Anda di halaman 1dari 13

1.

Fikih Mu’amalah dan Prinsip-Prinsip Dasarnya

Sebelum masuk pada pembahasan berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan fikih
mu’amalah, ruang lingkup pembahasan dan berbagai hal yang terkait didalamnya seperti prinsip-
prinsip dasar yang terkandung terlebih dahulu dibahas secara singkat mengenai pengertian fikih
mu’amalah.

1.1 Pengertian Fiqih Mu’amalah


Fiqh muamalah merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata fiqh dan
muamalah. Secara etimologi fiqh berarti paham, mengetahui dan melaksanakan.
Adapun kata muamalah berasal dari bahasa Arab (‫ معاملة‬-‫ ) عام))ل – يعام))ل‬yang secara
etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini
menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dalam
memenuhi kebutuhannya masing-masing. Secara terminologi fiqhmuamalah adalah
hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hal
yang berkaitan dengan hartanya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain
Kata manusia dalam pengertian di atas adalah ditujukan kepada manusia atau
seseorang yang sudah mukallaf, yaitu seseorang yang sudah dibebani hukum, mereka
itu sudah baligh dan berakal lagi cerdas. Muamalah yang merupakan aktifitas manusia
muslim tentunya tidak terlepas sama sekali dengan masalah pengabdiannya kepada
Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zariyat (QS. 51 : 56) yang berbunyi :

َ ‫ت ْال ِج َّن َوااْل ِ ْن‬


‫س اِاَّل لِيَ ْعبُ ُدوْ ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tindakan manusia dalam rangka pengabdian


kepada Allah selalu mengandung nilai-nilai ketuhanan. Pengabdian yang dilakukan
haruslah diawali dari keikhlasan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Bayyinah
(QS. 98: 5) yang berbunyi sebagai berikut:
‫ص ْينَ لَهُ ال ِّد ْينَ ُحنَفَ ۤا َء َويُقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َويُْؤ تُوا‬ ‫هّٰللا‬ ‫َو َمٓا اُ ِمر ُْٓوا اِاَّل‬
ِ ِ‫لِيَ ْعبُ ُدوا َ ُم ْخل‬
‫ِدي ُْن ْالقَيِّ َم ۗ ِة‬ َ‫ال َّز ٰكوةَ َو ٰذلِك‬
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Dengan demikian, persoalan muamalah merupakan suatu hal yang pokok dan
menjadi tujuan penting agama Islam untuk memperbaiki kehidupan manusia. Maka,
syariat muamalah diturunkan Allah SWT secara global dan umum saja, dengan
mengemukakan berbagai prinsip dan norma yang dapat menjamin prinsip keadilan
dalam bermuamalah antar sesama manusia.

1.2 Prinsip – Prinsip Dasar Mu’amalah dalam Islam

Agar kegiatan muamalah seseorang sejalan dengan ketentuan agama maka dia
harus menyelaraskan dengan prinsip-prinsip muamalah yang digariskan dalam ajaran
Islam. Prinsip-prinsip muamalah adalah hal-hal pokok yang harus dipenuhi dalam
melakukan aktifitas yang berkaitan dengan hak hak kebendaan dengan sesama
manusia. Hal-hal yang menjadi prinsip dalam bermuamalah adalah:

1.2.1 Asas Ilahiah


Perilaku manusia dalam setiap keputusan perbuatannya tidak lepas dari
pertanggung jawaban kepada Allah. Artinya, semua tingkah laku dan
perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan dan harus dipertanggung
jawabkan dihadap Allah SWT, seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Hadid
ayat 4 yang berbunyi :

ِ ۗ ْ‫ض فِ ْي ِستَّ ِة اَي ٍَّام ثُ َّم ا ْست َٰوى َعلَى ْال َعر‬
‫ش‬ َ ْ‫ت َوااْل َر‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذيْ خَ ل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬

‫ض َو َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو َما يَ ْن ِز ُل ِمنَ ال َّس َم ۤا ِء َو َما‬


ِ ْ‫يَ ْعلَ ُم َما يَلِ ُج فِى ااْل َر‬

‫ص ْي ۗ ٌر‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫يَ ْع ُر ُج فِ ْيهَ ۗا َوهُ َو َم َع ُك ْم اَ ْينَ َما ُك ْنتُ ۗ ْم َو ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa;
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang
masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang
turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”

Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab dan harus


mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Tanggung jawab tersebut
selain kepada Allah SWT juga berkaitan dengan tanggung jawab terhdap diri
sendiri dan juga tanggung jawab terhadap masayarat dalam kehidupan social
bermasyarakat. Akibatnya manusia tidak diperbolehkan untuk berbuat sesuka
hatinya karena segala perbuatan dan Tindakan akan mendapatkan balasan
dari Allah SWT maupun lingkungannya.

1.2.2 Asas Kebebasan

Islam memberikan kebebasan terhadap pihak pihak yang ingin


melaksanakan suatu perjanjian dengan segala bentuknya. Kebebasan yang
dimaksud bukanlah kebebasan mutlak tanpa aturan. Kebebasan dapat
digunakan apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Islam,
sehingga perjanjian tersebut boleh dilakukan. Sebagiamana firman Allah
SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi :

‫ت لَ ُك ْم بَ ِه ْي َمةُ ااْل َ ْن َع ِام اِاَّل َما يُ ْت ٰلى َعلَ ْي ُك ْم‬


ْ َّ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَوْ فُوْ ا بِ ْال ُعقُوْ ۗ ِد اُ ِحل‬
‫ص ْي ِد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ۗ ٌم اِ َّن هّٰللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِر ْي ُد‬
َّ ‫َغ ْي َر ُم ِحلِّى ال‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Penuhilah janji-janji.
Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan disebutkan
kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
sesuai dengan yang Dia kehendaki.
Dalam bidang mu’amalah terdapat kaidah fiqih yang berisikan bahwa “Asal
sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Kebolehan tersebut dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya.
Kaidah ini hanya berlaku di bidang mu’amalah bukan di bidang ibadah.

1.2.3 Asas Persamaan atau Kesetaraan


Pada dasarnya, manusia dalam melakukan mu’amalah selalu berinteraksi
dengan orang lain dan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
berlandaskan pada persamaan dan kesetaraan sebagaimana yang disebut
dalam Surat an-Nahl ayat 71 yang berbunyi:

‫ق فَ َما الَّ ِذ ْينَ فُضِّ لُوْ ا بِ َر ۤادِّيْ ِر ْزقِ ِه ْم‬ ِ ۚ ‫ْض فِى الر ِّْز‬ ٰ
ٍ ‫ض ُك ْم عَلى بَع‬ َ ‫ض َل بَ ْع‬َّ َ‫َوهّٰللا ُ ف‬
َ‫ت اَ ْي َمانُهُ ْم فَهُ ْم فِ ْي ِه َس َو ۤا ۗ ٌء اَفَبِنِ ْع َم ِة هّٰللا ِ يَجْ َح ُدوْ ن‬
ْ ‫ع َٰلى َما َملَ َك‬
Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain
dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki,
sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah?
Kehidupan manusia pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan masing
masing individu memiliki keitimewaan sehingga satu sama lain dapat saling
menutupi kekurangan untuk menuju pada kesempurnaan sehingga hal ini
membuktikan bahwasanya manusia memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam kehidupannya.
1.2.4 Asas Keadilan
Manusia dalam melakukan hubungan interaksi di bidang bisnis harus
memberikan haknya sesuai dengan hak masing masing atau berlaku secara
adil (al-adalah) dan berlandaskan pada syariah Islam. Dalam asas ini, para
pihak yang melakukan perikatan dituntut untuk berlaku benar dalam
mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah
disepakati, dan memenuhi semua kewajibannya. Seperti yang disebut dalam
Surat al-Hadid ayat 25 yang berbunyi :
ۖ ‫ب َو ْٱل ِميزَ انَ لِيَقُو َم ٱلنَّاسُ بِ ْٱلقِ ْس ِط‬ َ َ‫نزَلنَا َم َعهُ ُم ْٱل ِك ٰت‬
ْ ‫ت َوَأ‬ ِ َ‫لَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بِ ْٱلبَيِّ ٰن‬
ٰ ‫ْأ‬
ُ ‫اس َولِيَ ْعلَ َم ٱهَّلل ُ َمن يَن‬
ُ‫ص ُرهۥُ َو ُر ُسلَ ۥه‬ ِ َّ‫نزَلنَا ْٱل َح ِدي َد ِفي ِه بَ سٌ َش ِدي ٌد َو َمنَفِ ُع لِلن‬ ْ ‫َوَأ‬

ِ ‫بِ ْٱل َغ ْي‬


ِ ‫ب ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ قَ ِوىٌّ ع‬
‫َزي ٌز‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama) Nya dan rasul-rasulnya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
1.2.5 Asas Kerelaan
Dalam melaksanakan perjanjian bisnis harus dilakukan dengan cara
saling suka sama suka atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak,
sehingga tidak ada yang merasa terpaksa dan merasa terdzalimi. Seperti hal
nya yang termuat dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi:
‫ْأ‬ ٰ ٓ
ٍ ‫ٰياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوْ ا اَل تَ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََر‬
ۗ ‫اض ِّم ْن ُك ْم‬
‫َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”

Ayat diatas menunjukkan bahwa dalam melaksanakan suatu


perdagangan hendaklah atas dasar sukarela dan tidak dibenarkan bahwa
suatu perbuatan transaksi didasarkan pada paksaan atau ancaman.
2. Harta Dalam Pandangan Islam dan Hak serta Kepemilikan

2.1 Defenisi Harta

Harta dalam pandangan syariah memiliki makna dan defenisi yang berbeda
dengan harta dalam pandangan konvensional. Secara garis besar, hal yang membedakan
antara keduanya adalah terletak pada posisi harta tersebut, yang mana dalam pandangan
konvensional harta adalah sebuah alat pemuas, sementara dalam pandangan syar’i posisi
harta adalah sebagai wasilah/perantara untuk melakukan penghambaan terhadap Allah
SWT. Perbedaan dari pandangan ini kemudian berakibat pada defenisi tentang harta,
fungsi harta, dan bahkan eksistensi harta1. (Affandi, 2009)

Para pembuat undang-undang dan tokoh-tokoh syariah merasa risau dalam


mendefenisikan harta. Maksud dari mendefinisikan harta ialah untuk mendata apa saja
hal hal yang dapat diperdagangkan. Dari hal inilah kemudian timbul keinginan mereka
dalam memperluas arti mal (harta), sehingga didalamnya termasuk al-haq (hak tertentu),
misalnya hak untuk mendapatkan privilege (hak istimewa)2. (an-Nabahan, 2003)

Menurut Mustafa Zarqa, para fuqaha memfokuskan harta pada dua faktor yang
terdiri dua unsur: ‘ayniyah dan ‘urf (jasa). ‘Ayniyah maksudnya adalah harta yang
berwujud materi konkret, sedangkan ‘urf ialah berbagai hal yang dalam pandangan
semua orang atau sebagiannya saja bernilai, karena itu dapat dibarterkan dan yang lain.
Demikian itu, dari sudut pandang ekonomi, jelas bernilai ekonomi. Sebab itu jelas bisa
diuangkan. Dari realitas ini, Mustafa Zarqa dalam mendefinisikan harta adalah wujud
materi konkret yang bernilai uang. Definisi demikian jelas mengeluarkan berbagai hal
yang bersifat haq, dari kategori harta dan masuknya ke kategori kepemilikan3.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani
kehidupan ini, sehingga oleh ulama’ ushul fiqih persoalan harta dimasukkan ke dalam
salah satu al-daruriyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Selain merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok
1
M. Yazid Affandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah
(Yogyakarta: Logung Pustaka 2009), 18.
2
Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, ter.
Muhadi Zainudin dan A. bahaudin Norsalim (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,2003), 27.
3
Ibid., 28.
bagi manusia, harta juga merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah),
sarana untuk memenuhi kesenangan, dan sarana untuk menghimpun bekal bagi
kehidupan akhirat4. (Ghazaly & al, 2010)
Semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah,
karena Dia yang menciptakan. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk
memanfaatkannya (hak pakai). Jelaslah bahwa dalam Islam kepemilikan pribadi, baik
atas barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal sangat dihormati walaupun
hakikatnya tidak mutlak dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan orang lain dan dengan ajaran Islam. Sementara itu dalam ekonomi kapitalis,
kepemilikan bersifat mutlak dan pemanfaatannya pun bebas, sedangkan dalam ekonomi
sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada kepemilikan
Negara.5
Dalam pandangan al-Qur’an harta merupakan modal/faktor produksi yang penting
tapi bukan yang terpenting. Islam menempatkan manusia sebagai unsur terpenting di atas
modal lalu disusul dengan sumber daya alam. Modal tidak boleh diabaikan namun wajib
menggunakannya dengan baik agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Seorang
wali yang menguasai harta orang yang tidak atau belum mampu mengurusi harta,
diwajibkan untuk mengembangkan harta tersebut untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya
dari keuntungan perputaran modal bukan dari pokok modal. Modal tidak boleh
menghasilkan dari dirinya sendiri tetapi dengan usaha manusia. Itu sebabnya riba dan
perjudian dilarang oleh al- Qur’an6.
Sedangkan berdasarkan konsensus para Ulama’ harta ialah “ sesuatu yang
mempunyai nilai dan bisa dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau yang
melenyapkan”.7 Sedangkan berdasarkan pendapat Ulama’ fiqih harta yakni:
a. Berdasarkan pendapat Hanafiyah, Segala sesuatu yang mempunyai nilai dan bisa
dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan melenyapkannya.

4
Abdul Rahman Ghazaly et. al., Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), 20.
5
Veithzal Rifai dan Andi Buchari, Islamic Econimics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi Tetapi Solusi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), 362.
6
Djamil, Hukum Ekonomi, 180-181.
7
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, Logung Pustaka: 2009), hlm. 18
b. Berdasarkan pendapat Maliki, Harta ialah hak yang melekat pada seseorang yang
menghalangi orang lain untuk menguasainya dan sesuatu yang diakui sebagai hak
milik secara ‘uruf (adat).
c. Berdaarkan pendapat Syafi’i, Harta ialah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya
dan bernilai.
d. Berdasarkan pendapat Hambali, Harta ialah sesuatu yang mempunyai nilai
ekonomi dan dilindungi undang-undang.8.

3. Konsep Akad dan Transaksi

3.1 Defenisi Akad

Akad dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, memilik arti: “Janji; perjanjian;
kontrak; Misal akad jual beli, akad nikah. Dan Akad juga bisa disebut dengan
Kontrak yang mempunyai makna: perjanjian, menyelenggarakan perjanjian (dagang,
bekerja, dan lain sebagainya). Misal, kontrak antara penulis dan penerbit” 9. Dalam
Kamus Lengkap Ekonomi ditetapkan bahwa: Contract (kontrak) merupakan: “suatu
perjanjian legal yang bisa dikerjakan antara dua pihak atau lebih. Suatu kontrak
mencakup kewajiban untuk kontraktor yang bisa ditetapkan lisan maupun tertulis.
Sebagai contoh, perusahaan memiliki perjanjian guna memasok produk ke
perusahaan lain pada waktu tertentu dan ukuran tertentu. Kedua belah pihak akan
terikat untuk menepati perjanjian mereka dalam penjualan dan pembelian dari barang
10
. (Pas, Lowes, & Davies, 1999)

Ali Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor dalam Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia memberi arti bahwa Kata akad (‫( عقد‬berasal dari mashdar ‫ ربط عقدة اى‬yang
artinya : mengikat, menyimpulkan, menggabungkan. Dan mempunyai arti juga: ‫االتفاق‬
dan ‫ )العھد‬persepakatan, perjanjian, kontrak). Misal: ‫ )عق)د رس)مي‬kontrak resmi)11. (Atabik,
1999)

8
Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2010), Hlm. 18-19
9
WJS Poerwadarminta, KUBI, (Jakarta, Balai Pustaka: 1976), hlm. 521 (Poerwadarminta, 1976)
10
C.Pass, Bryan Lowes dan Leslie Davies, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta, Erlangga, 1999), hlm 115
11
A Zuhdi Muhdlor Ali Atabik, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta, Yayasan Ali
Maksum: 1999) hlm 1303
3.2 Prinsip-Prinsip Akad
Adapun prinsip-psrinsip akad dalam Islam, diantaranya:
a. Prinsip kebebasan berkontrak.
b. Prinsip perjanjian itu mengikat.
c. Prinsip kesepakatan bersama.
d. Prinsip ibadah.
e. Prinsip keadilan dan kesemimbangan prestasi.
f. Prinsip kejujuran (amanah)12

3.3 Syarat Syarat Akad


Syarat-syarat dalam akad diantaranya ialah:

a. Yang di jadikan objek akad bisa menerima hukumnya

b. Akad tersebut di izinkan oleh syara’, di kerjakan oleh orang yang memiliki hak
mekerjakannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

c. Janganlah akad itu akad yang di larang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.
Akad bisa memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) di anggap
sebagai imbalan amanah (kepercayaan),

d. Ijab itu berjalan terus, tidak di cabut sebelum terjadi qabul. Maka apabila orang
berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka batallah ijabnya.

e. Ijab dan qabul harus bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab telah
berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal13.

3.4 Rukun-Rukun Akad


Rukun-rukun akad diantaranya, ialah:

a. Aqid: Aqid ialah orang yang berakad (subjek akad). Terkadang dari setiap pihak
terdiri dari salah satu orang, dan terkadang pula terdiri dari beberapa orang.

12
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta : UII Pres, 1982), hlm .65.
13
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm 55
b. Ma’qud Alaih Maqud ialah ialah: benda-benda yang bakal di akadkan (objek akad),
seperti benda-benda yang di jual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau
pemberian, gadai, dan utang

c. Maudhu’ Al-Aqid; Maudhu’ al-Aqid ialah tujuan atau maksud menyelenggarakan


akad. Berbeda akad maka berbedalah destinas pokok akad. Dalam akad jual beli
misalnya, destinsasi pokoknya yaitu mengalihkan barang dari penjual untuk
pembeli dengan di beri ganti.

d. Shighat Al-Aqid Sighat Al-Aqid yakni ijab qabul. Ijab ialah “ungkapan yang
pertama kali di lontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan mengerjakan akad,
sementara qabul ialah: pernyataan pihak kedua guna menerimanya. ijab qabul
merupakan bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli
dalam mekerjakan pembelian terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang
mengindikasikan kesepakatan dua pihak yang mengerjakan akad, contohnya yang
berlangganan majalah, pembeli mengirim uang lewat pos wesel dan pembeli
menerima majalah itu dari kantor pos 14.

3.5 Macam Macam Akad

Berdasarkan keterangan dari ulama’ Fiqh, akad di bagi menjadi dua

a. Akad Shahih ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya. Hukum dari akad shahih ini ialah: berlakunya seluruh dampak hukum
yang di timunculkan akad tersebut dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad.
Ulama Hanafiyah membagi akad shahih menjadi dua macam yaitu:

1. Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan), ialah akad yang di langsungkan


dengan mengisi rukun dan syaratnya dan tidak terdapat penghalang untuk
melaksanakannya.

2. Akad mawquf, ialah akad yang di lakukan seseorang yang cakap beraksi
hukum, namun ia tidak memiliki dominasi untuk menggelar dan mengemban
akad ini, seperti akad yang di langsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz 15
14
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogayakarta : Pustaka Kencana, 2010), hlm. 51
15
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm 20
b. Akad tidak Shahih Akad yang tidak shahih ialah akad yang terbisa kekurangan
pada rukun atau syarat-syaratnya, ssampai-sampai seluruh dampak hukum akad
itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad yang tidak
shahih di bagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut:

1. Akad tidak Shahih Akad yang tidak shahih ialah akad yang terbisa kekurangan
pada rukun atau syarat-syaratnya, ssampai-sampai seluruh dampak hukum
akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad
yang tidak shahih di bagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut :

2. Akad Fasid Akad fasid ialah: akad yang pada dasarnya di syariatkan, namun
sifat yang di akadkan tersebut tidak jelas. Misalnya, memasarkan rumah atau
kendaraan yang tidak di perlihatkan tipe, jenis, dan format rumah yang akan di
jual, atau tidak di sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga memunculkan
perselisihan antara penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad
bathil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad
itu tidak menyebabkan hukum apapun.

4. Ba’I (Jual Beli Murabahah, Salam, Istishna’)


4.1 Defenisi Ba’I
Secara bahasa bai' berarti: menerima sesuatu dan memberikan sesuatu
yang lain. Kata bai' turunan dari kata "baa" yang berarti: depa. Hubungannya
adalah kedua belah pihak (penjual dan pembeli) saling mengulurkan depanya
untuk menerima dan memberikan. Secara istilah bai' berarti: saling tukar-menukar
harta dengan tujuan kepemilikan.

4.2 Hukum Ba’i


Hukum asal bai' adalah mubah, namun terkadang hukumnya bisa berubah
menjadi wajib, haram, sunat dan makruh tergantung situasi dan kondisi
berdasarkan asas maslahat. Dalil yang menjelaskan tentang hukum asal bai'
berasal dari Al quran, Hadist, Ijma dan logika:
1. Allah berfirman: "… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275)
2. Nabi bersabda yang bunyinya: " Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar
(pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli) selama
mereka belum berpisah" HR. Bukhari- Muslim.
3. Para ulama islam sejak zaman nabi hingga sekarang sepakat bahwa bai'
secara umum hukumnya mubah.
4. Logika. Seorang manusia sangat membutuhkan barang-barang yang
dimiliki oleh manusia yang lain dan jalan untuk memperoleh barang orang
lain tersebut dengan cara bai' dan islam tidak melarang manusia
melakukan hal-hal yang berguna bagi mereka.

4.3 Rukun Ba’i


Bai' memiliki 3 rukun:
1. Pelaku transaksi, yaitu: penjual dan pembeli.
2. Obyek transaksi, yaitu: harga dan barang.
3. Akad (transaksi), yaitu: segala tindakan yang dilakukan kedua-belah
pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik
tindakan tersebut berbentuk kata-kata atau perbuatan.
4.4 Jual Beli Murabahah
4.5 Jual Beli As-Salam
4.5.1 Pengertian Jual beli As-Salam
As-Salam yang dalam istilah fikih disebut juga as-salaf. Secara etimologis
kedua kata memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaaran dan
mengakirkan barang. Penggunaan kata as-salam biasanya digunakan oleh orang-
orang Hijaz, sedangkan penggunaan kata as-salaf biasanya digunakan oleh
orang-orang Irak. Secara terminologis, salam adalah menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri cirinya disebutkan
dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan di kemudian hari 16
. Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq, as-salam

16
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat). (Jakarta: PT Raja Graffindo
Persada, 2003), hlm.143
adalah penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu(yang masih berada) dalam
tanggungan dengan pembayaran segera atau disegerakan 17.

4.6 Jual Beli Istihna’

4.6.1 Pengertian Jual Beli Istishna’

Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’ah yang artinya membuat sesuatu.
Kemudia ditambah alif, sin dan ta’ menjadi Istishna. Secara etimologi
Istishna’ artinya minta dibuatkan, sedangkan menurut terminology merupakan
suatu kontrak jual beli diantara penjual dan pembeli dimana pembeli memesan
barang dengan kriteria yang jelas dan harganya yang dapat diserahkan secara
bertahap atau dapat juga dilunasi. System Istishna’ adalah sistem pembiayaan
atas dasar pesananan, untuk kasus ini dimana objek atau barang yang
diperjualbelikan belum ada. Menurut ulama fikih Istishna’ sama dengan salam
dari segi objek pesanannya, yaitu sama sama dipesan terlebih dahulu dengan
ciri ciri dan kriteria khusus, sedangkan perbedaannya adalalah jika salam
pembayarannya dilakukan di awal sekaligus, sedangkan Istishna’ bisa dibayar
di awal, angsuran, dan bisa juga di akhir18.

Ada beberapa perbedaan Istishna’ dengan as-salam yaitu:

a. Dalam Istishna’ harga atau alat pembayaran tidak harus


dibayar dimuka seperti pada akad as-salam
b. Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat
penyerahan.
c. Barang yang dibuat tidak harus ada di pasar.

17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz 12, (Bandung, Al-Ma’arif, 1998), hlm.110.
18
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam, Cet-1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.52.

Anda mungkin juga menyukai