Dalil ‘Aqli (Akal) Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli/Nash Yang
Shahih PENJELASAN KAIDAH KEENAM : DALIL AQLI (AKAL) YANG BENAR
AKAN SESUAI DENGAN DALIL NAQALI/NASH YANG SHAHIH
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab (etimologi) mempunyai beberapa arti,[1] di antaranya :
Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau
tepat).
Secara istilah (terminologi): ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua
pengertian: 1. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang
ada pada setiap manusia. 2. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif (instinc) dan
kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia
yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya: و َع ِن ْال َمجْ ُن ْو ِن َح َّتى َيعْ قِ َل.َ “…Dan termasuk
orang gila sampai ia kembali berakal.”[2] Akal adalah daya pikir yang diciptakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu
berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh
Allah Azza wa Jalla.
Firman-Nya: ِرCCCْرِّ َو ْال َبحCCCا ُه ْم فِي ْال َبCCCا َبنِي آ َد َم َو َح َم ْل َنCCCد َكرَّ ْم َنCCC
ْ “ َولَ َقDan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan….” [Al-
Israa’: 70] Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap
akal manusia.
[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ، َع ِن ال َّنائ ِِم َح َّتى َيسْ َت ْيق َِظ:ٍرُ ف َِع ْال َقلَ ُم َعنْ َثالَ َثة
ْ َو َع ِن ْال َمجْ ُن، ِبيِّ َح َّتى َيحْ َتلِ َمCCالص
َلCCِو ِن َح َّتى َيعْ قCC َّ و َع ِن.َ “Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai
bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”[4]
Ketiga.[5] Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya.
Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ِير ِ “ َو َقالُوا لَ ْو ُك َّنا َنسْ َم ُع أَ ْو َنعْ قِ ُل َما ُك َّنا فِي أَصْ َحاDan mereka
ِ ب ال َّسع
berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk:
10]
Keempat.[6] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al-Qur-
an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti
“la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa
ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur-ana”
(apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al-Qur-an) dan
lainnya.
Kelima. Islam mencela taqlid/fanatik yang membatasi dan melumpuhkan fungsi
dan kerja akal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: َوإِ َذا قِي َل لَ ُه ُم ا َّت ِبعُوا َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َقالُوا َب ْل َن َّت ِب ُع
Cَ ون َش ْي ًئا َواَل َي ْه َت ُد
ون َ “ َما أَ ْل َف ْي َنا َعلَ ْي ِه آ َبا َء َنا ۗ أَ َولَ ْو َكDan apabila dikatakan kepada mereka:
َ ُان آ َباؤُ ُه ْم اَل َيعْ قِل
‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.
(Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah: 170].
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7] Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam
kitabnya, Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi menerangkan perbedaan antara ittiba’
(mengikuti) dan “taqlid” : yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas.
Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan
taqlid adalah penerimaan yang berdasarkan pemikiran logika semata. Berkata Ibnu
Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah,
wafat th. 390 H): “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan
yang tidak ada hujjah (dalil) atas orang yang mengatakannya.
Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah (dalil)
yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.”[9]
3
Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[10]
Keenam,[11] Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam
memahami dan mengikuti kebenaran. Allah Azza wa Jalla berfirman: ِين َ َف َب ِّشرْ عِ َبا ِد الَّذ
ب َ Cِين َهدَا ُه ُم هَّللا ُ ۖ َوأُو ٰلَ ِئ
ِ اEEو اأْل َ ْل َبCُك ُه ْم أُولC َ ُون أَحْ َس َن ُه ۚ أُو ٰلَ ِئ
َ ك الَّذ َ ُون ْال َق ْو َل َف َي َّت ِبع
َ …“ َيسْ َت ِمعSebab itu sampaikanlah
berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal.” [Az-Zumar: 17-18].
Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia, sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla: ا أُوتِي ُت ْم م َِن ْالع ِْل ِم إِاَّل َقلِياًلCC ِر َربِّي َو َمCرُّ و ُح مِنْ أَ ْمCCل الC
ِ Cُوح ۖ ق َ أَلُو َنCَو َي ْس
ِ ُّرCCك َع ِن ال
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-
ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” [Al-Israa’: 85].
Firman Allah Azza wa Jalla : ون ِب ِه عِ ْلمًا
َ ِيط ِ َيعْ لَ ُم َما َبي َْن أَ ْيد: “Dia mengetahui
ُ ِيه ْم َو َما َخ ْل َف ُه ْم َواَل ُيح
apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan
ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” [Thaahaa: 110].
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql
(akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud dengan akal menurut Mu’tazilah adalah dalil-dalil ‘aqli
yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang
menundukkan (mengalahkan) dalil-dalil syar’i. Mendahulukan dalil naqli atas dalil
akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah
dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh
para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-
masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli
(dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka. Imam Abul
Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah (wafat th. 489 H)[12] berkata: “Ketahuilah,
bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu
bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya
untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada
wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang
kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun
dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”
memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail. 3. Apa yang benar dari hukum-
hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at. 4. Apa yang salah dari
pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at. 5. Penentuan hukum-
hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak
prerogatif syari’at. 6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu
sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan
memahami yang baik dan buruk. 7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh
syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman: ث َرسُواًل Cَ “ َو َما ُك َّنا ُم َع ِّذ ِبKami tidak akan mengadzab
َ ين َح َّت ٰى َن ْب َع
sehingga Kami mengutus seorang Rasul.” [Al-Israa’: 15]
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang ditentukan oleh
akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang Diri-Nya: “ َفعَّا ٌل لِ َما ي ُِري ُدMaha
Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Buruuj: 16]
Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam
masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai
dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Jika ia
bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber
dan dasarnya. Keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di
atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah
menjadi dalil yang bathil.
Islam).” Dan juga perkataan beliau: “Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, ia akan
menjadi zindiq…”[19] Imam Ahmad (wafat th. 241 H) rahimahullah berkata: “Pemilik
ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-
orang zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).”[20]
Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) rahimahullah berkata: “Para ulama dan fuqaha
(ahli fiqih) ummat ini dahulu mendiamkan (mengabaikan) ilmu kalam bukan karena
mereka tidak mampu, tetapi karena mereka menganggap ilmu kalam itu tidak
mampu menyembuhkan seorang yang haus, bahkan dapat menjadikan seorang
yang sehat menjadi sakit. Oleh karena itu, mereka tidak memberi perhatian
kepadanya dan melarang untuk terlibat di dalamnya.”[21] Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th.
463 H) rahimahullah berkata: “Para ahli fiqih dan ahli hadits yang berada di seluruh
kota kaum Muslimin telah sepakat bahwa ahli ilmu kalam adalah ahli bid’ah dan
penyeleweng dari kebenaran. Sebagaimana kesepakatan mereka bahwa ahli
kalam tidak dianggap tergabung dalam tingkatan para ulama. Yang dikategorikan
ulama adalah ahli hadits dan orang-orang yang memahaminya dan mereka
bertingkat-tingkat sesuai dengan keahlian masing-masing dalam mencermati,
memisahkan (yang shahih dari yang dha’if) dan memahami hadits.”[22] Imam Malik
bin Anas (wafat th. 179 H) rahimahullah berkata: ان ْال َكالَ ُم عِ ْلمًا لَ َت َكلَّ َم فِ ْي ِه الص ََّحا َب ُة َوال َّت ِابع ُْو َن َ لَ ْو َك
َ َّ
ٍلCِ ُد ُّل َعلَى َباطC ٌل َيCِ َرائ ِِع َولَ ِك َّن ُه َباطCالش ِ وا فِي ْاألحْ َكCْ C َك َما َت َكل ُم. “Seandainya ilmu kalam adalah ilmu,
َّ ام َوC
niscaya para Sahabat dan Tabi’in akan membicarakannya sebagaimana
pembicaraan mereka terhadap ilmu-ilmu syari’at, akan tetapi ilmu kalam adalah
sebuah kebathilan yang menunjukkan kepada ke-bathilan.”[23] Imam asy-Syafi’i
rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan
beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah
mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal (sepatu) dan dinaikkan
ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang
meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah serta mengambil ilmu Kalam.’”[24]
َ ِديC َغلَ ٌة إِالَّ ْال َحCآن َم ْش
Beliau rahimahullah juga menyatakan:[25] َه فِيCْث َوإِالَّ ْالفِ ْق ِ ْرCCُُك ُّل ْال ُعلُ ْو ِم سِ َوى ْالق
ْن
ِ يَاطِ يC الش َ Cا َكCCْن ْالع ِْل ُم َم
َ َوى َذC ا ِسCC َّد َث َنا َو َمCا َل َحCC ِه َقCان فِ ْيC
َّ ُ َواسC اك َو ْس ِ ِّديC الSegala ilmu selain Al-Qur-an
hanyalah menyibukkan, terkecuali ilmu hadits dan fiqh untuk mendalami
agama. Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: “Qoola Haddatsana (telah
menyampaikan hadits kepada kami).” Selainnya itu adalah ‘bisikan syaithan’
belaka. [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC
13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M] _______ Footnote [1]. Lihat al-
Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal
6
Jamaa’ah (hal. 40). [2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Abi Dawud (no. 3703)
dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6). [3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah
‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 40). [4]. HR. Abu Dawud (no. 4403),
Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703). [5]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil
‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41). [6].
Ibid, hal. 41. [7]. Lihat Taariikh Ahlil Hadiits Ta’yiinul Firqah an-Naajiyah wa Annahaa
Thaa-ifah Ahlil Hadiits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani,
tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi (hal. 116). [8]. Ibid, hal. 116. [9]. Ibid, hal. 117
dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993). [10]. Lihat
Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muham-mad bin
‘Abdul Wahhab al-‘Aqil. [11]. Lihat al-Madkhal (hal. 41). [12]. Beliau adalah Abu
Muzhaffar Manshur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar bin Ahmad at-Taimi as-
Sam’ani al-Maruzi (lahir th. 426-489 H), seorang ahli fiqih, imam yang masyhur, mufti
Khurasan, seorang Syaikh dari madzhab Syafi’iyyah, dan beliau memiliki kitab-kitab
tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah (I/314)
oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly,
cet. Daar ar-Raayah, th. 1411 H, lihat juga Siyar A’laamin Nubalaa’ (XIX/114-119,
no. 62). [13]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab
Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45). [14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-
Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, hal. 46. Catatan: Lebih dari
30 hadits yang berkaitan dengan akal yang biasa digunakan oleh mutakallimin
(pengagung akal), namun semuanya palsu. Seperti lafazh: َ ال،ُ َو َمنْ الَ ِدي َْن لَه،ُاَل ِّديْنُ ه َُو ْال َع ْقل
َع ْق َل لَ ُه. “Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki
akal.” Hadits ini bathil!! Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
mengawali kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah dengan lafazh ini.
Bahkan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitab Manaarul Muniif fii Shahiih
wadh Dha’iif (pada hal. 66, no. 120, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah)
mengatakan, “Seluruh hadits tentang akal adalah dusta!!” [15]. Lihat Manhaj Imaam
asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[16]. Ibid, I/75. [17]. Beliau adalah murid Abu Hanifah yang paling pintar, seorang
ahli hadits dan termasuk Qadhi yang masyhur. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’
(VIII/535-539). [18]. Ia adalah seorang tokoh ahlul Bid’ah yang sesat, ayahnya
seorang Yahudi. Ia mengambil pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan dan berhujjah
dengannya. Ia termasuk orang yang menguasai ilmu Kalam. Qutaibah bin Sa’id
berkata: “Bisyr al-Marisi adalah kafir.” Dan Abu Zur’ah ar-Razi berkata: “Bisyr al-
Marisi adalah zindiq.” Bisyr mati pada tahun 218 H. Lihat Miizaanul I’tidaal karya
7
Maka akal yang dipuji dalam banyak ayat Al-Qur’an merupakan alat semua ilmu,
sekaligus merupakan penimbang/pengukur/penilai untuk mengenal mana yang
benar dan mana yang salah dari ilmu tersebut.
Kita mengenal mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah, sekaligus akal ini
adalah sebagai cermin untuk kita bisa melihat mana yang baik/indah dan mana yang
buruk.
“Akal itu ibaratnya adalah raja (QALBU ibarat RAJA) pada tubuh manusia,
sedangkan anggota badan, ruh manusia, panca indera, gerakan-gerakannya, semua
adalah masyarakat. Ketika akal itu lemah, tidak mampu menegakkan dan menjaga
rakyatnya, maka akan sampai berbagai macam keburukan kepada rakyatnya
tersebut.”
9
10
Jadi, akal jenis kedua inilah yang mereka tidak punyai, karena mereka tidak
mau memanfaatkannya dalam memahami dan mencari kebenaran.
Jika terkumpul dua jenis akal ini pada diri seorang hamba, maka inilah karunia
besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada siapa yang dikehendakiNya.