas tentang penyimpanan daging qurban untuk suku Baduy yang
miskin yang datang dari perkampungan. Kedua, Hukum Far’u harus lebih utama daripada
hukum Ashl. Misalnya, hukum memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan
“ah”. Dalam hal ini, pemukulan lebih berat dari perkataan “ah”.
Ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam Syaukani berpendapat bahwa, secara logika
qiyas memang diperbolehkan, akan tetapi tidak ada satu nash pun dalam Al- Qur’an yang
menyatakan wajib melaksanakannya. Argumen ini dikemukakan dalam rangka menolak
pendapat jumhur ulama yang mewajibkan pengamalan qiyas.
Ulama Syi’ah Imamiyah dan al-Nazzam dari Mu’tazillah menyatakan qiyas tidak
bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban
mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Wahbah Al-
Zuhaili membagi pendapat ulama tentang qiyas ke dalam dua kelompok yang menerima
qiyas dan kelompok yang menolak qiyas dengan alasannya masingmasing.
Bagi kelompok yang menolak qiyas yaitu ulama-ulama Syi’ah, Al-Nazzam,
Zhahiriyyah dan Mu’tazilah dari Iraq, alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam
menetapkan hukum syara’ berdasarkan firman Allah SWT “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya...”.14 Berdasarkan ayat
tersebut, mereka berpendapat bahwa adanya larangan bagi seseorang untuk beramal
dengan sesuatu yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dengan
mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu di luar Al-Qur’an dan
Sunah Rasul sehingga dilarang untuk mengamalkannya.
Adapun penolakan qiyas juga didasarkan pada hadits Nabi yang menyatakan
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu
abaikan; menentukan beberapa batasan , jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu,
maka jangan kamu langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai
rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu” (HR. Al-
Daruquthni).
Berdasarkan hadits tersebut, bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, adakalanya
haram, dan ada kalanya didiamkan saja (hukumnya antara dimaafkan atau mubah).
Apabila diqiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada misalnya wajib, maka berarti
telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan.
Selain berdasarkan nash, alasan penolakan qiyas juga didasarkan kepada sikap
sebagian para sahabat yang mencela qiyas, meskipun sahabat lainnya bersikap diam atas
celaan sahabat yang menolak qiyas. Sikap diam sahabat lainnya tersebut dianggap diam-
diam sepakat (ijma sukuti) untuk mencela qiyas. Umar ibn Khattab pernah berkata
“Hindarilah orang-orang yang mengemukakan pendapatnya tanpa alasan, karena mereka
itu termasuk musuh Sunnah dan hindarilah orang-orang yang menggunakan qiyas”. Kisah
ini diriwayatkan oleh Qasim ibn Muhammad yang menurut para ahli hadits
periwayatannya munqathi’ (terputus dari penuturnya).

Cara Mengetahui Illat Hukum Dan Syarat – Syarat Illat


‘Illat menurut bahasa berarti sakit, penyakit. Bisa pula berarti sebab atau karena Para
Ushuliyyin memberikan pengertian terhadap ‘illat, yaitu sifat yang ada pada ashl yang sifat itu
menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada far' yang
belum ditetapkan hukumnya. Adanya ‘illat hukum itu sangat penting dan menentukan, untuk
dapat diterapkannya suatu qiyas. Suatu kesimpulan tidak dapat ditarik secara qiyas, jika tidak
ada persamaan antara ‘illat pada kasus yang satu dengan kasus yang lain. Untuk mencari
‘illat, dilakukan beberapa cara, yaitu:
1. Nash yang menunjukkan, dalam hal ini nas sendiri yang menunjukkan bahwa suatu sifat
merupakan 'illat hukum dari suatu kasus. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshush
'alaihi.
Petunjuk nash tentang illat hukum ada dua macam, yaitu; sharahah dan isyarah ('ima).
 Dalalah sharahah
Yaitu penunjukkan lafazh yang terkandung dalam nas kepada Dalalah sharahah
'illat hukum jelas sekali, karena lafazh nas itu sendiri yang mennjukkan 'illat
hukumnya dengan jelas. Dalalah sharahah ada yang qath'I (pasti) dan ada yang
zhanni (dugaan kuat). Dalalah sharahah yang qath'i, apabila penunjukkannya secara
pasti terhadap illat hukum. Misalnya firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 165:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu. "Li'alla yakuna" dan "ba'da al- Rasul" merupakan illat
hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain yang zhanni, apabila
penunjukkan nas kepada illat hukum berdasarkan dugaan yang kuat, karena
kemungkinan dapat dibawa kepada illat hukum yang lain. Misalnya al-Qur'an
dalam surah al-Isra ayat 78: Dirikanlah shalat, karena matahari tergelincir sampai
gelap malam...Huruf "lam" pada kalimat "liduluki" adalah memiliki arti
"disebabkan" atau "karena" dan dapat pula berarti "setelah". Tetapi menurut dugaan
yang kuat jika huruf "lam" itu diartikan dengan "karena" maka akan memperjelas
maksud dari ayat tersebut.
 Dalalah Isyarah atau "ima”
Adalah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya. Jika penyertaan sifat
itu tidak dapat dipahamkan, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu.
Misalnya al-Qur'an dalam surah al-Baqarah ayat 222: "Dan janganlah kamu
mendekati mereka sehingga mereka suci..." Pada ayat di atas diterangkan bahwa
"kesucian" merupakan batas ("illat) kebolehan suami mencampuri isterinya.
Dengan demikian, dalalah isyarah atau 'ima pada ayat di atas adalah membedakan
antara dua hukum dengan batasan (ghayah).
2. Ijma' yang menunjukkan, maksudnya bahwa illat itu ditetapkan dengan ijma'. Misalnya
belum baligh menjadi ‘illat dikuasainya oleh wali harta anak yang belum dewasa. ‘Illat
ini disepakati oleh para ulama.
3. Dengan penelitian/ijtihad, yaitu illat yang diketahui melalui penelitian atau ijtihad,
adalah 'illat yang diketahui melalui empat cara, yaitu.
 al-Munasabah atau takhrij al- Manath, Al-Munasabah
Yaitu persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau
larangan. Yang termasuk munasabah adalah; Memelihara agama (at- Taubah ayat
29), Memelihara jiwa (al-Baqarah ayat 179), Memelihara akal (al-Maidah ayat 91),
Memelihara keturunan (an-Nur ayat 1-3)dan Memelihara harta benda (al- Baqarah
ayat 275). Kelima hal ini adalah termasuk dharury. Adapun pada tingkatan hajjy,
baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam bidang ibadah dibolehkannya
menqadha puasa Ramadhan bagi orang yang musafir, sedangkan dalam bidang
muamalah misalnya bolehnya jual beli salam.Hal yang termasuk tingkatan hajjy ini
adalah sebagai pelengkap untuk kesempurnaan masalah dharury. Sedangkan pada
tingkatan tahsiny, adalah perhiasan baik dalam ibadah maupun dalam muamalah,
seperti berpakaian rapi dalam beribadah, dan menghindari jual beli bernajis dalam
muamalah.
 Tahqiq al-Manath
Tahqiq al-Manath, yaitu menetapkan 'illat hukum pada ashl, maksudnya sepakat
menetapkan illat pada ashl, baik berdasarkan nas atau tidak, kemudian 'illat itu
disesuaikan dengan illat far'. Misalnya illat potong tangan bagi pencuri, yaitu
mengambil barang orang lain secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal
ini sepakat para ulama. Tetapi jika diterapkan pada far', yaitu hukuman pencuri
kainkafan dalam kubur. Maka menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah, pencuri
tersebut potong tangannya, sedangkan menurut ulama Hanafiyah tidak dipotong
tangannya, karena ia tidak dapat dikatakan pencuri.
 Tanqih al-Manath
Tanqih al-Manath, yaitu mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada ashl dan sifat-
sifat yang ada pada far', kemudian dicari sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat yang sama
itulah dijadikanillat hukum. Sedangkan sifat-sifat yang berbedaditinggalkan. 'Illat
semacam ini diketahui setelah illat tersebut muncul lewat penalaran akal, sehingga
disebut pula 'illat almustanbathah
 Al-Sabru wal al-Taqsim
Al-Sabru wa al-Taqsim, yaitu meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada
suatu kasus, kemudian memisah-misah di antara sifatsifat itu, yang paling tepat
dijadikan sebagai illat hukum. al-Sabru wa al-Taqsim dilakukan apabila ada nas
yang menerangkan tentang suatu kasus, tetapi tidak ada nas yang menerangkan
'illamnya. Misalnya Sunnah Nabi Saw. tentang harta ribawi: "Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi dengan padi, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi
kontan, apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila hal itu
dilakukan dengan kontan (H.R Muslim). Rasulullah Saw., berdasarkan Sunnah di
atas, menetapkan haramnya riba fadl, tetapi tidak ada nas yang lain atau ijma' yang
menetapkan illat. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari enam macam yang
disebutkan dalam Sunnah itu, kemudian menetapkan sifat yang sama yang patut
dijadikan 'illat. Maka yang diperoleh hanya satu sifat yang dipunyai oleh enam
macam tersebut, yaitu sifat yang dapat dipastikan dengan ukurannya baik
timbangan atau takaran. Dengan demikian, para ulama menetapkan 'illat riba fadl
adalah ukuran yaitu takaran atau timbangan.

Macam – Macam Qiyas Dari Segi Illatnya


Pembagian qiyas dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ yang
dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal, menjadi tiga bagian:
1. Qiyas Aulawi (‫)قياس اولوى‬
Qiyas aulawi, yakni illat yang terdapat pada far'u (cabang) lebih utama daripada illat yang
terdapat pada ashl (pokok). Contohnya, menganalogikan hukum haram memukul kedua
orang tua kepada hukum haram mengatakan "ah" yang terdapat dalam surat Al-Isra' ayat
23:
ِّ ُ ‫سا ًنا ۚ ِإ َّما َي ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِك َب َر أ َ َحدُهُ َما أ َ ْو ك ََِلهُ َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬
‫ف َو َال ت َ ْن َه ْرهُ َما‬ َ ‫ض ٰى َربُّكَ أ َ َّال ت َ ْعبُد ُوا ِإ َّال ِإيَّاهُ َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإ ْح‬
َ َ‫َوق‬

‫َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًال ك َِري ًما‬

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'." (QS. Al-
Isra: 23)
Kedua tindakan tersebut memiliki illat yang sama-sama menyakiti orang tua. Namun,
tindakan memukul yang dalam hal ini adalah far'u lebih menyakiti orang tua sehingga
hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan "ah" yang ada pada ashl.
2. Qiyas Musawi (‫)قياس مساوى‬
Qiyas musawi, yakni qiyas di mana illat yang terdapat pada far'u sama bobotnya dengan
bobot illat yang terdapat pada ashl.
Contohnya, illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah
sama bobot illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan
dalam surat An-Nisa ayat 10:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)." (QS. An-Nisa: 10)
Jadi, tindakan membakar harta anak yatim hukumnya haram, sama seperti memakam
anak harta yatim. Sebab, keduanya sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
3. Qiyas Al-Adna
Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada far'u lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan illat yang terdapat dalam ashl.
Contohnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih
rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamar yang
diharamkan dalam ayat Alquran berikut:

َ‫ان فَا ْجتَنِبُوهُ لَعَلَّكُ ْم ت ُ ْف ِلحُون‬


ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ٌ ‫اب َو ْاأل َ ْز َال ُم ِرج‬
َ ‫ْس م ِْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاأل َ ْن‬

Artinya:"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan." (QS. Al-Maidah: 90)
Karena pada ashl dan far'u sama-sama terdapat sifat memabukkan, sehingga dapat
diberlakukan qiyas haram pada minuman bir tersebut.

Macam - Macam Qiyas Dari Segi Yang Lain


a. Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:
1. Qiyas jaly (‫)قياس جلي‬
Qiyas jaly adalah qiyas yang ‘illat nya ditegaskan oleh nas secara bersama.
Dengan penetapan hukum ashal. Atau ‘illatnya ditegaskan tidak ditegaskan oleh nas,
tetapi bisa dipastikan bahwa tidak ada sebuah pengaruh dari perbedaan di antara
ashar dan furu’.
Contohnya seperti di dalam sebuah kasus, seorang musafir perempuan dan
laki-laki yang diperbolehkan untuk mengqasar salatnya ketika dalam perjalanan.
Sekalipun di antaranya keduanya memiliki perbedaan, yaitu perbedaan jenis kelamin.
Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak akan mempengaruhi kebolehkan dalam
mengqasar salat. Sebab, ‘illat nya adalah sama-sama sedang di dalam perjalanan.
2. Qiyas khafy(‫)قياس خفي‬
Qiyas khafy adalah qiyas yang ‘illat nya tidak disebutkan di dalam nash.
Contohnya seperti mengqiyaskan pembunuhan yang dilakukan dengan benda berat,
kepada kasus pembunuhkan yang dilakukan dengan benda tajam di dalam
pembelakukan hukum qiyas. Karena ‘illat nya sama, yaitu pembunuhan yang
dilakukan dengan unsur kesengajaan.
Menurut bahasa, kata qiyas itu berarti ukuran, yaitu mengetahui ukuran
sesuatu dengan menisbahkannya kepada yang lain. Menurut istilah yang biasa
digunakan oleh para ulama ushul fiqh adalah menghubungkan sesuatu yang belum
dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, karena diantara keduanya mempunyai
‘illat hukum.
Para ushul ulama fiqh menetapkan rukun qiyas ada 4 (empat) yaitu ashl
(wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan
ditetapkan hukumnya), i’llat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh
mujtahid pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau
ijma’).
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya qiyas itu
bisa dikatakan benar bila sudah memenuhi empat rukun di atas. Keempat rukun
tersebut merupakan patokan dalam melakukan qiyas. Oleh karena itu, mujtahid yang
akan melakukan qiyas dituntut untuk berhati-hati dalam memahami nash dan hukum
serta harus cermat dalam meneliti “illat yang ada pada far’u apakah ada relevansinya
dengan ashl yang dijadikan sebagai sandaran hukum di dalam nash tersebut dan “illat
pada persoalan baru (far’u) yang telah disebutkan oleh nash. Jika “illat sudah
diketahui antara ashl dan far’u maka dapat dilakukan qiyas antara keduanya.
b. Dari Segi Persamaan Cabang Kepada Pokok
1. Qiyas Ma’na (‫)قياس معنى‬
Ialah qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di
karenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum
pokoknya, oleh karena itu korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya
mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah
dijelasnkan sebelumnya.
2. Qiyas Sibhi (‫)قياس سيبهي‬
Ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil
ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak
dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya
adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-
sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda
karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang
merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang
lain, diwariskan, diwakafkan, dan sebagainya.
3. Qiyas Dalalah (‫) قياس دالله‬
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak
diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada
harta orang dewasa yang telah senisab , tetapi bagi anak-anak tidak wajib
mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai