Npm : 3118004
Matkul : tarikh tasyri’
JAWABAN :
1. Secara bahasa Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan
dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau
riwayat. Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Wajidi
Sayadi, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan
yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi
tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah “Ilmu yang membahas
keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup)
dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengannya, (membahas) keadaan fuqaha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum-hukum tersebut”. Tasyri’ adalah bermakna legislation,
enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama
Islam.Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang-undang adalah
pembuatan/pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum
bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa
yang terjadi dikalangan mereka.Dengan demikian, pada hakikatnya tarikh
tasyri’ tumbuh dan berkembang di masa Nabi SAW sendiri, karena Nabi SAW
mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan
wafatnya Nabi SAW. Dan dalam hal ini, nabi SAW berpegang kepada wahyu.
Para fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah,
kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah
juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan, mengambil
hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya
yang jelas. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-
Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia.
2. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh
manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk
dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang
dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat
Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-
Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.Dan barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha:
52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan
adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49). Manusia tidak tahu
pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh.
Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya
saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya
mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan
diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari
Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu
menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.Apakah Allah yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14). Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang
terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang
menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori
ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa
kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan
sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara
serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam
tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua
umat manusia sepanjang zaman.Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3). Hukum wadh’i hanya
mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah
tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan
syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir
yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah
Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas jiwa
manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini
memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah
kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas
dari jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan
pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-
hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk
membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa
pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-
Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)
َض ِ ُل بعْ ض ُك ْمَأ ْلحن
ٍ َْبحُجه ِتهَِ ِمنْ َبع ََ ِا هن ُك ْمَت ْختصِ مُونَإِليه َولع ه:َّللاَُعل ْيهَِوسلهمَقالََّللاَصلهى ه
ِ ََّللاَُع ْنهاَأنه َرسُول ه عَنْ َأ ُ ِّمَسلمةَرضِ ي ه
َالبخاريَومسلم.ارَفلَ يأْ ُخ ْذها ْ
ِ اَبق ْولِهَِفإِ هنماَأ ْقطعَُلهَُقِطع ًةَ ِمنْ َال هن
ِ َُبح ِّقَأخِي َِه ش ْي ًئ ُ فمنْ َقضي
ِ ْتَله
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian
mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai
berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang
aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal
sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan
kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-
Muslim). Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran
hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara
langsung. Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali
jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum
minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain.
Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak
moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi
menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadh’i
tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal
dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya
diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam
konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang
memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan
kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas
zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak
negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang
memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)
3. a. Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar
kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain
: “... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “
(QS. Al Hajj: 78). “... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185). “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka
berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286).Ayat-ayat yang bersifat
umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang
demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan
menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al
Qur’an disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :“...
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...” (QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam
keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
b. Menyedikitkan Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di
waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al
Maidah: 101).
Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam
syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan
rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :
“Rasulullah SAW. telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun
? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan ya, pasti akan menjadi wajib, maka
biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat
sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka
terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan
menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya.