Anda di halaman 1dari 5

Hukum Wadhi Hukum wadhi adalah ketentuan-ketentuan yang dituntut syarI untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi

terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadhI tersebut. Hukum wadhI ada tiga, yaitu: sabab, syarath dan mani. Sebab adalah sesuatu yang Nampak dan jelas yang dijadikan oleh syarI sebagai penentu adanya hukum. Seperti: masuknya waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat. Secara umum, sebab terbagi dua, yaitu: sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian keadaan dhorurot yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti : melakukan perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual. Yang dimaksud dengan syarath adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Syarath ada dua macam, yaitu: syarath yang menyempurnakan sebab, seperti haul yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus juga menjadi penyempurna terhadap nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat. Kedua, syarath yang menyempurnakan musabab, seperti : wudhu, menutup aurat dan menghadap qiblat dalam shalat. Mani merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Seperti: nishab itu merupakan sebab wajibnya bayar zakat. Akan tetapi , kalau pemilik barang itu mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak wajib bayar zakat. Dengan demikian, hutang itu merupakan mani, sekaligus menjadi sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat. Mani terbagi menjadi dua, yaitu mani yang mempengaruhi sebab, seperti contoh di atas, dan mani yang mempengaruhi musabab. Contoh: seorang ayah membunuh anaknya. Secara hukum, setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishas. Akan tetapi, karena pembunuhnya itu bapaknya sendiri, hukuman qishas menjadi gugur. Dengan demikian, posisi kebapakan menjadi mani terhadap pelaksanaan qishas. Penerapan dalam islam
Hukum wadhi adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani (pencegah) untuk suatu perkara. Contoh sebab: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku. *QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu. Contoh syarat: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya. *QS. Ali Imran (3): 97+. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.

Contoh mani (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal). Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.

Syariat Islam dan Hukum Wadhi (Hukum Positif) Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-Tasyri Al-Jina-i fi Al-Islam (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya: 1. Hukum wadhi tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Anam: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49). 2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan kekinian dan kesinian serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14). 3. Hukum wadhi memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak

masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107) Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3). 4. Hukum wadhi hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadhi kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Taala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93) : ) . ). Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya. (H.R. Bukhari-Muslim). 5. Hukum wadhi mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadhi tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadhi tidak memberi sangsi atas peminum minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain. Hukum wadhi tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral. Hukum wadhi tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan

itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91) 1.2 Hukum Wadhi Hukum wadhi terbagi menjadi tiga macam, yaitu: sebab, syarat, dan mani (penghalang). Contoh: waktu jika dihubungkan dengan shalat, maka ia merupakan sebab bagi wajibnya shalat, tetapi sebagai syarat sahnya adalah wudhu. Dan bilamana waktu telah tiba, sedang seseorang itu dalam keadaan gila (ada mani), maka perkerjaan shalat tidak wajib baginya. 1.2.1 Sebab Sebab adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Sebab dibagi menjadi dua: pertama, sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: waktu, keadaan terpaksa, dll), dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: bepergian jauh bagi yang berpuasa, akad nikah, akad jual beli, dll). 1.2.2 Syarat Syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Bedanya dengan sebab: ditemukannya syarat tidak memastikan adanya hukum, namun ditemukannya sebab memastikan adanya hukum, terkecuali bila ada mani (penghalang). Contoh: wudhu yang merupakan syaratnya shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. 1.2.3 Al-Mani Al-Mani (penghalang) ialah perkara syara yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Contoh: sebab wajibnya dikeluarkan zakat adalah nishab, dan termasuk penghalangnya (mawani, jamak dari mani) adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang jumlahnya sebanding dengan nishab atau sebagainya. Al-Mani (penghalang) terbagi dua: pertama, mani yang berpengaruh terhadap sebab, dan kedua, mani yang mempengaruhi hukum sekaligus menghilangkannya. Contoh yang pertama adalah hutang seperti diatas, contoh yang kedua: adanya hubungan kebapakan

merupakan penghalang (mani) dikenakan hukum qishas, dan perzinaan yang syubhat merupakan penghalang (mani) bagi pelaksanaan hukuman had. 1.2.4 Sah, Rusak, dan Batal (Ash-Shihhah, Al-Fasad, Al-Buthlan) Sah, rusak dan batal merupakan sifat-sifat yang ada dalam hukum syara, baik itu hukum taklifi maupun hukum wadhi. Oleh karena itu, shalat yang termasuk dalam lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, dimana melaksanakannya merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Shalat menjadi tidak sah jika syarat-syaratnya tidak dipenuhi, dan karenanya kewajiban mengerjakannya belum gugur, dan berdosa jika seseorang tidak mengulangi shalat itu pada waktunya. Demikian juga hukum-hukum wadhi, mempunyai sifat sah, rusak dan batal.

Anda mungkin juga menyukai