Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan yang sempurna dari pada

makhluk-mkhluk lain, derajat dan kedudukan manusia sangat di

istimewakan oleh Tuhan sehingga bukan menjadi hal mustahil jika dalam

sejarah kehidupan manusia, Tuhan sangat melindungi manusia.

Dalam islam sendiri, Islam tidak hanya mengakui hak hidup manusia

beserta kebebasan dan keselamatannya, tetapi juga menganggap itu sebagai

kewajiban suci bersama dan perorangan, berangkat dari prinsip bahwa

manusia merupakan khalifah Allah (Al Khalifatul fil ard) di muka bumi

yang dituntut untuk menegakkan keadilan bagi seluruh makhluk. Siapapun

yang melakukan ketaatan kepada Allah dan menegakkan hukum secara adil

di antara para makhluk, maka ia adalah khalifah Allah.

Allah telah memuliakan manusia di langit dengan menyebutnya di

tempat tertinggi dan mensujudkan para malaikat di hadapannya. Sehingga

tidak heran bila ia juga dimuliakan di muka bumi dengan dianugerahi akal,

keinginan, dan logika, selain berbagai kekuatan dan petunjuk dari para rasul

serta kitab suci. Al-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw.

bersabda, “Di hari kiamat tidak ada yang lebih mulia bagi Allah dari para

1
2

anak Adam.” Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, dan tidak juga dengan para

malaikat?” Beliau menjawab, “Tidak juga dengan para malaikat. Para

malaikat sama dengan kedudukan matahari dan bulan,” [HR. al-Baihaqi].

‫ب هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َولَ َعنَهٗ َواَ َع َّد لَهٗ َع َذابًا َع ِظ ْي ًما‬ ٗ ‫َو َم ْن يَّ ْقتُلْ ُمْؤ ِمنًا ُّمتَ َع ِّمدًا فَ َج َز ۤا‬
ِ ‫ُؤه َجهَنَّ ُم خَ الِدًا فِ ْيهَا َو َغ‬
َ ‫ض‬

"Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya

ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan

mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya." (QS An Nisa

ayat 93).

Selain itu, di dalam peraturan Negara Indonesia sendiri kita di anjurkan

menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia, berangkat dari persoalan

dimuliakannya kedudukan manusia ini maka undang-undang dengan tegas

menyatakan dalam supremasi hukum yang dicerminkan dengan prinsip the

Rule of Law. Sebagai suatu Negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum

(rechtstaat), sudah selayaknya Indonesia mengatur perlindungan hak asasi

manusia (HAM) ke dalam konstitusinya. Perlindungan hak asasi manusia

(HAM) diberikan kepada semua orang, termasuk juga orang yang diduga

dan atau telah terbukti melakukan Tindak Pidana. Terhadap orang yang

diduga melakukan suatu Tindak Pidana (sebagai tersangka atau terdakwa)

seharusnya diberikan atau perhatian atas hak-haknya sebagai manusia, sebab

dengan menyandang setatus sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak


3

pidana, dia akan dikenakan beberapa tindakan tertentu yang mengurangi

hak-hak asasinya tersebut.1

Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa

seseorang dengan cara melanggar hukum, maupun yang melawan hukum.

Pembunuhan dapat dijumpai pengaturannya dalam Pasal KUHP (Kitab

Undang-undang Hukum Pidana), dan kejahatan ini dinamakan maker mati

atau pembunuhan. Pembunuhan berencana dalam KUHP (Kitab Undang-

undang Hukum Pidana) diatur dalam Pasal 340 adalah “Barang siapa

sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,

diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama

dua puluh tahun”. Pembunuhan berencana itu dimaksudkan oleh pembentuk

Undang-undang sebagai pembunuhan bentuk khusus yang memberatkan,

yang rumusannya dapat berupa “pembunuhan yang dilakukan dengan

rencana terlebih dahulu dipidana karena pembunuhan dengan rencana”.

Berdasarkan apa yang diterangkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

merumuskan pasal 340 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)

dengan cara demikian, pembentuk undang-undang sengaja melakukannya

dengan maksud sebagai kejahatan yang berdiri sendiri.

1
Shinta Agustina, Makalah diangkat dari Laporan Penelitian BBI tahun 2001, dan disampaikan pada
Seminar tentang “Demokrasi dan HAM: Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia dan Perlindungannya
di Indonesia” Padang, Genta Budaya, 15 Oktober 2003.
4

Agama Islam, yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh

bangsa Indonesia adalah agama yang menyerukan manusia untuk

menyerahkan diri hanya kepada Allah, dengan disertai amal saleh serta

sikap tegar dan penuh percaya diri, dan tunduk dengan ikhlas hanya kepada

Allah semata. Agama Islam adalah agama yang menyerukan manusia untuk

mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulnya,

termasuk di dalamnya ketetapan tentang hukum Allah. Sebagaimana

tercantum dalam Al Qur’an surat Al-Ahzab ayat 36 yang berbunyi :

‫هّٰللا‬
ِ ‫ضى ُ َو َرسُوْ لُهٗ ٓ اَ ْمرًا اَ ْن يَّ ُكوْ نَ لَهُ ُم ْال ِخيَ َرةُ ِم ْن اَ ْم ِر ِه ْم ۗ َو َم ْن يَّع‬
‫ْص‬ َ َ‫َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن َّواَل ُمْؤ ِمنَ ٍة اِ َذا ق‬

‫ض ٰلاًل ُّمبِ ْينً ۗا‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫َ َو َرسُوْ لَهٗ فَقَ ْد‬
َ ‫ض َّل‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi

perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan

suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan

mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka

sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.

Umat Islam harus berani membela dan menegakkan setiap kebenaran

Hukum Islam berdasarkan keyakinan kepada Allah. Islam telah

menunjukkan dengan jelas mana yang hak dan mana yang bathil. Akan

tetapi tidak sedikit pula manusia yang lupa akan menegakkan yang hak dan

malah berbuat kebathilan. Bukti banyaknya perbuatan kebathilan yang

dilakukan manusia adalah maraknya pelanggaran terhadap peraturan-

peraturan yang berlaku, salah satunya adalah pelanggaran terhadap hukum


5

pidana khususnya dalam tindak pidana pembunuhan. Salah satu jenis

pembunuhan yang marak terjadi sekarang ini adalah pembunuhan

berencana. Pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang dilakukan

dengan direncanakan terlebih dulu. Hukum Islam telah mengatur

sedemikian rupa mengenai tindak pidana pembunuhan. Dalam hukum Islam

pembunuhan berencana termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja,

karena dalam hukum Islam tidak memandang apakah tindak pidana

pembunuhan itu direncanakan lebih dulu atau tidak, yang terpenting dalam

pembunuhan itu terdapat niat untuk membunuh dari pelaku.2

Mengenai masalah tindak pidana pembunuhan, dalam hukum Islam

diatur dalam Al- Qur’an surat Al-baqarah ayat 178 :

‫صاصُ فِى ْالقَ ْت ٰلىۗ اَ ْلحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َوااْل ُ ْن ٰثى بِااْل ُ ْن ٰثىۗ فَ َم ْن ُعفِ َي لَهٗ ِم ْن‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬

ٌ ‫ف َواَد َۤا ٌء اِلَ ْي ِه بِاِحْ َسا ٍن ۗ ٰذلِكَ ت َْخفِي‬


َ‫ْف ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ ۗفَ َم ِن ا ْعت َٰدى بَ ْع َ•د ٰذلِك‬ ِ ْ‫ع ۢبِ ْال َم ْعرُو‬
ٌ ‫اَ ِخ ْي ِه َش ْي ٌء فَاتِّبَا‬

‫فَلَهٗ َع َذابٌ اَلِ ْي ٌم‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan

orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka

Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah

(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang

diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara

yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
2
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani . 2013. Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah. Bandung.
Penerbit Pustaka Setia. Hal. 274.
6

kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,

maka baginya siksa yang sangat pedih”.

Maksud dari ayat tersebut yaitu Allah mewajibkan kepada umatnya

untuk melaksanakan hukum qishas dan diyat berkenaan dengan

pembunuhan. Pengertian qishash adalah mengambil pembalasan yang sama.

Sedangkan diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku,

karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan

diberikan kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi.3

Sesuai dengan ajaran Islam bahwa umat Islam harus menjalankan

semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, namun demikian di

Indonesia hukum Islam belum ditegakkan, khususnya hukum yang

berkenaan dengan masalah tindak pidana pembunuhan. Untuk saat ini

masalah tindak pidana pembunuhan berencana dalam hukum positif (hukum

yang berlaku) diatur dalam pasal 340 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum

Pidana) yaitu “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana

(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama

waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Meskipun terdapat perbedaan

mengenai aturan hukumnya, tetapi hukum Islam dan hukum positif

mempunyai tujuan yang sama, yaitu terciptanya masyarakat yang sejahtera,

tertib, aman dan tentram. Untuk itu sangat masuk akal jika sekiranya hukum

3
Ibid
7

Islam menjadi bagian dari hukum positif demi terciptanya tujuan bersama

tersebut. Dan untuk menambah kajian ilmu dalam hukum positif.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2020, mencatat


penduduk Kabupaten Sikka berdasarkan agama yakni Kristen 89,60%,
dengan mayoritas Katolik sebanyak 87,95% dan selebihnya Protestan 1,65.
[2] Sejak tahun 2005, Sikka menjadi keuskupan baru, yakni keuskupan
Maumere, di bawah Keuskupan Agung Ende dengan Uskup pertamanya
Mgr. Vincentius Sensi Potokota.

Agama Islam cukup signifikan di kabupaten Sikka yakni 10,32%.


Sebagian lagi beragama Hindu 0,06% dan Buddha 0,02%[3] Kawasan
pesisir utara cukup banyak dihuni oleh warga keturunan
etnik Bajo, Buton, Bugis, Jawa dan ada sebagian Tionghoa dan Bali.

Selain itu Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten


Sikka tahun 2021, penduduk kabupaten ini pada berjumlah 321.953 jiwa
(2020) dengan kepadatan 186 jiwa/km².4 Dengan jumlah jiwa yang
dikatakan padat ini tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa di
Kabupaten Sikka ini-pun terdapat banyak kasus-kasus pidana pembunuhan.
Berdasarkan data yang dapat penulis peroleh bahwa jumlah kasus
pembunuhan yang terjadi di Kabuten Sikka selama 5 (lima) tahun terakhir
mencapai 18 kasus pembunuhan dimulai dari tahun 2018 sampai 2022.5

https://id.wikiped
ia.org/wiki/Kabu
paten_Sikka
5
www.
Direktoratputusa
nmahkamaAgun
gRepublikIndone
sia.go.id
8

Darai data tersebut di atas maka dalam skripsi ini penulis ingin meniliti

Kasus pembunuhan tragis yang membuat resah masyarakat di Desa Nebe

Kecamatan talibura yakni kasus pembunuhan oleh saudara URBANUS

USENG Alias USENG terhadap saudara FRANSISKUS MERU Alias LUJA.

Berdasarkan hasil putusan Pengadilan Maumere Pembunuhan tersebut

terjadi akibat perebutan lahan. Akibat yang diderita korban sampai

meninggal dunia.

Dalam hukum positif mengenal adanya asas legalitas yang artinya, tidak

ada suatu perbuatan yang dapat dipidana sebelum ada aturan hukum yang

mengaturnya6 . Dengan demikian penulis mencoba untuk melakukan

perbandingan dari kasus pembunuhan berencana dalam dua aspek hukum

yang berbeda guna menambah pemahaman penulis dan selebihnya untuk

pembaca.

Atas dasar pemikiran inilah maka penulis tertarik untuk mengangkat

sebuah judul skripsi yaitu “Analisis Hukum Pidana Islam dan KUHP

Terhadap Kasus Pembunuhan Berencana Di Wairmitak, Desa Nebe,

Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka”

1.2 Rumusan Masalah

6
Teguh Prasetyo.
2010. Hukum
Pidana . Jakarta.
Penerbit
Rajawali Pers.
Hal. 12
9

Adapun Rumusan Masalah yang penulis angkat dalam penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian pembunuhan berencana berdasarkan dua perspektif

hukum (KUHP dan Hukum Islam)

2. Bagaimana penerapan sanksi pembunuhan berencana perspektif

hukum Islam?

3. Bagaimana penerapan sanksi pembunuhan berencana perspektif

KUHP?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber,

berhubungan dengan skripsi yang penulis buat, terdapat sejumlah penelitian

tentang topik tindak pidana yang dilakukan, baik yang mengkaji secara

spesifik maupun yang menyinggung secara umum. Untuk menghindari

anggapan plagiasi terhadap karya tertentu, maka perlu dilakukan review

yang pernah ada.

Orisinalitas Penelitian yang akan penulis paparkan.: Karya ilmiyah dari

skripsi Hanifah Azwar mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Penyertaan dalam Pembunuhan

Berencana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Kajian Yurisprudensi

No. 1429K/Pid/2010)”. Pokok masalah yang dikaji membahas tentang

pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, pengertian penyertaan,

bentuk-bentuk penyertaan, pengertian pembunuhan, macammacam


10

pembunuhan, sanksi pidana dan konsep pemaafan. Temuan penting dalam

skripsi ini adalah bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak

sesuai dengan hukum Islam. Yang seharusnya dalam hukum Islam bahwa

pembunuhan harus dihukum kisas, artinya pelaku harus dibalas dengan cara

dibunuh lagi. Tetapi dalam putusan pengadilan tersebut pelaku dikenai

sanksi penjara selama 18 tahun.

Jadi dalam skripsi ini hanya menitik beratkan sanksi pada pelaku utama

saja, tanpa mencoba untuk melihat sanksi apa yang dijatuhkan kepada para

pembantu perbuatan pidana tersebut, sedangkan skripsi yang ditulis oleh

penulis ini ingin menjabarkan tentang semua pelaku penyertaan

pembunuhan, mulai dari pelaku utama sampai dengan para pelaku pembantu.

Dalam skripsi yang ditulis oleh Hanifah Azwar tidak dicantumkan

pembagian tindak pidana, sehingga penulis merasa perlu untuk memasukkan

pembagian tindak pidana di dalam skripsi penulis. Selain itu dalam skripsi

ini juga tidak dimasukan secara per bagian dasar hukum tindak pidana

pembunuhan, hanya dibahas sekilas saja oleh karena itu penulis merasa perlu

untuk mencantumkan dasar hukum dalam bagian tersendiri. Penyertaan yang

dimaksud dalam skripsi Hanifah Azwar menurut hukum Islam merupakan

turut serta secara tidak langsung, sedangkan penulis berkisar tentang

penyertaan secara langsung. Meskipun terdapat kesamaan dalam

menjelaskan tindak pidana penyertaan pembunuhan secara umum dengan

putusan Mahkamah Agung yang berbeda.


11

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Dalam penelitian ini penulis bertujuan untuk :

1. Menjelaskan pandangan hukum islam terhadap kasus pembunuhan

2. Menjelaskan pandangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) terhadap kasus pembunuhan

3. Menganalisis proses penerapan sanksi pembunuhan dari perspektif

Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP).

b. Tujuan Khusus

1. Menganalisis proses penerapan sanksi pelaku pembunuhan

berdasarkan Hukum Pidana Islam Dan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) terhadap kasus yang terjadi di Wairmitak, Desa

Nebe, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.

4. Menganalisis hasil putusan Pengadilan Negeri Maumere terhadap

kasus pembunuhan yang terjadi di Wairmitak, Desa Nebe,

Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah wawasan

pengetahuan, pengalaman dan penerapan bagi akademis dari teori yang

ada terutama ilmu Jinayah Siyasah atau yang sering dikenal dengan
12

Pidana Islam pada umumnya dan khususnya sebagai bahan referensi

untuk penelitian di masa yang akan datang dibidang hukum Islam dan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun

orang lain dan untuk melengkapi syarat-syarat yang di perlukan untuk

mencapai gelar S1 Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas

Nusa Nipa Maumere.

1.6 Landasan Teoritis

Ketika membahas tentang teori hukum menurut Bruggink, teori hukum

adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem

konseptual aturan-aturan hukum dan putusanputusan hukum dan sistem

tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian hukum

menurut Utrecht adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah

dan larangan-larangan) yang mengurus suatu tata tertib masyarakat dan oleh

karena itu harus ditaati oleh masyarakat tersebut.7 Dengan adanya pemikiran

teori hukum, para ahli juga telah banyak mencurahkan pemikirannya untuk

pengembangan teori hukum pidana atau teori pemidanaan.

Istilah pidana merupakan istilah yang lebih khusus yaitu menunjukkan

sanksi dalam hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi

7
Satipjo Roharjo,
Ilmu Hukum,
(Bandung: Citra
Aditya Bakti,
2014), hlm 38.
13

atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan

negara kepada pembuat delik itu.8 Mengenai teori pemidanaan, pada

umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar yaitu sebagai

berikut :

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti

dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana

menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan bahwa

teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk

yang praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi kejahatanlah yang

mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana sehingga tidak perlu

memikirkan manfaat penjatuhan pidana.

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan

sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah, maka yang menjadi

sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan

mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang


8
Roeslan Saleh,
Stelsel Pidana
Indonesia,
(Jakarta : Aksara
Baru, 1983), hlm
9.
14

pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai

kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan

bagaimana membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau absolut

ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif.

Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku.

Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah

diciptakan pelaku di dunia luar.9

Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan

apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk

membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai,

karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah

atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa

dendam. Membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana

yang kejam sama saja dengan memperkosa rasa keadilan. Dalam

konteks sistem hukum pidana Indonesia, karakteristik teori pembalasan

jelas tidak sesuai (bertentangan) dengan filosofi pemidanaan

berdasarkan sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia (UU No.

12 Tahun 1995). Begitu juga dengan konsep yang dibangun dalam

RUU KUHP, yang secara tegas dalam hal tujuan pemidanaan

disebutkan, bahwa “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk


9
Andi Hamzah,
Asas-Asas
Hukum Pidana,
(Jakarta: Rinneka
Cipta, 1994),
hlm. 31.
15

menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.10

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir

sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana

menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk

mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Tentang teori relatif ini

Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan, bahwa pidana bukan

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun

sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar

pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang

membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang tidak

melakukan kejahatan). Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah

untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan

bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk

mempertahankan ketertiban umum.

3. Teori Gabungan
10
Usman, Analisis
Perkembangan
Teori Hukum
Pidana, Jurnal
Ilmu Hukum,
hlm 69.
16

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas

kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat,

dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori

tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar

pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki

kelemahan-kelemahan yaitu :

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena

dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang

ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang

melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena

pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan

masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat;

dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain,

yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa

kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk

menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Dalam konteks ini teori gabungan pada hakekatnya lahir dari

ketidakpuasan terhadap gagasan teori pembalasan maupun unsur-unsur

yang positif dari kedua teori tersebut yang kemudian dijadikan titik

tolak dari teori gabungan. Teori ini berusaha untuk menciptakan


17

keseimbangan antara unsur pembalasan dengan tujuan memperbaiki

pelaku kejahatan.11 Di dalam aturan hukum pidana Islam, khususnya

pada kasus pembunuhuan, pemidanaan dalam hal ini dapat

dihubungkan dengan jenis pembunuhan itu sendiri diantaranya:

 Pembunuhan Sengaja Pembunuhan sengaja adalah setiap perbuatan

yang dilakukan dengan didasari niat melawan hukum dan menyebabkan

kematian terhadap seseorang.12 Unsur-unsur pembunuhan sengaja

dalam bukunya A dzajuli menyebutkan sebagai berikut:

a. Korban adalah manusia yang hidup

b. Perbuatan pelaku menjadi akibat kematian korban

c. Ada niat dari pelaku untuk menghilangkan nyawa seseorang.13

Sanksi bagi pembunuhan sengaja diantaranya ada yang berstatus pokok

dan ada yang berstatus tambahan. Qisash wajib hukumnya apabila si

pembunuh tidak dapat pemaafan dari keluarga korban. Dengan

pengecualian jika dimaafkan hukumannya akan diganti dengan diyat

dan kafarat.

 Pembunuhan Semi Sengaja

Pembunuhan semi sengaja yaitu perbuatan yang disengaja oleh pelaku

untuk menyerang korban, tetapi tidak dimaksudkan untuk

11
Ibid, hlm 70-76
12
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2007, hlm
178
13
A djazuli, Fiqh
Jinayah, Jakarta:
PT. Rajagrafindo
Persada, hlm 128
18

membunuhnya. Ada tiga unsur pembunuhan semi sengaja yaitu:

a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.

b. Ada maksud penganiyaan atau permusuhan.

c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian

korban.

Dalam hal ini, pembunuhan semi sengaja dapat dilihat dari indikator

alat yang digunakan untuk membunuh. Seperti memukul dengan ranting

kayu maupun memukul dengan sapu lidi. Ada niat melukai tapi tidak

ada niat membunuh. Sanksi bagi pelaku pada pembunuhan semi sengaja

adalah berupa diyat. Diyat dalam hal ini sama halnya dengan diyat pada

kasus pembunuhan sengaja.

Menurut Imam diyat yang dimaksud adalah unta sedangkan menurut

Imam abu hanifah dan Imam malik adalah unta, emas, dan perak.14

 Pembunuhan Karna Kesalahan

Pembunuhan karna tersalah merupakan pembunuhan yang tidak

direncanakan untuk dilakukan atau tindakan itu mengenai orang yang

bukan menjadi sasarannya. Artinya, pelaku tidak sengaja melakukan

perbuatan yang menyebabkan kematian dan tidak maksud membunuh

korban. Dalam hal ini pelaku dibebankan karena kelalaiannya atau

kurangnya kehati-hatian dalam mengendalikan perbuatan itu. Adapun

unsur dalam pembunuhan ini yaitu:

14
A Djazuli, Op-
Cit, hlm 146
19

a. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian.

b. Terjadinya perbuatan itu karna kesalahan.

c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan

dengan kematian korban. Sanksi pokok pada pembunuhan karena

tersalah adalah diyat dan kafarat. Hukuman penggantinya adalah

puasa dan ta’zir dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak

waris dan hak mendapat wasiat.15

Secara garis besar hukum islam juga mempunyai tujuan untuk

memperoleh kemaslahatan hidup manusia dimana tolak ukur

kemaslahatannya terletak pada doktrin Ushul Fiqh yang dikenal dengan

sebutan al kulliyatul khams (lima pokok pilar) atau dengan kata lain

disebut dengan teori Maqasid al-Syari’ah (tujuan-tujuan universal

syari’ah) diantaranya adalah :

1. Hifdz Ad-din (memelihara agama) Tujuan hukum Islam dalam hal

ini adalah melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam

peringkat primer seperti menjalankan ibadah dan menjalankan

ajaran-ajaran agama.

2. Hifdz An-Nafs (memelihara jiwa) Untuk memelihara jiwa Allah

melarang segala perbuatan yang akan merusak jiwa seperti

penganiyaan ataupun pembunuhan. Karena pada dasarnya manusia

diberikan hak hidup dimana hak tersebut harus dilindungi dari

segala sesuatu yang dapat membahayakan jiwa.


15
Ibid, hlm 147
20

3. Hifdz Al-Aql (memelihara akal) Tujuan dari Al-Aql adalah menjaga

dan melindungi akal yang berarti bagaimana agar akal itu selalu

dalam keadaan sadar dan memiliki nilai kemanusiaan yang

didasarkan kepada nilai-nilai Ilahiah.

4. Hifdz Al-Mal (memelihara harta) Untuk memelihara harta, Islam

mengharamkan mencuri, menipu, menjalankan dan memakan riba,

merusak harta baik milik sendiri maupun milik orang lain. Untuk

memperoleh harta disyaratkan usahausaha secara halal, seperti

berdagang, mengelola industri, dan lain sebagainya.

5. Hifdz Al-Irdi (memelihara kehormatan)16 Untuk memelihara

keturunan, Islam mensyaratkan hukum perkawinan agar manusia

berkembang biak dalam keadaan yang sebaikbaiknya dengan

mensyariatkan hukuman badan (had) bagi orang yang berzina dan

orang yang menuduh orang baik-baik berbuat zina. Suatu perbuatan

adakalanya diperbuat oleh seseorang diri dan ada kalanya

dilakukan oleh beberapa orang (secara bersama-sama) atau biasa

disebut dengan penyertaan (deelneming) dalam hukum pdana.

Terlepas dari hal tersebut, dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian tentang delik

penyertaan (deelneming delicten), yang ada hanyalah bentuk-

bentuk penyertaan baik sebagai pembuat peristiwa pidana (dader)

16
Ridwan Jamal, Maqashid Al-Syari’ah dan Relevansinya Dalam Konteks Kekinian, Jurnal Hukum
Islam, hlm 8
21

maupun sebagai pembantu (medeplichtige).17 Hal ini telah

dirumuskan dalam pasal 55 Ayat 1 ke-1 dan 2 dimana dader disini

adalah mereka yang melakukan (Pleger), mereka yang menyuruh

melakukan (Doen Pleger), dan mereka yang turut serta perbuatan

(Medepleger) serta penganjur. Dalam hukum pidana islam

penyertaan dikenal sebagai konsep ishytirak fi al jarimah yang

dapat dibagi dalam dua bagian yaitu :

1. Orang yang turut serta berbuat secara langsung dalam

melaksanakan jarimah disebut “Sharik Mubasyir”dan

perbuatannya disebut “Isytirak Mubasyir”.

2. Orang yang tidak turut berbuat secara langsung dalam

melaksanakan jarimah disebut “Syarik Mutasabbib” dan

perbuatannya disebut “Isytirak Ghairul Mubasyir” atau

“Isytirak bit-tasabbubi”, (menghasut) atau memberikan

bantuan, tetapi tidak ikut serta seccara nyata dalam

melaksanakannya.

1.7 Kerangka Berfikir

Analisis Hukum Pidana Islam dan KUHP Terhadap Kasus


Pembunuhan Berencana Di Wairmitak, Desa Nebe,
Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka
17
Ahmad Hanafi,
Asas-Asas
Primer : melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Hukum Pidana
Pidana; Islam, (Jakarta:
Subsidair : melanggar Pasal 338 Kitab Undang-Undang Bulan Bintang),
Hukum Pidana; hlm 137

Implikasi yuridis konstruksi hukum bagi


penjatuhan vonis dalam Perkara Nomor:
16/Pid.B/2021/PNMme
22

1.8 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunak an dalam penelitian ini adalah


penelitian hukum normative empiris, yaitu suatu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti data sekunder. Penelitian hukum
normatif berupa peraturan perundang-undangan, yang dikaji secara
vertikal dan horisontal yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan langkah Jaksa Penuntut Umum dalam
membuktikan perkara tindak pidana pembunuhan.

b. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan Judical Case


Study yakni memaparkan pendekatan study kasus hukum karena konflik
sehingga akan melibatkan campur tangan dengan pengadilan untuk
memberikan keputusan.

c. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang penulis gunakan adalah penilitian hukum normative


empiris, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data
sekunder. Penelitian hukum normatif berupa peraturan perundang-
23

undangan, yang dikaji secara vertikal dan horisontal yaitu mengkaji


peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan langkah Jaksa
Penuntut Umum dalam membuktikan perkara tindak pidana
pembunuhan.

d. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber bahan hukum


yakni sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder,
adapun sumber bahan hukum yang dimaksud adalah :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari


hukum positif Indonesia berupa peraturan perundang-undangan:

a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3;

b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan


Republik Indonesia;

c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2010


tentang Pelaksana Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).

d) Hukum Pidana Islam

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari


buku-buku, karya ilmiah yang disampaikan dalam diskusi maupan
seminar-seminar, hasil penelitian, website maupun surat kabar yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


24

Adapun teknik pengumpulan bahan hukumdalam penelitian ini dilakukan


dengan cara Studi Kepustakaan, yaitu melakukan penelitian dengan cara
mempelajari, membaca, dan memahami buku-buku literatur, peraturan-
peraturan, pendapat yang erat hubungannya dengan materi yang diteliti.

f. Teknik Analisis

Teknik analisis dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu Data yang


diperoleh dari penelitian tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara
deskriptif kualitatif, artinya semua data yang diperoleh dianalisis secara
utuh sehingga terlihat adanya gambaran yang sistematis dan faktual.
Setelah data tersebut dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan
dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu suatu pola berfikir
yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus.

1.9 Daftar Pustaka

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang)

A djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT.


Kharisma Ilmu

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994)

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sikka

Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani . 2013. Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah. Bandung. Penerbit Pustaka Setia

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983)


25

Ridwan Jamal, Maqashid Al-Syari’ah dan Relevansinya Dalam Konteks


Kekinian, Jurnal Hukum Islam

Satipjo Roharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014)

Shinta Agustina, Makalah diangkat dari Laporan Penelitian BBI tahun 2001,
dan disampaikan pada Seminar tentang “Demokrasi dan HAM: Tinjauan
Hukum Hak Asasi Manusia dan Perlindungannya di Indonesia” Padang,
Genta Budaya, 15 Oktober 2003

Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana . Jakarta. Penerbit Rajawali Pers

Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum

www. DirektoratputusanmahkamaAgungRepublikIndonesia.go.id

Anda mungkin juga menyukai