Anda di halaman 1dari 12

Mendudukkan Akal pada Tempatnya

(tulisan bagian pertama)

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir
zaman.

Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang
dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau
Hadits, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan
daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah
mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah
kita mesti mendudukkannya pada tempatnya?

Simak pembahasan kami ini (Mendudukkan Akal pada Tempatnya) secara tuntas dalam dua
seri. Semoga Allah memberikan kepahaman.

Sebelum Melangkah Lebih Jauh

Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan
tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal
dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita
memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.

Allah Ta’ala berfirman,

َُ‫غُ ال ُمبِين‬ َ ‫ل فَإِنَ ت ََولَيتُمَ فَإِنَ َما‬


َ ‫علَى َرسُو ِلنَا البَ ََل‬ َ ‫ّللا َوأَطِ يعُوَا‬
ََ ‫الرسُو‬ َََ ‫َوأَطِ يعُوا‬

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang.” (QS. At Taghabun: 12)

Az Zuhri –rahimahullah– mengatakan,

َ ‫ َو‬، َُ‫ّللا – صلى هللا عليه وسلم – ال َبَلَغ‬


‫علَينَا التَسلِي َُم‬ ََِ ‫ل‬ َ ‫ َو‬، َُ‫الر َسالَة‬
َِ ‫علَى َرسُو‬ ََِ ََ‫مِن‬
ِ ‫ّللا‬

“Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan
kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).” (Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)

Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada
pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A,
kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata
menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala
berfirman,

َ َ‫ّللا َو َرسُولَهُ فَقَد‬


َ‫ض َل‬ َََ ‫ص‬َ ِ ‫ّللا َو َرسُولُهُ أَم ًرا أَنَ يَكُونََ لَ ُه َُم الخِ يَ َرَة ُ مِنَ أَم ِرهِمَ َو َمنَ يَع‬ َ َ‫ل ُمؤمِ نَةَ إِذَا ق‬
ََُ ‫ضى‬ ََ ‫ََو َما كَانََ ِل ُمؤمِنَ َو‬
ًَ ‫ض ََل‬
‫ل ُم ِبينًَا‬ َ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada
ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum
atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan
pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya.
Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap
seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan
(meniadakan) keimanan.a ” (Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25). Baca artikel
terkait di sini.

Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur’an dengan Akal

Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga
membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa
mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat
perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba
penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil.
Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al
Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,

َ َ ‫أَف‬
ََ َ‫ََل َيتَ َدب َُرونََ القُرآ‬
‫ن‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad:
24)

َ َ ‫َاب أَف‬
ََ ُ‫ََل تَع ِقل‬
‫ون‬ ََ ‫اس ِبال ِب َِر َوتَن َسونََ أَنفُ َسكُمَ َوأَنتُمَ تَتلُونََ ال ِكت‬
ََ َ‫أَتَأ ُم ُرونََ الن‬

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu
berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

ََ ‫ار اْلَخِ َرَة ُ خَي َر ِللَذِينََ يَتَقُونََ أَف‬


ََ‫ََل تَع ِقلُون‬ ََ ِ‫َو َما ال َحيَاَة ُ الدُّنيَا إ‬
َُ ‫ل لَعِبَ َولَه َو َولَل ََد‬

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)
َ َ ‫َار اْلَخِ َرَِة خَي َر ِللَذِينََ اتَقَوا أَف‬
ََ ُ‫ََل تَع ِقل‬
‫ون‬ َُ ‫عاقِ َبةَُ الَذِينََ مِنَ قَب ِل ِهمَ َولَد‬ ََ ‫ض فَ َينظُ ُروا كَي‬
َ ََ‫ف كَان‬ ُ ‫أَفَلَمَ َي‬
َ ِ ‫سِيروا فِي األر‬

“Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-
orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat
adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”
(QS. Yusuf: 109)

ََِ ‫َو َما أُوتِيتُمَ مِنَ شَيءَ فَ َمتَاعُ ال َح َياَِة الدُّن َيا َو ِزينَت ُ َها َو َما عِن ََد‬
َ َ ‫ّللا خَي َر َوأَبقَى أَف‬
ََ‫ََل تَع ِقلُون‬

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah
kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)

Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logika)

Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang digunakan dalam Al
Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala mengenai penetapan tauhid bahwa Dialah satu-
satunya Pencipta,

‫ّللاِ فَأ َ ُرونِي َماذَا َخلَقََ الَذِينََ مِنَ دُونِ َِه‬


ََ َُ‫هَذَا خَلق‬

“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh
sembahan-sembahan (mu) selain Allah.” (QS. Luqman: 11). Lihatlah dalam ayat ini, Allah
menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk menunjukkan adakah sesembahan selain
Allah yang dapat mencipta.

Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah
misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah
mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-makhluk
yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman,

َُ ‫َوأَحيَينَا بِ َِه بَل َدَةً َميتًا َكذَلِكََ ال ُخ ُرو‬


‫ج‬

“Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya
kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)

Urgensi Akal dalam Syari’at Islam

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu
dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.

[Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya
mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.

َ‫ب‬
ِ ‫َوذِك َرى ألولِي األل َبا‬

“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)
[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima
taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang
tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ُون َحتَى يَع ِق َل‬


َِ ‫ن ال َمجن‬ َ ‫ى َحتَى يَحتَل ََِم َو‬
َِ ‫ع‬ َِ ِ‫صب‬
َ ‫ن ال‬
َِ ‫ع‬ ََ ‫ن النَائ َِِم َحتَى يَستَي ِق‬
َ ‫ظ َو‬ َِ ‫ع‬ َ ‫ُرفِ ََع القَلَ َُم‬
َ َ‫عنَ ثََلَثَة‬

“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2]
anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar
(berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan
Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.

[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu
untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu
berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).

Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),

‫علَى ُجنُوبِ ِه َم‬َ ‫ّللا قِيَا ًما َوقُعُودًا َو‬ َََ ََ‫ب الَذِينََ يَذكُ ُرون‬ َِ ‫ار ْليَاتَ ألولِي األلبَا‬ َِ ‫ض َواختَِلفَِ اللَي‬
َِ ‫ل َوالنَ َه‬ َ ِ ‫ت َواألر‬
َِ ‫اوا‬
َ ‫ق ال َس َم‬
َِ ‫إِنََ فِي خَل‬
َِ َ‫اب الن‬
‫ار‬ ََ َ‫عذ‬
َ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ق‬
ِ َ ‫ف‬ ََ‫َك‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ح‬
َ ‫ُب‬
‫س‬ ‫َل‬
َ ِ‫َاط‬ ‫ب‬ ‫ا‬ َ ‫ذ‬‫ه‬
َ ََ‫ت‬‫ق‬ َ ‫ل‬ ‫خ‬
َ ‫ا‬
َ ‫م‬ ‫َا‬
َ َ ِ‫ن‬ ‫ب‬
َ ‫ر‬ َ
‫ض‬ ‫األر‬ ‫و‬
َ َ
‫ت‬
ِ ‫ا‬ ‫او‬
َ َ‫م‬‫س‬َ ‫ال‬ َ
‫ق‬ِ ‫َل‬
‫خ‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ََ‫ون‬ ‫ر‬ َ
‫ك‬
ُ َََ ‫ف‬َ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫و‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.com

Selesai disusun hampir setahun yang silam di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H

Demikian pembahasan kami dalam seri pertama ini. Silakan simak tulisan selanjutnya (seri
terakhir) dibawah ⤵️
Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i
(tulisan bagian kedua)

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir
zaman.
Artikel berikut adalah artikel yang merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang
membahas tentang akal (Mendudukkan Akal pada Tempatnya).
Kami harap pembaca sekalian bisa membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya

Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri

Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah
bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits)
sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat
suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada
cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau
dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui
sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,


“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa
berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana
penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al
Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian
tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa,
3/338-339)

Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ketika Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan


Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya
penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin
bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan
dalil syar’i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan
dalil syar’i sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh
Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu
masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang
awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau
mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan
mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau
menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika
aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan
berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan
menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini
tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.”

Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah
jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak
mungkin keliru dalam penyampaian berita dari Allah?

Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi.
Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita
miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i. Sikap
yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’i daripada logika.
Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil
syar’i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak
membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada dalil syar’i.

Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan
dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,


“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata
berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus
menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya
yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh
mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa
akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya,
serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)

Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As Sunnah

Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin
bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama sekali.
Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan
dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari
beberapa kemungkinan:

[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar.
[Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena
dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman.
[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi
akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang
minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini tidak
mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,


ِ ْ‫ لَ ْم تَأ‬. ‫ع ْن دَرْ ِك ِه‬
ُ‫ت ِب َما يُ ْعلَ ُم ِب ْال َع ْق ِل ْامتِنَاعُه‬ َ ‫س ُل َجا َءتْ ِب َما َي ْع ِج ُز ْال َع ْق ُل‬
ُ ‫الر‬
ُّ ‫َو‬

“Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun
beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.”
(Majmu’ Al Fatawa, 3/339). Semoga kita dapat memahami hal ini.

Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal

Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.


Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al
Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber
pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki
oleh Ahlul Kalam.
Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika
yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum
Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338)

Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:

1. Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah)

2. Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya
cahaya dalil Al Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau
memahami suatu perkara dengan benar.

3. Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan
karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i
memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal.

4. Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan
As Sunnah.

5. Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As
Sunnah.Mendudukkan Akal dalam Beberapa Kasus

Di antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya dalam memikirkan perkara-
perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah dan keadaan hari kiamat.

[Contoh pertama]

Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫يب لَهُ َم ْن َي ْسأَلُنِى‬ َ ‫عونِى فَأ َ ْست َِج‬ ُ ‫ث اللَّ ْي ِل اآلخِ ُر َيقُو ُل َم ْن َي ْد‬
ُ ُ‫اركَ َوتَ َعالَى كُ َّل لَ ْيلَ ٍة ِإلَى ال َّس َماءِ ال ُّد ْن َيا حِ ينَ َي ْبقَى ثُل‬
َ ‫َي ْن ِز ُل َربُّنَا تَ َب‬
ُ
ُ‫فَأعْطِ يَهُ َم ْن يَ ْستَ ْغف ُِرنِى فَأ َ ْغف َِر لَه‬

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa
sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka
akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa
meminta ampun padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim
no. 758)

Sebagian orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti
‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus
turun ke langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi
yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus
menerus.”

Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya cukup mudah.
Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima dalil. Tugas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita
adalah menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin saja
logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama sekali logika
kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna dalam
memahaminya.

Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan, “Hal semacam ini
tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu
‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah
menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara.
Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun
mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”

Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, sehingga
dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula.

Mungkin yang kita bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti
‘Arsy-Nya kosong”; yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada
makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah
kita samakan. Allah Ta’ala berfirman,
‫ير‬
ُ ‫ص‬ِ ‫يء َوه َُو السَّمِ ي ُع ْال َب‬
ْ ‫ْس َكمِ ثْ ِل ِه َش‬
َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11). Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka
ini belum tentu tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar.

[Contoh kedua]

Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu
dekat dengan manusia.

Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َار مِ ي ٍل‬ ِ ‫س يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة مِنَ ْالخ َْل‬


ِ ‫ق َحتَّى تَكُونَ مِ ْن ُه ْم َكمِ ْقد‬ ُ ‫ت ُ ْدنَى ال َّش ْم‬

“Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak
sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia
belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil
tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak
mata. (HR. Muslim no. 7385)

Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat.

Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak
satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu
saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala
dengan jarak yang begitu dekatnya?!”

Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

ِ ‫علَى قَد ِْر أَ ْع َما ِل ِه ْم فِى ْال َع َر‬


‫ق فَمِ ْن ُه ْم َم ْن َيكُونُ ِإلَى َك ْع َب ْي ِه َومِ ْن ُه ْم َم ْن َيكُونُ ِإلَى ُر ْك َبتَ ْي ِه َومِ ْن ُه ْم َم ْن َيكُونُ ِإ َلى‬ ُ َّ‫فَ َيكُونُ الن‬
َ ‫اس‬
‫َح ْق َو ْي ِه َومِ ْن ُه ْم َم ْن ي ُْل ِج ُمهُ ْال َع َرقُ ِإ ْل َجا ًما‬
“Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang
keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain
sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.”

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun
sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan
kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki
kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di
bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati.
Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka
akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.”
(Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)

Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, maka
logika kitalah yang patut dipertanyakan.

Demikian beberapa penjelasan dari kami mengenai cara mendudukkan akal. Semoga Allah
selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita untuk memahami ajaran Al Qur’an dan As
Sunnah, juga semoga kita dapat mendudukkan akal sesuai tempatnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina


Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:

Dar-ut Ta’aarudh Al ‘Aqli wan Naqli, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Kanuz Al
Adabiyah Riyadh

Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al
Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy

Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’


Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof

Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah

Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.com

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H

Anda mungkin juga menyukai