Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AGAMA ISLAM

TAKUT KEPADA ALLAH

DI SUSUN OLEH :
IKHSAN HERIANSYAH (H051181022)

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN MATEMATIKA


PRODI STATISTIKA SEMESTER GANJIL 2018/2019
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Sebagai manusia kita pastinya pernah merasakan yang namanya takut, sedih, gelisah dan
selalu berharap. Allah SWT menciptakan manusia lebih mulia di banding ciptaanNya
yang lain seperti hewan, jin, tumbuh-tumbuhan. Allah SWT pastinya sudah memikirkan
tujuan kenapa di ciptakan manusia. Dan salah satu tujuannya adalah agar manusia
beribadah kepadaNya. Sudah sepantasnya kita untuk takut kepadanya karena dirinya lah
yang memiliki kuasa terhadap kita, Dia lah yang menciptakan menentukan takdir kita
dan Dialah tempat kita memohon dan berharap

Dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya: "Kami diberitahu oleh Rasulullah s.a.w. dan ia
adalah seorang yang benar lagi dapat dipercaya, sabdanya:
"Sesungguhnya seseorang di antara engkau semua itu dikumpulkan kejadiannya dalam
perut ibunya selama empat puluh hari sebagai mani, kemudian merupakan segumpal
darah dalam waktu empat puluh hari itu pula,selanjutnya menjadi sekerat daging dalam
waktu empat puluh hari lagi. Selanjutnya diutuslah seorang malaikat, lalu meniupkan ruh
dalam tubuhnya dan diperintah untuk menulis empat kalimat, iaitu mengenai catatan
rezekinya, ajal serta amalnya dan apakah ia termasuk orang celaka ataupun bahagia.
Maka demi Zat yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya seseorang di antara
engkau semua, niscayalah melakukan dengan amalan ahli syurga, sehingga tiada di antara
dirinya dengan syurga itu melainkan hanya jarak sezira' - sehasta, tetapi telah didahului
oleh catatan kitabnya, lalu ia melakukan dengan amalan ahli neraka, kemudian akhirnya
masuklah ia dalam neraka itu. Dan sesungguhnya ada pula seseorang di antara engkau
semua itu, niscaya mengamalkan dengan amalannya ahli neraka, sehingga tidak ada
antara orang itu dengan neraka, melainkan hanya jarak sezira' saja, tetapi telah didahului
oleh catatan kitabnya,- lalu ia mengamalkan dengan amalan ahli syurga dan akhirnya
masuklah ia dalam syurga itu."(Muttafaq 'alaih)

Keterangan:
Dalam Hadis ini ada beberapa hal yang perlu kita maklumi, iaitu:

(a) Malak yang dikirimkan ini, memang diserahi oleh Allah untuk melihat rahim ibu anak
itu sejak ia berupa mani. Di waktu ini malak itu berkata: "Wahai Tuhan, apa dijadikan
terus apa tidak? Kalau tidak terus ditakdirkan oleh Allah menjadi manusia, lalu dijadikan
darah kotor yang terlempar sia-sia. Tetapi apabila memang dikehendaki jadi, malak itu
lalu berkata: "Wahai Tuhan, laki-lakikah atau perempuankah ini, bagaimana rezekinya,
bila ajalnya, (waktu meninggalnya), bagaimana kelakuannya dan di bumi mana ia nanti
meninggal (di kubur)." Allah lalu berfirman: "Pergilah ke Lauh Mahfuzh, akan engkau
temui semuanya." Malak itu lalu naik ke atas Lauh Mahfuzh dan mencatat semuanya.
Jadi semua apa yang terjadi atas diri kita ini benar-benar telah digariskan oleh Allah
menurut takdir yang dikehendaki. Tetapi kita tetap harus berusaha menjadi hamba Allah
yang baik segala-galanya, sebab kita semua tentu tidak tahu takdir apa yang akan kita
alami. Jadi marilah kita berusaha dan berikhtiar, sebab hanya di tangan Allahlah semua
takdir itu. Kembali ke atas, iaitu sesudah anak itu ditulis semua ketentuan-ketentuannya,
lalu 40 hari jadi nuthfah, 40 hari 'alaqah dan 40 hari lagi berupa mudhghah, kemudian
ditiupkan ruhnya. Selanjutnya ialah sebagaimana firman Allah dalam al-Quran:

"Lalu kami ubahlah mudhghah itu menjadi tulang-belulang, kemudian tulang-belulang


itu kami beri daging, selanjutnya Kami lupakanlah suatu makhluk lain (yakni jadi
manusia benar-benar). Maha Sucilah Allah itu, sebaik-baiknya Zat yang membuat."

(b) Yang meniupkan jiwa dalam tubuh manusia itu malak, tetapi ini tidak bererti
bahawa malak yang memberi ruh kita, tetapi Allah jualah yang memberikan, hanya saja
dengan tiupan malak itulah yang merupakan sebab musababnya manusia diberi ruh oleh
Allah. Jadi tiupan ini hanyalah sebagai perantaraan belaka.
Adapun ruh itu adalah benda halus yang hanya Allah saja yang Mengetahui akan
keadaannya. Dalam al-Quran disebutkan:

Dan orang-orang itu sama bertanya padamu (Muhammad) tentang halnya ruh.
Katakanlah:"Ruh itu adalah dari urusan Tuhanku. Engkau semua ini tidak diberi
pengetahuan oleh Allah melainkan hanya sedikit sekali."

(c) Empat kalimat ertinya empat ketentuan dari Allah.

(d) Maksudnya sehasta ialah kerana sangat dekat jaraknya.


Adapun Hadis-hadis yang menguraikan bab ini, maka amat banyak sekali pula.
Maka dari itu kita akan menyebutkan sebagian dari Hadis-hadis itu, dan dengan
Allah jualah datangnya pertolongan.

Khauf sendiri secara bahasa berasal dari kata “khaafa, yakhaafu, khaufan” yang artinya
takut. Sedangkan menurut istilah, khauf artinya perasaan takut yang muncul terhadap
sesuatu yang mencelakakan, berbahaya, atau mengganggu. Adapun khauf yang di
maksud disini adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir
akan adzab Allah SWT yang akan di timpakan kepada kita.

Al-Ashfahani menyatakan bahwa kha’uf adalah:

‫ط َم َع تَ َوقُّ ُع‬
َ ‫لر َجا َء َو ال‬ ْ ‫ارةٍ َم‬
َّ ‫ظنُ ْونَ ٍة أَ ْو َم ْعلُ ْو َم ٍة َك َما َ أَ َّن ا‬ َ ‫ع ْن أَ َم‬
َ ‫تَ َوقُّ ُع َم ْك ُر ْو ِه‬
‫ظنُ ْونَ ٍة أَ ْو َم ْعلُ ْو َم ٍة ِف ْي ال ُ ُم ْو ِر الدُّ ْن َي ِويَّ ِة َوال ُ ْخ َر ِويَّ ِة‬
ْ ‫ار ٍة َم‬
َ ‫ع ْن أَ َم‬
َ ‫ب‬
ٍ ‫َم ْحبُ ْو‬

“ Perkiraan akan terjadinya sesuatu yang dibenci karena bertanda yang diduga atau
yang diyakini, sebagaimana harapan dan hasrat tinggi itu adalah perkiraan akan
terjadinya sesuatu yang disenangi karena pertanda yang diduga atau diyakini, baik
dalam urusan duniawi maupun ukhrawi”.

Ia pun melihat ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah ini, yakni al-khauf
minalla>h (takut dari Allah) dan al-takhwi>f minalla>h (seseorang takut akan
Allah). Al-khauf minalla>h (takut kepada Allah) bukanlah berupa ketakutan kepada
Allah yang bergetar dan terasa di dada manusia seperti takut kepada singa. Yang
dimaksudkan dengan hal ini adalah diri dan perbuatan maksiat dan selanjutnya
mengarahkannya untuk tunduk dan patuh kepada Allah.[4] Oleh karena itu, tidaklah
disebut sebagai seorang takut ( ‫)خَائِف‬, bila belum sanggup menghilangkan perbuatan-
perbuatan dosa. Adapun at-takwi>f minalla>h (Membuat seseorang takut akan Allah)
adalah perintah agar tetap melaksanakan dan memelihara kepatuhan kepada-Nya seperti
firman-Nya di dalam QS.Az-Zumar [39]:16 yang berbunyi:

َ‫ ِعبَادَهُ يَ ِعبَا ِد فَاتَّقُ ْون‬,‫ف هللاُ ِب ِه‬


ُ ‫ذَ ِل َك يُ َح ِو‬
Terjemah:
“Demikianlah Allah membuat takut hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka
bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku”.
Imam al-Ghazali berkata bahwa hakikat dari khauf adalah kepedihan dan
terbakarnya hati karena memperkirakan akan tertimpa sesuatu yang tidak menyenagkan
di masa yang akan datang.
Dengan melihat berbagai definis di atas, semakin jelaslah bahwa rasa takut yang
dibahas dalam makalah ini adalah rasa takut kepada Allah. Rasa takut kepada Allah
kadang timbul karena perbuatan dosa. dan kadang timbul karena seseorang mengetahui
sifat-sifat-Nya yang mengharuskannya untuk takut kepada-Nya. Inilah tingkatan khauf
yang paling sempurna. Sebab barang siapa yang mengetahui Allah, maka dia akan takut
kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman:

‫ُم ْخ ت َلِ ف أ َلْ َو ا ن ُه ُ كَ ذ َ لِ َك ۗ إ ِ ن َّ َم ا‬ ِ َ ‫اس َو ال د ََّو اب ِ َو ْال َنْ ع‬


‫ام‬ ِ َّ ‫َو ِم َن ال ن‬
‫َّللا َ عَ ِز يز غَ ف ُور‬ َّ ‫َّللا َ ِم ْن ِع ب َا ِد هِ الْ ع ُل َ َم ا ُء ۗ إ ِ َّن‬
َّ ‫ي َ ْخ شَى‬
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-
binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Fatir: 28).

Para ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling takut kepada Allah. Lafdzul
jalalah (Allah) sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faedah dan fungsi
didahulukannya peletakan obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya
yang takut kepada Allah Ta’ala tak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya
yang didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi "Sesungguhnya para
ulama kepada Allah," Permaknaan seperti ini tidak dibenarkan, karena artinya ada di
antara para Ulama yang tidak takut kepada Allah.

Atas dasar inilah Syekhul Islam berkomentar tentang ayat: “Hal ini menunjukkan bahwa
setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan
bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Allah” (Dari kitab “Majmu Al
Fatawa”, 7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494).

Dari penjelasan di atas maka ayat yang mulia ini memberikan faedah: Sesungguhnya para
Ulama itu pemilik rasa takut kepada Allah, dan sesungguhnya siapa saja yang tidak takut
kepada Allah berarti dia bukanlah seorang alim.

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan benar-
benar takut adalah para Ulama yang mereka paham betul tentang hakekat Allah Ta’ala,
karena ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah sempurna
dan bekal ilmu tentang-NYA sudah memadai maka perasaan takut kepada-NYA akan
semakin besar..

Allah menjadikan khauf sebagai salah satu syarat sempurnanya iman, sebagaimana
terekam dalam firman-Nya:
‫ِإنَّ َما‬ ‫ان ذَ ِل ُك ُم‬ َ ‫ش ْي‬
ُ ‫ط‬ ُ ‫ون تَخَافُو ُه ْم لَََف أ َ ْو ِليَا َءهُ يُخ َِو‬
َّ ‫ف ال‬ ِ ُ‫ِإ ْن َوخَاف‬
‫ُك ْنتُم‬ َ‫ُمؤْ ِمنِين‬
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
[Ali Imran/3:175].

Khauf terwujud dalam tangisan tersedu-sedu dari orang yang dapat mengukur bahaya
akibat dari suatu perbuatan, sehingga dia termotivasi untuk melakukan kewajiban-
kewajibannya. Dia tidak menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan menyimpang dan
dosa. bahkan dia tidak bediam diri ditempat yang diduga dapat menjerumuskannya
kedalam kejahatan dan kerusakan. Kemudian khauf-nya meningkatkan, sehingga dia
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh orang-orang yang selalu
dekat dengan Allah. Ketika itu, khauf-nya akan berpindah dari alam jasmani menuju alam
rohani, sehingga dia memiliki kesedihan-kesedihan yang tidak dapat diketahui kecuali
oleh orang-orang yang suci.
Abdul Wahhab asy-Sya’rani pernah mengatakan tentang Rabiah al-Adawiyah
adalah seorang sufi yang banyak menangis dan bersedih. Jika dia mendengar tentang
neraka, maka dia akan jatuh pingsan dalam waktu yang cukup lama. Tempat sujudnya
adalah ibarat kolam kecil berisi air matanya, seolah neraka tidak dicipta kecuali untuk
dirinya. Rahasia dari khauf tersebut adalah keyakinan bahwa setiap bala selain neraka
adalah perkara muda, dan setiap bencana selain kejauhan dari Allah adalah perkara yang
gampang.
Orang yang takut bukanlah orang yang menagis dan mengusap air matanya. Tapi
orang yang takut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ditakutkannya
mendatangkan siksa baginya.
Abu Sulaiman al-Darani menyatakan, “khauf tidak hilang dari hati melainkan hati
akan binasa.
Ciri-ciri Khauf
Adapun cirri-ciri Khauf adalah:
1) Mampu menjaga tutur kata dan perbuatannya dri prilaku maksiat yang di larng
oleh allah
2) Semakin hari bertmbah rajin ibadahnya dan amal kebaikannya
3) Tampak berani menghadapi setiap rintangan,sepannjang untuk membela
kebenran .
4) Jika di sebutkan nama allah kepadanya,hatinya bergetar dan jiwanya khusuk
mengagumi keagungan allah.
5) Senantiasa menjauhi dan menghindari perbuatan yang di larang oleh allah
SWT.

Definisi Raja’
Secara etimologi, kata raja berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga huruf,
yaitu ra>, jim dan ‘ain yang bermakna ُّ‫رد‬
َ (mengembalikan, menjawab, menolak,

َ ‫( تَ ْك‬pengulangan). Sedangkan definisi raja menurut terminology


memalingkan) dan ‫رار‬
adalah: “Suatu keadaan mental yang optimis adanya limpahan rahmat Tuhan. Dengan
sikap optimis ini menambah semangat untuk meningkatkan ibadah kepada
Tuhan, sehingga raja’ itu datang setelah kha’uf. Adanya harapan untuk diterima segala
ibadah yang telah dilakukan.
Menrut Ahmad Zaruq definisi raja’ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang
dibuktikan dengan amal. Kalau bukan demikia maka itu adalah keterpedayaan diri.
Raja’ (pengharapan) berbeda dengan tamanni> (angan-angan). Sebab, orang
yang beharap adalah orang yang megerjakan sebab, yakni ketaatan, seraya mengharapkan
ridha dan pengabulan dari Allah. Sedangkan orang yang berangan-angan meninggalkan
sebab dan usaha, lalu dia menunggu datangnya ganjaran dan pahala dari Allah. Orang
semacam inilah yang terekam dalam sabda Nabi, “ dan orang yang lemah adalah orang
yang selalu menurutkan hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah.”
(HR.Tirmidzi).
Ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu, yaitu: pertama,
mencintai yang diharapkannya. Kedua, takut akan kehilangannya. Ketiga, usaha untuk
mendapatkannya.
Jadi, raja yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, hanyalah angan-angan semata.
Sedangkan raja’ itu bukan angan-angan, begitu pula sebaliknya.
Allah telah menganjurkan kita semua untuk mengharapkan karunia-Nya dan melarang
kita untuk berputus asa dari Rahmat-Nya. Allah berfirman :

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az Zumar: 53).

Ayat di atas adalah seruan untuk segenap orang yang terjerumus dalam maksiat, baik
dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat
tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja
yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai
buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa
Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau
bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun
diampuni. Lihat keterangan Ibnu Katsir mengenai ayat di atas dalam kitab tafsir beliau.

Dalam ayat lain disebutkan,

َّ ‫أَلَ ْم يَ ْعلَ ُموا أ َ َّن‬


‫َّللاَ ُه َو يَ ْقبَ ُل الت َّ ْوبَةَ َع ْن ِعبَا ِد ِه‬
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-
Nya?” (QS. At Taubah: 104).

Maka dari itu janganlah kita sebagai hamba Allah menyerah akan rahmatnya, Nabi
Muhammad SAW menganjurkan kita juga selalu mengharap rahmat allah seperti sabda
nabi.

diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda,:

ُّ ُّ‫ُّوُّلجاءُّبقومُّي ُّْذنبونُّفيستغفرون‬
ٍ ‫والذيُّنفسيُّبيدهُّلوُّل ْمُّتذنبواُّلذهبُّهللاُّبك ْم‬
.‫هللاُّفيغفرُّلهم‬

“Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa,
niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, lalu
mereka memohon ampun kepada Allah, dan Allah pun memberi ampun kepada mereka.”
(HR.Muslim.)

Anas bin Malik berkata:

ُّ َ‫ُّيَاُّابْن‬:‫ُّوتَعَالَى‬ َ ‫ار َك‬َ َ‫ُّقَا َل َُّّللاُُّتَب‬:ُ‫سل َم ُّيَقُول‬ َ ‫علَ ْي ِه‬


َ ‫ُّو‬ َ ُُّ‫صلُّىَُّّللا‬َ ُِّ‫سو َل ُّهللا‬ ُ ‫ُّر‬َ ُ‫س ِم ْعت‬ َ
ُّ َ‫ُّيَاُّابْن‬،‫ُّوالَُّأُبَا ِلي‬ َ ِ‫علَىُّ َماُّ َكانَ ُّف‬
َ ‫يك‬ َ ُّ‫غفَ ْرتُ ُّلَ َك‬ َ ُّ‫يُّو َر َج ْوتَنِي‬ َ ِ‫ع ْوتَن‬ َ ‫آ َد َمُّإِن َكُّ َماُّ َد‬
ُّ َ‫ُّيَاُّابْن‬،‫ُّوالَُّأُبَا ِلي‬،
َ ‫غفَ ْرتُ ُّلَ َك‬ َ ُّ‫اءُّثُمُّا ْست َ ْغُّفَ ْرتَنِي‬ ِ ‫عنَانَ ُّالس َم‬ َ ُّ‫َتُّذُنُوبُ َك‬ ْ ‫آ َد َمُّلَ ْوُّبَلَغ‬
ُّ‫ش ْيئًاُّألَتَ ْيت ُ َك‬
َ ُّ‫طايَاُّثُم ُّلَ ِقيتَنِيُّالَ ُّت ُ ْش ِركُ ُّبِي‬ َ ‫ض ُّ َخ‬ ِ ‫ب ُّاأل َ ْر‬ ِ ‫آ َد َم ُّإِن َك ُّلَ ْو ُّأَتَ ْيتَنِيُّبِقُ َرا‬
َ ‫بِقُ َرابِ َهاُّ َم ْغ ِف‬
]ً ‫رُّة‬

“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, sesunggunhya selama kamu bermohon
kepada-Ku dan ber-raja’ pada-Ku, Aku pasti mengampunimu atas segala keadaanmu dan
Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalaulah dosa-dosamu mencapai langit kemudian
kamu memohon ampunan kepada-Ku, niscya Aku mengampunimu. Wahai anak Adam,
jika sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa/ kesalahan sebanyak isi
bumi tetapi kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang
dengan kemampuan sebanyak isi bumi pula” (HR. Turmudzi)
Tingkatan Raja’
Menurut Ibnu Ujaibah, orang-orang yang mengharap rahmat Allah tidak berada dalam
satu tingkatan, tapi mereka berada dalam tingkatan yang berbeda-beda, yaitu:
a) Pengharapan orang awam, yakni tempat kembali yang baik dengan diperolehnya pahala.
b) Pengharapan orang khawwa’s, yakni ridha dan kedekatan di sisi-Nya.
c) Pe`ngharapan orang khawwa’s al-khawwa’s, yakni kemampuan untuk
melakukan musya’hadah dan bertambahnya tingkatan derajat dalam rahasia-rahasia
Tuhan yang disembah.

Macam-macam Raja’.
Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya
adalahraja` yang tercela. Yaitu:

a) Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia
senantiasa mengharap pahala-Nya
b) Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap
ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam
kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja`yang
seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.

Menyeimbangkan antar Khauf dan Raja

Pelajaran TAUHID mengenai hal ini cukup penting diketahui, bahwa dalam kehidupan
hamba di dunia ini perlu menggabungkan antara mahabbah (cinta), khauf (rasa takut)
dan raja’ (berharap).

Dalil Mahabbah dalam ibadah yaitu firman Allah:

َّ ‫ب‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫َّللاِ أ َ ْندَادًا يُ ِحبُّونَ ُه ْم َك ُح‬ ِ ‫اس َم ْن يَت َّ ِخذُ ِم ْن د‬
َّ ‫ُون‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َ َ ‫َوالَّذِينَ آ َمنُوا أ‬
ِ‫شدُّ ُحبًّا ِ َّلِل‬
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-
orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).

Dalil Khauf (rasa takut) dalam Ibadah yaitu firman Allah:

‫ب‬ ُ ‫أُولَئِ َك الَّذِينَ يَ ْد‬


ُ ‫عونَ يَ ْبتَغُونَ ِإلَى َربِ ِه ُم ْال َو ِسيلَةَ أَيُّ ُه ْم أ َ ْق َر‬
ً ُ ‫اب َربِ َك َكانَ َم ْحذ‬
‫ورا‬ َ َ‫عذَا َبهُ ِإ َّن َعذ‬َ َ‫َو َي ْر ُجونَ َر ْح َمتَهُ َو َيخَافُون‬
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 57)

Dalil Raja’ (berharap) dalam Ibadah yaitu firman Allah,

َ ‫َِفَ َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو ِلقَا َء َربِ ِه فَ ْل َي ْع َم ْل‬


َ ‫ع َم ًًل‬
‫صا ِل ًحا َو َل يُ ْش ِر ْك ِب ِعبَادَة‬
‫َربِ ِه أ َ َحدًا‬
“Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan dengan
apapun dalam beribadah kepada Rabbnya” (QS. Al-Kahfi: 110).

Dalam setiap perbuatan dan ibadah seorang hamba harus ada ketiga hal ini.
Sebagaimana seseorang dalam urusan dunianya, ada tiga hal ini. Misalnya seorang
mahasiswa yang mengikuti ujian, maka ada:

1. Rasa takut: tidak lulus ujian dan DO


2. Berharap: lulus ujian dengan nilai baik
3. Cinta: Cinta dengan jurusan yang ia tempuh dan ilmu yang ia pelajari karena
merupakan pilihannya

Seorang hamba harus menyeimbangkan antara khauf dan raja’ sebagaimana dalam ayat
berikut yang menjelaskan seorang hamba berdoa dengan harap dan cemas. Allah
berfirman,

‫عونَنَا َر َغبًا َو َر َهبًا َو َكانُوا‬ ِ ‫عونَ فِي ْال َخي َْرا‬


ُ ‫ت َويَ ْد‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫س‬َ ُ‫إِنَّ ُه ْم َكانُوا ي‬
َ‫لَنَا خَا ِش ِعين‬
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami
dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada
Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa takut (khauf), maka akan terjerumus dalam
akidah khawarij yang putus asa dari rahmat Allah padahal Allah Maha Pengasih.

Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa raja’ (berharap), maka akan terjerumus
dalam akidah murji’ah yang menghilangkan rasa takut kepada Allah, hanya
menonjolkan ampunan dan rasa harap padahal Allah juga “syadidul iqab” yaitu keras
azabnya.

Karenanya dua hal ini dimisalkan seperti sayap burung, tidak boleh ada yang lebih berat
atau rusak sebelah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,

،‫والعبد يسير إلى هللا بين الرجاء والخوف كالجناحين للطائر‬


‫يخاف هللا ويرجوه‬
“Seorang hamba harus beribadah kepada Allah di antara raja’ dan khauf sebagaimana
dua sayap burung.”

Jika salah satu sayap patah atau tak seimbang maka burung tersebut tak akan bisa
terbang. Maka seperti itulah manusia apabila ia tak dapat menyeimbangkan antara
kahuf dan raja maka ia akan terjerumus kedalam kenistaan. Bila rasa khauf kurang
maka dalam dirinya akan timbul kesombongan dan sesungguhnya ALLAH membenci
kaum yang sombong Allah Ta’ala berfirman

‫ب ُك َّل‬ ِّ ‫اس َوالَ ت َ ْم ِّش فِّي الأل َ ْر‬


ُّ ‫ض َم َرحا ً ِّإ َّن هللاَ الَ يُ ِّح‬ ِّ َّ‫ص ِّع ْر َخد ََّك ِّللن‬ َ ُ ‫َوالَ ت‬
‫ُم ْختَا ٍل فَ ُج ْو ٍر‬
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Dan jika Raja kurang maka manusia akan merasa kecewa kepada allah bila salah satu
keinginannya tidak berjalan mulus.

Ada beberapa keadaan di mana salah satu dari khauf dan raja’ ini perlu sedikit
mendominasi. Misalnya:
‫‪Ketika sakit yang akan mengantarkan kematiannya, maka perbanyak‬‬
‫‪rasa raja’ (berharap) kepada Allah akan pahala ibadah-ibadah yang dulu pernah‬‬
‫‪dilakukan. Apalagi ibadah tersebut adalah ibadah yang disembunyikan, hanya Allah dan‬‬
‫‪ia yang tahu serta benar-benar hanya mengharap wajah Allah saja.‬‬

‫‪Hal ini sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mengajarkan kita‬‬
‫‪agar meninggal dalam keadaan berhusnuzhan kepada Allah. Beliau bersabda,‬‬

‫ع َّز َو َج َّل‬ ‫ِن َّ‬


‫الظ َّن بِ َّ‬
‫الِلِ َ‬ ‫َل يَ ُموت َ َّن أ َ َحدُ ُك ْم ِإ َّل َو ُه َو يُ ْحس ُ‬
‫‪“Jangan salah seorang diantara kamu meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik‬‬
‫”‪kepada Allah Azza Wa jalla.‬‬

‫‪Berikut penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengenai rincian‬‬


‫‪hal berikut,‬‬

‫اختلف العلماء هل يُقدم اإلنسان الرجاء أو يقدم الخوف على‬


‫‪:‬أقوال‬
‫فقال اإلمام أحمد رحمه هللا‪“ :‬ينبغي أن يكون خوفه ورجاؤه‬
‫واحداً‪ ،‬فًل يغلب الخوف ول يغلب الرجاء”‪ ،‬قال رحمه هللا‪:‬‬
‫فأيهما غلب هلك صاحبه”‪ ،‬ألنه إن غلب الرجاء وقع اإلنسان في “‬
‫األمن من مكر هللا‪ ،‬وإن غلب الخوف وقع في القنوط من رحمة‬
‫هللا‪ .‬وقال بعض العلماء‪“ :‬ينبغي تغليب الرجاء عند فعل الطاعة‪،‬‬
‫وتغليب الخوف عند إرادة المعصية”‪ ،‬ألنه إذا فعل الطاعة فقد أتى‬
‫بموجب حسن الظن ‪ ،‬فينبغي أن يغلب الرجاء وهو القبول‪ ،‬وإذا هم‬
‫بالمعصية أن يغلب الخوف لئًل يقع في المعصية‪ .‬وقال آخرون‪:‬‬
‫ينبغي للصحيح أن يغلب جانب الخوف‪ ،‬وللمريض أن يغلب جانب‬
‫الرجاء‪ ،‬ألن الصحيح إذا غلب جانب الخوف تجنب المعصية‪،‬‬
‫والمريض إذا غلب جانب الرجاء لقي هللا وهو يحسن الظن به‪.‬‬
‫والذي عندي في هذه المسألة أن هذا يختلف باختًلف األحوال‪،‬‬
‫وأنه إذا خاف إذا غلب جانب الخوف أن يقنط من رحمة هللا وجب‬
‫ وإذا خاف إذا غلب‬،‫عليه أن يرد ويقابل ذلك بجانب الرجاء‬
‫ واإلنسان في‬،‫الرجاء أن يأمن مكر هللا فليرد ويغلب جانب الخوف‬
‫ أما صاحب القلب الميت‬،‫الحقيقة طبيب نفسه إذا كان قلبه حيًّا‬
‫الذي ل يعالج قلبه ول ينظر أحوال قلبه فهذا ل يهمه األمر‬.

Para ulama berbeda pendapat mengenai manakah yang lebih


didahulukan/didominasikan, apakah rasa harap atau rasa takut kepada Allah, ada
beberapa pendapat:

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

‫ فال يغلب الخوف وال يغلب‬،‫ينبغي أن يكون خوفه ورجاؤه واحدا‬


‫الرجاء‬
“Hendaknya khauf (rasa takut) dan raja‘ (berharap) itu sama, tidak boleh mendominasi
rasa takut dan tidak boleh mendominsasi rasa berharap

Beliau juga berkata:

‫فأيهما غلب هلك صاحبه‬


“Apabila salah satu dari keduanya mendominasi, orang tersebut akan binasa”

Karena ketika rasa berharap kepada Allah lebih besar, seseorang akan merasa aman dari
makar (azab) Allah, dan jika rasa takut lebih besar maka ia akan putus asa dari rahmat
Allah

Sebagian ulama mengatakan:


‫ينبغي تغليب الرجاء عند فعل الطاعة وتغليب الخوف عند إرادة‬
‫المعصية‬
“Hendaknya rasa berharap lebih mendominasi ketika melakukan ketaatan dan rasa takut
lebih mendominasi ketika ingin melakukan maksiat”

Karena ketika melakukan ketaatan akan menuntut adanya husnuzhan kepada Allah,
sehingga hendaknya rasa harap lebih besar yaitu ia mengharapkan amalannya diterima.
Adapun dalam maksiat, hendaknya rasa takut lebih besar agar ia tidak terjerumus dalam
maksiat

Sebagian ulama yang lain mengatakan:

“Hendaknya orang yang sehat lebih dominasi rasa takut, sedangkan orang yang sakit
lebih dominasi rasa harap”

Karena orang yang sehat ketika ia mengedepankan rasa takut maka ia akan terhindar
dari maksiat, sedangkan orang yang sakit ketika ia mengedepankan rasa harap maka ia
akan bertemu Allah dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.

Menurutku yang tepat dalam masalah ini adalah jawabannya berbeda tergantung
keadaannya:

 Apabila seseorang khawatir ketika rasa takut kepada Allah mendominasi sampai
membuat ia putus asa dari rahmat Allah, maka wajib baginya untuk
menyeimbangkan rasa takut itu dengan rasa harap kepada Allah
 Apabila seseorang khawatir ketika rasa berharap kepada Allah mendominasi
sampai membuat ia merasa aman dari makar Allah, maka wajib baginya untuk
menyeimbangkan rasa harap itu dengan rasa takut kepada Allah

Seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter bagi dirinya sendiri, apabila hatinya sehat.
Adapun orang yang hatinya mati, maka ia tidak akan berusaha mengobati hatinya, tidak
akan menimbang-nimbang hatinya ada pada kondisi apa sekarang, dan ia tidak akan
memperhatikan perkara ini.

Anda mungkin juga menyukai