DI SUSUN OLEH :
IKHSAN HERIANSYAH (H051181022)
Dari Ibnu Mas'ud r.a., katanya: "Kami diberitahu oleh Rasulullah s.a.w. dan ia
adalah seorang yang benar lagi dapat dipercaya, sabdanya:
"Sesungguhnya seseorang di antara engkau semua itu dikumpulkan kejadiannya dalam
perut ibunya selama empat puluh hari sebagai mani, kemudian merupakan segumpal
darah dalam waktu empat puluh hari itu pula,selanjutnya menjadi sekerat daging dalam
waktu empat puluh hari lagi. Selanjutnya diutuslah seorang malaikat, lalu meniupkan ruh
dalam tubuhnya dan diperintah untuk menulis empat kalimat, iaitu mengenai catatan
rezekinya, ajal serta amalnya dan apakah ia termasuk orang celaka ataupun bahagia.
Maka demi Zat yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya seseorang di antara
engkau semua, niscayalah melakukan dengan amalan ahli syurga, sehingga tiada di antara
dirinya dengan syurga itu melainkan hanya jarak sezira' - sehasta, tetapi telah didahului
oleh catatan kitabnya, lalu ia melakukan dengan amalan ahli neraka, kemudian akhirnya
masuklah ia dalam neraka itu. Dan sesungguhnya ada pula seseorang di antara engkau
semua itu, niscaya mengamalkan dengan amalannya ahli neraka, sehingga tidak ada
antara orang itu dengan neraka, melainkan hanya jarak sezira' saja, tetapi telah didahului
oleh catatan kitabnya,- lalu ia mengamalkan dengan amalan ahli syurga dan akhirnya
masuklah ia dalam syurga itu."(Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Dalam Hadis ini ada beberapa hal yang perlu kita maklumi, iaitu:
(a) Malak yang dikirimkan ini, memang diserahi oleh Allah untuk melihat rahim ibu anak
itu sejak ia berupa mani. Di waktu ini malak itu berkata: "Wahai Tuhan, apa dijadikan
terus apa tidak? Kalau tidak terus ditakdirkan oleh Allah menjadi manusia, lalu dijadikan
darah kotor yang terlempar sia-sia. Tetapi apabila memang dikehendaki jadi, malak itu
lalu berkata: "Wahai Tuhan, laki-lakikah atau perempuankah ini, bagaimana rezekinya,
bila ajalnya, (waktu meninggalnya), bagaimana kelakuannya dan di bumi mana ia nanti
meninggal (di kubur)." Allah lalu berfirman: "Pergilah ke Lauh Mahfuzh, akan engkau
temui semuanya." Malak itu lalu naik ke atas Lauh Mahfuzh dan mencatat semuanya.
Jadi semua apa yang terjadi atas diri kita ini benar-benar telah digariskan oleh Allah
menurut takdir yang dikehendaki. Tetapi kita tetap harus berusaha menjadi hamba Allah
yang baik segala-galanya, sebab kita semua tentu tidak tahu takdir apa yang akan kita
alami. Jadi marilah kita berusaha dan berikhtiar, sebab hanya di tangan Allahlah semua
takdir itu. Kembali ke atas, iaitu sesudah anak itu ditulis semua ketentuan-ketentuannya,
lalu 40 hari jadi nuthfah, 40 hari 'alaqah dan 40 hari lagi berupa mudhghah, kemudian
ditiupkan ruhnya. Selanjutnya ialah sebagaimana firman Allah dalam al-Quran:
(b) Yang meniupkan jiwa dalam tubuh manusia itu malak, tetapi ini tidak bererti
bahawa malak yang memberi ruh kita, tetapi Allah jualah yang memberikan, hanya saja
dengan tiupan malak itulah yang merupakan sebab musababnya manusia diberi ruh oleh
Allah. Jadi tiupan ini hanyalah sebagai perantaraan belaka.
Adapun ruh itu adalah benda halus yang hanya Allah saja yang Mengetahui akan
keadaannya. Dalam al-Quran disebutkan:
Dan orang-orang itu sama bertanya padamu (Muhammad) tentang halnya ruh.
Katakanlah:"Ruh itu adalah dari urusan Tuhanku. Engkau semua ini tidak diberi
pengetahuan oleh Allah melainkan hanya sedikit sekali."
Khauf sendiri secara bahasa berasal dari kata “khaafa, yakhaafu, khaufan” yang artinya
takut. Sedangkan menurut istilah, khauf artinya perasaan takut yang muncul terhadap
sesuatu yang mencelakakan, berbahaya, atau mengganggu. Adapun khauf yang di
maksud disini adalah takut kepada Allah SWT dengan mempunyai perasaan khawatir
akan adzab Allah SWT yang akan di timpakan kepada kita.
ط َم َع تَ َوقُّ ُع
َ لر َجا َء َو ال ْ ارةٍ َم
َّ ظنُ ْونَ ٍة أَ ْو َم ْعلُ ْو َم ٍة َك َما َ أَ َّن ا َ ع ْن أَ َم
َ تَ َوقُّ ُع َم ْك ُر ْو ِه
ظنُ ْونَ ٍة أَ ْو َم ْعلُ ْو َم ٍة ِف ْي ال ُ ُم ْو ِر الدُّ ْن َي ِويَّ ِة َوال ُ ْخ َر ِويَّ ِة
ْ ار ٍة َم
َ ع ْن أَ َم
َ ب
ٍ َم ْحبُ ْو
“ Perkiraan akan terjadinya sesuatu yang dibenci karena bertanda yang diduga atau
yang diyakini, sebagaimana harapan dan hasrat tinggi itu adalah perkiraan akan
terjadinya sesuatu yang disenangi karena pertanda yang diduga atau diyakini, baik
dalam urusan duniawi maupun ukhrawi”.
Ia pun melihat ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah ini, yakni al-khauf
minalla>h (takut dari Allah) dan al-takhwi>f minalla>h (seseorang takut akan
Allah). Al-khauf minalla>h (takut kepada Allah) bukanlah berupa ketakutan kepada
Allah yang bergetar dan terasa di dada manusia seperti takut kepada singa. Yang
dimaksudkan dengan hal ini adalah diri dan perbuatan maksiat dan selanjutnya
mengarahkannya untuk tunduk dan patuh kepada Allah.[4] Oleh karena itu, tidaklah
disebut sebagai seorang takut ( )خَائِف, bila belum sanggup menghilangkan perbuatan-
perbuatan dosa. Adapun at-takwi>f minalla>h (Membuat seseorang takut akan Allah)
adalah perintah agar tetap melaksanakan dan memelihara kepatuhan kepada-Nya seperti
firman-Nya di dalam QS.Az-Zumar [39]:16 yang berbunyi:
Para ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling takut kepada Allah. Lafdzul
jalalah (Allah) sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faedah dan fungsi
didahulukannya peletakan obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya
yang takut kepada Allah Ta’ala tak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya
yang didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi "Sesungguhnya para
ulama kepada Allah," Permaknaan seperti ini tidak dibenarkan, karena artinya ada di
antara para Ulama yang tidak takut kepada Allah.
Atas dasar inilah Syekhul Islam berkomentar tentang ayat: “Hal ini menunjukkan bahwa
setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan
bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Allah” (Dari kitab “Majmu Al
Fatawa”, 7/539. Lihat “Tafsir Al Baidhawi”, 4/418, Fathul Qadir, 4/494).
Dari penjelasan di atas maka ayat yang mulia ini memberikan faedah: Sesungguhnya para
Ulama itu pemilik rasa takut kepada Allah, dan sesungguhnya siapa saja yang tidak takut
kepada Allah berarti dia bukanlah seorang alim.
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan benar-
benar takut adalah para Ulama yang mereka paham betul tentang hakekat Allah Ta’ala,
karena ketika pengetahuan kepada Yang Maha Agung dan Maha Kuasa sudah sempurna
dan bekal ilmu tentang-NYA sudah memadai maka perasaan takut kepada-NYA akan
semakin besar..
Allah menjadikan khauf sebagai salah satu syarat sempurnanya iman, sebagaimana
terekam dalam firman-Nya:
ِإنَّ َما ان ذَ ِل ُك ُم َ ش ْي
ُ ط ُ ون تَخَافُو ُه ْم لَََف أ َ ْو ِليَا َءهُ يُخ َِو
َّ ف ال ِ ُِإ ْن َوخَاف
ُك ْنتُم َُمؤْ ِمنِين
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut
kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
[Ali Imran/3:175].
Khauf terwujud dalam tangisan tersedu-sedu dari orang yang dapat mengukur bahaya
akibat dari suatu perbuatan, sehingga dia termotivasi untuk melakukan kewajiban-
kewajibannya. Dia tidak menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan menyimpang dan
dosa. bahkan dia tidak bediam diri ditempat yang diduga dapat menjerumuskannya
kedalam kejahatan dan kerusakan. Kemudian khauf-nya meningkatkan, sehingga dia
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh orang-orang yang selalu
dekat dengan Allah. Ketika itu, khauf-nya akan berpindah dari alam jasmani menuju alam
rohani, sehingga dia memiliki kesedihan-kesedihan yang tidak dapat diketahui kecuali
oleh orang-orang yang suci.
Abdul Wahhab asy-Sya’rani pernah mengatakan tentang Rabiah al-Adawiyah
adalah seorang sufi yang banyak menangis dan bersedih. Jika dia mendengar tentang
neraka, maka dia akan jatuh pingsan dalam waktu yang cukup lama. Tempat sujudnya
adalah ibarat kolam kecil berisi air matanya, seolah neraka tidak dicipta kecuali untuk
dirinya. Rahasia dari khauf tersebut adalah keyakinan bahwa setiap bala selain neraka
adalah perkara muda, dan setiap bencana selain kejauhan dari Allah adalah perkara yang
gampang.
Orang yang takut bukanlah orang yang menagis dan mengusap air matanya. Tapi
orang yang takut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ditakutkannya
mendatangkan siksa baginya.
Abu Sulaiman al-Darani menyatakan, “khauf tidak hilang dari hati melainkan hati
akan binasa.
Ciri-ciri Khauf
Adapun cirri-ciri Khauf adalah:
1) Mampu menjaga tutur kata dan perbuatannya dri prilaku maksiat yang di larng
oleh allah
2) Semakin hari bertmbah rajin ibadahnya dan amal kebaikannya
3) Tampak berani menghadapi setiap rintangan,sepannjang untuk membela
kebenran .
4) Jika di sebutkan nama allah kepadanya,hatinya bergetar dan jiwanya khusuk
mengagumi keagungan allah.
5) Senantiasa menjauhi dan menghindari perbuatan yang di larang oleh allah
SWT.
Definisi Raja’
Secara etimologi, kata raja berasal dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga huruf,
yaitu ra>, jim dan ‘ain yang bermakna ُّرد
َ (mengembalikan, menjawab, menolak,
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Az Zumar: 53).
Ayat di atas adalah seruan untuk segenap orang yang terjerumus dalam maksiat, baik
dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat
tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja
yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai
buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa
Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau
bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun
diampuni. Lihat keterangan Ibnu Katsir mengenai ayat di atas dalam kitab tafsir beliau.
Maka dari itu janganlah kita sebagai hamba Allah menyerah akan rahmatnya, Nabi
Muhammad SAW menganjurkan kita juga selalu mengharap rahmat allah seperti sabda
nabi.
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda,:
ُّ ُُّّوُّلجاءُّبقومُّي ُّْذنبونُّفيستغفرون
ٍ والذيُّنفسيُّبيدهُّلوُّل ْمُّتذنبواُّلذهبُّهللاُّبك ْم
.هللاُّفيغفرُّلهم
“Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa,
niscaya Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa, lalu
mereka memohon ampun kepada Allah, dan Allah pun memberi ampun kepada mereka.”
(HR.Muslim.)
“Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, sesunggunhya selama kamu bermohon
kepada-Ku dan ber-raja’ pada-Ku, Aku pasti mengampunimu atas segala keadaanmu dan
Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, kalaulah dosa-dosamu mencapai langit kemudian
kamu memohon ampunan kepada-Ku, niscya Aku mengampunimu. Wahai anak Adam,
jika sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa/ kesalahan sebanyak isi
bumi tetapi kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang
dengan kemampuan sebanyak isi bumi pula” (HR. Turmudzi)
Tingkatan Raja’
Menurut Ibnu Ujaibah, orang-orang yang mengharap rahmat Allah tidak berada dalam
satu tingkatan, tapi mereka berada dalam tingkatan yang berbeda-beda, yaitu:
a) Pengharapan orang awam, yakni tempat kembali yang baik dengan diperolehnya pahala.
b) Pengharapan orang khawwa’s, yakni ridha dan kedekatan di sisi-Nya.
c) Pe`ngharapan orang khawwa’s al-khawwa’s, yakni kemampuan untuk
melakukan musya’hadah dan bertambahnya tingkatan derajat dalam rahasia-rahasia
Tuhan yang disembah.
Macam-macam Raja’.
Dua bagian termasuk termasuk raja` yang terpuji pelakunya sedangkan satu lainnya
adalahraja` yang tercela. Yaitu:
a) Seseorang mengharap disertai dengan amalan taat kepada Allah di atas cahaya Allah, ia
senantiasa mengharap pahala-Nya
b) Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat darinya, dan ia senantiasa mengharap
ampunan Allah, kebaikan-Nya dan kemurahan-Nya.
Adapun yang menjadikan pelakunya tercela ialah seseorang yang terus-menerus dalam
kesalahan-kesalahannya lalu mengharap rahmat Allah tanpa dibarengi amalan. Raja`yang
seperti ini hanyalah angan-angan belaka, sebuah harapan yang dusta.
Pelajaran TAUHID mengenai hal ini cukup penting diketahui, bahwa dalam kehidupan
hamba di dunia ini perlu menggabungkan antara mahabbah (cinta), khauf (rasa takut)
dan raja’ (berharap).
َّ ب
َِّللا ِ َّللاِ أ َ ْندَادًا يُ ِحبُّونَ ُه ْم َك ُح ِ اس َم ْن يَت َّ ِخذُ ِم ْن د
َّ ُون ِ ََّو ِمنَ الن
َ َ َوالَّذِينَ آ َمنُوا أ
ِشدُّ ُحبًّا ِ َّلِل
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-
orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 165).
Dalam setiap perbuatan dan ibadah seorang hamba harus ada ketiga hal ini.
Sebagaimana seseorang dalam urusan dunianya, ada tiga hal ini. Misalnya seorang
mahasiswa yang mengikuti ujian, maka ada:
Seorang hamba harus menyeimbangkan antara khauf dan raja’ sebagaimana dalam ayat
berikut yang menjelaskan seorang hamba berdoa dengan harap dan cemas. Allah
berfirman,
Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa takut (khauf), maka akan terjerumus dalam
akidah khawarij yang putus asa dari rahmat Allah padahal Allah Maha Pengasih.
Apabila terlalu besar dan mendominasi rasa raja’ (berharap), maka akan terjerumus
dalam akidah murji’ah yang menghilangkan rasa takut kepada Allah, hanya
menonjolkan ampunan dan rasa harap padahal Allah juga “syadidul iqab” yaitu keras
azabnya.
Karenanya dua hal ini dimisalkan seperti sayap burung, tidak boleh ada yang lebih berat
atau rusak sebelah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
Jika salah satu sayap patah atau tak seimbang maka burung tersebut tak akan bisa
terbang. Maka seperti itulah manusia apabila ia tak dapat menyeimbangkan antara
kahuf dan raja maka ia akan terjerumus kedalam kenistaan. Bila rasa khauf kurang
maka dalam dirinya akan timbul kesombongan dan sesungguhnya ALLAH membenci
kaum yang sombong Allah Ta’ala berfirman
Dan jika Raja kurang maka manusia akan merasa kecewa kepada allah bila salah satu
keinginannya tidak berjalan mulus.
Ada beberapa keadaan di mana salah satu dari khauf dan raja’ ini perlu sedikit
mendominasi. Misalnya:
Ketika sakit yang akan mengantarkan kematiannya, maka perbanyak
rasa raja’ (berharap) kepada Allah akan pahala ibadah-ibadah yang dulu pernah
dilakukan. Apalagi ibadah tersebut adalah ibadah yang disembunyikan, hanya Allah dan
ia yang tahu serta benar-benar hanya mengharap wajah Allah saja.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mengajarkan kita
agar meninggal dalam keadaan berhusnuzhan kepada Allah. Beliau bersabda,
Karena ketika rasa berharap kepada Allah lebih besar, seseorang akan merasa aman dari
makar (azab) Allah, dan jika rasa takut lebih besar maka ia akan putus asa dari rahmat
Allah
Karena ketika melakukan ketaatan akan menuntut adanya husnuzhan kepada Allah,
sehingga hendaknya rasa harap lebih besar yaitu ia mengharapkan amalannya diterima.
Adapun dalam maksiat, hendaknya rasa takut lebih besar agar ia tidak terjerumus dalam
maksiat
“Hendaknya orang yang sehat lebih dominasi rasa takut, sedangkan orang yang sakit
lebih dominasi rasa harap”
Karena orang yang sehat ketika ia mengedepankan rasa takut maka ia akan terhindar
dari maksiat, sedangkan orang yang sakit ketika ia mengedepankan rasa harap maka ia
akan bertemu Allah dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah.
Menurutku yang tepat dalam masalah ini adalah jawabannya berbeda tergantung
keadaannya:
Apabila seseorang khawatir ketika rasa takut kepada Allah mendominasi sampai
membuat ia putus asa dari rahmat Allah, maka wajib baginya untuk
menyeimbangkan rasa takut itu dengan rasa harap kepada Allah
Apabila seseorang khawatir ketika rasa berharap kepada Allah mendominasi
sampai membuat ia merasa aman dari makar Allah, maka wajib baginya untuk
menyeimbangkan rasa harap itu dengan rasa takut kepada Allah
Seseorang itu pada hakikatnya adalah dokter bagi dirinya sendiri, apabila hatinya sehat.
Adapun orang yang hatinya mati, maka ia tidak akan berusaha mengobati hatinya, tidak
akan menimbang-nimbang hatinya ada pada kondisi apa sekarang, dan ia tidak akan
memperhatikan perkara ini.