Anda di halaman 1dari 5

KHUTBAH JUMAT: NIKMAT AKAL

Di antara nikmat yang Allah berikan kepada seorang manusia adalah


akal. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan akal yang dengan akal
itu ia memahami mana yang baik dan mana yang buruk, dengan akal itu dia
berpikir dan memikirkan tentang hakikat kehidupan dalam kehidupan dunia.
Karena sesungguhnya Allah menciptakan akal untuk melebihkan manusia diatas
yang lainnya. Dengan akal itulah manusia bisa memahami ilmu. Oleh karena
itulah Allah ciptakan manusia memang untuk ilmu, dengan kelebihan akal
mereka.
Allah turunkan agama ini untuk orang-orang yang berakal. Allah
menyebutkan dalam Al-Qur’an, dalam ayat-ayat yang banyak. Allah
mengatakan misalnya: َ‫( لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬agar kalian berakal). Allah juga berfirman: ‫َأفَاَل‬
َ‫( تَ َذ َّكرُون‬apa kalian tidak ingat?). Demikian dalam ayat-ayat yang lain, dimana
sesungguhnya orang yang paling bahagia adalah yang menggunakan akal
pikirannya untuk memahami ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah mencela orang-orang yang tidak mau memahami ayat-ayat Allah
dengan akal pikirannya itu. Dan Allah menyebutkan bahwasanya itu adalah
merupakan sifat penduduk neraka jahannam. Allah berfirman:
ِ ‫نس ۖ لَهُ ْم قُلُوبٌ اَّل يَ ْفقَهُونَ بِهَا َولَهُ ْم َأ ْعي ٌُن اَّل يُب‬ ‫ْأ‬
‫ان اَّل‬
ٌ ‫ْصرُونَ بِهَا َولَهُ ْم آ َذ‬ ِ ‫َولَقَ ْد َذ َر نَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِّمنَ ْال ِجنِّ َواِإْل‬
َ ‫ضلُّ ۚ ُأو ٰلَِئ‬
َ‫ك هُ ُم ْالغَافِلُون‬ َ ‫يَ ْس َمعُونَ بِهَا ۚ ُأو ٰلَِئكَ َكاَأْل ْن َع ِام بَلْ هُ ْم َأ‬
“Sungguh Kami telah menciptakan untuk neraka jahannam itu
penduduk-penduduknya dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi
tidak digunakan untuk memikirkan ayat-ayat Allah, mereka memiliki mata tapi
tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, dan mereka memiliki telinga
namun tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itu orang-orang
yang lalai.” (QS. Al-A’raf[7]: 179)
Sungguh celaan yang sangat tercela dan mengerikan terhadap penduduk
api neraka, akibat mereka tidak menggunakan akal pikiran mereka dan alat-alat
untuk memahami ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka saudaraku, syukuri nikmat akal ini dengan memahami ayat-ayat
Allah yang Allah turunkan kepada RasulNya. Dengan memahami ayat-ayat
Allah yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah jabarkan dan
jelaskan kepada kita, semua itu untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat kita.
Maka sungguh, saudaraku.. Allah turunkan Al-Qur’an untuk ditadabburi. Allah
berfirman:
‫ب َأ ْقفَالُهَا‬
ٍ ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ َأ ْم َعلَ ٰى قُلُو‬
“Tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an, ataukah hati mereka ada kunci-
kuncinya?” (QS. Muhammad[47]: 24)
Mentadabburi tiada lain dengan akal pikiran kita, saudaraku. Memahami ayat-
ayat Allah yang Allah turunkan kepada kita.

Inilah nikmat besar yang Allah berikan kepada kita, yaitu akal. Namun
akal pun bisa menjadi malapetaka. Ketika seseorang lebih mendewakan akalnya
daripada wahyu yang Allah turunkan. Yang pertama kali melakukan ini adalah
iblis la’anahullah. Iblis menolak perintah Allah dengan akalnya. Ketika Allah
perintahkan iblis untuk sujud kepada Adam. Apa kata iblis?
‫ار َو َخلَ ْقتَهُ ِمن ِطي ٍن‬
ٍ َّ‫… َخلَ ْقتَنِي ِمن ن‬
“Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan Adam dari tanah.” (QS.
Al-A’raf[7]: 12)
Menurut iblis bahwasanya api lebih baik daripada tanah, seharusnya dia
yang sujud kepada iblis. Ia tolak perintah Allah dengan akalnya. Maka orang
yang mendewakan akalnya, yang lebih mendahulukan akalnya daripada dalil,
dia adalah pengikut-pengikut iblis la’anahullah.
Ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesuatu yang belum dipahami oleh akal-akal
kita, kewajiban kita adalah mengimaninya. Seperti itulah Allah menceritakan
dalam Al-Qur’an, Allah mengatakan:
‫َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِّم ْن ِعن ِد َربِّنَا‬
“Adapun orang-orang yang kokoh keilmuannya, dia berkata: ‘Kami beriman
kepadanya, semua berasal dari sisi Rabb kami.'” (QS. Ali ‘Imran[3]: 7)
Ketika kita melihat ada dalil dan akal seakan-akan bertabrakan, maka
yang kita tuduh akal kita, bukan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. Karena manusia
diberikan oleh Allah ilmu sedikit saja. Allah berfirman:
‫… َو َما ُأوتِيتُم ِّمنَ ْال ِع ْل ِم ِإاَّل قَلِياًل‬
“Tidaklah kalian diberikan ilmu kecuali sedikit saja.” (QS. Al-Isra'[17]: 85)
Subhanallah… Kita yang diberikan oleh Allah ilmu yang sedikit, lalu
dengan kurang ajarnya kita mengkritik wahyu-wahyu Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang turun dari Allah yang sempurna ilmuNya, dimana ilmu Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencakup segala sesuatu. Kemudian kita dengan
entengnya menolak ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam hanya karena tidak sesuai dengan akal kita?
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
ُ‫بالمسح من أعاله‬
ِ ‫لو كان الدينُ بالرأي لكان أسف ُل الخفِّ أولَى‬
“Kalaulah agama ini berdasarkan akal saja, tentu bagian bawah khuf lebih layak
untuk diusap daripada bagian atasnya.”
‫ هللا صلى هللا عليه وسلم يم َس ُح على ظاهر خفَّيْه‬Ž‫رأيت رسول‬
ُ ‫وقد‬
“Tapi aku malah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap
bagian atas khufnya saja.”
Subhanallah.. Karena agama kita menginginkan untuk menyerahkan diri
kita kepada Allah dengan sebenar-benar penyerahan. Agama kita menyuruh kita
untuk senantiasa samina’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat).
Agama kita menyuruh kita untuk menuduh akal-akal kita. Karena akal kita ini
lemah, akal kita punya keterbatasan, saudaraku sekalian. Sedangkan wahyu
yang berasal dari Allah tidak terbatas.
KHUTBAH KEDUA: NIKMAT AKAL
Seorang salaf terdahulu berkata:
.‫ والرأي‬،‫ والكفر‬،‫ الشرك‬:‫ثالث ال يقبل معهن عمل‬
“Ada tiga perkara yang amal tidak akan diterima karenanya; syirik, kufur,
mengedepankan akal (daripada dalil).”
Allah mengatakan dalam surah Al-Hujurat:
‫ْض َأن‬ ِ ‫ت النَّبِ ِّي َواَل تَجْ هَرُوا لَهُ بِ ْالقَوْ ِل َك َجه ِْر بَع‬
ٍ ‫ْض ُك ْم لِبَع‬ ِ ْ‫صو‬ َ ْ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَرْ فَعُوا َأصْ َواتَ ُك ْم فَو‬
َ ‫ق‬
َ‫تَحْ بَطَ َأ ْع َمالُ ُك ْم َوَأنتُ ْم اَل تَ ْش ُعرُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, jangan angkat suara kalian diatas suara
Rasul dan jangan kalian keraskan suara kalian kepada Rasul seperti kalian
memanggil teman-teman yang lain, supaya Allah tidak batalkan amal kalian
dalam keadaan kalian tidak merasakannya.” (QS. Al-Hujurat[49]: 2)
Lihatlah saudaraku, kalau mengangkat suara diatas suara Rasul saja sudah
bisa membatalkan amal, bagaimana kalau mengangkat pendapat diatas pendapat
Rasul dan lebih mendahulukan akal daripada sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam? Maka ini lebih layak untuk membatalkan amal, saudaraku.
Maka kewajiban kita, saudaraku. Sebagai seorang hamba yang yakin
bahwasanya dirinya lemah, ilmunya sedikit, akalnya terbatas, adalah untuk
senantiasa mengikuti wahyu dari Allah dan senantiasa taslim dengan sebenar-
benarnya taslim. Allah berfirman:
َ َ‫ فِي َأنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِّم َّما ق‬Ž‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا‬
‫ضيْتَ َويُ َسلِّ ُموا‬ َ ‫ِّك اَل يُْؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ي َُح ِّك ُمو‬
Žَ ‫فَاَل َو َرب‬
‫تَ ْسلِي ًما‬
“Tidak demi Rabbmu, mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan
engkau (wahai Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapatkan rasa berat untuk menerima
keputusanmu, dan mereka taslim dengan sebenar-benarnya taslim (menyerah
terhadap wahyu Allah ‘Azza wa Jalla, menerima walaupun tidak sesuai dengan
akal dan hawa nafsu).” (QS. An-Nisa'[4]: 65)
َ‫ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡذ ُكرُون‬١٩٠ ‫ب‬ ِ َ‫ت ُأِّلوْ لِي ٱَأۡل ۡل ٰب‬
ٖ َ‫ار أَل ٓ ٰي‬
ِ َ‫ف ٱلَّ ۡي ِل َوٱلنَّه‬ Žِ َ‫ٱختِ ٰل‬
ۡ ‫ض َو‬
ِ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ۡ
ِ ‫ِإ َّن فِي َخل‬
‫ا‬ŽŽَ‫ ۡب ٰ َحنَكَ فَقِن‬Ž‫ َذا ٰبَ ِطاٗل ُس‬Žَ‫ض َربَّنَا َما خَ لَ ۡقتَ ٰه‬ ۡ
ِ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ٗ ‫ٱهَّلل َ قِ ٰيَ ٗما َوقُع‬
ِ ‫م َويَتَفَ َّكرُونَ فِي خَ ل‬Žۡ‫ َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه‬Ž‫ُودا‬
ِ َّ‫اب ٱلن‬
١٩١ ‫ار‬ َ ‫َع َذ‬
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.

Anda mungkin juga menyukai