Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PAI

HUKUM PIDANA DAN PERDATA


ISLAM

Di susun oleh:

Disusun oleh kelompok 6:

1. Mawar (6111181129)
2. Elida Yunira (6111181127)
3. Septian Permana Suherman (6111181137)
4. Silvina Maharani Desty (6111181100)
5. Wiliam Putra Tria Wahyudi (6111181098)

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmatnya, sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan telah
rampung. Makalah ini berjudul “Hukum Islam”. Dengan tujuan penulisan sebagai
sumber bacaan yang dapat digunakan untuk memperdalam pemahaman dari
materi ini.
Selain itu, penulisan makalah ini tak terlepes pula dengan tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam. Namun penulis cukup menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran pembaca yang bersifat membangun.

Cimahi, 10 September 2018

Penulis.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa. Dengan tiada kesudahan ia
mengatur hubungan- hubungan yang di timbulkan oleh pergaulan masyarakat manusia
(hubungan yang timbul oleh perkawinan, keturunan, kerabat darah, ketetanggaan, tempat
kediaman, kebangsaan, dari perdangangan dan pemberian pelbagai jasa dan dari perkara- perkara
lainnya), dan hal- hal tersebut dilakukannya dengan menentukan batas kekuasaan- kekuasaan
dan kewajiban- kewajiban tiap- tiap orang terhadap mereka dengan siapa ia berhubungan.
Hukum terdiri dari peratuaran tingkah laku. Tetap masih ada peratutan tingkah laku,
lain dari pada peraturan- peraturan tingkah laku hokum. Segala peraturan- peraturan itu yang
mengandung petunjuk- petunjuk bagaimana manusia hendaknya bertindak- tanduk.ketertipan
dan keamanan dalam masyrakat akan terpelihara, bila mana tiap anggota masyarakat mentaati
peraturan- peraturan (norma- norma) yang ada dalam masyarakat itu. Peraturan itu dikeluarkan
oleh badan hokum yang berkuasa dalam masyarakat itu yang di sebut oleh pemerintah.dalm
pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pidana dan perdata dan macam-
macamnya serta perbedaanya.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu guna memenuhi Tugas PAI dan menambah
pengetahuan tentang hukum-hukum yang ada di Indonesia.
C. Rumusan Masalah
a. Pengertian Hukum Pidana dan Perdata
b. Macam – macam hukum pidana dan perdata

BAB II
PEMBAHASAN

Hukum islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang di dasarkan pada
wahyu Allah S.W.T dan sunah Rasul. Syariat islam ( ‫اإلسالَمِ يَّ ِِة‬
ِ ِ‫ )ش َِر ْيعَة‬kata syara’ secara etimologi
berarti “ jalan jalan yang bisa di tempuh air”, maksudnya adalah jalan jalan yang dilalui manusia
untuk menuju Allah. Syariat islamiyah adalah hukum atau peraturan islam yang mengatur
seluruh sendi kehidupan umat islam.

A. HUKUM PIDANA ISLAM


1) Pengertian Hukum Pidana Islam
Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinayah, yang berarti perbuatan dosa,
kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam
perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan
ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah
hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir
menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.[1]
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayat atau jarimah.
Jinayat dalam istilah Hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah
merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat
dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara
terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al
Qodir Awdah bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu
mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Yang dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang,
melukai, memotong anggota tubuh, dan meghilangkan manfaat badan, misalnya menghilangkan
salah satu panca indera. Dalam Jinayah (Pidana Islam) dibicarakan Pula Upaya-upaya prefentif,
rehabilitative, edukatif, serta upaya-upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai
tentang toeri-teori tentang hukuman.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di
kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan
perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang
membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan
istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah SWT dengan
hukuman had atau ta’zir.[2]
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu
hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai dan lain sebagainya.
2) Dasar Hukum
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan
kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata jana-
yajni yang berarti akhaza(mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau
kriminal. Jinayah dalam pengertian ini sama artinya dengan kata jarimah yang sering digunakan
oleh para fukaha (ahli fikih) di dalam kitab-kitab fikih.
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang.
Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqoha’, kata
jinayah berarti perbuatan perbuatan yang dilarang menurut syara’. Meskipun demikian,pada
umumnya, fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang
mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu,
terdapat foqoha’yang membatasi istilah jinyah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-
laragan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
‫ص ٌن‬ َ ‫ان ُم ْح‬ ٍ َ‫ ز‬:‫صا ٍل‬ َ ِ‫ث خ‬ ِ ‫ ( ََل يَحِ ُّل قَتْ ُل ُم ْسل ٍِم إِ هَل فِي إِحْ َدى ث َ ََل‬:َ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم قَال‬ ِ ‫سو ِل َ ه‬
ُ ‫ع ْن َر‬ َ ,‫ع ْن َها‬ ‫ي َه‬
َ ُ‫ّللَا‬ َ ‫ض‬ِ ‫شةَ َر‬ َ ِ‫عائ‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫ََ َو‬
ُ‫ ) َر َواه‬. ‫ض‬ َ ْ َ ْ ْ َ
ِ ‫ أ ْو يُنفَى مِ ن اْل ْر‬, ُ‫صلب‬ َ َ ْ َ َ
ْ ُ‫ أ ْو ي‬,ُ‫ فيُقتَل‬,ُ ‫سوله‬ َ
ُ ‫ّللَاَ َو َر‬
‫اربُ ه‬ َ َ ْ َ ْ ْ ْ ُ ْ
ِ ‫ َو َر ُج ٌل يَخ ُر ُج مِن ا ِْلسَْل ِم فيُ َح‬,ُ‫ َو َر ُج ٌل يَقت ُل ُم ْس ِل ًما ُمتَعَ ِمدًا فيُقتَل‬,‫فَي ُْر َج ُم‬
َ
‫ص هح َحهُ ا َ ْل َحا ِك ُم‬
َ ‫ َو‬,‫ي‬ َ ‫ َوالنه‬,‫أَبُو َد ُاو َد‬
ُّ ِ‫سائ‬

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali salah satu dari tiga hal: Orang yang telah kawin
yang berzina, ia dirajam; orang yang membunuh orang Islam dengan sengaja, ia dibunuh; dan
orang yang keluar dari agama Islam lalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia dibunuh atau
disalib atau dibuang jauh dari negerinya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih
menurut Hakim.
3) Macam-Macam Jinayat Dan Hudu
1. Macam-Macam Jinayat
Ada lima jenis macam-macam jinayat (kejahatan) yang dikenai sanksi pidana hudud
(hukuman-hukuman) menurut syara’, yaitu :
a. Kejahatan pada badan, jiwa, dan anggota-anggota badan.
1) Al-Qathlu, yaitu dengan cara pembunuhan
2) Al-Farhu, yaitu dengan cara meluakai.
b. Kejahatan pada kelamin.
1) Perjinahan.
2) Sifah (pelacuran)
c. Kejahatan atas harta
1) Hirabah, yaitu harta yang diambil denganm cara memerangi yang dilakukan
tanpa alasan (ta’wil)
2) Baghyun, (kezaliman), yaitu harta yang diambil dengan cara memerangi, yang
silakukan dengan alasan.
3) Pencurian, yaitu harta yamh diambil denggan cara menunngu kelengahan dari
suatu tempat penyimpanan,
4) Ghasab (perampasan). Yaitu apabial menggunakan kekuatan dan kekuasaan.
Dalam pemarinyahan disebut korupsi (ikhtilas mali hukumah)
d. Kejahatan pada kehormatan
2. Macam-Macam Hudud (hukuman)
Adpun macam-macam hudud (hukuman) terbagi menjadi dua bagia:
a. Had penghilangan nyawa atau u anggota badan
Had yang berkenaan dengan penghilangan nyawa atau u anggota badan, terdiri dari
dua bagian:
1) Qiyas, yaitu pembalasan yang sepadan terhadap suatu kelakuan kadar kejahatan
yang betul-betul disengaja dan direncanakan. Baik qisas pada jiwa, atau u qisas
pada anggota-anggota badan dan pelukaan.
2) Diyat (denda), yaitu sebagai pengganti qishas berupa denda dengan harta, dikala
gugur lantaran pelaku kejahatan diampuni, ketidak sengajaan, atau u ada unsur-
unsur disengaja. Dalam diat pun ada pada jiwa juga diat pada anggota-anggota
badan dan pekukaan. Selain itu bagi si pelaku mewajibkan membayar kafarat,
yaitu denda untuk mrnghapuskan dosa kepada Allah, disamping ia wajib
membayar denda kepada keluarga korban.
b. Had tentang pelanggaran berbuat maksiat
1) Rajam yaitu hukuman dera bagi zina muhshan dengan cara dilempari di muka
imum.
2) Ta’zir adalah menghukum dengan vara di jilid yaitu hukuman-hukuman dera
dengan cara pencambukan. Atau hukuman ta’zir juga bisa berbentuk pemukulan,
atau dengan tmparan dengan telapak tangan, atau di asingkan atau dipecat dari
kedudukannya, atau dengan dimasukkan kepenjara, yang berarti hukum ta’zir
adalah hukuman pengajaran.
UIama atau wakil imam yang berhak menghukum ta’zir. Adapun hukuman ta’jir itu
berlaku pada ketentuan hukuman had, misalnya pada orang yang meminum minuman keras, atau
u bisa juga hukuman ta’zir itu karana tidak ada ketentuan hukum had atau kafaratnya, namun hal
itu sebagai hak Allah, maupun hak manusia, misalnya mufakhadoh, yaitu menggauli wanita
selain dari kemaluannya (farji), memaki yang tidak dengan qadaf, dan memukul yang tidak
semestinya, dan lain-lain.[4]
c. Hukum Qishash
Hukum qishahsh, yaitu hukum pembalasan yang sepadan terhadap suatu kelakuan kadar
kejahatan yang betu-betul disengaja dan direncanakan. Baik qishash pada jiwa atau u qishash
pada anggota-anggota badan.
Firman Aallah Ta’ala: surat al-Baqarah 179
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Qishash ada 2 macam
1) Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan
Para ulama membagi pembunuhan menjadi tiga bagian
Al-Qatlu ‘Amdun Mahdun
Yaitu pembunuhan bemnar-benar disengaja dan direncanakan dengan memakai senjata
atau u alat yang bisa dipakai untuk membunuh, atau u sejenisnya, seperti pistol, pisau dan
sebagainya
Firman allah ta’ala surat Al-baqarah ayat 178
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
2) Al-qatlu ‘khata’un mahdhun
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan, yang terjadi karna unsur kekeliruan dan
ketidak sengajaan. Seperti, seseorang bermaksud menembak babi tetapi salah sasran mengenai
manusia yang akhirnya mati.
3) Al-qatlu sibhu amdhi
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakanyang terjadi seolah-olah disengaja,
maksudnya, seseorang bermaksud memukul, atau u melukaidengan suatu alat yang bukan alat-
alat senjata yang digunakan untuk membunuh
Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi
anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang
membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan
merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan
anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang
membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir,
pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits
rasulullah,‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu
dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan
yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
Syarat-syarat wajib hukum qishash
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila,
dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua)
dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang
tidur hingga jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512)
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang
yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi
saw
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga dst." (Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 7641).
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi saw:
"Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya." (Shahih: Irwa-
ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661)
4. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim.
Nabi saw bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan
Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432
no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23)
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang
merdeka. Al-Hasan berkata:
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh) seorang budak.”
(Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no: 3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494)
B. HUKUM PERDATA ISLAM
1. Pengertian Hukum Perdata Islam
Hukum perdata islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu allah dan
sunnah rasul tentang timngkah laku mukallaf. Dalam hal perdata atau muamalah yang diakui dan
diyakini bagi semua pemeluk islam.

Menurut muhammad daud, hukum perdata islam adalah sebagian dari hukum islam yang
telah berlaku secara yuridis formal atau ,menjadi hukum positif. Seperti halnya ditunjuk oleh
peraturan perundang undangan contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
zakat, dan perwakafan.

2. Ruang Lingkup Hukum Perdata Islam Di Indonesia


Hukum perdata Islam atau yang biasa disebut fiqh mu’amalah dalam pengertian umum
adalah norma hukum yang memuat ( Zainuddin Ali, 2007:1 ) :
1. Munakahat, hukum perkawinan yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan perceraian serta akibat-akibat hukumnya.
2. Warisan atau farid, hukum kewarisan yang mengatur segala persoalan yang berhubungan
dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, serta pembagian harta warisan.
Selain pengertian umum di atas, fiqh mu’amalah dalam pengertian khusus adalah
mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa menyewa,
pinjam meminjam, persyarikatan ( kerja bagi hasil ), pengalihan hak, dan segala yang berkaitan
dengan transaksi.
Ruang lingkup hukum perdata Islam (Komaruddin Hidayat, 2000:19) adalah sebagai
berikut :
1. Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian,
serta akibat – akibatnya.
2. Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta harta peninggalan warisan. Hukum kewarisan Islam ini juga disebut faraid.
3. Adapun hukum publik ( Islam ) adalah jinayat yang memuat aturan-aturan yang
mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud
maupun dalan jarimah ta’zir.
4. Mukhassamat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.
5. Al ahkam al-sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala
negara, pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
6. Siyar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan
negara lain.
Dam hukum Islam dibidang mu’amalah tidak dibedakan antara hukum privat ( perdata )
dengan hukum publik, hal ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada hukum
perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya. Dalam
hukum Islam dibidang mu’amalah tidak membedakan dengan tajam antara hukum publik dan
hukum perdata, namun sebenarnya ruang lingkup hukum Islam sangat luas, karena mencakup
berbagai kehidupan masyarakat. Berikut ini ruang lingkup hokum Islam di bidang mu’amalah
adalah sebagai berikut :
1). Hukum Personal / Keluarga
Keluarga adalah kesatuan terkecil dari masyarakat yang anggotanya terikat secara bathiniyah
karena pertalian darah dan pertalian perkawinan. Ikatan itu memberikan kedudukan tertentu
kepada masing-masing anggota keluarga hak dan kewajiban, tanggung jawab bersama serta
saling mengharapkan. Kedudukan keluarga sangat penting dalam ajaran hukum Islam, maka
pembentukkannya harus dilakukannya menurut jalan dan ketentuan yang telah ditetapkan yaitu
melalui perkawinan. Perkawinan adalah suatu lembaga hukum yang mengatur dan mensyahkan
hidup bersama antara pria dan wanita yang diikat dengan akad dan ijab hukum perkawinan.
a. Hukum Perkawinan
Perkawinan termasuk mu’amalat, dan kaidah dasar mu’amalat adalah ibahah. Oleh
karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat kategori hukum Islam ( Komaruddin,
2000:81-82 ) adalah sebagai berikut :
 Ibahah, ja’iz atau kebolehan. Ini bisa berubah atau beralih menjadi sunnah, wajib,
makruh, haram tergantung ilatnya. Ilat yaitu penyebab ada atau tidak adanya ( kaidah )
hukum dimaksud pada suatu benda atau perbuatan.
 Sunnah, dari segi pertumbuhan jasmani keinginan berumah tangga, kesiapan mental dan
siap membiayai kebutuhan rumah tangga telah benar-benar ada pada orang yang
bersangkutan.
 Wajib, jika seseorang telah matang ( sangat berkeinginan ) untuk berumah tangga baik
jasmani maupun rohaninya, mampu membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya
tidak terjerumus dalam perbuatan zina.
 Makruh kalau dilakukan seseorang yang belum siap jasmani maupun mental serta
membiayai rumah tangganya.
 Haram, kalau melanggar larangan-larangan perkawinan atau tidak mampu menghidupi
keluarganya.
b.1. Hukum Waris
Hukum waris adalah ketentuan yang datang dari Allah, manusia tidak berhak mengubah
ketentuan – ketentuan dalam hukum waris Islam, misalnya mengenai siapa saja yang menjadi
ahli waris, dan berapa bagian masing-masing ( Ahmad Azhar Basyir, 2009:63 )
b.2. Ketentuan Para Ahli Waris
Orang yang boleh ( mungkin ) mendapat warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada
25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan yaitu :
b.2.1. Dari Pihak Laki-laki
a. Anak laki-laki
b. Anak laki-laki dari anak laki-laki ( cucu laki-laki ) dari pihak anak laki-laki dan
terus ke bawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
c. Bapak
d. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas, pertaliaan yang belum putus dari pihak
bapak.
e. Saudara laki-laki seibu sebapak
f. Saudara laki-laki sebapak saja.
g. Saudara laki-laki seibu saja.
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu dan sebapak.
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
j. Saudara laki-laki bapak ( paman ) dari pihak bapak yang seibu dan sebapak.
k. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
l. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki ( paman ) yang seibu sebapak.
m. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki ( paman )yang sebapak saja.
n. Suami.
o. Anak laki-laki yang memerdekannya ( mayat ).
Jika 15 orang tersebut ada semua, yang mendapat harta warisan dari mereka itu hanya 3
orang saja, yaitu : (1) Bapak
(2) Anak laki-laki
(3) Suami
b.2.2. Dari Pihak Perempuan
a. Anak perempuan
b. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asalkan
pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
c. Ibu
d. Ibu dari bapak
e. Ibu dari laki-laki terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki
f. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
g. Saudara perempuan yang sebapak.
h. Saudara perempuan yang seibu.
i. Istri.
j. Perempuan yang memerdekannya.
Jika 10 orang di atas ada semua, maka yang mendapat harta warisan dari mereka itu
hanya 4 orang saja, yaitu: (1) Istri
(2) Anak perempuan
(3) Anak perempuan dari anak laki-laki
(4) Ibu

FIQH MU’AMALAH
A. Pengertian Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah tersusun dari dua kata, fiqih dan Muamalah. Lafadz pertama Fiqh secara
etimologi artinya pemahaman, secara terminologi fiqih memiliki banyak definisi dari kalangan
ulama’, akan tetapi dari beberapa pendapat ulama, dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa fiqih
memiliki dua pengertian.

Pertama, dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan bahwa fiqih adalah sebuah
pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at.

‫العلم باألحكام الشرعيّة‬

“Mengetahui hukum-hukum syara’ yang alamiyah”


Definisi ini menggambarkan fiqih adalah sebuah lapangan ilmu pengetahuan yang
kajiannya seputar permasalahan syariat yang bersifat furu’iyah dan berdasarkan atas dalil-
dalil tafsili. Karena merupakan pengetahuan yang digali melalui penalaran dan istidlal oleh
mujtahid atau para ulama’, maka ia dapat menerima perubahan, karena tuntutan ruang dan
waktu.

Kedua, fiqih dari sudut pandang bahwa ia adalah objek kajian pengetahuan, yakni hukum
fiqih itu sendiri, pengertian ini memandang bahwa fiqih adalah suatu rangkaian hukum syariat
yang memiliki dasar atau dalil yang terperinci.

‫مجموعة األحكام المشروعية في اإلسالم‬

“Himpunan hukum-hukum amaliyah yang disyari’atkan dalam Islam”

Dilihat dari objek hukumnya, fiqih terbagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti; Semua ibabah yang berhubungan
langsung dengan Allah, seperti sholat, puasa, dll.
2. Hukum-hukum mu’amalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antar
manusia atau hubungan manusia dan lingkungan sekitarnya baik yang bersifat kepentingan
pribadi maupun kepentingan.
Lafadz yang kedua kata Mu’amalah, arti lughawi ini adalah kepentingan, sedangkan
lafadz Mu’malah memiliki arti hukum syari’ yang mengatur hubungan kepentingan individu
dengan lainnya.

Menurut istilah yang dimaksud mu’amalah adalah bagian fiqih selain ibadah yaitu hukum-
hukum yang mengatur hubungan interpersonal antar manusia.Jadi, fiqih muamalah dapat
diartikan dalam dua pengertian:

1. Fiqih muamalah merupakan sebuah kesatuan hukum dan aturan-aturan tentang hubungan
antar sesama manusia dalam hal kebendaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Fiqih muamalah dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang hukum.
Kesimpulan secara garis besar definisi fiqih muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan
dengan tata cara berhubungan antar sesama manusia, baik hubungan bersifat kebendaan maupun
berbentuk perjanjian perikatan.

B. Ruang Lingkup dan Pembagian Fiqih Mu’amalah

Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan
hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan. Secara
terperinci ruang lingkup dan pembagian fiqih muamalah ini meliputi dua hal;
1. Al-Mu’amalah Al-madiyah,
Adalah aturan yang ditetapkan syara’ terkait dengan objek benda. Maksud aturan ini bahwa
dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya kebendaan, seperti jual-beli, tidak saja ditujukan
untuk mendapatkan keuntungan semata, tetapi juga bagaimana dalam aturan mainnya harus
memenuhi aturan jual-beli yang ditetapkan syara’.

Yang termasuk muamalah ini adalah:

1. Al Ba’i
2. Syirkah
3. Al Mudharabah
4. Rahn
5. Kafalah dan dhaman
6. Utang Piutang
7. Sewa menyewa
8. Hiwalah
9. Sewa Menyewa
10. Upah
11. Syuf’ah
12. Qiradh
13. Ji’alah
14. Ariyah
15. Wadi’ah
16. Musaraqah
17. Muzara’ah dan mukhabarah
18. Pinjam meminjam
19. Riba
20. Dan permasalahan kontemporer
21. Ihyaulmawat
22. Wakalah
1. Al-muamalah Al-Adabiyah
Adalah aturan-aturan syara’ yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup
bermasyarakat. Abdul Wahab Khalaf membagi Fiqih muamalah menurut aspek dan tujuan
masing-masing. Yaitu aspek:

1. Kekeluargaan
2. Sipil
3. Pidana
4. Acara
5. Internasional
6. Ekonomi
HARTA ( AL – MAAL)
1. Pengertian Harta
Secara etimologis, harta = maal (anwal) = condong atau berpaling dari tengah ke salah
satu. Secara terminologis, harta adalah segala sesuatu yang menyenangkan manusia, dan
menjadikannya untuk condong menguasai.
Ulama’ madzhab Hanafi berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang digandrungi
manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan (sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan
dimanfaatkan). Sementara itu menurut jumhur ulama’, harta adalah sesuatu yang mempunyai
nilai dan dapat dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau yang melenyapkan.
2. Pembagian Harta
1. Macam-macam Harta Berdasarkan Kebolehan Memanfaatkan
1) Harta Mutaqawwin; ialah harta yang memiliki manfaat/nilai baik secara ekonomis
maupun secara syar’i
2) Ghairu mutaqawwin; ialah harta yang tidak memiliki nilai secara syar’i meskipun
mungkin secara ekonomis memiliki nilai. Seperti minuman keras.
2. Pembagian Harta Berdasarkan Jenisnya
a. Harta bergerak ( al-maal al-manqul ) yaitu bentuk harta yang dapat dipindahkan
pemiliknya dari satu tempat ke tempat yang lain, misalnya mobil, uang dll.
b. Harta tidak bergerak ( al-maal ghairu al-manqul ) yaitu harta yang tidak bisa
dipindahkan oleh pemiliknya dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya
tanah, bangunan, pabrik dll.
3. Berdasarkan Segi Pemanfaatannya, Harta Dibagi Atas :
a. Harta Isti’mali ialah harta yang pemanfaatannya tidak menghabiskan benda
tersebut. Manfaatnya dapat diambil dan bendanya masih tetap utuh. ( contoh :
rumah, lahan pertanian, buku, dll )
b. Harta Istihlaki ialah harta yang pemanfaatannya menghabiskan harta tersebut (
contoh makanan, sabun, korek api, dan lain-lain )
4. Bedasarkan Ada dan Tidaknya Di Pasaran
a. Harta al-mitsli, ialah harta yang banyak jenisnya di pasaran, harta ini bisa
ditimbang, dihitung atau ditakar seperti gandum, kedelai, beras dan lain-lain.
b. Harta al-Qimi, harta yang tidak ada jenis yang sama di pasaran atau ada jenisnya
tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan
pepohonan, logam mulia dan alat-alat rumah tangga.
5. Berdasarkan Status Harta
a. Al-maal al-mamluk, adalah harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun
badan hukum ( seperti organisasi, negara dan lain-lain )
Jenis harta ini terbagi menjadi 2 yaitu milik berserikat ( milik umum ) dan milik
individu.
b.Al-maal al-mubah, harta yang tidak dimiliki seseorang, seperti hewan buruan,
kayu dihutan belantara, air, ikan dalam lautan, dll
c. Al-maal al mahjur adalah harta yang dilarang syara’ untuk dikuasai individu,
baik karena harta itu harta wakaf maupun harta untuk kepentingan umum.
Seseorang tidak boleh menguasai harta tersebut meskipun diperbolehkan
merasakan manfaatnya.
6. Berdasarkan Bisa Dibagi atau Tidak
a. Harta “bisa dibagi” adalah harta yang apabila dibagi, maka harta tersebut tidak
rusak atau manfaatnya tidak hilang.
b. Harta “tidak bisa dibagi” adalah apabila harta tersebut dibagi akan rusak atau
hilang manfaatnya.
7. Berdasarkan Segi Berkembangtidaknya
a. Al-maal al-ashl, ialah jenis harta yang merupakan pokok bagi kemungkinan
munculnya harta lain, seperti pohon yang menghasilkan buah, rumah yang dapat
disewakan, tanah yang bisa menghasilkan jika ditanami, dll.
b. Al-maal al-tsamr, ialah buah yang dihasilkan dari harta seperti hasil sewa
rumah, buah-buahan dari pohon tertentu, hasil panen, dll.
AKAD
1. Pengertian
Secara lughawi, makna akad adalah perikatan, perjanjian, pertalian, permufakatan.
Sedangkan secara istilahi, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab dan Kabul dari pihak-pihak
yang menyatakan kehendak, -sesuai dengan kehendak syari’at-, yang akan memiliki akibat
hukum terhadap objeknya.
2. Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun
menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari :
· Al-Aqidain ( pihak-pihak yang berakad )
· Objek akad
· Sighat al-aqd ( pernyataan untuk menikatkan diri )
· Tujuan akad.
Berbeda dengan jumhur ulama’, madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad
hanya satu yaitu sighatu al aqd berupa ijab dan kabul.
1. Syarat terbentuknya akad ( al syuruth al-in’iqad ) :
· Pihak yang berakad ( aqidain ), disyaratkan tamyiz dan berbilang.
· Shighat akad ( pernyataan kehendak ); adanya kesesuaian ijab dan Kabul ( munculnya
kesepakatan ) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
· Objek akad; dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan ( benda
yang bernilai dan dimiliki )
· Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’
2. Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah
syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Yaitu :
· Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jika pernyataan
kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa, maka akad dianggap fasid.
· Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat.
· Bebas dari gharar, adalah tidak ada tipuan yang dilakukan oleh para pihak yang
berakad.
· Bebas dari riba.
3. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum; adalah syarat yang diperlukan bagi akad agar
akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya.
4. Syarat mengikat ( al-Syarth al-luzum ); sebuah akad yang sudah memenuhi rukun-
rukunnya dan beberapa macam syarat sebagimana yang dijelaskan di atas.
3. Pembagian Akad
a. Dilihat dari sisi ditentukan nama atau tidak, akad dibedakan menjadi :
1. Akad bernama ( al-aqd al-Musamma ) adalah akad yang tujuan dan namanya sudah
ditentukan oleh pembuat hukum. Tujuan akad bernama ini adalah :
a. Pemindahan hak milik dengan imbalan maupun tanpa imbalan (al-tamlik)
b. Melakukan pekerjaan ( al-amal )
c. Melakukan persekutuan ( al-isytirak )
d. Melakukan pendelegasian ( al-tafwidl )
e. Melakukan penjaminan ( al-tautsiq )
2. Akad tidak bernama, ialah akad yang namanya tidak ditentukan oleh pembuat hukum.
b. Dilihat dari sisi kedudukan akad, dibedakan menjadi dua :
1. Al-aqdal-ashli ( akad pokok ), ialah akad yang keberadaannya tidak tergantung dengan
akad lain. Termasuk dalam jenis ini adalah semua akad yang keberadaannya karena
dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa menyewa, penitipan, dll.
2. Al-aqd al-tabi’I, adalah akad yang keberadaannya tergantung kepada suatu hak yang
menjadi dasar ada dan tidaknya atau syah dan tidaknya akad tersebut. Yang termasuk ke
dalam akad ini adalah akad penanggungan ( al-kafalah ) dan akad gadai. Kedua akad ini
termasuk perjanjian untuk menjamin.
c. Dilihat dari tempo yang berlaku bagi sebuah akad, dibagi menjadi :
1. Al-aqd al-zamani ( akad yang bertempo ); ialah akad yang menjadi unsure waktu sebagai
bagian dari akad tersebut. Yang trmasuk dalam akad ini adalah sewa menyewa, akad
penitipan, akad pinjam meminjam, akad pemberian kuasa, dll.
2. Al-aqd al-fauri ( akad tidak bertempo ); akad dimana unsure waktu bukan merupakan
bagian dari sisi perjanjian. Misalnya jual beli, ia dapat terjadi seketika tanpa harus
mempertimbangkan unsure waktu yang ada di dalamnya.
d. Dilihat dari aspek formalitasnya, akad dibedakan menjadi dua :
1. Akad konsensual ( al-aqd al-Radla’I ); yaitu akad yang terwujud atas kesepakatan para
pihak tanpa ada persyaratan formalitas tertentu.
2. Akad formalistic ( al-aqd al-syakli ); akad yang tunduk dalam syarat-syarat yang
ditentukan oleh pembuat hokum. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka akad ersebut
tidak syah. Contoh : syahnya akad nikah harus terpenuhi formalitas kehadiran pihak-
pihak yang mau menikah dan kesaksian para saksi.
3. Akad riil ( al-aqd al-aini ); adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya
penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum
menimbulkan akad hokum apabila belum dilaksanakan. Ada 5 akad yang masuk dalam
jenis ini, yaitu : hibah, pinjam pakai, peniipan, hutang, akad gadai.
e. Dilihat dari segi dilarang dan tidaknya, akad dibedakan menjadi dua :
1. Akad masyru’; akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada larangan
untuk menutupnya.
2. Akad ghairu masyru’ ( terlarang ); akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat karena
dianggap bertentangan dengan moral Islam dan ketertiban umum.
f. Dilihat dari keabsahannya; dibedakan menjadi :
1. Akad syah, adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana ditentukan
oleh syara’. Akad ini dibedakan menjadi 3 yaitu akad lazim, akad nafidz, dan akad
mauquf.
2. Akad tidak syah, adalah akad yang tidak memnuhi rukun dan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh syara’. Akad ini dibedakan menjadi 2 yaitu akad fasid dan akad bathil.
g. Dilihat dari mengikat dan tidaknya
1. al-aqd al-lazim, ialah akad yang apabila terpenuhi semua syarat dan rukunnya, maka akad
tersebut mengikat terhadap masing-masing pihak. Dan mereka tidak dapat
membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi 2; pertama
akad yang mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, akad sewa menyewa,
perdamaian , dll. Dan kedua, mengikat salah satu pihak tetapi tidak pada yang lain.
Contoh kafalah (penanggungan ) dan gadai (rahn) kedua akad ini mengikat terhadap
penanggung dan penggadai dimana keduanya tidak dapat membatalkannya tanpa
persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai diberikan. Sebaliknya, bagi pihak
terakhir ini, penanggungan dan gadai tidak mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya
secara sepihak.
2. Akad tidak mengikat akad yang masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian
tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi 2, pertama akad yang sifat
aslinya tidak mengikat ( terbuka untuk difasakh ) seperti wakalah, hibah, wadi’ah dll.
Kedua, akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat khiyar.
h. Dilihat dari aspek terlaksananya akad, dibagi menjadi :
1. Akad nafidz, akad yang bebas dari setiap factor yang menyebabkan tidak dapatnya akad
tersebut dilaksanakan. Akad tercipta secara syah dan langsung dapat menimbulkan akibat
hokum.
2. Akad mauquf; akad yang tercipta secara syah tetapi ditangguhkan dan baru dapat
menimbulkan akibat hokum tergantung kepada ratifikasi pihak yang berkepentingan.
RIBA
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai hal ini Allah
SWT mengingatkan dalam firmannya :
ِ َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
‫اط ِل‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil ….” ( QS. An Nisaa’ : 29 )
JENIS-JENIS RIBA
1. RIBA QARDH, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang (muqtaridh).
2. RIBA JAHILIYYAH, utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. RIBA FADHL, pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.
4. RIBA NASI’AH, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan, dengan jenis barang ribawi lainnya, Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.
JENIS BARANG RIBAWI :
Kesimpulan secara umum dari pendapat para ulama’ berkaitan dengan barang ribawi adalah :
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
JUAL BELI ( AL-BAI’ )
A. PENGERTIAN
Ulama’ madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan .
Pengertian ini menekankan pada aspek milik kepemilikan, untuk membedakan dengan
tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan seperti sewa
menyewa. Harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa berupa barang atau
jasa.
B. DASAR HUKUM
Islam memandang jual beli merupakan sarana tolong menolong antar sesame manusia.
Orang yang sedang melakukan transaksi jual beli tidak hanya dilihat sebagai orang yang mencari
keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang sebagai orang yang sedang membantu
saudaranya
Dasar Hukum Jual Beli :
QS. Al Baqoroh : 275
ّ ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫الربَا‬ َّ ‫أ َ َح َّل‬
Artinya : “… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Ayat di atas adalah kelanjutan dari ayat yang mengkrtik praktik ribawi yang dilakukan
masyarakat Arab pada waktu itu. Dalam ayat itu secara eksplisit bahwa jual beli merupakan
sesuatu yang hak danIslam membolehkan.
C. RUKUN JUAL BELI
Madzhab Hanafi menegaskan rukun jual beli hanya 1 yaitu ijab. Jumhur ulama
menetapkan rukun jual beli ada 4, yaitu :
· Orang yang berakad ( penjual dan pembeli )
· Shighat ( lafal ijab dan qabul )
· Barang yang dibeli
· Nilai tukar pengganti.
D. BENTUK-BENTUK JUAL BELI
Jual beli dapat dibagi ke dalam beerapa macam sesuai dengan sudut pandang yang
berbeda. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Jual beli dilihat dari sisi objek dagangan, dibagi menjadi :
a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
b. Jual beli as sharf; yaitu penukaran uang dengan uang seperti penukaran mata uang
asing.
c. Jual beli muqabadlah; yaitu jual beli barter, jual beli dengan menukarkan barang
dengan barang.
2. Jual beli dilihat dari sisi cara standarisasi harga:
a. Jual beli yang memberi peluang bagi calon pembeli untuk menawar barang
dagangan, dan penjual tidak memberikan informasi harga.
b. Jual beli amanah, jual beli di mana penjual memberitahukan harga beli barang
dagangannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba. Jual beli jenis ini
dibagi lagi menjadi 3 jenis :
· Murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
Penjual menjual barang dagangannya dengan menghendaki keutungan yang akan
diperoleh.
· Wadli’ah, yaitu menjual barang dengan harga di bawah modal dan jumlah
kerugian yang diketahui. Penjual dengan alasan tertentu siap menerima kerugian
dari barang yang dia jual.
· Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang yang sesuai dengan
harga beli penjual. Penjual rela tidak mendapatkan keuntungan dari transaksinya.
c. Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan
barang dagangannya, lalu pembeli saling menawar dengan menambah jumlah
pembayaran dari pembeli sebelumnya. Lalu si penjual akan menjual kepada pembeli
yang member harga paling tinggi dan terjadilah transaksi.
d. Jual beli munaqadlah : yakni pembeli menawarkan untuk membeli barang dengan
criteria tertentu lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya. Kemudian
pembeli akan membeli barang dari harga yang termurah.
e. Jual beli muhathah; jual beli barang dimana penjual menawarkan diskon kepada
pembeli. Jual beli jenis ini banyak dilakukan oleh super market/mini market untuk
menarik pembeli.
3. Jual beli dilihat dari sisi cara pembayarannya dibagi menjadi :
a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayarannya secara langsung.
b. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
c. Jual beli dengan pembayaran tertunda.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan
Hukum pidana islam adalah hukum yang memuat peraturan peraturan yang dengan hukuman
berupa siksaan badan. mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggaran yang diancam

Hukum perdata islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahtu allah dan sunah
rosul.

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, sekiranya masih banyak kekurangan oleh
karena itu kami mengharap partisipasinya berupa kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai