Anda di halaman 1dari 7

faaqihgroup.wordpress.

com
ebook gratis – animasi gratis – mp3 arabic gratis – software gratis – islam video gratis – islam galeri gratis
– edukasi games gratis – tips/tutorial computer gratis – 3D wallpaper gratis – info bisnis online

KEUNGGULAN SISTEM PIDANA ISLAM :

PEMBUNUHAN DI SAUDI SELAMA 1 TAHUN SAMA DENGAN


PEMBUNUHAN DI AMERIKA DALAM SEHARI

Oleh : M. Shiddiq al-Jawi


Pengantar
Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis kafir dan
pengikutnya –yakni kaum liberal— selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi. Hukuman
potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad, misalnya, sering
dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka tawarkan adalah mencari
―substansi‖ sistem pidana Islam, yaitu memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun
bentuk hukumannya. Pencuri cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya. Pada
akhirnya, sistem pidana kafir warisan penjajah tetap bisa bercokol terus di negeri Islam ini.

Pandangan sinis terhadap sistem pidana Islam itu lahir bukan karena sistem pidana Islamnya
yang batil, melainkan lahir karena 2 (dua) alasan utama.

Pertama, secara konseptual, sistem pidana Islam dianggap bertentangan dengan pola pikir
kaum sekuler/liberal. Misalnya, hukuman mati untuk orang murtad, dianggap kejam dan
salah bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena bertentangan dengan prinsip kebebasan
beragama yang dianut secara fanatik oleh kaum sekuler.

Kedua, secara praktikal, sistem pidana yang sedang diterapkan memang bukan sistem pidana
Islam. Hukum potong tangan untuk pencuri dipandang salah dan sadis bukan karena
Islamnya yang salah, melainkan karena bertentangan dengan sistem pidana kafir warisan
penjajah, yaitu pasal 362 KUHP. Dalam pasal ini, pencuri diancam pidana penjara paling
lama lima tahun. Patut diketahui KUHP ini adalah pidana warisan penjajah Belanda yang
dikenal dengan nama Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri muslim ini sejak 1946
(Muljatno, KUHP, 2001:128).

Padahal, studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan
berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah
diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi keunggulan sistem pidana Islam
tersebut, baik keunggulan secara konseptual (teoretis), maupun keunggulan praktikal
(empiris).
Keunggulan Konseptual
Secara konsektual (teoretis), paling tidak ada 5 (lima) keunggulan sistem pidana Islam.

Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal
manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini
tentu sangat berbeda dengan sistem pidana sekuler yang dibuat oleh manusia yang sok tahu
dan sok pinter tentang manusia, padahal sebenarnya ia lemah dan serba terbatas jangkauan
pandangannya.

Allah SWT berfirman :

―Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maa`idah [5] : 50)

Ayat di atas maknanya adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum
Allah. (Imam as-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, hal. 91). Jadi, meski redaksinya berupa
pertanyaan (―siapakah‖), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu
(―tidak ada siapa pun‖). (Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/139).

Sumber sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah ini selanjutnya melahirkan
keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem pidana
Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.

Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan kosong dari
unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika hukum potong tangan
diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman itu diperintahkan Allah
dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).

Tapi ketika manusia menerapkan hukum pidana penjara untuk pencuri, yaitu menerapkan
pasal 362 KUHP, berarti ia tidak bertakwa kepada Allah, karena ia tidak menjalankan sanksi
ketetapan Allah, tapi sekedar sanksi bikinan manusia sesamanya. Kalau hakim muslim
merasa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan pasal 362 KUHP, jelas ia sedang
berkhayal atau bermimpi kosong.

Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan melaksanakan
sholat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam bersifat spiritual
(ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan
ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang muslim.

Kedua, sebagai implikasi dari keunggulan pertama, maka keunggulan berikutnya adalah,
sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti
situasi, kondisi, waktu dan tempat. (Audah, at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, I/24-25). Allah
SWT berfirman :

―Telah sempurna kalimat Tuhanmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang
dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS Al-An’aam [6] : 115)

Sebaliknya sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten ini, karena ia akan selalu
berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi, kondisi, waktu dan
tempat. Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah, tapi dari
manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan berganti.

Dalam sistem pidana Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan
kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun (al-Maliki, Nizham
al-Uqubat, hal. 49). Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana
ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin.

Ini beda sekali dengan sistem pidana sekuler. Dulu pada tahun 1920-an Amerika Serikat
pernah melarang minuman keras. Tapi dasar bangsa Amerika adalah bangsa pemabok,
akhirnya mereka tidak tahan dan minuman keras lalu dibolehkan lagi untuk ditenggak oleh
masyarakat Amerika yang kafir.

Memang dalam sistem pidana Islam ada jenis hukuman ta’zir yang memungkinkan adanya
perbedaan sanksi hukuman yang penetapannya diserahkan kepada qadhi (hakim). Misalnya
pengguna narkoba, dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya
diserahkan kepada qadhi (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal.189). Ini berarti bisa saja sanksi
penjaranya bisa kurang dari 15 tahun, dan besarnya denda bisa berbeda-beda.

Tetapi ini bukan berarti hukum bisa berubah mengikuti waktu dan tempat, sebab hukumnya
tidak berubah, yaitu hukum mengkonsumsi narkoba itu tetap haram. Yang berbeda hanyalah
kadar sanksinya, bukan boleh tidaknya mengkonsumsi narkoba. Ini beda sekali dengan
kejadian di AS, dimana yang berubah justru boleh tidaknya minum khamr.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir
(menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat.
Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem sekuler memang
sangat cetek (dangkal) dan picik wawasan dan dimensinya.

Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan
melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku
pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa
manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :

―Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)

Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang
muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan
bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta,
lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah
(penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA) (M. Husain Abdullah,
Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hal. 64).

Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di
akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia.
Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. Tapi dalam sistem pidana sekuler, sifat
jawabir ini tidak ada. Nihil. Jadi kalau seseorang mencuri dan dipenjara (bukan dipotong
tangan), di akhirat nanti masih akan diazab oleh Allah karena pencurian yang dilakukannya di
dunia. Jadi, dengan sistem pidana sekuler, orang akan menderita secara double, di dunia
sekaligus di akhirat. Mengerikan, bukan? Nauzhu billah….

Keempat, Dalam sistem pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil.
Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti
bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau
menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk
neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

Rasulullah SAW bersabda : ―Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata


kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang
diterima oleh hakim adalah kufur) (HR. Ahmad).

Berdasar hadits itu, seorang ulama dari kalangan tabi‘in, yakni Abu Wa`il bin Salamah
berkata,‖Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika
menerima suap, ia telah sampai pada kekufuran.‖ (Al-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 62)

Kelima, Dalam sistem pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis
yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat.

Kaidah fiqih menyebutkan,‖al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.‖ (Ijtihad tidak dapat


dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya). (Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 193).
Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan
oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.

Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem ―banding‖ yakni mengajukan peninjauan
vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sebagaimana dalam sistem peradilan sekuler.
Sebab sekali vonis dijatuhkan, ia berlaku secara mengikat dan langsung dijalankan. Kecuali
jika vonis itu salah, maka wajib dibatalkan. Misalnya seorang yang dijatuhi vonis hukuman
mati (qishash) atas dasar pengakuan, lalu terbukti pengakuannya tidak benar karena ada
saksi-saksi yang membatalkan kesaksiannya itu.
Keunggulan Praktis (Empiris)
Secara empiris, keunggulan sistem pidana Islam pun masih dapat dibuktikan hingga
sekarang, meski negara Khilafah sebagai institusi penegaknya sudah hancur sejak tahun
1924.

Negara Arab Saudi, walau pun belum Islami seratus persen --karena masih menggunakan
sistem monarki (bukan Khilafah)-- tapi sistem pidana Islam yang diterapkannya
menunjukkan keunggulan signifikan bila dibandingkan sistem pidana sekuler yang dijalankan
di negara-negara Arab lainnya, yaitu di Suriah, Sudan, Mesir, Irak, Libanon, dan Kuwait.
Rata-rata angka pembunuhan di Saudi (dalam 100.000 penduduk) dalam periode 1970-1979
yang besarnya 53, ternyata hanya 1/6 dari angka pembunuhan Mesir dan Kuwait, 1/7 dari
angka pembunuhan Suriah, 1/9 dari angka pembunuhan Sudan, 1/16 dari angka pembunuhan
Irak, dan hanya 1/25 dari angka pembunuhan Libanon. (Topo Santoso, 2003: 138-143).

Jika Saudi dibandingkan dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, angkanya akan lebih
signifikan dan dramatis. Bayangkan, angka pembunuhan Saudi selama 1 tahun sama
dengan angka pembunuhan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka pembunuhan Saudi
selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 53 kasus pembunuhan per tahun. Di AS (sepanjang
1992 saja) terjadi 20.000 kasus pembunuhan, atau 54 orang terbunuh per hari (al-Basyr,
1995:45).

Bayangkan pula, angka perkosaan di Saudi selama 1 bulan sama dengan angka
perkosaan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka perkosaan Saudi selama 10 tahun (1970-
1979) hanya ada 352 kasus perkosaan per tahun. Jadi per bulan di Saudi terjadi sekitar 29
perkosaan. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 10.000 kasus perkosaan, atau sekitar 27
perempuan diperkosa per hari. Ini kurang lebih setara dengan angka perkosaan Saudi selama
1 bulan (Qonita, 2001:53-54). Subhanallah!

Penutup
Dari uraian keunggulan konseptual dan praktikal di atas, nampak jelas sistem pidana Islam
jauh lebih unggul jika dibandingkan sistem pidana sekuler yang diterapkan saat ini.

Sudah saatnya sistem pidana sekuler warisan penjajah yang kafir itu dihapuskan sekarang
juga, sebab ia bertentangan secara total dengan Islam dan hanya menimbulkan dosa dan
kerusakan di dunia dan akhirat. [ ]
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Husain. 1990. Dirasat fi al-Fikr al-Islami. Beirut : Darul Bayariq.

Audah, Abdul Qadir. 1992. at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami. Beirut : Mu`assah ar-
Risalah.

al-Baghdadi, Abdurrahman. 1987. Serial Hukum Islam (Penyewaan Tanah


Lahan, Kekayaan Gelap, Ukuran Panjang, Luas, Takaran, dan Timbangan). Bandung : PT.
Alma‘arif.

al-Basyr, M. bin Saud. 1995. Amerika di Ambang Keruntuhan (As-Suquth min al-Dakhil).
Penerjemah Mustholah Maufur. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Ghalayaini, Syaikh Musthofa. Jami’ al-Durus al-‗Arabiyah. 1994. Beirut : al-


Maktabah al-‗Ashriyah.

al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham al-Uqubat fi al-Islam. Beirut : Darul


Ummah

Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan kedua puluh satu.
Jakarta : Bumi Aksara.

Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.

as-Suyuthi & al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Jalalain. Cetakan Pertama. Beirut : Darul Fikr.

Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Jakarta : Bina Mitra Press.

Zallum, Abdul Qadim. 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut
Tahrir.

Anda mungkin juga menyukai