Anda di halaman 1dari 16

Implementasi Syariah dalam Peraturan Daerah dalam

Konteks Hukum Nasional

Latar Belakang

Definisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa pada


dasarnya proses pembuatan peraturan perundang-undangan dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Hal lainnya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan menyangkut
dasar politis yang merupakan kebijaksanaan politik menyangkut dengan kebijakan-kebijakan
dan pengarahan ketatalaksanaan suatu pemerintah. Harapannya adalah produk hukum yang
diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuantanpa menimbulkan gejolak di tengah
masyarakat. Harus diketahui bahawa secara sosiologis, hukum disusun dengan mengkaji
realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang. Tujuan kajian sosiologis iniadalah untuk menghindari
terserabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di
masyarakat.
Secara historis, pemberlakuan syariat sebagai sistem hukum di Indonesia sudah
mempunyai landasan sejarah yang kuat, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Tetapi
sesudah penjajah Eropa masuk dan menguasai wilayah Indonesia, maka alur sejarah itu
mereka potong dan hukum syariat mereka hapus. Sebagai penggantinya, mereka paksakan
hukum Eropa yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam. Bahkan bukti-bukti historis
tentang pelaksanaan syariat pun mereka lenyapkan.
Namun pasca reformasi, isu pelaksanaan syariat Islam semakin merebak dibeberapa
daerah di Indonesia. Hal ini seiring semangat otonomi daerah yang memberi peluang setiap
daerah untuk mengatur dirinya sendiri dalam mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri,
baik jumlah, macam, maupun bentuk pelayanan masyarakat yang sesuai kebutuhan daerah
masing-masing.Memandang prinsip otonomi Internal Right Self Determination  yang
mengartikan sebagai hak daerah dalam memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara
mendalam (internal) urusan daerahnya, maka daerah mempunyai kekuasaan untuk mengatur
sendiri urusan rumah tangganya termasuk dalam wewenang membentuk peraturan daerahnya
sesuai dengan UUD pasal 18B yang mengakui pengakuan adanya kekhususan terhadap
daerah, yang menjadi dasar konstitusional dalam berlakunya otonomi daerah. Didahului oleh
Nanggroe Aceh Darussalam yang secara gencar menuntut perwujudan syariat Islam di
daerahnya, yang kemudian disetujui oleh pemerintah pusat. Saat ini, dalam rentang waktu
yang relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Banten, Tasikmalaya,
Pamengkasan, Gorontalo, Ternate, Riau melakukan beberapa penetapan peraturandaerah
bernuansa syariat Islam.
Fenomena ini tak dapat dipungkiri menimbulkan pro dan kontra, bahkan dalam
masyarakat Islam itu sendiri. Kelompok yang pro mengatakan, sudah sewajarnya syariat
Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara, karena umat Islam
adalah mayoritas penduduk Indonesia.Tidak seluruh masyarakat meyetujui pendapat
kelompok pro. Dikarenakan kelompok kontra menyatakan penolakan pemahaman dari
kelompok pertama. Yang mana kelompok pertama hanya memahami syariat Islam dalam
perspektif Fiqih yang telah dikembangkan ulama Islam terdahulu.

Rumusan Masalah

1.   Apa penyebab kata “syariah” dalam peraturan daerah menjadikan pro dan kontra di dalam
masyarakat dan pemerintahan?
2.    Mengapa Implentasi Syariah dalam Peraturan Daerah sulit daterima  masyarakat dan
pemerintah?
3.     Bagaimanamengimplementasikan syariah dalam Peraturan Daerah secara Otonomi?

A.    Pengertian Syariah

Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai
dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu
daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di
Indonesia. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah arti
sempit dan syari'ah arti luas. Syari'ah dalam arti sempit berarti teks-teks wahyu atau
hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedang dalam arti luas adalah teks-
teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak.
Dalam konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam
arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang
dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia.
Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadist, akan
tetapi sudah merupakan pemahaman atau penafsiran dari teks tersebut yang dilakukan
oleh manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam
terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil
ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan Sunnah (syari'ah).
Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum positif atas dasar
kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia
disebut undang-undang. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para
pencinta Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah teks-
teks asli idari Alqur'an atau Hadist yang sebagian besar masih memerlukan penjelasan
dan penafsiran para ulama[1].
Istilah syari'ah ini di Indonesia tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi
suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran
Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari
pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa syari'ah itu
banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang menyangkut
mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi
syari'ah dan lain-lain sebagainya. Tertulis dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 48:
ِ ِ َ‫ك الْ ِكتَاب بِاحْل ِّق مص ِّدقًالِّما بنْي َ ي َديِْه ِمن الْ ِكت‬
ْ َ‫اب َو ُم َهْيمنًا َعلَْي ِه ف‬
‫اح ُك ْم َبْيَن ُه ْم‬  ‫ص لى‬
َ ‫َوأَْنَزلْنَا إِلَْي‬
َ َ َ َ َُ َ َ
ً‫اللهص لى َواَل َتتَّبِ ْع أ َْه َوآءَ ُه ْم َع َّما َج آءَ َك ِم َن احْلَِّقجلِ ُك ِّل َج َع ْلنَ ا ِمْن ُك ْم ِش ْر َعة‬ ُ ‫َ ا أَْن َز َل‬
‫مِب‬
‫اس تَبِ ُقوا‬ ِ ِ ِ
ْ ‫اجا َولَ ْو َش آءَ اهللُ جَلَ َعلَ ُك ْم أ َُّمةً َواح َد ًة َولَك ْن لِّيَْبلُ َو ُك ْم يِف َمآءَاتَا ُك ْم َف‬ ً ‫َومْن َه‬
‫صلى‬ ‫ج‬

)48( ‫اهلل َم ْر ِجعُ ُك ْم مَجِ ْي ًعا َفُينَبِّئُ ُك ْم مِب َا ُكْنتُ ْم فِْي ِه خَت ْتَلِ ُف ْو َن‬
ِ ‫إِىَل‬ ‫اخْل يراتِج‬
َ َْ
Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dengan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
jadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu beritahukan-Nya kepada kamu yang telah kamu perselisihkan itu.
Pemahaman fikih menjadi kunci dalam menjabarkan implementasi syariah dalam
kehidupan bermasyarakat. Tujuan akhir disyariatkannya Islam untuk mencapai kehidupan
manusia yang bermaslahat dan berkeadilan[2]. Namun demikian, memahami syariah sebagai
produk hukumhakikatnya adalah memahaminya sebagai produk politik, sehingga karakter
substansi produk hukum sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Bercabangnya mazhab jurisprudensi dalam syariah Islam sendiri juga tidak terlepas dari
konteks politik yang melatarbelakanginya.
Umat teruslah berkembang untuk menjadi lebih ojketif dengan berjalannya waktu yang
tak lepas dari kepentingan kekuasaan. Tak bisa dipungkiri bahwa hukum menjadi bukti dalam
cara berkuasa memperlakukan rakyatnya. Berbagai aliran politik sangat berperaran dalam
merumuskan produk hukum sesuai dengan ketentuan masing-masing. Hal ini yang kemudian
menjadi pengaruh karakter pemikiran hukum Islam yang menjadi dasar dalam perumusan
syariah dalam masyarakat. Maka dalam menganalisis implementasi syarian dalam peraturan
daerah harus memerluakan wawasan yang luas dalammengartikannya, meninjau dari segi
hukum nasional yang beraku serta keselarasan syariah dalam norma dan etika. Hal ini
sangatlah penting sekali untuk melihat dimana posisi syariah Islam dalam kontitusi hukum
apalagi dikonteks otonomi daerah.
Meskipun otonomidiartikan secara harfiah sebagai bentukindependensi, namun harus
dilakukansecara bertanggungjawab kepada pusat.Apalagi agama merupakan enam
urusanyang menjadi domain negara danbukanlah milik daerah sehingga sangatlahmenarik
melihat dinamika syariah dalamhukum nasional maupun hukum lokal.Namun menjadi
masalah apabila, syariahjustru menjadi alat penguasa daerah yangtentunya sudah menjadi
distorsi dalamimplementasi syariah.

B.     Prinsip Otonomi Daerah

Sistem pemerintahan negara dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu, organisasi
sistem pemerintahan negara dalam garis horisontal dan sistem pemerintahan negara vertikal.
Sistem pemerintahan horisontal adalah organisasi sistem dalam konsep pembagian kekuasaan
antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Organisasi pemerintahan dalam garis
vertikal bertitik tolak dari bangunan negara, khususnya bangunan negara serikat dan
bangunan negara kesatuan[3]. Dalam negara kesatuan dikenal dengan adanya pemerintahan
yang lebih rendah dan pemerintahan pusat. Dan pemerintahan yang rendah itu disebut dengan
pemerintahan daerah.
Pemerintahan Daerah di Indonesia menggunakan sistem desentralisasi. Asas
desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan urusan pemerintahan pusat kepada
pemerintah daerah yang diatur dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 5. Sebagai daerah otonom,
daerah tersebut memiliki sifat internal right self determination yaitu hakdaerah dalam
memutuskan nasibnya sendiri dan mengurus secara internal urusan di daerahnya. Perintahan
Daerah diberi batasan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang berisi penyelengaraan
urusan pemerintah oleh pemerintahan daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI.
Hubungan fungsi pemerintah daerah dilakukan melalui sistem otonomi yang meliputi
desentralisasi, deskontrasi dan tugas pembantuan dengan hubungan yang bersifat koordinatif
administratif. Namun fungsi dan peran pemerintahan provinsi juga mengemban pada
pemerintahan pusat sebagaiwakil pemerintahan pusat di daerah.
Sistem rumah tangga formal membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab antara
pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak
ditetapkan secara rinci, sistem ini berakarkan tolak pada prinsip bahwa tidak ada perbedaan
sifat antara urusan yang diselenggarakan pusat dan yang diselenggarakan oleh
daerah[4].Walaupun sistem ini terkesan memberikan desentralisasi yang kuat dan kuatnya
susunan otonomi, akan tetapi karena sangat tergantung pada kapasitas sumber daya di daerah
memberikan ketidakpastian urusan rumah tangga daerah, rendahnya inisiatif daerah, dan
bahkan dapat mendukung kecenderungan sentralisasi.
Dalam pengaturan sistem hukum pemerintahan daerah di Indonesia terdapat dasar
hukum UUD 1945,yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah. Ketentuan dalam
UUD 1945 Pasal 18 ayat 5 memberikan otonomi seluasnya, kecuali urusan pemerintahan
pusat. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintahan
yang penanganannya dalam bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah. Dengan kata lain, pusat tetap memiliki kewenangan selain
hal yang ditentukan sebagai ursan pemerintah daerah.

C.    Sejarah Syariah Islam dalam Hukum Indonesia

Secara historis, pemberlakuan syariat sebagai sistem hukum di Indonesia sudah


mempunyai landasan sejarah yang kuat, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia pada abad 1
hijriah dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, maka yang berlaku sebagai hukum nasional
pada waktu itu adalah hukum syariah. Sedangkan sistem peradilan yang dipakai adalah juga
sistem peradilan islam. Hal ini tidak hanya sebatas kasus-kasus perdata, tetapi juga
menyangkut masalh-masalh pidana. Jadi hukum yang berlaku dalam wilayah kerajaan Pasai
di Sumatera, kerajaan Banten, Cirebon, Mataram, Kutai, Makassar, Ternate, Tidore adalah
hukum syariah. Sedangkan penerapan hukum islam pada masa penjajahan Belanda terhadap
kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang di Hindia
Timur. Tetapi sesudah penjajah Eropa tersebut masuk dan menguasai wilayah-wilayah
Indonesia, maka alur sejarah itu mereka potong dan hukum syariat mereka hapus walaupun
Belanda sempat menerbitkan peraturan Resolutie der Indische Regeering yang mana dalam
perarturan tersebut Belanda hanya mengakui berlakunya hukum Islam dalam bidang
kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja[5]. Dan Sebagai penggantinya, mereka
paksakan hukum Eropa yang sangat bertentangan dengan kaidah Islam. Bahkan bukti-bukti
historis tetang pelaksanaan syariat pun mereka lenyapkan.
Pada masa Orde Lama hukum Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan dikatakan pada masa itu hukum Islam
berada pada masa yang suram[6]. Namun menyusulnya gagasannya kudeta PKI pada 1965 dan
berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan
besar dalam upaya politik mereka mendudukan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan
politik maupun hukum di Indonesia.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU No. 14 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan. Dan secara perlahan pada era reformasi hukum
Islam mulai menepati posisinya. Lahirlah Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam.
          Semenjak munculnya Orde Reformasi pasca tumbangnya Orde Lama kebijakan
pemerintah tentang asas tunggal berubah dan pelaksanaan syariat Islam semakin merebak di
beberapa daerah[7] yang memberi peluang setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri.
Organisasi-organisasi mendapat angin segar untuk bernafas. Seirama dengan bertiupnya
angin segar di bawah bendera reformasi, muncul pula keinginan bagi kalangan yang peduli
pada komitmen keislaman agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural.
Untuk mencapai hal ini mereka harus memulai dengan melalui politik kekuasaan seperti
mendirikan partai Islam.

D.    Pengertian Peraturan Daerah Syariah

Peraturan daerah (perda) merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang muncul


bersamaan dengan munculnya era otonomi daerah ketika reformasi konsep desentralisasi
pemerintahan sangat terlihat ketika munculnya UU nomor 22 Thn 1999 tentang Pemeritahan
Daerah yang isinya mengatur tentang pengakuan Peraturan Daerah sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam UU no 12 Thn 2011 menyatakan bahwa
Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan daerah, sehingga setiap daerah bersaing dalam
membuat peraturan daerah sesuai dengan keunikan daerahnya masing-masing. Salah satu
contohnya adalah pembentukan Peraturan Daerah Syariah agar menjadi keunikan tersendiri.
Seharusnya Peraturan Daerah Syariah diartikan secara luas yang dimana peraturan
tersebut tidak memandang pada satu agama saja (Islam). Sebenarnya Peraturan Daerah
tersebut dibentuk untuk menambahkan hukum positif di Indonesia. Arti dalam Perda Syariah
bisa menyesatkan atau misleading karena menimbulkan pemahaman seolah-olah Peraturan
Daerah tersebut adalah syariah Islam. Sesungguhnya hal ini dibedakan, Peraturan Daerah
merupakan bagian dari perundang-undangan Negara sedangkan syariah adalah ajaran
(hukum) agama.[8]
Implementasi syariah dalam Peraturan Daerah pada daerah otonom bukan salah satu
bentuk pelanggaran, karena peraturan-peraturan di Indonesia mengandung nilai-nilai agama.
Sebagai bukti dasar Negara Indonesia adalah pancasila pada sila pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa” menunjukan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
negara. Maka, peratuaran yang berbasis syariah tidak hanya membangun kesadaran
masyarakat untuk mematuhi peraturan Negara tetapi juga meningkatkan kesadaran dalam hati
nurani manusia untuk mematuhi aturan berdasarkan kesadaran nilai-nilai agama.
Peraturan daerah syariah perlu dipahami tidak dapat diimplementasikan dengan mudah.
Tentunya kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra dalam lingkup pemerintah maupun
masyarakat awam.
Pasal 10 undang-undang pemerintah daerah menyatakan urusan pemerintah yang
menjadi urusan pemerintahaan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan
yutisi, moneter, dan fiskal nasional dan agama berarti Pemerintahan Daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur masalah agama karena Pengarturan Agama hanya menjadi
kewenangan pemerintah pusat[9]. Selain pernyatan dalam pasal 10 Undang-Undang
Pemerintah Daerah yang menjadi alasan ketidak setujuan sebagian masyarakat dan
pemerintah adalah Peraturan Daerah Syariah yang mengandung sifat intoleransi yang dimana
tidak memberikan toleransi terhadap agama-agama lain selain Islam
Dan apabila dilihat dari segi agama di Indonesia, maka implementasi syariah dalam
Peraturan Daerah menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak warga Negara yang lain
karena di Indonesia terdapat enam agama yang diakui yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Budha dan Kong Hu Cu. Yang dikhawatirkan akan melanggar hak-hak masyarakat lain yang
menganut agama tertentu. Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mangamanatkan bahwa
Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk serta beribadah sesuai agama
masing-masing. Dengan demikian, jika implementasi peraturan daerah diterapkan,
merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah diamanatkan dalam UUD 1945.

E.     Sistem Hukum Nasional

Hukum adalah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem yang saling
berkaitan. Sistem adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen-komponen
yang saling berhubungan, dan sama- sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai
tujuan tertentu, diantara komponen itu adayang mempunyai fungsi terhadap yang lain [10].
Hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan yang masing-masing berdiri
sendiri. Arti dalam peraturan hukum karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan
hukum lain. Jadi hukum merupakan suatu sistem yang berarti hukum merupakan
tatanan,merupakan suatu kesatuan yang utuh terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang saling
berkaitan satu sama lainnya.
Sistem hukum adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang saling
berhubungan dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan
hukum.  Menurut pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum menjadi
tiga komponen,yaitu struktur, substansi dan kultur. Struktur adalahsalah satu yang menjadi
bagian dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. Struktur sebuah sistemadalah kerangka
badannya, ialah bentuk permanen yang menjaga agar proses-proses mengalir dalam batas-
batasnya[11]. Struktur dan substansi adalah komponen-komponen rill dari sebuah sistem
hukum, tetapi semua hanyalah sebuah rancangan, bukan sebuah mesin yang sedang bekerja.
Yang memberinyawa dan realitas terhadap sistem hukum adalah dunia eksternal yang disebut
dengan kultur. Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial yang menjadi kekuatan-
kekuatan sosial yang menggerakkan sistem hukum.
Sistem hukum tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan dan sama-
sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan hukum tertentu. Maka sistem
hukum nasional merupakan susunan sejumlah komponen hukum yang saling berhubungan
untuk mencapai tujuan hukum nasional. Hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu
wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945[12].  Urutan hukum nasional itu bersumber
dari Pancasila berlandaskan UUD 1945 dan terdiri dari Peraturan-peraturan perundang-
undangan, lalu Yuruspudensi, dan Hukum Kebiasaan.

F.     Posisi Peraturan Daerah Syariah di Indonesia

Secara keseluruhan, perda syariah dalam tulisan ini dikonsepsikan sebagai perda
dilematis antara masalah pribumisasi dan formalisasi. Perda syariah sebagai lex
specialist yang mengatur moral dan etika tidak biasa begitu saja menabrak lex
generalist  berupa produk hukum tertinggi. Hal inilah yang menjadikan posisi syariah dalam
desain makro hukum nasional mengalami ambiguitas. Maka tidaklah mengagetkan kalau
perda syariah masih menjadi perdebatan di banyak kalangan ahli hukum maupun pemangku
kebijakan itu sendiri. Secara tegas dalam sudut pandang legal formal, perda syariah sendiri
sejatinya tidak dikenal dalam hukum positif. Dalam tatanan hukum positif, penggunaan
istilah Peraturan Daerah itu sendiri akan memunculkan pengertian seakan-akan Peraturan
Daerah tersebut adalah syariah Islam. Dalam ayat (5) UUD 1945 disebutkan bahwa
pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dan dalam UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2004 tetang Pembentukan Perundang-
undangan, juga tidak mengenal istilah Peraturan Daerah Syariah, melainkan hanya Peraturan
Daerah dan dapat dikatakan bahwa materi Peraturan Daerahsudah menampung kondisi
khusus daerah tertentu atau ciri khas masing-masing daerah. Dari situlah diketahui bahwa
syariah islam telah melebur dan dipribumisasikan dalam Peraturan Daerah tersebut.
Secara garis besar otonomi daerah yang dijalankan di Indonesia sebagaimana yang
diundang-undangkan dalam UU Pemerintahan Daerah yakni UU No. 32 Tahun 2004
menganut prinsipotonomi daerah yang sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya. Namun makna
bebas dan luas sendiri perlu dimaknai dalam koridor hukum yang bertanggungjawab. Tidak
terlepas dari pembahasan tetang sistem hukum kita tidak dapat menempatkan hukum sebagai
sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistem yang saling berkaitan. Menurut
Djuhaendah Hasan hukum adalah suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang
saling berhubungan dan sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan
hukum. Sehingga dalam pembangunan hukum perlu keutuhan sistem hukum yang bukan
hanya berintikan materi hukum saja, namun juga seluruh komponen hukum (materi hukum,
budaya hukum, lembaga dan aparatur hukum sarana dan prasarana hukum). Yang mana
komponen tersebut akan memberikan nyawa dan realitas pada sistem hukum adalah dunia
eksternal yang selanjutnya dapat disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum ini adalah
elemen sikap dan nilai sosial yang menjadi kekuatan-kekutan sosial yang menggerakan
sistem hukum.
Adapun dalam pembuatan Peraturan Daerah itu sendiri, Pemerintah Daerah mesti
merujuk atau menginduk kepada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004
TENTANG Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dimana Peraturan Daerah
harus menimbang substansi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Presiden sebagai acuan dalam merumuskan undang-undang nasional.

G.    Dampak adanya Peraturan Daerah Otonomi

Negara Indonesia telah mengalami kemerdekaan kurang lebih 60 tahun, dan daerah
oonomi pun berkembang dengan seiiringnya negara ini berkembang. Pada masa orde lama
otonomi daerah belum sepenuhnya dilakukan, karena pemimpin itu sendiri lebih cenderung
bersifat otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan kepemerintahannya. Pada masa orde
baru dimulailah dengan demokrasi pancasila, dan sifatnya juga masih bersifat otoriter dan
sentralistis. Selain pada kedua itu masa tersebut masih banyak terjadi sebuah persengketaan
kebijakan yang terkait denga daerah otonom itu sendiri. Dari situ kita belum dapat
mengetahui dampak dan pengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut.
Pada masa reformsi, tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar
sehingga pemerintah secara serius pula menyusun kembali Undang-Undang yang mengatur
otonomi daerah  pada Undang-Undang No.22 Thn 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dan
akhirnya secara resmi berlaku pada tanggal 1 Januari tahun 2001, pada masa presiden
Abdurrachman Wachid. setelah empat tahun berjalan mulailah terlihat dampak pada
pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dimana adanya perbedaan pandangan dalam
masyarakat tentang pelaksanaan daerah otonomi tersebut. Dalam satu sisi ada masyarakat
yang pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah. Dan ada juga
masyarakat yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena
kabijakan cukup inspiratif dan didukung oleh hampir seluruh daerah.
Rasa Antusiasme dan tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut yang
mendorong setiap derah secara ekonomis dan politisi  dalam memiliki pelaksanaan otonomi
daerah masing-masing.  Bagi masyarakat yang dipengaruhioleh euforia yang menganggap
otonomi daerah adalah kebebasan tanpa batas dalam melaksanakan pemerintah sesuai dengan
harapan dan dambaan.  Harapan yang besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah
mengakibatkan daerah saling berlomba-lomba untuk menaikkan pendapat asli daerah (PAD).
Selan dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut, juga terdapat dampak
positif yang memberi harapan keberhasilan pada otonomi daerah. Seluruh komponen dalam
masyarakat maupun pemerintahan diharapkan mengembangkan kreativitasnya dan dapat
melakukan inovasi diberbagai bidang. Yang mana pengembangan dan inovasi dalam bidang
bidang tersebut yang mengacu pada pertumbuhan demokratisasi dalam kehidupan
masyarakat, memacu kompetensi yang sehat, pendestribusian kekuasaan sesuai dengan
kompetensi.
Selain itu juga, perubahan budaya juga menjadi akibat pelaksanaan Otonomi di
Indonesia. Otonomi daerah telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat.
Pengertian budaya itu sendiri adalah kompleks yaitu yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan
manusia sebagi anggota masyarakat melalui proses balajar [13]. Sejalan dengan keinginan
pemerintahan yang ingin melaksanakan otonomi daerah, maka terjadilah perubahan
paradigma:

1.      Paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi


Dampak positif diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan
kesatuan Negara Indonesia, karena dapat menerapkan kebijakna kebebasan pada daerah yang
ingin memisahkan diri dari negara Indonesia. Sedangkan disatu sisi otonomi daerah
berpontensi menyulutkan konflik antar daerah satu dengan yang lain.
2.      Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
3.      Paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai objek pembangunan ke masyarakat yang
menjadi subjek pembangunan
4.      Paradigma dari otonomi yang nyata dan bertanggung jawab ke otonomi yang luas.
5.      Paradigma dari organisasi yang tidak efisien ke organisasi yang efisien

Perubahan paradgma ini yang juga diikuti dengan perubahan budaya dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasitelah menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintahan daerah yang sudah
terbiasa menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintahan pusat. Dan
setiap otonomi daerah diminta unuk lebih kreatif, inovatif, dan berkualitas dalam
melaksanakan peraturan peraturan tanpa harus menerima peraturan terlebih dahulu dari
pemerintah pusat. Hal tersebut yang membuat pemerintah harus melibatkan masyarakat demi
memajukan daerah otonominya. Dan dari sini pemerintah dan masyarakat mulai belajar
dalam menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas ini meningkatkan kualitas
pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah.
Iklim keterbukaan yang mewarnai otonomi daerah telah membawa perubahan perilaku
masyarakat yang semula tidak diberi kesempatan untuk mengetahui dan berperan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kemudian diberi kesempatan untuk
terlibat dalam program pembangunan. Masyarakat yang masih awam dengan penerapan
sistem demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintah juga yang harus
bertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka.
Otonomi daerah yang bertujuan untuk pengelola daerah atas pemerintahan sendiri
dalam berbagai bidang mulai menampak perubahan. Perilaku masyarakat yang terkait dengan
penggalian dan pengembangan potensi ekonomi juga melahirkan sikap dan kultul
berkreasi  dan berinovasi untuk menciptakan hal hal baru. Dalam upaya meningkatkan daya
saing di beberapa daerah, setiap daerah harus memperhatikan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, kultur dan pimpinan/pemegang kebijakan. Apabila tidak diperhatikan
maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat antara kelompok masyarakat di daerah
tersebut. Tak jarang antar daerah merebutkan lahan atau sumberdaya yang menjadi sumber
ekonomi.

H.    Dampak Penerapan Peraturan Daerah bernuansa Syariah

a.       Dampak Politik

Saat nasional di Indonesia dipandang sulit, kelompok-kelompok muslim memulai untuk


melakukan progarm islamisasi pada tingkat Pemerintahan Daerah. Hasilnya adalah
munculnya peraturan daerah yang bernuansa syariah di Indonesia. Dan hal tersebut
menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia sedang dalam perubahan konstitusi dan
ideologi dari sekuler menjadi islamisasi.
Hakekatnya, di beberapa daerah pemberlakuan Peraturan daerah berbasis syariah
cenderung menjadi alat politik untuk kepentingan kekuasaan. Pasca desentralisasi di
Indonesia, maka para politikus daerah secara tidak langsung dituntut untuk mencari sumber
keuangan alternatif guna membayari kegiatan politik. Karena telah tertulis UU tentang
otonomi khusus dan pemerintah daerah dimanfaatkan oleh beberapa pelaku politik untuk
menekankan kewajiban pembayaran zakat guna untuk menututupi kekurangan dana politik
yang jauh lebih besar[14].

b.      Dampak Sosial

Selain permasalahn zakat, hampir seluruh daerah yang menerapkan Peraturan Daerah
Syariah menuai kritik dan berbagai pihak menyangkut permasalahan Hak Asasi Manusia dan
keadilan gender.
Permasalah HAM dan perlindungan terhadap perempuan juga banyak terjadi pasca
penerapan Perda bernuansa Syariah.  Beberapa organisasi dan aktivis menemukan bahwa
Perda mengakibatkan kelompok perempuan kembali menjadi kelompok marjinal,
didsriminasi, dan menjadi korban kekesaran atas nama agama[15].
Para kritikus juga menyorot permasalahan pewajiban pemakaian jilbab. Meskipun
cakupan pewajiban pemakaian jilbab berbeda dari satu daerah dengan lainnya. Sebagian
daerah mewajibkan pemakaian jilbab hanya terbatas pada Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sebagian lainnya mewajibkan seluruh perempuan penganut agama Islam untuk
mengenakannya. Meskipun lingkup pemakaiannya berbeda, namun seluruh Perda tidak
mewajibkan non-mulism untuk memakai jilbab. Sebuah survey menemukan bahwa
manyoritas perempuan muslim yang berada di daerahyang mengimplementasikan Perda pada
prinsipnya tidak keberatan dengankewajiban tersebut bahkan dengan suka rela melaksanakan
aturan berpakaian muslim[16].
Namun untuk hal yang seperti itu sungguh sangat memberatkan bagi peremouan non-
muslim, aturan tersebut memberatkan mereka karena pemerintah mewajibkan untuk
mengenakan pakaian muslimah di gedung-gedung pemerintahan, termasuk sekolah. Sebagai
siswa dan perempuan yang beragama non-muslim mendapatkan perlakuan diskrimanitif dan
tidak mendapatkan layanan yang baik atau layak dari pihak yang bersangkutan akibat dari
permasalahan pakaian tersebut.
Peraturan daerah yang seperti itu juga dipandang mengganggu kerukunan antarumat
beragama. Pengesahan perda membuat masyarakat tertentu euforian untuk menciptakan
kelompok-kelompok pendukung pelaksanaan syariah. Masyarakat yang setuju akan merasa
nyaman tentang yang peraturan yang berlaku, namun bagi masyarakat yang tidak setuju atau
memiliki keyakinan berbeda akan selalu merasa tidak nyaman karena ha tersebut bukan
berasal dari ajaran agama mereka[17]. Peraturan Daerah yang seperti itu mengkibatkan
pandangan keagamaan masyarakat menjadi kaku dan menyatu. Merak khawatir hanya karena
perbedaan padangan yang berbeda maka mereka akan dituduh menyimpang dari ajaran Islam
kemudian berdampak pada kekerasan fisik.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara nasional, masyarakat Indonesiamenyadari
rumitnya hubungan Syari’at Islam dan pemerintahan. Karenanya,daripada mendukung
program-program nasional yang berhubungan dengan SyariatIslam, masyarakat Indonesia
lebih memilih untuk memberikan pilihan dan dukungankepada program-program
pemerintahan yang berhubungan langsung denganekonomi, keamanaan, peningkatan
kehidupan sosial dan kesejahteraan. Sehingga,preferensi politik manyoritas masyarakat
Indonesia cenderung nasionalis denganmemilih Presiden dari latar belakang yang nasionalis
namun masih mewakiligambaran keislaman masyarakat Indonesia. Walau demikian,
sepertinya dengan trenpolitik nasional dan respon masyoritas Indonesia terhadap terhadap
perkembanganPerda bernuansa Syari’at bahwa peneraparan Syari’at dalam kontek etnisitas
tertentujuga merupakan bagian dari perkembangan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Kesimpulan

Peraturan Daerah yang berbasis syariah adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah
dalam daerah otonomi tertentu yang bermuata nilai atau norma Islam yang berlaku pada suatu
daerah. Tujuannya adalah untuk mencapai kehidupan manusia yang bermashlahat dan
berkeadilan, dimana pemerintahan Indonesia menggunakan asas desentalisasi yang diatur
dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 5. Pasal tersebut beisikan tentang mennyerahkan daerah
kekuasaan pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Dimana pemerinyah memiliki
sifat internal right self determination yaitu hak daerah dalam memutuskan nasibnya sendiri
dan menngurus daerah secara internal.
Ketika setiap daerah mendapatkan kewenangan dalam mengatur daerah sendiri, maka
dari itu setiap daerah berlomba-lomba dalam membentuk suatu pemerintahan yang unik dan
memiliki kekhususan masing-masing sehingga muncul peraturan daerah syariah dalam
otonomi daerah. Sebenarnya peraturan daerah tersebut dibentuk untuk menambah hukum
positif di Indonesia. Namun hal ini menjadi pro dan kontra dalam masyarakat dan
pemerintahan. Dikarenakan perbendaan pengertian dalam peraturan daerah berbasis syariah
atau bisa disebut dengan misleading.
Implementasi syariah dalam Peratura Daerah pada daerah otonom bukan salah satu
bentuk pelanggaran, sehingga mengimplementasikan peraturan Daerah Syariah tidak mudah
diterima dalam masyarakat dan pemerintahan.
Peraturan Daerah di Indonesia dikonsepsikan sebagai peraturan daerah dilematis antara
masalah pribumisasi dan formalisasi, dimana Peraturan Daeah sebagai lex Specialist yang
hanya mengatur moral dan etika yang tidak biasa begitu saja menabrak lex Generalist berupa
produk hukum tertinggi yang menjadikan Syariah dalam desain makro hukum mengalami
posisi ambiguitas. Dan tidak mengagetkan kalau Peraturan Daerah berbasis Syariah yang
menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum. Dalam UU No.32 Thn 2004 tentang pemerintah
daerah tidak mengenal istilah Peraturan Daerah berbasis Syariah, melainkan hanya peraturan
daerah dan dapat dikatakan bahwa materi peraturan daerah sudah menampung kondisi khusus
daerah tertentu atau ciri khas masing-masing daerah. Dan setelah diketahui bahwa Syariah
Islam telah melebur dan dipribumisasikan dalam Peraturan Daerah tersebut. Dalam
melakukan implementasi syariah pada Peraturan Daerah maka menimbulkan dampak dalam
masyarakat di Indonesia.
Dampak positif dalalm mengimplementasikan syariah dalam Peraturan Daerah adalah
meningkatkan sikap toleransi masyarakat terhadap sesame manusia, mencegah tindakan
asusila dalam masyarakat, menigkat moral dan etika yang semakin tahun mulai menghilang
dalam masyarakat. Namun dalam hal ini juga meliputi dampak negative dalam masyarakat
yaitu membatasi hak asasi manusia yang beragama Non-Muslim, memang bisa diakui bahwa
syariah yang diterapkan dalam masyarakat cenderung merujuk dalam ajaran islam.
Contohnya saja adalah daerah Cianjur yang mewajibkan pada pegawai PNS untuk
mnggunakan pakaian muslim dan bagi wanita menggunakan jilbab di hari Jum’at. Hal ini
bagi non-Muslim, peraturan tersebut membuat mereka kurang nyaman. Jadi solusi untuk
menerapkan syariah dalam peratuan daerah adalah dengan memikirkan sebab dan akibat yang
akan timbul setelah peratuan itu dilaksanakan.
Di Indonesia memang mayoritas masyarakat adalah muslim atau beragama Islam,
namun sebagian dalam masyarakat di Indonesia beragama non-Muslim. Sehingga dalam
menerapkan Peraturan Daerah yang berbasis syariah harus memperhatikan keadaan dan
situasi non-muslim dengan sikap toleran dan menghormati tanpa harus ada pembatasan Hak
Asasi pada masyarakat non-Muslim. Karena di Indonesia mengakui adanya enam agama
yang telah tertulis dalam UUD 1945 dan Pancasila yaitu agama Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Bisa jadi untuk embuat Peraturan Daerah yang dimana bisa
diterima diseluruh agama di Indonesia dengan berbasis syariah seperti “ pencegahan tindakan
asusila atau melarang adanya tempat prostitusi atau pencegahan peredaran minuman keras
dan narkoba” tanpa harus menyinggung agama lain dan dapat diterima dalam kalangan
Indonesia.

    Saran

Kita adalah warga negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, bersemboyankan pula “Bhinneka Tunggal Ika”. Masyarakat Indonesia menganut
enam agama yang diakui. Kita sebagai masyarakat berkewajiban untuk menghormati sesama
masyarakat walaupun berbeda keyakinan. Selain itu, kewajiban kita sebagai masyarakat
bernegara adalah mematuhi peraturan yang berlaku di Negara tersebut.
Perturan tersusun untuk ditaati dan dilaksanakan. Namun dalam penyususunan
peraturan tersebut harus disimpulkan dan dipikirkan dampak yang terjadi setelah peraturan
tersebut dilaksanakan, dan memberikan solusi untuk masyarakat yang kurang bisa menerima
peraturan tersebut. Pemerintah adalah wakil yang dipilih masyarakat dalam memimpin
daerahnya. Dan seharusnya memahami akan situasi masyarakat yang ada didalamnya. Ketika
pemerintahan menerapkan Peraturan Daerah yang berbasis Syariah, maka pemerintah harus
bisa memahamkan dan peraturan tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Peraturan dibentuk
untuk menciptakan kesajahteraan, keamanan, ketemtraman dalam kehidupannya di
masyarakat. Bukan untuk menimbulkan persengketaan ataupun perselisihan antara
masyarakat. Boleh mengimplementasikan Peraturan Daerah dengan Syariah namun peraturan
tersebut bersifat netral yakni dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Contohnya
mungkin dalam pelarangan penjualan Minuman Keras dan Narkotika, atau mungkin
pelarangan dalam penindakan asusila. Sehinggat tidak terjadi pro dan kontra dalam
mengimplementasikan Peraturan Daerah dalam Syariah.

[1]http://journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/view/95

[2]Miftahul Huda, “Manhaj Fikih Islam Kultural (Eksplorasi, Kritik, dan Rekonstruksi)”,
dalam Al-Manahij, volume VI No. 1 tahun 2012, hlm 33-40.

[3] B. Hestu Cipto Handoyo, hukum Tata Negara Indonesia ( Yogyakarta, Univ Atma Jaya
Yogjakarta) hal. 127
[4] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah (Bandung : Penerbit Nusa Media 2009)
hal. 86

[5] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan.
(jakarta:Globalmedia, 2004). 

[6] Warkum Sumitro, perkembangan Hukum Islam di tengah dinamika sosial politik di


Indonesia. (malang: Bayumedia, 2005). 

[7] Daud Rasyid DKK, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan.
(jakarta:Globalmedia, 2004). 

[8]A.M. Fatwa, Perda Syari’ah dan Pluralisme Hukum di Indonesia, dikutip


dari http://hukum.kompasiana.com/2012/07/11/perda-syariah-dan-pluralisme-hukum-di-
indonesia-470678.html,  tanggal 11 Juli 2012

[9] Diskusi Abdul Mun’im, Rumadi, dkk, Perda Syariat Dalam Bingkai Negara


Bangsa, tanggal 11 Agustus 2006, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 20 Tahun 2006, Hlm. 47

[10] Rudi M Rizky,  Refleksi Dinamika Hukum : Rangakaian Pemikiran dalam Dekade


Terakhir, Perum percetakan Negara RI,Jakarta 2008, hal. 76

[11] LawrenceM. Friedman,theLegal System,  :  A Social Science Perspective, Russel Sage


Foundation, New York1975,diterjemahkan oleh M Khozim, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu
Sosial, Nusa Media, Bandung 2009, Hal. 16

[12]  Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,Alumni,


Bandung, 1991, hal. 64.

[13] E.B Tylor, Budaya Indonesia tahun 1969 hal 55.

[14]Robin Bush, “Regional ‘Sharia’ Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom?,”


in Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, ed. Greg Fealy & Sally White
(Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2008), 184.
[15]Salim, “Perda Berbasis Agama Dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM”;
DewiCandranigrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Syari’at
Ordinances (PerdaSyari'ah),” Al-Jamiah 45, no. 2 (2007): 289–320.

[16]Al, Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at Terhadap Kebebasan Sipil, Hak- Hak
Perempuan, Dan Non-Muslim, 182.

[17]Salim, “Perda Berbasis Agama Dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM”;


Al,Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak
Perempuan,Dan Non-Muslim, 69, 186.

Anda mungkin juga menyukai