Anda di halaman 1dari 7

Nama : kais maulidi

Npm : 3118004
Matkul : tarikh tasyri’
JAWABAN :

1. Secara bahasa Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan
dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau
riwayat. Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Wajidi
Sayadi, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan
yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi
tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.
Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah “Ilmu yang membahas
keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup)
dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang
berkaitan dengannya, (membahas) keadaan fuqaha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum-hukum tersebut”. Tasyri’ adalah bermakna legislation,
enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama
Islam.Pengertian tasyri’ menurut istilah syara’ dan undang-undang adalah
pembuatan/pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum
bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa
yang terjadi dikalangan mereka.Dengan demikian, pada hakikatnya tarikh
tasyri’ tumbuh dan berkembang di masa Nabi SAW sendiri, karena Nabi SAW
mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan
wafatnya Nabi SAW. Dan dalam hal ini, nabi SAW berpegang kepada wahyu.
Para fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah,
kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah
juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan, mengambil
hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya
yang jelas. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-
Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia.
2. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh
manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk
dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang
dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat
Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-
Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.Dan barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha:
52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan
adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49). Manusia tidak tahu
pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh.
Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya
saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya
mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan
diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari
Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu
menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.Apakah Allah yang menciptakan itu
tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14). Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang
terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang
menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori
ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa
kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan
sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara
serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam
tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua
umat manusia sepanjang zaman.Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3). Hukum wadh’i hanya
mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah
tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan
syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir
yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah
Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas jiwa
manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini
memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah
kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas
dari jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan
pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-
hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk
membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa
pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-
Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)
َ‫ض‬ ِ ُ‫ل بعْ ض ُك ْمَأ ْلحن‬
ٍ ْ‫َبحُجه ِتهَِ ِمنْ َبع‬ َ‫َ ِا هن ُك ْمَت ْختصِ مُونَإِليه َولع ه‬:‫َّللاَُعل ْيهَِوسلهمَقال‬‫ََّللاَصلهى ه‬
ِ ‫ََّللاَُع ْنهاَأنه َرسُول ه‬ ‫عَنْ َأ ُ ِّمَسلمةَرضِ ي ه‬
‫َالبخاريَومسلم‬.‫ارَفلَ يأْ ُخ ْذها‬ ْ
ِ ‫اَبق ْولِهَِفإِ هنماَأ ْقطعَُلهَُقِطع ًةَ ِمنْ َال هن‬
ِ ‫َُبح ِّقَأخِي َِه ش ْي ًئ‬ ُ ‫فمنْ َقضي‬
ِ ‫ْتَله‬
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian
mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai
berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang
aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal
sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan
kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-
Muslim). Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran
hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara
langsung. Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali
jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum
minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain.
Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak
moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi
menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadh’i
tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal
dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya
diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam
konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang
memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan
kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas
zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak
negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang
memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)
3. a. Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar
kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain
: “... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “
(QS. Al Hajj: 78). “... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185). “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka
berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286).Ayat-ayat yang bersifat
umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang
demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan
menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al
Qur’an disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :“...
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...” (QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam
keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

b. Menyedikitkan Beban

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di
waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al
Maidah: 101).

Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam
syari’at Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan
rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :

“Rasulullah SAW. telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun
? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan ya, pasti akan menjadi wajib, maka
biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat
sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka
terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).

c. Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum


Pada awal ajaran Islam diturunkan, Allah SWT belum menetapkan hukum secara tegas
dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan
mereka sebagai peraturan dalam kehidupan. Pada saat itu adat mereka ada yang baik
dan dapat diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk
diteruskan. Oleh karena itu syari’ah secara berangsur-angsur menetapkan hukum agar
tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu
dirasakan yang akhirnya sampai pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas.
Tahapan-tahapan dalam menetapkan syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :
1). Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara
masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara
lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan jahiliyah,
tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum
warisan Jahiliyah tersebut.
2). Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci.
Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya
mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).

3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara


mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan
maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu.
Firman Allah SWT :

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).

Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan
menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya.

Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk


meninggalkannya. Firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban


untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
d. Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memepertimbangkan kemaslahatan hidup umat
manusia. Oleh karena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga
aspek :
1). Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2). Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
e. Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah, yang
membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan
orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh
Allah dalam QS. Al Maidah: 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8).
4. Fase Rasul berada di Mekkah, yakni selama 12 tahun beberapa bulan semenjak beliau
dibangkitkan sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya. Pada fase ini umat Islam jumlahnya
masih sedikit dan posisinya masih lemah, belum menyatu sebagai satu umat dan belum
mempunyai pemerintahan. Perhatian Rasul pada fase ini diarahkan pada penyebaran
dakwah ketauhidan. Rasul berusaha memalingkan umat manusia dari penyembah berhala
dan patung, menjaga diri dari orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah, yakni
oang-orang yang menzalimi orang-orang beriman.2) Fase Rasul berada di Madinah,
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada
masa ini Islam telah terbina menjadi umat, dan telah membentuk pemerintah, media-
media dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak diberlakukanya tasyri’ dan
undang-undang, guna mengatur hubungan antara individu satu dengan yang lain, baik
masa damai maupun dimasa perang. Sumber hukum pada masa rasulullah:Perundang-
undangan dimasa Rasulullah bersumber dari dua hal, yaitu Ilahi dan Ijtihad Rasulullah
sendiri. Apabila muncul permasalahan yang menghendaki peraturan seperti perselisihan,
peristiwa hukum, pernyataan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan kepada
Rasul-Nya satu atau beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki. Kemudian
Rasul menyampaikan wahyu yang lantas menjadi undang-undang yang wajib diikuti itu,
kepada umat Islam.
5. jarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu
periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali
bn Abu Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa
ini adalah bahwa meskipun disebut periode khulafaur Rasyidin, namun dalam praktisnya
para mujtahid hukum bukan hanya para amirul mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh
kibar sahabat yang hidup pada masa ini juga sering berijtihad terhadap semua
permasalahan yang dirasa aktual dan memiliki haajah di antara umat islam.Dalam hal
permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-Quran, maka digunakanlah
hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak ditemukan
dalam Al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam hadits, namun karena hadits
masih belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu
persoalan yang sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung
kapasitas hadits yang dimiliki masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini,
para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling bertukar wawasan tentang hadits yang
mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan hukumnya di dalam Al-Quran dan
Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan ro’yu mereka sendir-sendiri, maka
kemudian terciptalah metode qiyas, penggalian illat hukum, ijma’, hingga akhirnya pada
tahap penelusuran substansi syariat dengan menggunakan metode maslahah, yaitu
mencari hal yang maslahat bagi masnusia secara umum. Bersumber pada alquran, hadis,
dan ijtihad sahabat. Sebab Iktilaf pada masa sahabat : Pertama : , perbedaan dalam
memahami nash Al-Quran dan Hadits. hal ini disebabkan karena ketidak jelasan batasan
antara pengertian nash dan perbedaan pesepsi di kalangan sahabat, seperti lafadz (‫)القرء‬
dalam firman Allah Ta’ala (‫ )والمطلقةَيتربصنَبأنفسهنَثلثةَقروء‬umar dan ibnu mas’ud mengartikan
bahwa (‫ )القرء‬bermakna haid, sedangkan zaid bin tsabit mengartikannya dengan suci, dan
tiap-tiap pendapat memiliki argument yang menguatkannya. Kedua, munculnya dua
persoalan yang merujuk pada dua nash yang saling berlawanan. Para fuqoha pun sepakat
bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan. Pertama,
mencari benang merah antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka
menggunakan metode kedua yaitu At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum
dengan nash hukum lainnya karena ada dalil yang menguatkannya, bila tidak ditemukan
dalil yang menguatkannya maka dipakailah metode ketiga yaitu teori nasakh yaitu hukum
nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua yang datang belakangan. Contohnya
masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah dia beriddah hamil atau
beriddah kematian suaminya? Dalam al-Quran disebutkan:“…Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya..” .(QS. At-Thalaq: 4). Di ayat lain disebutkan “Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234).
Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari benang merah dari kedua nash di atas dan beliau
kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang paling lama dari dua
masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat pertama menghapus hukum
ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah melahirkan maka
berakhir pula lah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya dengan hadits nabi yang
menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subai’ah Al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah
melahirkan anaknya beberapa hari semenjak kematian suaminya.Ketiga, sebagian fuqoha
memutuskan suat peristiwa berdasarkan pengetahuannya dari sunnah, sementara yang
lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai hadits shahih. Contohnya perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan
Ibnu Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati suaminya
sebelum mengadaka hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan karena pada zaman
ini sunnah/ hadits-hadits Nabi belum dibukukan, maka tingkat kuantitas hadits yang
didapat dan dihafal oleh para sahabat juga relatif beda antara satu dan yang lain,
tergantung seberapa seringnya mereka berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW
semasa hidupnya, atau kepada para sahabat periwayat hadits. Sehingga produk hukum
yang mereka hasilkan mungkin berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits Nabi
yang lain, yang mungkin menjelaskan / menafsiri hadits yang mereka hafal.Keempat,
perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha yang kemudian memunculkan
beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncullah bebeerapa
perbedaan pendapat dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan
mampu memperkayah tsarwah fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum.
Ini terjadi ketika seorang sahabat ingin mengetahui sebab suatu peristiwa hukum. Contoh:
dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW mempercepat langkah
ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian besar sahabat berkata:”lari-lari kecil
ketika tawaf itu sunnah”. Ibnu Abbas berkata:” tidak sunnat”. Lagkah nabi dipercepat
karena orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika berthawaf.
Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.Kelima,
mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan kesungguhan para fuqoha
dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan
kesungguhan itulah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode
ini.

Anda mungkin juga menyukai