273
21 Jumada al-Ula 1443 H
16 Desember 2022 M
I
man bukan sekadar pengakuan dan klaim. Iman menuntut
pembuktian. Allah SWT berfirman:
ﻴﻤﺎ َﺷ َﺠَﺮ ﺑَـْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ﰒُﱠ َﻻ ِﻮك ﻓ ﻤ ﻚ َﻻ ﻳـُ ْﺆِﻣﻨُﻮ َن َﺣ ﱠ ٰﱴ ُﳛَ ﱢ
ﻜ
َ َ ُ َ ﻓَ َﻼ َوَرﺑﱢ
ِ ِ
ﻴﻤﺎً ﺖ َوﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻤﻮا ﺗَ ْﺴﻠ َ ََِﳚ ُﺪوا ِﰲ أَﻧ ُﻔﺴ ِﻬ ْﻢ َﺣَﺮ ًﺟﺎ ﱢﳑﱠﺎ ﻗ
َ ﻀْﻴ
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hing-
ga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas
perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak
merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hu-
kum apapun yang kamu berikan, dan mereka menerima (kepu-
tusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]:
65).
01
Berdasarkan ayat ini, menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di
dalam At-Tafsîr al-Munîr, agar orang beriman dengan iman
yang haqq (benar) harus terpenuhi tiga sifat: Pertama, dia
menjadikan Rasul saw. sebagai pemutus hukum dalam semua
perkara. Sebabnya, apa saja yang Rasul saw. putuskan pasti
benar sehingga wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Kedua,
tidak ada keberatan dalam dirinya atas apa pun yang Rasul
saw. putuskan. Jiwanya mengikuti keputusan hukum Rasul
saw. disertai dengan keridhaan yang sempurna, penerimaan
mutlak dan tidak membenci. Ketiga, ia patuh sepenuhnya dan
menerima (keputusan hukum) secara total tanpa keberatan,
pembelaan atau penyelisihan.
Menjadikan Rasul saw. sebagai hakim sepeninggal beliau
adalah dengan menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai
pemutus hukum. Artinya, wajib menjadikan hukum-hukum
Islam sebagai pemutus segala perkara yang terjadi.
Ketika Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan kepu-
tusan hukum, maka tidak ada pilihan (opsi) lain bagi manusia
(Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36).
Ketika sudah ada keputusan Allah SWT dan Rasul saw.,
yakni ketika sudah ada hukum Islam, maka sikap seorang
Mukmin adalah menerima dan patuh/taat (Lihat: QS an-Nur
[24]: 51).
02
Itulah sikap yang harus ditunjukkan. Bukan malah mengam-
bil hukum selain hukum Islam atau membuat hukum-hukum
lain yang berasal dari pikiran dan hawa nafsu manusia.
KUHP yang baru disahkan itu dirancang untuk menggan-
tikan KUHP warisan kolonial Belanda. Tentu banyak pihak
berharap ketidakadilan, diskriminasi, otoritarianisme, mental
kolonial dan lainnya yang menjadi dampak dari KUHP kolonial
dapat dihilangkan. KUHP baru juga diharapkan dapat
mengantarkan pada perwujudan masyarakat yang dipenuhi
dengan keadilan, kebaikan, martabat dan kemuliaan. KUHP
baru pun diharapkan dapat meminimalisasi kasus-kasus krimi-
nal di masyarakat.
Namun, masyarakat harus siap-siap untuk kecewa. Berba-
gai harapan itu tampaknya tidak akan dapat terwujud. Banyak
pihak masih mempermasalahkan KUHP yang sudah disahkan.
Mereka menilai KUHP baru bukannya mengikis potensi otori-
tarianisme. Sebaliknya, ia malah makin membuka peluang dan
potensi munculnya otoritarianisme baru. Mental pemerintah
kolonial yang anti kritik berpeluang makin kokoh. Hal itu
karena ada pasal yang mempidanakan penyebaran paham
yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, penghinaan
terhadap presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghi-
naan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, peng-
hasutan melawan penguasa umum dan kriminalisasi demon-
03
strasi. Di dalamnya ada ketentuan-ketentuan bersifat “karet”
yang nantinya dapat dijadikan alat represif untuk membung-
kam suara kritis dari masyarakat.
Ada juga aturan yang mempidanakan penyelenggara
demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu berpotensi menjadi
alat untuk mempersempit kritik. Selama ini tanpa aturan yang
bersifat pidana saja, banyak pihak merasa dipersulit untuk
menyampaikan kritik melalui demonstrasi. Atas dasar itu,
tidak jarang terjadi tindakan represif.
KUHP baru juga tidak memberikan sanksi terhadap pelaku
LGBTQ+, apalagi mereka yang menyerukan dan menyebarkan
LGBTQ+. Padahal LGBTQ+ mendatangkan bahaya bagi masya-
rakat.
Di dalam KUHP baru, mental kolonial, khususnya dalam hal
hubungan penguasa dengan rakyat, masih dipelihara. KUHP
baru juga masih memuat aturan-aturan yang pada hakikatnya
tidak banyak berbeda dengan yang ada dalam KUHP warisan
kolonial Belanda. Prinsip-prinsip hukum yang dianut juga ma-
sih banyak kesamaannya dengan warisan kolonial Belanda.
Padahal sudah terbukti, penerapan hukum dan prinsip-prinsip
hukum warisan kolonial itu tidak dapat mewujudkan keadilan
dan rasa keadilan, juga terbukti gagal dalam memberantas
tindak kejahatan. Pada akhirnya, masyarakat tidak terlindungi
04
dari berbagai kriminalitas. Mereka pun belum merasakan kea-
dilan dan rasa keadilan.
05
‘alamin (Lihat: QS al-Anbiya’ ]21]: 107). Islam adalah rahmatan
lil ‘alamin karena pasti mendatangkan kemaslahatan dan
mencegah kemadaratan dari umat manusia dan alam. Hukum-
hukum Islam, misalnya, akan menjaga dan melindungi darah,
harta, akal, kehormatan, jenis manusia dan agama.
Karena itu Allah SWT menyatakan keheranan, pengingka-
ran dan celaan terhadap siapa saja yang justru lebih menghen-
daki hukum-hukum selain Islam (hukum-hukum jahiliah) dan
malah berpaling atau meninggalkan hukum-hukum Islam.
Allah SWT berfirman:
06
kriminal yang telah dijatuhi hukuman yang syar’i. Hukum
pidana Islam juga bersifat zawâjir, yakni dapat memberikan
efek jera bagi pelakunya dan membuat orang lain takut untuk
melakukan tindakan kriminal serupa. Karena itu hukum pidana
Islam akan memberikan jaminan kelangsungan hidup bagi
masyarakat. Allah SWT berfirman:
ِ ُوﱄ ْاﻷَﻟْﺒ ِ
ﺎب ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮ َنَ ِ ﺎص َﺣﻴَﺎةٌ ﻳَﺎ أ
ِ ﺼَ َوﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﰲ اﻟْﻘ
Dalam qishâsh itu ada jaminan kelangsungan hidup bagi kalian,
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-
Baqarah [2]: 179).
07
secara riil. Namun sayang, saat ini hal itu tidak ada dan tidak
dirasakan lagi.
Tentu kita berkewajiban untuk patuh, taat dan terikat pada
hukum-hukum Islam. Hal itu kita wujudkan dengan mempe-
domani dan menerapkan Islam dalam semua urusan hidup ki-
ta. Namun, saat ini hukum-hukum Islam tidak lagi diterapkan.
Ia digantikan oleh hukum-hukum jahiliah, yang berasal dari
manusia sendiri. Inilah yang membuat kehidupan masyarakat
sarat dengan kezaliman dan ketidakadilan. Hilang pula
keamanan dan rasa aman.
Semua itu semestinya mendorong kita untuk segera
menerapkan hukum-hukum Islam untuk mengatur perkara
kehidupan dan memutuskan segala persoalan yang terjadi.
Jangan sampai kita termasuk orang yang zalim, fasik apalagi
kafir karena enggan menerapkan hukum-hukum Islam.
Allah SWT berfirman:
08
Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang
telah Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang fasik (TQS
al-Maidah [5]: 47).
HIKMAH:
09