Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Agama


Psikologi Agama terdiri dari dua kata Psikologi dan Agama. Psyiche artinya jiwa
logos artinya ilmu. Secara bahasa psiko- logi agama diartikan Ilmu Jiwa Agama. Menurut
Bruno (1987) dalam Syah (1996: 8) membagi pengertian psikologi menjadi tiga bagian
yang pada prinsipnya saling berkaitan
1. Psikologi adalah studi mengenai Ruh
2. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental.
3. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai perilaku organisme
Sarwono ( 1976) juga mengemukakan beberapa definisi psikologi.
1. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.
2. Psikologi adalah studi yang mempelajari hakikat manusia.
3. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respon yang diberikan oleh makhluk hidup
terhadap lingkungannya.1
Sujito (1985) menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari atau
menyelidiki pernyataan–pernyataan jiwa.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dirumuskan bahwa psikologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu (manusia) dalam interaksi
dengan lingkungannya. Psikologi secara umum mempelajari gejala kejiwaan manusia
yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion) dan kehendak (conasi).
Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
1. Mengikat dari ada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan–
perbuatan manusia.
2. Kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu
3. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari sesuatu kekuatan ghaib.
4. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan ghaib
5. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar manusia.

1
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru, 1991), h.46
6. Ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Islam mendefenisikan agama sebagai ajaran yang diturunkan Allah kepada
manusia. Agama berasal dari Allah. Allah menurunkan agama agar manusia
menyembah-Nya dengan baik dan benar. Ada delapan tujuan Allah menurunkan
Islam kepada manusia.
Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak
kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak.
Allah berfirman dalam Q.S Al Baqarah ayat 256:

‫ٓاَل ِإ ۡك َراهَ فِي ٱلدِّي ۖ ِن‬


“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.”

Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih beragama atau tidak,


sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Kahfi ayat 29:
‫فَ َمن َشٓا َء فَ ۡلي ُۡؤ ِمن َو َمن َشٓا َء فَ ۡليَ ۡكفُ ۡۚر‬
…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…”.
Kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan
jiwa seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya
hukum “Qisas”.
Di dalam Islam dikenal ada tiga macam pembunuhan, yakni pembunuhan
yang disengaja, pembunuhan yang tidak disengaja, dan pembunuhan seperti
disengaja. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing tuntutan
hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang disengaja,
maka pihak keluarga yang terbunuh berhak menuntut kepada hakim untuk
ditetapkan hukum Qisas/mati atau membayar “Diyat” (denda).
Dalam memutuskan perkara pembunuhan, hakim tidak punya pilihan lain
kecuali menetapkan apa yang dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh.
Berbeda dengan kasus pembunuhan yang tidak disengaja atau yang seperti
disengaja, di mana hakim harus mendahulukan tuntutan hukum membayar Diyat
(denda) sebelum Qisas.

Ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi


keturunan di antaranya dengan menetapkan hukum “dera” seratus kali bagi pezina
ghoiru muh¡hon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muh
¡hon (suami/istri, duda/janda). Allah berfirman dalam Q.S. An-Nùr ayat 2:

ۡ ۡ
ِ ‫ة فِي ِد‬ٞ َ‫ بِ ِه َما َرأف‬f‫ُوا ُك َّل ٰ َو ِح ٖد ِّم ۡنهُ َما ِماَْئةَ َج ۡلد ٖ َۖة َواَل تَأ ُخ ۡذ ُكم‬
ِ ‫ين ٱهَّلل‬ ْ ‫ٱجلِد‬
ۡ َ‫ٱل َّزانِيَةُ َوٱل َّزانِي ف‬

َ‫ة ِّمنَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬ٞ َ‫د َع َذابَهُ َما طَٓاِئف‬fَۡ‫ِإن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۖ ِر َو ۡليَ ۡشه‬

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah


tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk
melindungi keturunan. Bayangkan bila dalam 1 (satu) tahun saja semua manusia
dibebaskan berzina dengan siapa saja termasuk dengan orangtua, saudara kandung
dan seterusnya, betapa akan semrawutnya garis keturunan manusia.
Keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat
menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw
menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal),
maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan
benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa
menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas
dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi
lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum
Allah hanya berlaku bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan
akalnya.
Kelima, “melindungi harta”. Islam membuat aturan yang jelas untuk bisa
menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan
menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Allah berfirman dalam Q.S. Al
Màidah ayat 38:
ٰ ۡ
ِ ‫َّارقَةُ فَٱقطَع ُٓو ْا َأ ۡي ِديَهُ َما َج َزٓا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َكاٗل ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ fُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
“Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi
nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi
kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan
fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan. Karena itu
betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk
atau “dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan
kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman dalam Q.S.
an-Nùr ayat 4

‫ٱجلِ ُدوهُمۡ ثَ ٰ َمنِينَ َج ۡلد َٗة‬ ْ ُ‫ت ثُ َّم لَمۡ يَ ۡأت‬


ۡ َ‫وا بَِأ ۡربَ َع ِة ُشهَدَٓا َء ف‬ ِ َ‫ص ٰن‬
َ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ ۡٱل ُم ۡح‬
ٓ
َ‫وا لَهُمۡ َش ٰهَ َدةً َأبَ ٗد ۚا َوُأوْ ٰلَِئكَ هُ ُم ۡٱل ٰفَ ِسقُون‬
ْ ُ‫َواَل ت َۡقبَل‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat


zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”
Ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan
bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang
pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar
masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan
ketakutan”. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Quraisy ayat 4, artinya: “Yang
telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan”.
Kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam
menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan
“kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh umat Islam “dengan
cara yang Islami”.
Peringatan keras terhadap orang yang mengkudeta kekuasaan yang sah
diriwayatkan Imam Muslim dari Nabi Saw menyatakan yang artinya: “Apabila
datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.
Beberapa penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa secara umum, agama
adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai
dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada
manusia. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan
bersama yang ditujukan kepada Ilahi.2
Sedangkan penulis menyimpulkan, bahwa psikologi agama adalah salah
satu cabang ilmu psikologi yang mengkaji tentang gejala-gejala kejiwaan dan
tingkah laku seseorang yang dapat diamati secara langsung, dimana gejala-gejala
kejiwaan dan tingkah laku tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh aspek-aspek
keagamaan yang dia yakini. Psikologi agama membatasi wilayah kajiannya hanya
pada proses kejiwaan manusia yang dihayati secara sadar dalam kondisi normal,
dan manusia.
yang memiliki norma-norma kehidupan luhur dan berperadaban. Psikologi
agama tidak membahas masalah ajaran atau pokok-pokok keyakinan suatu agama,
seperti sifat-sifat Tuhan, masalah surga dan neraka serta masalah gaib lainnya.
Jadi, psikologi agama dalam kajiannya tidak menjangkau atau menyentuh bidang
khusus yang menjadi wilayah kajian penelitian ilmu-ilmu agama.

2
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Beberapa Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), h.8

Anda mungkin juga menyukai