Anda di halaman 1dari 13

Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia.

Meski
demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam
memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu
cocok dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, dalam
permasalahan apa pun.
Akal adalah nikmat besar yang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan
dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini
menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang
sangat menakjubkan. (al-‘Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hlm. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat, Allah subhanahu wa
ta’ala memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan
akalnya), di antaranya,
ُ ۢ ‫س َّخ ٰ َر‬
‫ت ِبأ َ ۡم ِر ِه ۚۦٓ إِنَّ فِي‬ َ ‫س َو ۡٱل َق َم ۖ َر َوٱل ُّن ُجو ُم ُم‬
َ ‫ش ۡم‬ "َ ‫س َّخ َر َل ُك ُم ٱ َّل ۡيل َ َوٱل َّن َه‬
َّ ‫ار َوٱل‬ َ ‫َو‬
١٢  َ‫ٰ َذلِ َك أَل ٓ ٰ َيتٖ ِّل َق ۡو ٖم َي ۡعقِلُون‬
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (an-Nahl: 12)
ٰ
‫ان َو َغ ۡي ُر‬ٞ ‫ل صِ ۡن َو‬ٞ ‫ع َو َنخِي‬ٞ ‫ت ِّم ۡن أَ ۡع ٰ َنبٖ َو َز ۡر‬ٞ ‫ت َو َج َّن‬ٞ ‫ع ُّم َت ٰ َج ِو ٰ َر‬ٞ ‫ض ق َِط‬ ِ ‫َوفِي ٱأۡل َ ۡر‬
‫ضِي ٱأۡل ُ ُك ِۚل إِنَّ فِي ٰ َذلِ َك‬
‫ض َها َع َل ٰى َب ۡع ٖ ف‬ َ ‫ضل ُ َب ۡع‬ ِّ ‫ان ُي ۡس َق ٰى ِب َم ٖٓاء ٰ َوحِدٖ َو ُن َف‬ ٖ ‫صِ ۡن َو‬
٤ َ‫أَل ٓ ٰ َيتٖ ِّل َق ۡو ٖم َي ۡعقِلُون‬
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-
kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan
yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang yang tidak
berakal seperti dalam ayat-Nya,
١٠ ‫ِير‬
ِ ‫ٱلسع‬ ِ ‫ص ٰ َح‬
َّ ‫ب‬ ۡ َ‫َو َقالُوْ"ا َل ۡو ُك َّنا َن ۡس َم ُع أَ ۡو َن ۡعقِل ُ َما ُك َّنا ف ِٓي أ‬
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala’.” (al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “(Maknanya yaitu) tidak
berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal
itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab
Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pujian dan sanjungan bagi
yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan
Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji amal, akal, dan pemahaman
bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang
sebaliknya di beberapa tempat….” (al-Istiqamah, 2/157)

Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan


beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

1. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat


bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak
dibebani hukum.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ال‬ ‫ َو َع ِن‬ ‫ َي ْس َت ْيق َِظ‬ ‫ َح َّتى‬ ‫ال َّنائِم‬ ‫ َو َع ِن‬ ،َ‫ َي ْب َرأ‬ ‫ َح َّتى‬ ‫ َع ْقلِ ِه‬ ‫لى‬ ِ ‫ ا ْل َم ْغلُ ْو‬ ‫ الَ ْج ْم ُن ْو ِن‬ ‫ َع ِن‬ ،ٍ‫ َثالَ َثة‬ ْ‫ َعن‬ ‫ا ْل َقلَ ُم‬ ‫ُرف َِع‬
َ ‫ َع‬ ‫ب‬
‫ َي ْح َتلِ َم‬ ‫ َح َّتى‬ ‫صبِ ِّي‬
َّ
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup
sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil
sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan ad-
Daruquthni dari sahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sahih” dalam Shahih Jami’, no.
3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara
yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa, dan
kehormatan. (al-Islam Dinun Kamil 34—35)
3. Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk
menjaga akal.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٞ ‫اب َوٱأۡل َ ۡز ٰ َل ُم ِر ۡج‬
‫س ِّم ۡن َع َم ِل‬ َ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱ َّلذِينَ َءا َم ُن ٓو ْا إِ َّن َما ۡٱل َخ ۡم ُر َو ۡٱل َم ۡيسِ ُر َوٱأۡل‬
ُ ‫نص‬
٩٠  َ‫ٱج َت ِن ُبوهُ" َل َع َّل ُكمۡ ُت ۡفلِ ُحون‬ ۡ ‫ش ۡي ٰ َط ِن َف‬
َّ ‫ٱل‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (al-
Maidah: 90)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
        ‫ َح َرا ٌم‬ ‫ ُم ْسك ٍِر‬  ُّ ‫ُكل‬
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu
Musa al-Asy‘ari radhiallahu ‘anhu)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Dalam rangka menjaga
akal maka wajib ditegakkan had atas peminum khamr.” (al-Islam
Dinun Kamil hlm. 34—35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan
(kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan
akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya
sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran
manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam
memuliakannya; tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan.
Yang dilakukan para pengultus akal yang mereka beritikad
memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan
akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu
yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah
sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Ia sebagaimana
makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.

As-Safarini rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa
ta’ala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk
berpikir dan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan padanya batas
yang ia harus berhenti padanya dari sisi berpikirnya bukan dari sisi
ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya
pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia
akan tepat (menentukan) dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Jika
ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang
Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan membabi
buta….” (Lawami’ul Anwar al-Bahiyyah, hlm. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya
akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara
gaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan
tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga
dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫ َو َجل‬ ‫ َع َّز‬ ِ‫هللا‬ ‫ ف ِْي‬ ‫ َت َف َّك ُر ْوا‬ َ‫ َوال‬ ِ‫هللا‬ ِ‫ أَالَء‬ ‫ ف ِْي‬ ‫َت َف َّك ُر ْوا‬
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala dan
jangan berpikir pada Dzat Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. ath-
Thabarani, al-Lalikai, dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar. Lihat ash-
Shahihah no. 1788 dan asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫ح م ِۡن أَ ۡم ِر َر ِّبي َو َمٓا أُوتِي ُتم ِّمنَ ۡٱلع ِۡل ِم إِاَّل‬ ُّ ‫وح قُ ِل‬
ُ ‫ٱلرو‬ ‍َٔ"َٔ ۡ ‫َو َي‬
ُّ ‫سلُو َن َك َع ِن‬
ِ ۖ ‫ٱلر‬
٨٥ ‫َقلِياٗل‬
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit’.” (al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan
perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik
perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum
syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal
yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada
syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal


dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang
mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak
tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta
fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada
mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat
antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi
menunjuki orang tersebut.

Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang


mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam
tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang
mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu).
(Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 201)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Risalah datang dari
Allah subhanahu wa ta’ala, kewajiban Rasul menyampaikan dan
kewajiban kita menerima.” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm.
201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia
telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap
akalnya. Sesungguhnya mazhab filasafat dan ahli kalam yang ingin
memuliakan akal dan mengangkatnya—demikian perkataan mereka
—belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari
sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal
—ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan
sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal
masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana.
(Minhajul Istidlal, dinukil dari al-‘Aqlaniyyun hlm. 21)
 
Akal yang Terpuji dan yang Tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya.
Terkadang juga tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun
pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai
dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat.

Akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul


Qayyim rahimahullah yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang
tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash al-Qur’an atau as-
Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan
yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-
nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama)
Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan
teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para
pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya
as-Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekadar dengan
anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam
Muwaqqi’in, 1/104—106, al-Intishar, hlm. 21, 24, al-‘Aql
wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal
kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang
tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela
dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan
kepada syariat.

 
Akal yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam—ringkasnya—bahwa tatkala
bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan
akal. (Asasuttaqdis, hlm. 172—173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang sahih,
dahulu ataupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka
adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui batilnya
pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita
merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul
Qayyim rahimahullah di atas.

Lebih rinci para ulama seperti Ibnu


Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Sesuatu yang diketahui
dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bertentangan
dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang sahih tidak
akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah
memerhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan
oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang
sahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui
kebatilannya dengan akal.
Bahkan diketahui dengan akal kebenaran, kebalikan dari hal
tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para rasul
tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut
akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal
terkesima. Para rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui
oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal
tidak mampu untuk menjangkaunya.

Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal


mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula
bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak
mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu hadits pun di
muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah
atau palsu.

Wajib bagi mereka untuk menyelisihi kaidah kelompok Mu’tazilah,


kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka
maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah
membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang
syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal.
Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua
yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155,
138)
 
Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi
manakala dalilnya sahih dan akalnya sehat. Namun terkadang
muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya sahih.

Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun


curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari
dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang
sedang dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti benarnya.

Hal ini berangkat dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang


mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian
pula anjuran para sahabat yang berpengalaman dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengalami kejadian turunnya
wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, “Wahai
manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat ath-
Thabarani, lihat Marwiyyat Ghazwah al-Hudaibiyyah, hlm. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapatnya, walaupun
pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata
maslahat dari keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu
besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil
naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil
naqli yang sahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki,
tempatkan di mana Allah subhanahu wa ta’ala meletakkannya dan
menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar as-Shawa’iq, hlm. 82—
83 dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah, 1/61—63)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah ketika menerangkan akidah
Ahlus Sunnah berkata, “Adapun para pengikut kebenaran mereka
menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari
agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak,
mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati
sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada
Allah subhanahu wa ta’ala di mana Allah subhanahu wa
ta’ala perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Namun
jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya
serta mengambil al-Kitab dan as-Sunnah kemudian menuduh salah
terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitab
dan as-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak
sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (al-Intishar li
Ahlil Hadits hlm. 99)

 
Apabila Akal Didahulukan
Jika akal didahulukan, maka akan tergelincir pada sekian banyak
bahaya:

1. Menyerupai Iblis—semoga Allah subhanahu wa


ta’ala melaknatinya—ketika diperintahkan untuk sujud kepada
Nabi Adam ‘alaihissalam, kemudian ia membangkang dan
menentang dengan akalnya.
"‫ر ِّم ۡن ُه َخ َل ۡق َتنِي مِن َّن ٖار َو َخ َل ۡق َت ُهۥ‬ٞ ‫َقال َ َما َم َن َع َك أَاَّل َت ۡس ُجدَ إِ ۡذ أَ َم ۡر ُت ۖ َك َقال َ أَ َن ۠ا َخ ۡي‬
١٢ ‫ين‬ ٖ ِ‫مِن ط‬
“Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada
Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’
Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan saya dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (al- A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan
Allah subhanahu wa ta’ala dengan akal mereka, seperti
penentangan mereka terhadap kenabian Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka katakan,
ۡ ۡ ٰ
ٍ ِ‫َو َقالُوْ"ا َل ۡواَل ُن ِّزل َ َه َذا ٱلقُ ۡر َءانُ َع َل ٰى َر ُج ٖل ِّمنَ ٱل َق ۡر َي َت ۡي ِ"ن َعظ‬
٣١ ‫يم‬
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada
seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (az-
Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faedah dari rasul sedikit pun karena mereka
tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan.
Adanya rasul menurut mereka, seperti tidak ada. Keadaan mereka
bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikit
pun justru butuh untuk menolaknya.

4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa.


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
َ َ‫ٓاءهُمۡۚ َو َم ۡنأ‬
‫ضل ُّ ِم َّم ِن ٱ َّت َب َع ه ََو ٰى ُه‬ َ ‫أَ َّن َما َي َّت ِب ُعونَ أَ ۡه َو‬ ۡ‫ٱع َلم‬ ۡ ‫َفإِن َّلمۡ َي ۡس َت ِجي ُبو ْا َل َك َف‬
٥٠ َ‫ٱلظلِمِين‬ َّ ٰ ‫اَل َي ۡه ِدي" ۡٱل َق ۡو َم‬ َ ‫ِب َغ ۡي ِر ه ُٗدى ِّمنَ ٱهَّلل ِۚ إِنَّ ٱهَّلل‬
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa
nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” (al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana
perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah.
6. Berkata mengatasnamakan Allah subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya tanpa ilmu.
٨ ‫اس َمن ُي ٰ َج ِدل ُ فِي ٱهَّلل ِ ِب َغ ۡي ِر عِ ۡل ٖم َواَل ه ُٗدى َواَل ِك ٰ َتبٖ ُّمن ِٖير‬
ِ ‫َومِنَ ٱل َّن‬
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang
bercahaya.” (al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.

‫ِش َما َظ َه َر م ِۡن َها َو َما َب َطنَ َوٱإۡل ِ ۡث َم َو ۡٱل َب ۡغ َي ِب َغ ۡي ِر ۡٱل َح ِّق‬
َ ‫قُ ۡل إِ َّن َما َح َّر َم َر ِّب َي ۡٱل َف ٰ َوح‬
‫س ۡل ٰ َط ٗنا َوأَن َتقُولُوْ"ا َع َلى ٱهَّلل ِ َما اَل‬ ُ ‫َوأَن ُت ۡش ِر ُكو ْا ِبٱهَّلل ِ َما َلمۡ ُي َن ِّز ۡل ِبهِۦ‬
٣٣ َ‫َت ۡع َل ُمون‬
“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui’.” (al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. (al-Mauqih, 1/81—92)
Pantaslah kalau al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan
tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya, “Jika
kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan, ‘Tinggalkan kami
dari al-Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah
bahwa ia adalah Abu Jahl.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)

Kata akal berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘aql, dari bentukan kata ‘aqala –


ya’qilu – ‘aqalan, yang bermakna fahima wa tadabbara atau faham/memahami
dan menghayati/merenungkan dengan dalam. Akal merupakan kelebihan yang
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Dalam surat Al-Israa’ ayat 70 Allah
SWT berfirman yang artinya,

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’ : 70).

Dari ayat tersebut dapat dikatakan bahwa akal merupakan kelebihan yang
diberikan Allah SWT kepada manusia dan sekaligus menjadi faktor pembeda
antara manusia dengan makhluk lainnya. Karena itu, Allah SWT mendorong
manusia agar bersedia menggunakan akalnya untuk berpikir. Tidak sedikit ayat-
ayat dalam Al Qur’an yang menunjukkan dorongan kepada manusia agar
menggunakan akalnya untuk hal-hal yang berguna. Salah satunya adalah surat An-
Nahl ayat 12 yang artinya,

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berakal.” (QS. An-Nahl : 12).
Agar akal dapat memiliki fungsi yang maksimal maka diperlukan pemandu atau
pembimbing. Dalam Islam, yang menjadi pemandu atau pembimbing akal adalah
Al Qur’an dan as-Sunnah. Tanpa adanya bimbingan dari Al Qur’an dan as-Sunnah,
maka akal menjadi tidak berfungsi. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan,

“Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki
naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi  jika ada cahaya. Apabila
akal mendapatkan cahaya iman dan Al-Qur’an barulah akal bisa seperti mata
yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan
bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Fatwa, Ibnu Taimiyah)

Adapun fungsi akal dalam Islam di antaranya adalah :

1. Syarat mempelajari ilmu pengetahuan

Akal merupakan syarat untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Syaikh Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan,

“Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk
menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal
menjadi lengkap. Namun, (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang
dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri
seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila
akal itu terhubung dengan cahaya iman dan Al-Qur’an, maka itu ibarat cahaya
mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api.” (Majmu’ul Fatawa,
3/338).

2. Sarana untuk memahami kebenaran

Akal merupakan sarana untuk memahami kebenaran. Tidak sedikit ayat-ayat dalam
Al-Quran yang menegaskan bahwa akal merupakan sarana untuk memahami
kebenaran mutlak dari Allah. Umumnya kalimat yang digunakan adalah afala
ta’qilun (tidakkah kamu berpikir/tidakkah kamu memikirkannya). Salah satu ayat
yang dimaksud adalah surat Al-Baqarah ayat 44 yang artinya,

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu


melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah : 44).

3. Sarana untuk berpikir

Akal juga digunakan sebagai sarana untuk berpikir. Adapun yang menjadi objek
kajian adalah ayat-ayat kauniyah. Terdapat lebih dari 750 ayat dalam al-Qur’an
yang menunjukkan agar manusia diminta untuk dapat memikirkan berbagai gejala
alam sebagai upaya untuk lebih mengenal Tuhan melalui tanda-tanda-Nya. Salah
satu ayat yang dimaksud adalah surat Al-Baqarah ayat 164 yang artinya,

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan
malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi dan segala
jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit
dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).

4. Syarat utama taklif (pewajiban/pembebanan dalam syariat)

Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima
taklif (beban syari’at) dari Allah SWT. Namun, bagi syarat ini tidak berlaku bagi
mereka yang tidak memiliki akal seperti orang gila. Rasulullah SAW bersabda,

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan : (1) orang yang tidur sampai ia
bangun, (2) anak kecil sampai mimpi basah (baligh), dan (3) orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud, Syaikh Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).

5. Sebagai alat dan kendali bagi seorang mukmin

Fungsi akal adalah sebagai pengendali bagi seorang mukmin. Rasulullah SAW
bersabda,

“Setiap sesuatu memiliki alat dan kendalinya, alat dan kendali bagi seorang
mukmin adalah akalnya. Setiap sesuatu memiliki keutamaan, keutamaan
seseorang ada pada akalnya. Setiap sesuatu memiliki puncak, puncaknya ibadah
adalah akal. Setiap kaum pasti memiliki pemimpin, pemimpin para ahli ibadah
adalah akal. Setiap orang kaya pasti memiliki harta, harta orang-orang yang
bersungguh-sungguh adalah akalnya. Setiap yang runtuh adalah bangunan,
bangunan yang paling megah di akhirat adalah akal. Setiap perjalanan yang
ditempuh pasti terdapat tempat persinggahan, tempat persinggahan para muslimin
adalah akal.”   

6. Sebagai pencegah

Akal berfungsi sebagai pencegah. Dalam artian, akal mencegah manusia mengikuti
nafsunya. Hal ini merujuk pada penyebutan akal dengan menggunakan istilah hijr
dalam Al-Qur’an yang mengandung arti pencegah. Dalam surat Al-Baqarah ayat
284 SWT Allah berfirman yang artinya,
“Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika
kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan,
niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.
Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia
kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 284).

Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk selalu mengawasi, meneliti, dan


merasakan apa yang ada di dalam hatinya. Jika sesuai dengan perintah-Nya maka
manusia diperintahkan untuk memelihara dan menghidupkan nafs itu agar menjadi
amal perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya maka Allah SWT memberikan
ganjaran yang setimpal.

Demikianlah ulasan singkat tentang fungsi akal dalam Islam. Artikel lain yang
dapat dibaca di antaranya adalah cara memelihara akal dalam Islam, manfaat ilmu
dalam pandangan Islam, manfaat filsafat Islam dalam masa sekarang, manfaat
tasawuf dalam dunia Islam, jenis nafsu dalam Islam, sumber syariat Islam, sumber
pokok ajaran Islam, fungsi Al Qur’an bagi umat manusia, fungsi hadits sebagai
sumber hukum Islam, dan fungsi As-Sunnah terhadap Al Qur’an.  Semoga
bermanfaat dan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai