Anda di halaman 1dari 70

Memadukan Ilmu Agama dan Ilmu Dunia

admin
June 6, 2015
Artikel Khutbah Jumat

Khutbah Pertama:

ُ‫ َوأ َ ْش َهدُ أَ ْن ََل َإلَهَ إَ هَل هللاُ َوحْ دَهُ ََل ش ََريْكَ لَه‬،‫س َام‬ َ ‫اركَ َوت َ َعا َلى َع َلى َن َع َم َه ال َع َظ ْي َم َة َو َع‬
َ ‫طا َياهُ ال َج‬ َ ‫اَ ْل َح ْمد ُ َ هّلِلَ الك ََري َْم ال َم هن‬
َ ‫ان؛ أَحْ َمدُهُ ت َ َب‬
‫ص َحابَ َه ال َك َر َام‬ َ َ
ْ ‫على آ َل َه َوأ‬ َ ‫ه‬
َ ‫سل َم َعل ْي َه َو‬َ ‫صلى هللاُ َو‬ ‫ه‬ َ ،‫ام‬ َ ‫ص‬َ ‫صلى َو‬ ‫ه‬ َ ‫ض ُل َم ْن‬ ْ َ
َ ‫س ْولهُ؛ أف‬ُ ُ ‫ َوأ َ ْش َهدُ أ هن ُم َح همدا َع ْبدُهُ َو َر‬،‫ال ُم ْلكُ العَ ََل ُم‬.
َ

ُ‫أَ هما بَ ْعد‬:

َ‫أَيُّ َها ال ُمؤْ َمنُ ْونَ َعبَادَ هللا‬: ُ‫ َو َراقَب ُْوهُ َج هل شَأْنُهُ ُم َراقَبَة َم ْن يَ ْعلَ ُم أَ هن َربههُ يَ ْس َمعُهُ َويَ َراه‬،‫اَتهقُ ْوا هللاَ تَعَالَى‬.

Ibadallah,

Banyak orang yang salah kaprah tentang hakikat ilmu yang shahih, yaitu ilmu yang harus
dipelajari dan dicari. Mereka berselisih menjadi dua pendapat, yang saling bersebrangan dan
ekstrim. Salah satunya lebih berbahaya daripada yang lainnya.

Pendapat pertama, pendapat yang mengatakan bahwa ilmu yang shahih hanya terbatas pada
sebagian ilmu syar’i yang hanya berkaitan dengan perbaikan akidah, akhlak dan ibadah, bukan
semua ilmu yang ditunjukkan oleh Alquran dan sunnah yang mencakup ilmu syar’i dan semua
ilmu yang menjadi perantaranya dan ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Pendapat ini
bersumber dari mereka yang tidak memahami syariat dengan benar. Namun, sekarang mulai
mencari cara tatkala melihat banyaknya maslahah dan manfaat ilmu pengetahuan tentang alam
semesta, juga ketika sebagian besar mereka menyadari adanya petunjuk dari nash-nash agama
tentang ilmu tersebut.

Pendapat kedua, pendapat yang membatasi ilmu pada ilmu-ilmu modern saja yang merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan. Pendapat ini muncul akibat dari berpalingnya mereka dari agama,
ilmu agama dan akhlakya. Ini jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal, dimana mereka
menjadikan perantara sebagai tujuan. Mereka menolak ilmu yang shahih dan hakikat yang
bermanfaat, jika tidak ditunjukkan oleh ilmu modern sama sekali. Mereka telah tertipu dengan
berbagai hasil penemuan-penemuan baru. Merekalah yang dimaksudkan dalam firman Allah
‘Azza wa Jalla,

َ‫ت فَ َر ُحوا َب َما َع ْندَ ُه ْم َمنَ ْال َع ْل َم َو َحاقَ َب َه ْم َما كَانُوا َب َه َي ْستَ ْه َزئُون‬
َ ‫سلُ ُه ْم َب ْال َب َينَا‬
ُ ‫فَلَ هما َجا َءتْ ُه ْم ُر‬

“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa
ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan
mereka dikepung oleh azab Allah ‘Azza wa Jalla yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS.
al-Ghafir/40:83).
Mereka bangga dengan ilmu mereka, menyombongkan diri serta melecehkan ilmu para Rasul.
Akibatnya, mereka ditimpa adzab yang mereka perolok-olokan dan ancaman yang diberikan
kepada para pendusta rasul-rasul Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka disiksa di dunia dengan
ditutupnya hati, mata dan pendengaran mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat kebenaran.

‫شدُّ َوأَ ْبقَى‬


َ َ‫َولَعَذَابُ ْاْل َخ َرةَ أ‬

“Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS. Thaha/20:127).

‫َو َما َكانَ لَ ُه ْم َمنَ ه‬


‫َّللاَ َم ْن َواق‬

“Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (QS. Ghafir/40:21).

Ibadallah,

Hakikat dan yang maksud dengan ilmu yang bermanfaat dalam Alquran dan sunnah yaitu semua
ilmu yang menghantarkan kepada tujuan yang mulia, yang membuahkan perkara-perkara
bermanfaat, tidak ada beda antara ilmu yang berkaitan dengan dunia maupun yang berkaitan
dengan akhirat. Jadi, semua yang membimbing manusia kepada jalan yang benar, bisa
memperbaiki akidah dan meningkat akhlak dan amalan, maka itu adalah ilmu.

Ilmu terbagi menjadi dua: Tujuan dan sarana (perantara) yang bisa mengantarkan kepada tujuan.

Ibdallah,

Tujuan adalah semua ilmu yang memperbaiki agama, sedangkan sarana adalah semua ilmu yang
mendukung tujuan seperti ilmu-ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu
pengetahuan tentang alam semesta yang membuahkan ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah
‘Azza wa Jalla), pengetahuan tentang keesaan-Nya serta kesempurnaan-Nya, juga membuahkan
pengetahuan tentang benarnya para Rasul-Nya. Buah lainnya adalah dapat membantu dalam
beribadah dan bersyukur kepada Allah l , serta membantu dalam penegakan agama. Karena
sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menundukkan alam semesta ini untuk kita dan Allah
‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berfikir dan berusaha menggali hal-hal yang
bermanfaat, baik beragama maupun bermanfaat dalam kehidupan dunia. Dan perintah terhadap
sesuatu berarti perintah untuk melaksanakan apa yang menjadi obyek perintah tersebut serta
perintah juga untuk melaksanakan segala yang menjadi perantara dan penyempurna penunaian
perintah.

Ini mendorong kita untuk mengetahui ilmu pengetahuan alam yang bisa digunakan untuk
menggali manfaat dari segala yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tundukkan untuk kita. Karena
manfaat dan hasil tidak akan bisa dicapai tanpa usaha, berfikir dan melakukan penelitian. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫شدَيدٌ َو َمنَافَ ُع َللنه‬


‫اس‬ ٌ ْ ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا ْال َحدَيدَ فَي َه بَأ‬
َ ‫س‬
“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia.” (QS. al-Hadid/57:25).

Manfaat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui ilmu-ilmu terkait sehingga hasilnya
maksimal.

Banyak sekali nash dalam Alquran dan sunnah yang memuji ilmu dan memuji para ahli ilmunya
serta keharusan untuk lebih mengutamakan ahli ilmu daripada yang lainnya. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:

َ‫قُ ْل ه َْل يَ ْست َ َوي الهذَينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالهذَينَ ََل يَ ْعلَ ُمون‬

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS.
Az-Zumar/39:9).

Merekalah orang-orang yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan mengetahui-Nya

‫َّللاَ َم ْن َعبَا َد َه ْالعُلَ َما ُء‬


‫َإنه َما يَ ْخشَى ه‬

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama.” (QS. Fathir/35:28).

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan orang yang tidak mengetahui untuk bertanya kepada ahli
ilmu.

Allah ‘Azza wa Jalla juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan banyak jenis ibadah
dan melarang dari segala yang haram. Perintah dan larangan tidak mungkin dilakukan kecuali
setelah memiliki ilmu dan mengetahuinya. Jadi perintah dan larangan itu menunjukkan wajibnya
mempelajari segala yang berhubungan dengan perintah dan larangan itu sendiri. Sebagaimana
juga Allah ‘Azza wa Jalla membolehkan sebagian muamalat (segala yang terkait dengan intraksi
antar sesama manusia) dan mengharamkan sebagian yang lain. Untuk melaksanakannya berarti
kita harus bisa membedakan antara muamalah yang diperbolehkan dan yang tidak perbolehkan.
Klasifikasi seperti ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan ilmu. Allah ‘Azza wa Jalla mencela
orang-orang yang tidak mengetahui batasan-batasan yang telah Allah ‘Azza wa Jalla turunkan
kepada para rasulnya dalam al-Kitab dan sunnah.

Di antara perintah Allah l adalah perintah berjihad dalam banyak ayat, dan perintah untuk
mempersiapkan kekuatan yang bisa dilakukan untuk menghadapi musuh serta berhati-hati dari
mereka. Perintah-perintah ini tidak akan bisa direalisasikan kecuali dengan mempelajari ilmu
tehnik berperang dan pembuatan senjata.

Allah ‘Azza wa Jalla juga memerintahkan untuk mempelajari ilmu perdagangan dan ilmu
perekonomian, bahkan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk menguji anak-anak yatim
yang masih kecil dengannya agar mereka tahu ilmu dagang dan bisa bekerja sebelum diserahi
harta benda milik mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
‫َوا ْبتَلُوا ْاليَت َا َمى َحتهى َإذَا بَلَغُوا النَكَا َح فَإَ ْن آنَ ْست ُ ْم َم ْن ُه ْم ُر ْشدا فَادْفَعُوا َإلَ ْي َه ْم أَ ْم َوالَ ُه ْم‬

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-harta mereka.” (QS. an-Nisa/4:6).

Dalam ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla tidak memerintahkan untuk menyerahkan harta mereka
sampai diketahui bahwa mereka memiliki pengetahuan tentang cara pengelolaan harta dan
mengetahui ilmu perdagangan.

Syariat yang sempurna ini memerintahkan kita untuk mempelajari segala jenis ilmu yang
bermanfaat; mulai dari ilmu Tauhid, Usuluddin, ilmu Fikih dan hukum, ilmu-ilmu bahasa arab,
ilmu perekonomian dan politik, serta ilmu-ilmu yang bisa untuk memperbaiki keadaan pribadi
dan masyarakat.

Tidak ada ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat kecuali telah diperintahkan dan
dianjurkan oleh syariat ini. Sehingga dengan demikian, terkumpullah di dalam agama ini ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan alam. Bahkan ilmu-ilmu dunia yang bermanfaat bisa
dimasukkan menjadi bagian dari ilmu agama.

َ ‫أَقُ ْو ُل َهذَا القَ ْو َل َوأ َ ْست َ ْغ َف ُر هللاَ َل ْي َولَ ُك ْم َو َل‬.


َ ‫سا َئ َر ال ُم ْس َل َميْنَ َم ْن ُك َل ذَ ْنٍب فَا ْستَ ْغ َف ُر ْوهُ َي ْغ َف ْر لَ ُك ْم َإنههُ ه َُو الغَفُ ْو ُر‬
‫الر َح ْي ُم‬

Khutbah Kedua:

َ ‫سله َم‬
‫علَ ْي َه َو َعلَى‬ َ ‫صلهى هللاُ َو‬ ُ ‫ َوأ َ ْش َهد ُ أ َ هن ُم َح همدا َع ْبدُهُ َو َر‬،ُ‫ َوأ َ ْش َهد ُ أ َ ْن ََل َإلَهَ َإ هَل هللاُ َوحْ دَهُ ََل ش ََريْكَ لَه‬،‫ان‬
َ ‫س ْولُهُ؛‬ َ ‫س‬ َ ‫ا َ ْل َح ْمد ُ َ هّلِلَ َع َظي َْم‬
َ ْ‫اإلح‬
َ
، َ‫صحْ بَ َه أجْ َم َعيْن‬
َ ‫آ َل َه َو‬

ُ‫أَ هما بَ ْعد‬:

Ibadallah,

Adapun orang-orang yang berlebihan, mereka menjadikan ilmu itu terbatas pada sebagian ilmu
agama saja. Sungguh mereka telah jatuh dalam kesalahan yang fatal.

Sebaliknya yang beraliran materialis, mereka memandang bahwa ilmu yang benar hanya terbatas
pada ilmu pengetahuan alam. Mereka mengingkari ilmu-ilmu lainnya, mereka menyimpang
sehingga agama dan akhlak mereka rusak. Buah dari ilmu mereka hanya produk-produk yang
gersang, tidak bisa menyucikan akal dan ruh mereka, juga tidak memperbaiki akhlak. Ilmu
mereka lebih banyak mendatang mudharat daripada manfaatnya. Mereka hanya mendapatkan
manfaat dari sisi peningkatan produk dan penemuan baru saja, namun mereka mendapatkan
celaka dari dua sisi:

Pertama, ilmu-ilmu akan menjadi bencana terbesar bagi mereka dan bagi umat manusia, karena
ilmu-ilmu itu hanya mendatangkan kebinasaan, peperangan dan kehancuran.
‫‪Kedua, dengan ilmu yang mereka miliki, mereka akan menjadi bangga dan sombong sehingga‬‬
‫‪mereka berani melecehkan ilmu para Rasul dan perkara-perkara agama.‬‬

‫ير‬
‫ص ُ‬‫اّلِلَ ۖ إَنههُ ه َُو الس َهمي ُع ْالبَ َ‬
‫ُور َه ْم إَ هَل َكب ٌْر َما ُه ْم َببَا َل َغي َه ۚ فَا ْست َ َعذْ بَ ه‬
‫صد َ‬ ‫س ْل َ‬
‫طان أَت َا ُه ْم ۙ إَ ْن فَي ُ‬ ‫ت ه‬
‫َّللاَ بَ َغي َْر ُ‬ ‫إَ هن الهذَينَ يُ َجا َدلُونَ فَي آيَا َ‬

‫‪“Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang‬‬
‫)‪sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan‬‬
‫‪kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada‬‬
‫‪Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ghafir/40:56).‬‬

‫ت فَ َر ُحوا بَ َما َع ْندَ ُه ْم َمنَ ْال َع ْل َم َو َحاقَ بَ َه ْم َما كَانُوا بَ َه يَ ْستَ ْه َزئُونَ‬
‫سلُ ُه ْم بَ ْالبَ َينَا َ‬
‫فَلَ هما َجا َءتْ ُه ْم ُر ُ‬

‫‪“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa‬‬
‫‪ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan‬‬
‫‪mereka dikepung oleh azab Allah ‘Azza wa Jalla yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (QS.‬‬
‫‪al-Ghafir/40: 83).‬‬

‫‪Dengan uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa ilmu yang bermanfaat di dunia maupun di‬‬
‫‪akhirat adalah ilmu-ilmu yang bersumber dari kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah‬‬
‫‪n yang mencakup semu jenis ilmu yang bermanfaat, tidak ada beda antara ilmu inti dan ilmu‬‬
‫‪cabang, tidak pula ilmu agama dan ilmu dunia semunya sama. Sebagaimana akidah Islam‬‬
‫‪mencakup kewajiban beriman kepada semua kebenaran, beriman kepada semua kitab yang Allah‬‬
‫‪‘Azza wa Jalla turunkan, dan semua Rasul yang Allah ‘Azza wa Jalla utus. Walhamdulillah‬‬

‫صلُّ ْوا َو َ‬
‫س َل ُم ْوا‬ ‫‪-‬و َ‬‫‪-‬ر َعا ُك ُم هللاُ َ‬ ‫ص ُّلونَ َعلَى النه َبي َ َيا ‪َ :‬ع َلى ُم َح هم َد ب َْن َع ْب َد هللاَ َك َما أَ َم َر ُك ُم هللاُ َبذَلَكَ فَي َكتَا َب َه فَقَا َل َ‬
‫َّللاَ َو َم ََلئَ َكتَهُ يُ َ‬
‫﴿ إَ هن ه‬
‫س َل ُموا تَ ْس َليما ﴾‬ ‫َ‬
‫صلوا َعل ْي َه َو َ‬ ‫ُّ‬ ‫ه‬ ‫َ‬
‫سل َم ]‪:٥٦‬األحزاب[أيُّ َها الذَينَ آ َمنُوا َ‬ ‫ه‬ ‫عل ْي َه َو َ‬‫َ‬ ‫صلى هللاُ َ‬ ‫ه‬ ‫َّللاُ (( ‪َ ،:‬وقَا َل َ‬ ‫صلى ه‬ ‫ه‬ ‫صَلة َ‬ ‫ي َ‬ ‫عل ه‬‫َ‬ ‫ص لى َ‬ ‫ه‬ ‫َم ْن َ‬
‫‪َ )) .‬علَ ْي َه َب َها َع ْشرا‬

‫ار ْك َعلَى ُم َح همد َو َعلَى آ َل‬ ‫ص هليْتَ َعلَى إب َْرا َهي َْم َو َع َلى آ َل َإب َْرا َهي َْم َإ هنكَ َح َم ْيد ٌ َم َج ْيدٌ‪َ ،‬و َب َ‬ ‫ص َل َعلَى ُم َح همد َو َعلَى آ َل ُم َح همد َك َما َ‬ ‫اَل هل ُه هم َ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫الرا َش َديْنَ األئَ هم َة ال َم ْه َديَيْنَ ؛ أبَ ْي بَكر‬ ‫اء ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫ع َن الخلف َ‬ ‫ه‬
‫ض الل ُه هم َ‬ ‫ار َ‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫اركتَ َعلى إَب َْرا َهي َْم َو َعلى آ َل إَب َْرا َهي َْم إَنكَ َح َم ْيد ٌ َم َج ْيد ٌ‪َ ،‬و ْ‬ ‫ْ‬ ‫ُم َح همد َك َما بَ َ‬
‫َ‬
‫ص َحابَ َة أجْ َم َعيْنَ ‪َ ،‬و َع َن التها َب َعيْنَ َو َم ْن‬ ‫ض الل ُه هم َع َن ال ه‬ ‫ه‬ ‫ار َ‬ ‫ع َلي‪َ ،‬و ْ‬ ‫سنَي َْن َ‬ ‫َ‬
‫ي النُ ْو َري َْن‪َ ،‬وأ َب ْي ال َح َ‬ ‫ْ‬
‫عث َمانَ َذ ْ‬‫ق‪َ ،‬و ُ‬
‫ار ْو َ‬ ‫ع َم َر الفَ ُ‬‫ق‪َ ،‬و ُ‬ ‫الص َد ْي َ‬
‫َ‬
‫ي‬‫م‬‫ر‬
‫َ َ ْنَ‬ ‫ْ‬
‫ك‬ ‫َ‬ ‫أل‬‫ا‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ْ‬
‫ك‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫ا‬ ‫س‬ ‫إ‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫َر‬ ‫ك‬‫و‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ب‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ا‬‫ه‬
‫َ َ ُ ْ َ َحْ َ َ َ ْ َ َ ْنَ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َكَ َ َ َ كَ َ َحْ َ َكَ َ َ َ‬‫ن‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫‪،‬‬ ‫ي‬‫الد‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ى‬ ‫َ‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ان‬ ‫س‬ ‫إ‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ع‬ ‫ب‬‫َ‬ ‫ت‬‫‪.‬‬

‫ص ْرنَا َعلَى َم ْن َبغَى‬ ‫ص ْر َعلَ ْينَا‪َ ،‬و ْام ُك ْر لَنَا َو ََل ت ُ ْم َك ْر َعلَ ْينَا‪َ ،‬وا ْه َدنَا َو َيس َْر ال ُهدَى لَنَا َوا ْن ُ‬ ‫ص ْرنَا َو ََل تَ ْن ُ‬ ‫اَلله ُه هم أ َ َعنها َو ََل ت ُ َع ْن َعلَ ْينَا‪َ ،‬وا ْن ُ‬
‫َ‬ ‫ْ‬
‫ت ‪َ .‬علَ ْينَا‪ ،‬اَلل ُه هم اجْ عَلنَا لَكَ شَا َك َريْنَ لَكَ ذَا َك َريْنَ إَلَيْكَ أ هوا َهيْنَ ُمنَ ْيبَيْنَ لَكَ ُم ْخبَتَيْنَ لَكَ ُم َط ْي َعيْنَ‬ ‫ه‬ ‫اَلله ُه هم تَقَب ْهل ت َْو َبتَنَا َوا ْغس َْل َح ْوبَتَنَا َوث َ َب ْ‬
‫صد ُْو َرنَا‬ ‫س َخ ْي َمةَ ُ‬ ‫س َددْ أ َ ْل َسنَتَنَا َوا ْسلُ ْل َ‬
‫سبُ َل الس َهَل َم َوأَ ْخ َرجْ نَا َمنَ ‪ُ .‬ح هجتَنَا َوا ْه َد قُلُ ْو َبنَا َو َ‬ ‫ف َبيْنَ قُلُ ْو َبنَا َوا ْه َدنَا ُ‬ ‫ص َل ْح ذَاتَ َب ْي َننَا َوأ َ َل ْ‬
‫اَلله ُه هم َوأ َ ْ‬
‫َ‬
‫ار َكيْنَ أ ْينَ َما ُكنها‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫اجنَا َوذ َريهاتَنَا َوأ ْم َوا َلنَا َوأ ْوقَاتَنَا َواجْ عَلنَا ُم َب َ‬ ‫َ‬
‫ارنَا َوأ ْز َو َ‬ ‫ص َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ار ْك لنَا فَي أ ْس َما َعنَا َوأ ْب َ‬ ‫َ‬ ‫ت إَلى النُّ ْو َر‪َ ،‬وبَ َ‬ ‫َ‬ ‫اَلله ُه هم ا ْغ َف ْر ‪.‬الظل َما َ‬
‫ُ‬ ‫ُّ‬
‫اء َم ْن ُه ْم َو ْاأل َ ْم َوا َ‬
‫ت‬ ‫ت اَ ْألَحْ َي َ‬
‫ت َوال ُمؤْ َم َنيْنَ َوال ُمؤْ َمنَا َ‬ ‫‪.‬لَنَا َو َل َوا َلدَ ْينَا َو َل ْل ُم ْس َل َميْنَ َوال ُم ْس َل َما َ‬

‫صحْ َب َه أَجْ َم َعيْنَ‬ ‫اركَ َوأَ ْن َع َم َعلَى َع ْب َد َه َو َر ُ‬


‫س ْو َل َه نَ َب َينَا ُم َح همد َوآ َل َه َو َ‬ ‫سله َم َوبَ َ‬
‫صلهى هللاُ َو َ‬ ‫آخ ُر دَع َْوانَا أ َ َن ْال َح ْمد ُ َ هّلِلَ َر َ‬
‫ب العَالَ َميْنَ ‪َ ،‬و َ‬ ‫‪َ .‬و َ‬

‫‪Halaman dua‬‬
MENUJU INTEGRASI ILMU-ILMU
KEISLAMAN DENGAN ILMU-
ILMU UMUM
By syekhu

MENUJU INTEGRASI ILMU-ILMU KEISLAMAN DENGAN ILMU-ILMU UMUM

Oleh: Syekhuddin

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh
kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah
ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat
apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan
dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.[1]

Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat
dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau
minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman
secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia
terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu
atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika
kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang
justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]

Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya.
Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau
sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum
perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.

Buka masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan
intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]

B. Permasalahan

Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menyatukan ilmu-
ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.

II. PEMBAHASAN

Sebelum sampai kepada pembahasan penyatuan /integrasi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-
ilmu umum, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang : Alquran dan ilmu pengetahuan,
rekonstruksi sains Islam, suatu integrasi ilmu pengetahuan Islam dan umum.

A. Alquran dan Ilmu Pengetahuan (Sains)

Alquran diturunkan oleh Allah swt. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat
185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-
orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia
untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan
dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5.
Artinya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia diketahuinya.[5]

Disamping itu, Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut
adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmu>d Abdul Wahab
Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati
disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan
merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[6]

Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang
ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum,
semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Namun Imam Al-Sy>athibi (w. 1388 M), tidak
sependapat dengan Al-Gazali.[7]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan
dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan
pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya
diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan
sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam
Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih
utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau
sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah
mapan?[8]

Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat


besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma
Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang
berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas
bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan
rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat
dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis
umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu
pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.[9]

B. Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam

Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan
ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan.

Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa
dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda.
Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga
pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.

Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan
pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata
pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing
dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam
mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan
multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah
jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari
para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.[10]

Muhammad Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan
sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences (al-ulu>m al-kauniyyah)
menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang pondasi
dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah mengukir sejarahnya
dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biru>ni
(w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn
Haitsam (w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada
sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih
perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang
sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada
sekarang.[11]

Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal
diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Ha>tim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn
Ibrahim al-Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar,
Muhammad al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi.

Pada periode klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada beberapa faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:

1. Agama Islam sebagai motivasi.


2. Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
3. Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Didirikannya akademi, Laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
5. Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.
6. Pandangan Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.
7. Penguasaan terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.

Pada periode klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah
dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Alquran dan hadis dan ilmu pengetahuan
yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka yaitu
pengetahuan Islam.[12]

Sesudah periode klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami
kemunduran, produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru terjadi
sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam dikembangkan, sehingga
mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu gerbang renaissance, dan reformasi.
Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.

Ilmu pengetahuan yang dikaji dari Alquran dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan
Islam, sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan
dari struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan
Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak
negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali
dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya
seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan
pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam pembahasan
substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan. Dengan
rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan
Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara
fungsional (fungsional Corelation)[13]

C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islaman dengan Umum

Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum
(sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang
pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.

Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun
sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M)
yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun
1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo
memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta
empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah
pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.[14]

Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama.
Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur
tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[15]
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan
mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan
dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada
yang sakral).

– Sekularisasi ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi


rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan
yang obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang
bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).

– Sekularisasi ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral,
nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu,
menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan demikian menghilangkan
obyektivitasnya.[16]

Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam
mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi
ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal
jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah
akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras
menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke
dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya
tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak
cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa
disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan
Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan
yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah
membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran
kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu
menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah
menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.

Tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada
koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.

Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam.
Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma.
Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif,
sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam
(rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil
dari objektivikasi ajaran Islam.

Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan keislaman,
dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–prinsip tanpa
mengacu pada pendekatan teologi normatif.

Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan


islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:

1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan
mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang
inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah
suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena
di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh
corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan
empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri
mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang
diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis
atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah
kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.[17]

Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan
dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah
praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w.
1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang
berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maudu>di, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan,
mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu
ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad
saw.

Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern


dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat
revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan
dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afga>ni menyatakan bahwa
Islam memiliki semangat ilmiah.

Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah
dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua
ilmu pengetahuan.[18]

Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak
mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).[19]
Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan.
Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.[20]

Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum
dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut.

Terdapat keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains:

(1) Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Alquran secara dangkal
dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang
menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan
integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya
berjalan sendiri-sendiri …. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan,
seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[21]

(2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis).
Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu
nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan
hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah
yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).[22]

Amin Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan


memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling
mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana.
Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri
sendiri …. maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi
dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[23]

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan


peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam sebenarnya
dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.

– Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri
tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.

– Pendekatan Linear, salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada
kemungkinan berat sebelah.

– Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan,


kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil
manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[24]

Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan


antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif
menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi
rahmat bagi semua orang.[25]

Contoh konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang
prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam
perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mud{a>rabah) dan kerja sama (al-Musya>rakah).
Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola
kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut
dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi,
kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.[26]

Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan
antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi
ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama.
Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang
sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan
aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan
metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke
dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling
mengalahkan.

Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu
keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis,
epistemologis dan aksiologis.

– Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman
yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-
ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-
ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia
untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus
dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.

– Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh
melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran
dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah).
Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.

– Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada
pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu
pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan
amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.

BAB III. KESIMPULAN

1. Alquran diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang
batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah
pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler.
3. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para
ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal
ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
4. Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum
ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5. Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-
interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.

Halaman tiga

Sebagian kaum intelektual mengamati bahwa salah satu faktor penyebab kemunduran umat
Islam adalah ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi. Umat Islam dianggap
terlalu mengabaikan urusan dunia dan terlalu mementingkan urusan akhirat. Keadaan ini
semakin diperparah dengan imperialisme Barat yang secara sadar membawa serta pandangan
positivisme sekularisme.

Pandangan positivisme sekularisme mengukuhkan bahwa sesuatu yang berarti hanyalah sesuatu
yang bisa diukur dan dicerap oleh indera. Sementara segala hal di luar semua itu dianggap tidak
berarti dan sebagai konsekuensinya, dianggap ketinggalan zaman dan harus segera ditinggalkan.

Dari paradigma ini, muncul kemudian istilah sekularisme yang menghilangkan dan
membebaskan dunia dari pengaruh agama (Naquib al-Attas, 1981: 20). Dalam bidang keilmuan,
pandangan ini berperan besar pada adanya dikotomi ilmu, yaitu ilmu umum dan ilmu agama.
Bagi orang positivis sekularis, bagian yang pertama dianggap ilmiah sementara yang kedua
dianggap sebagai kajian tidak ilmiah.

Inilah persoalan yang terus berlanjut, bahkan sampai ke negeri Indonesia yang perrnah
merasakan penjajahan imperialisme Barat dalam kurun waktu yang relatif lama. Pandangan
penjajah yang sekuler berimplikasi pada dikotomi keilmuan yang sangat ketat antara ilmu-ilmu
agama, sebagaimana yang dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional (pesantren) di satu pihak, dan ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum yang disponsori pemerintah di pihak lain. Dikotomi ini menjadi semakin
tajam dengan adanya klaim validitas dari masing-masing pihak atas pihak lainnya. Pihak
tradisionalis menganggap bahwa ilmu umum adalah hal yang haram dipelajari karena diajarkan
dan dibiayai oleh penjajah, sementara pihak yang mendukung ilmu-ilmu umum berpendapat
bahwa ilmu agama bukanlah suatu kajian yang ilmiah, karena tidak didasarkan pada kajian
empiris positivis (Mulyadhi Kartanegara, 2005: 20). Sebagai akibatnya, masyarakat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam juga menghadapi problem dikotomi keilmuan dan pemisahan
pendidikan ini. Selama bertahun-tahun umat Islam Indonesia harus dihadapkan pada dua bidang
keilmuan, tanpa diberi pilihan untuk bisa menguasai keduanya.

Dalam upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini, sebagian cendekiawan Muslim mencoba
untuk mengintegrasikan atau memadukan dua keilmuan yang dianggap berpisah ini. Sebagian di
antara mereka mencoba mencari klaim penemuan-penemuan ilmiah kontemporer dalam Al-
Quran. Apa yang dilakukan oleh Prof. Baiquni dalam buku Islam dan Ilmu Pengetahuan
Kontemporer adalah salah satu upaya tersebut. Dalam buku tersebut, Prof. Baiquni mencoba
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan alam semesta dengan penemuan-
penemuan ilmiah kontemporer dan sebagai kesimpulannya, Al-Quran sesuai dengan temuan-
temuan ilmiah yang ditemukan oleh para ilmuwan kontemporer (A. Baiquni, 1983: 122).
Beberapa tahun sebelumnya, seorang dokter bedah dari Prancis yang beralih menjadi
metafisikawan, Maurice Bucaille, juga melakukan hal yang sama dengan tafsirnya, The Bible,
The Quran, and The Science. Dalam tafsirnya Bucaille menyatakan bahwa Al-Quran bersesuaian
dengan data sains modern secara sempurna (Mehdi Gholsyani, 1988: 141).

Namun pandangan terhadap dimensi keilmuan Al-Quran seperti di atas telah lama mendapat
kritik yang tajam, terutama oleh cendekiawan Muslim. Al-Quran tidak bisa dianggap sebagai
eksiklopedi sains dan teknologi, karena Al-Quran adalah kitab petunjuk. Bila menganggap Al-
Quran sebagai ensiklopedi sains dan teknologi dengan menyatakan kesesuaiannya dengan
penemuan ilmiah kontemporer, maka yang terjadi adalah penyatuan dua hal yang berbeda. Sains
-hingga saat ini- belum mencapai tingkat kemajuan yang paripurna dan akan terus berkembang,
sementara sifat Al-Quran tetap dan tidak berubah. Maka tidaklah benar bila menafsirkan Al-
Quran menurut teori-teori yang dapat berubah (Mehdi Gholsyani, 1988: 142).

Upaya yang lebih tepat dalam menghadapi persoalan dikotomi sains dan agama adalah dengan
menggali petunjuk-petunjuk umum dan global dalam penelitian sains, bukan dengan
mencocokkan hasil-hasil penemuan sains yang rigid dengan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.
Dengan semangat inilah, upaya integralisasi sains dan agama bisa dilakukan dan hasilnya adalah
suatu paradigma sains yang berlandaskan pada pandangan hidup Al-Quran (Quranic worldview).
Definisi Ilmu dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali (Quraish Shihab: 1996:
434). Secara etimologi, kata ini digunakan untuk suatu proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengatahuan. Pada Surat Al-Baqarah [2]: 31 dan 32 disebutkan,

Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian
dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-
nama benda itu jka kamu memang orang-orang yang benar.” Mereka (para malaikat) menjawab,
“Maha suci Engkau, tiada pengetahuan kecuali yang telah Engkau ajarkan. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

Ayat tersebut menyatakan bahwa ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul
terhadap makhluk-makhluk lainnya guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Menurut Al-Quran,
manusai mempiliki potensi yang besar untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin
Allah. Karena itulah sangat banyak ditemukan ayat-ayat yang memerintahkan kepada manusia
untuk melakukan berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut (Quraish Shihab, 1996: 435).
Pada wahyu yang pertama turun, Al-Quran menjelaskan beberapa prinsip dalam pengetahuan.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari ‘Alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan
pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).

Kata yang pertama, Iqra` berarti menghimpun. Makna ini mengandung arti sangat luas, yaitu
menyampaikan, menelaan, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca, baik membaca teks
maupun bukan teks. Menariknya, ayat ini tidak menyebutkan objek yang harus dibaca, yang bisa
disimpulkan bahwa Al-Quran menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama dalam
koridor bismi Rabbik (dengan nama Tuhanmu). Dengan demikian, iqra` mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkaunya (Quraish Shihab, 1996: 433).

Hal ini tentu berbeda dengan definisi ilmu yang seringkali dipakai sebagai, “Organized
knowledge, especially when obtained by observation and testing of facts, about physical world,
natural laws and society; study leading to such knowledge.” (Pengetahuan yang teroganisir,
khususnya ketika didapat melalui observasi dan pengujian fakta-fakta tentang dunia fisik, hukum
alam dan masyarakat; suatu kajian yang mengarahkan pada peraihan pengetahuan seperti itu).
Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian
dan percobaan-percobaan untuk mencari temuan obyektif dan hasilnya dapat diverifikasi atau
diuji ulang. Dengan pengertian ini, ilmu penegtahuan membatasi diri pada ilmu-ilmu yang bisa
diobservasi saja (Kusmana, ed, 2006: ix).

Sementara Al-Quran menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat
diketahui melalui upaya manusia itu sendiri. Ada wujud yang tidak tampak (oleh indra), namun
ia adalah suatu yang wujud (ada).

Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa yang kamu tidak lihat (QS. Al-Haqqah
[69]: 38-39).
Bahkan Al-Quran juga menyebutkan adanya fenomena yang alih-alih bisa dilihat oleh manusia,
diketahui oleh manusia saja tidak.
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS. Al-Nahl [16]: 8).
Dan Al-Quran secara berulang-ulang menegaskan bahwa pengetahuan manusia sangatlah
terbatas.
Kamu tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit saja (QS. Al-Isra [17]: 85).

Di sinilah letak konsep utama Al-Quran tentang sains. Bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya
terbatas pada sesuatu yang bisa dioservasi oleh indra atau sesuatu yang bersifat materi saja.
Sementara dengan pengertian dan definisi terdahulu menunjukkan bahwa sains mutakhir hanya
mengarahkan pandangannya pada alam materi saja, yang menybabkan manusia hanya membatasi
penelitiannya pada bidang tersebut. Bahkan tidak jarang sebagian ilmuwan yang mengingkari
realitas yang non-materi.

Perbedaan objek penelitian ini membawa implikasi pada perbedaan cara perolehan ilmu itu
sendiri. Sains mutakhir hanya mengandalkan indra melalui observasi. Ilmu pengetahuan yang
diproduksi secara rasional, kemudian ditempatkan dan diproses daalm ukuran observasi,
sehingga ilmu-ilmu rasional itu ditempatkan berdasar pada ukuran empirik atau memberi
manfaat pada dunia empirik.

Sementara Al-Quran menjelaskan bahwa saluran dan sarana ilmu pengetahuan itu tidak hanya
melalui indra (observasi) saja.

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya
sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS. Al-Nahl [16]: 78).

Dari ayat tersebut, dapat diperoleh isyarat bahwa sarana yang dimiliki manusia dalam
memperoleh ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada indra saja. Selain indra, terdapat fuad
yang mengandung makna akal dan hati, yang juga berpotensi besar dalam perolehan ilmu
pengetahuan.

Beberapa ayat lain juga menunjukkan bahwa manusia memiliki dua bentuk indra, yaitu indra
lahir dan indra batin. Indra lahir meliputi indra-indra eksternal yang dikenal dengan panca indra.
Sementara indra batin meliputi akal dan hati.
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi sehingga mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu hati yang
ada di dalam dada (QS. Al-Hajj [22]: 46).

Akal dapat menjadi sarana ilmu yang sah untuk hal-hal yang bersifat non-materi, karena
kemampuannya untuk menangkap hal-hal yang bersifat abstrak yang disebut ma’qulat (the
intelligibles). Namun karena keterbatasan akal, manusia juga memerlukan sumber ilmu lain yang
lebih langsung menyentuh jantung objeknya, yaitu intuisi atau hati, yang perolehan tertingginya
adalah wahyu. Sedangkan yang lainnya bisa mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan
pikiran, firasat, atau yang lain (Mulyadhi Kartanegara, 2005: 38-39). Dengan demikian, integrasi
objek ilmu pengetahuan bisa sejalan dengan integrasi sarana atau sumber ilmu itu sendiri.

Tujuan Ilmu Pengetahuan

Sejak turunnya wahyu pertama, Al-Quran sudah menggariskan tujuan dari pencapaian ilmu
pengetahuan, yaitu bismi Rabbik (karena Allah). Tujuan ini harus menjadi titik tolak, motivsi,
dan sekaligus tujuan akhir dari pencarian ilmu. Pada beberapa ayat digunakan kata sakhkhara
dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena alam semesta,
Allah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar
menurut waktu yang telah ditentukan (QS. Al- Ra’d [13]: 2).

Dengan kata ini, Al-Quran memberikan isyarat bahwa Sang Pencipta dengan sengaja
menundukkan alam raya ini di hadapan manusia, karena manusialah yang menjadi khalifah dari
Sang Pencipta, Allah Azza Wajalla. Karena itulah, posisi manusia berada di tengah-tengah antara
alam dan Pencipta, yang berarti manusia sangat tidak pantas menundukkan diri di hadapan alam
raya. Sebaliknya, manusia dituntut untuk mengelolahnya dengan potensi yang sudah
dikaruniakan kepadanya. Dan sesuai dengan slogan bismi Rabbik, maka manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini harus selalu mengingat kepada Dzat yang menundukkan alam
untuknya.

Inilah manusia-manusia yang disebut dan digelari Al-Quran sebagai ulil albab, yaitu manusia
yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana disebutkan oleh Al-Quran Surat Ali ‘Imran [3]: 190-191,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau
duduk atau berbaring, dan mereka berfikir tentang kejadian langit dan bumi.
Mereka pula yang disebut sebagai hamba yang paling takut kepada Allah, sebagaimana yang
disebut Al-Quran surat Fathir [35]: 28,
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama.

Dalam menafsirkan ayat ini, Sayyid Qutb berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ulama
adalah mereka yang memperhatikan kitab alam yang menakjubkan. Dari perhatian itu mereka
mampu mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal Allah dari hasil
ciptaan-Nya, mereka menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat
kebesaran-Nya dengan melihat hakikat ciptaan-Nya. Dari hal tersebut, mereka akan merasakan
rasa takut kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya (Quraish Shihab, 2002: …).

Maka yang muncul kemudian adalah buah dari ilmu dan ketundukan tersebut berupa ide-ide
yang tersusun dalam benak dan juga pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-
hari (Quraish Shihab, 1996: 443).
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berfirman, “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun
perempuan…” (QS. Ali-‘Imran [3]: 195).
Ayat-ayat ini (QS. Ali ‘Imran [3]: 191-191) menunjukkan metode yang sempurna bagi penalaran
dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat tersebut memberikan arah bagi akal manusia
kepada fungsi utamanya, yaitu mempelajari ayat-ayat Allah yang tersaji di alam raya ini. Ayat-
ayat tersebut bermula dengan tafakkur dan berakhir dengan amal (Muhammad Quthb, 1988: 83).

Pesan Al-Quran untuk Para Ilmuwan Muslim

Lebih dari 750 ayat Al-Quran yang membahas tentang fenomena alam. Dari kesemua ayat
tersebut, setidaknya ada empat pesan penting yang seyogyanya diperhatikan oleh para ilmuwan
Muslim (Mehdi Gholsyani, 1988: 144-146).

a. Anjuran untuk mengkaji seluruh aspek alam dan menemukan misteri-misteri penciptaan di
dalamnya.
Dan pada penciptaan kalian dan pada binatang-binatang yang melata itu terdapat ayat-ayat bagi
kaum yang meyakini (QS. Al-Jatsiyah [45]: 4).

Perintah ini secara mutlak harus dilakukan oleh umat Islam dan adalah suatu bentuk perlawanan
terhadap semangat Al-Quran bila kaum Muslim tetap diam, sementara umat yang lain
menemukan misteri-misteri alam.
Inilah salah satu rahasia kesuksesan para ilmuwan dan cendekiawan Muslim pada masa
keemasan Islam. Mereka mempelajari alam untuk menyingkap misteri-misteri penciptaan agar
bisa memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Allah. Al-Biruni menjelaskan secara eksplisit
menegaskan bahwa motif di balik penelitiannya adalah ayat,
…. dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi, “Wahai tuhan kami, sungguh tidak
Engkau ciptakan ini dengan sia-sia…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 191).

b. Penegasan bahwa segala sesuatu di dunia ini teratur dan bertujuan. Dan dalam perbuatan Allah
tidak ada kesalahan apapun.

Dalam penciptaan Sang Pengasih itu tidak kamu lihat suatu ketidaksempurnaan, dapatkan kamu
melihat suatu ketidakteraturan? Lantas pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan
kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam
keadaan payah (QS. Al-Mulk [67]: 3-4).

c. Al-Quran menyuruh kita mengenali hukum-hukum alam dan memanfaatkannya bagi


kesejahteraan manusia dengan tidak melampaui batas.
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tetumbuhan serta pepohonan, keduanya
tunduk (kepada-Nya). Dan langit telah ditinggikan- Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar
kamu jangan merusak keseimbangan itu (QS. Al-Rahman [55]: 5-8).
d. Al-Quran memberikan pandangan tauhid yang menjadi dasar bagi segala paradigma sains.
Bahwa alam raya ini dikelola oleh Tuhan yang Maha Tunggal, maka ilmu-ilmu yang mengenai
dunia ini harus menggiring kita kepada pandangan hidup ketauhidan.

Penutup

Akhirnya, yang paling penting dari dari pembahasan integrasi sains dengan agama -khususnya
untuk kaum Muslim- adalah menggali kembali nilai-nilai utama dan petunjuk-petunjuk utamanya
tentang sains yang merupakan salah satu cabang keilmuan dalam Islam. Sejarah Islam pernah
mencatat bahwa umat Islam pernah mengalami masa kejayaan dalam bidang ini dan tidak ada
permasalahan serius terkait dikotomi sains dan agama kala itu. Umat Islam masa itu bisa
menjalankan penelitian tentang fenomena alam, tanpa harus “melepas baju” keimanannya.
Bahkan motivasi utama mereka dalam penelitian dan observasi adalah untuk menyingkap ayat-
ayat Allah dan kekuasaan-Nya yang Mahaagung. Inilah pekerjaan rumah umat Muslim saat ini.
Mempelajari ayat-ayat alam untuk menyingkap kekuasaan-Nya.

Referensi
Mehdi Gholsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, Bandung: Mizan, 1986.
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
—————, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Muhammad Quthb, Manhaj al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Syurq, 1988, cet. 11.
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, Bandung: Mizan, 2005.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981.
Kusmana, ed., Integrasi Keilmuan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung: Penerbit Pustaka: 1983.
Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains, Pertarungan Menegakkan Rasionalisme

Halaman empat

Makalah Konsep Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama

A. Latar Belakang

wawasanpendidikan.com,- Seiring dengan berakhirnya abad ke-20, negara di kawasan Asia, terutama
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup berat, bahkan di Indonesia kemudian meluas menjadi krisis
politik, pendidikan, sosial dan budaya. Memasuki milinium ke tiga, negara kita juga mengalami suatu
proses transisi menuju ke arah terbentuknya masyarakat madani yang lebih demokratis yang menjunjung
tinggi hak-hak asasi manusia. Penerapan nilai-nilai universal yang diakui oleh masyarakat global
merupakan salah satu prasyarat untuk dapat bersaing dalam masyarakat dunia yang semakin hari terasa
semakin sempit.

Kondisi seperti itu lebih disemrawutkan dengan terpuruknya bidang wacana keilmuan yang terjadi di
negara kita. Di saat ilmu diharapkan mampu menjawab semua tantangan perkembangan zaman, yang
terjadi malah dikotomisasi ilmu. Adalah suatu ketimpangan ketika ilmu agama disendirikan dan
dipisahkan dari ilmu umum yang pada kenyataannya mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan
karena eksistensinya yang saling komplementif. Hal ini berangkat dari motif sebuah asumsi bahwa kajian
agama dinilai tidak ilmiah oleh saintis dan agama sendiri sering memandang ilmu sebagai kebenaran yang
tidak harus diikuti karena tidak berasal dari langit.[1]

Dalam rangka mempertemukan dua hal yang sejatinya satu itu, penyusun tertarik dengan usaha yang
dikembangkan oleh universitas-universitas islam yang mulai mencoba inklusif, yaitu dengan menerapkan
metode integrasi dan interkoneksi dalam pembelajarannya.

Dari proses ini diharapkan akan menjadi solusi dari berbagai krisis yang diakibatkan oleh ketidakpedulian
suatu ilmu terhadap ilmu yang lain yang selama ini terjadi baik dalam kalangan pendidikan Islam maupun
pendidikan pada umumnya.

B. Rumusan Masalah

Agar tercapainya fokus pembahasan untuk mempermudah ruang lingkup pengkajian, maka penyusun
membatasi makalah ini pada objek-objek pembahasan tertentu, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan integasi ilmu?

2. Seperti Apakah konsep integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama itu?

3. Di manakah konsep integrasi ilmu itu diimplementasikan?

4. Bagaimanakah Contoh integrasi ilmu umum dengan agama?

PEMBAHASAN

1. Apakah yang dimaksud dengan integrasi ilmu?


Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris –integrate; integration- yang
kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan;
penggabungan[2] atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.[3]

Adapun secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu
kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang
bersifat umum.

Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan
ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen
dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena –sebagaimana dijelaskan
diawal pendahuluan- keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan
oleh negara-negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih dan maju di bidang keilmuan
dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari akan perlunya peninjauan ulang mengenai
dikotomisme ilmu yang terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih nilai
religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam yang merupakan ekosistem tempat
tinggal manusia.

Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia, maka sepatutnya agama
dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi
dengan kemajuan nilai religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat meninggalkan agama, ilmu
secara arogan mengeksploitasi alam sehingga terjadi berbagai kerusakan ekosistem.[4]

Ketika manusia secara berangsur-angsur dapat mengenal sifat dan perilaku alam, dan selanjutnya dapat
mengendalikan, mengolah dan memanfaatkannya dengan ilmu dan akal mereka; maka sifat dan perilaku
alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak lagi menakutkan. Konsep
ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang mengatakan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian
manusia yang gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau merupakan hasil tahap
perkembangan yang paling terbelakang dari suatu masyarakat; atau sekedar obsesi manusia tatkala
mereka masih berusia kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan kemjauan sains
dan teknologi dapat diketahui bahwa gempa terjadi karena adanya pergeseran atau patahan kulit bumi,
bukan karena Allah murka, sehingga manusia tidak perlu takut lagi.
Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal, orang Barat yang terdepan dalam
keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata
islam- tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka kelihatan semrawut, bebas tanpa
aturan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi karena ilmunya-pun telah
terdikotomikan dari ilmu agama.

2. Seperti Apakah konsep integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama itu?

Dalam halnya menggabungkan antara ilmu umum dan ilmu agama, maka integrasi ilmu ini dekat dengan
islamisasi ilmu. keduanya merupakan upaya mendamaikan polarisasi antara sains modern yang
didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik inferioritas
peradaban global. Kritik epistemologis, dalam asumsi penyusun, adalah berangkat dari proses
“obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi
Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi
dialektika antara agama dengan sains modern.

Kemunculan ide “penyatuan ilmu islam dan ilmu umum” dan atau “pengislaman ilmu umum” tidak lepas
dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama.
Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.

Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri
sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan,
nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut syari’at. Kitab suci al-Qur’an
merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand teori
ilmu.
Tidak dipungkiri, agama memang mengklaim dirinya sebagai sumber kebenaran, etika, hukum,
kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Walaupun dalam posisinya seperti itu, agama tidak pernah
menset-upkan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, dalam perspektif
ini, sumber pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan
pengetahuan yang berasal manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.[5]

Agama menyediakan menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana
ilmu diproduksi (baik, buruk), tujuan –tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi
dalam ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain
ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi
aksiologi keilmuan (whyness).

Dalam halnya sebagai paradigma keilmuan yang menyatu-padukan antara ilmu umum dan ilmu agama,
bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-
integralistik), itu tidak akan berakibat mengkerdilkan kapasitas Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan
manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup
sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme keilmuan akan dapat menyelesaikan konflik antar
sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
3. Di manakah konsep integrasi ilmu itu diimplementasikan?

Konsep integrasi ilmu diimplementasikan dalam berbagai level, yaitu:

A. Level Filosofis

Integritas dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di dalamnya harus
diberikan nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam
hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh misalnya, di samping makna fundamentalnya
sebagai filosofi membangun hubungan antara manusia, alam dan Tuhan dalam ajaran Islam, dalam
pengkajian fiqh harus disinggung pula bahwa eksistensi fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat self-
sufficient, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap dislipin keilmuan lainnya
seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.

Demikian juga dalam hal pengkajian ilmu umum seperti sosiologi. Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang
mengkaji interaksi sosial antar manusia akan menjadi terberdayakan dengan baik apabila pengajar
sosiologi –sebagai salah satu unsur dari proses transferisasi ilmu- juga mengajak peserta didik untuk
mereview teori-teori interaksi sosial yang sudah ada dalam tradisi budaya dan agama. Interkoneksitas
seperti ini akan saling memberdayakan antara sosiologi di satu pihak dan tradisi budaya atau keagamaan
di pihak lain.

Pada level filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu disiplin ilmu
selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya agama dan budaya.

B. Level Materi

Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model
pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan.

Pertama, model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga
penyelenggara pendidikan.
Kedua, model penamaan disiplin ilmu yang menunjukkan hubungan antara disiplin ilmu umum dan
keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam, seperti ekonomi
Islam, politik Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, sastra Islam, pendidikan Islam, filsafat Islam dan
lain sebagainya sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.

Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut dalam setiap
pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait
sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya, dan begitupun sebaliknya.

C. Level Metodologi

Dalam konteks struktur keilmuan Lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh
pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin
ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologis ilmu interkonektif
tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh
pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman,
dianggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung bias anti agama seperti psikoanalisis.

Dari segi metode penelitian tampaknya tidak menjadi masalah karena ketika suatu penelitian dilakukan
secara obyektif baik dengan menggunakan metode kuesioner, wawancara atau yang lainnya, maka
hasilnya kebenaran objektif. Kebenaran seperti ini justru akan mendukung kebenaran agama itu sendiri.

D. Level Strategi

Yang dimaksud level strategi di sini adalah level pelaksanaan atau praksis dari proses pembelajaran
keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan
pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma interkoneksitas. Di samping
kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi dengan baik menyangkut pengadaan sumber bacaan yang
harus beragam serta bahan-bahan pengajaran (teaching resources) di kelas. Demikian pula pembelajaran
dengan model pembelajaran active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan.

4. Sebuah Contoh integrasi ilmu umum dengan agama; Konsep Psikologi Islam

Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama,
Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya
metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa
metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai
persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam
harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[6]

Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan.
Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah
konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional
adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.

Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai
landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat
dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu.
Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:

“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap
gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14:1).[7]

Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang
mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu
pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya
moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan
akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).

Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal
substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana
cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan
kebenaran epistemologik.[8] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan
intuisi.

Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu
keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya.
Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita
mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai
dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat
diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb
dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi,
bukan hanya gejala.

Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan
patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual
pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber
dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-
terma seperti al-aql, al-nur dan etika atau moral.[9]

PENUTUP

A. Kesimpulan

Integrasi berasal dari bahasa Inggris –integrate; integration- yang berarti menyatu-padukan;
penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.

Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan
ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen
dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula.

Konsep integrasi ilmu diimplementasikan dalam berbagai level, yaitu:

a. Level Filosof

b. Level Materi

c. Level Metodologi

d. Level Strategi

halaman lima

BAB II
PEMBAHASAN
A. Integrasi Ontologi Ilmu Dan Agama
Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah ‘yang ada’, baik
bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada,
sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang ‘ yang
ada’ di balik benda-benda fisik yang oleh Aristoteles disebut sebagai proto philosophia (filsafat
pertama).[5]

‘Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustahil ada (mustaḥīl al-wujūd),
mungkin ada (jawāz al-wujūd) dan wajib ada (wājib al-wujūd). Wajib ada adalah keberadaan
sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada bukan karena sesuatu yang lain namun justru menjadi
penyebab atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa
Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan. Tuhan yang wajib ada bersifatan sifat-
sifat wajib yang di antaranya adalah ilmu (al-‘ilmu) sehingga wujud (eksistensi) ilmu dan agama
adalah identik dan menyatu dalam wujud Tuhan.

Dengan demikian, Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-
interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama saling bergantung satu sama
lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara
primordial berasal dari dan merupakan bagian dari Tuhan.

Pandangan ontologis demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan
maupun agamawan untuk ‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran
yang saya pahami hanyalah satu potong puzzle dari gambar keseluruhan alam semesta. Beragam
pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat dipandang sebagai potongan-
potongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi pemahaman akan kebenaran mutlak.
Penjelasan ini menegaskan bahwa wujud ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami
konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik
pemahaman ilmuwan dan agamawan.

B. Integrasi Epistemologis Ilmu dan Agama


Setiap pandangan epistemologi pasti disadari oleh suatu pemahaman ontologi tertentu.
Seseorang yang meyakini bahwa hakikat segala sesuatu adalah materi, maka bangunan
epistemologinya pun akan bercorak materialisme. Pemahaman ini akan mengarahkan setiap
penyelidikannya pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Pemahaman
ini dapat dilihat misalnya pada empirisme, rasionalisme dan positivisme Demikian pula bagi
seseorang yang secara ontologis meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah yang non-materi,
mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non materi, pemahaman ini dapat
dilihat misalnya pada intuisionisme.
Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara
epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-
komplementer. Sumber ilmu tidak hanya rasio dan indra, namun juga intuisi dan wahyu.
Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, para filsuf
muslim seperti al-Kindī mengelompokkan pengetahuan menjadi dua: 1) ‘ilm ’ilāhī (pengetahuan
ilahi) seperti tercantum dalam al-Qu’an, yaitu pengetahuan yang diperoleh nabi langsung dari
Tuhan dan 2) ‘ilm insānī (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration
reason).[6]

Kedua pengetahuan tersebut saling melengkapi satu sama lain dan menjadi satu kesatuan
(integratif-komplementer). ‘ilm ’ilāhī seperti yang tercantum dalam al-Qur’an diposisikan
sebagai grand theory ilmu[7] atau dengan kata lain, ‘ilm ’ilāhī grand theory-nya diambil dari
ayat qaulīyah sedangkan ‘ilm insānī, grand theory-nya diambil dari ayat kaunīyah. Dari titik
tolak yang berlawanan itu, keduanya bertemu pada satu titik kebenaran. Di antara keduanya tidak
mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi
konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan.

C. Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama[8]


Aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai sehingga
aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain adalah: apa
sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului
nilai atau nilai mendahului fakta. Nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’.
Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu (pengemban nilai). Sebagai contoh patung batu itu indah.
Patung batu adalah pengemban nilai sedangkan indah merupakan kualitas (nilai) yang melekat
pada patung.
Nilai memiliki sifat polaris dan hierarkis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa dalam
penilaian terdapat dua kutub yang saling berlawanan, misalnya: benar-salah, baik-buruk, idah-
jelek. Salah, buruk, jelek, bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan tetapi memiliki nilai yang
bersifat negatif . Adapun hierarki nilai menunjukkan bahwa terdapat gradasi nilai yaitu amat
buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali.

Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat
integratif-interdependentif, dan secara epistemologis bersifat integratif-komplementer, maka
secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratis-
kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan
terkait satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.

Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis) saja,
namnun juga nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, yang benar harus juga yang baik, yang indah
dan yang ilahiah. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai disatu sisi telah mengakselerasi secara
cepat perkembangan ilmu namun disisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif yang
sangat besar. Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah
menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena diabaikannya berbagai
nilai diluar nilai kebenaran.

Integrasi antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan
sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu adalah
pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia
yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan
agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut.

Kesempurnaan ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada
satupun ciptaan yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin alam ini dan
bersifat non-residu. Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan, sekalipun seakan-akan
merupakan benda yang terbuang dan tidak berguna, namun keberadaannya tetap memberikan
manfaat, misalnya untuk menyuburkan tanaman dan dapat menghasilkan gas untuk keprluan
rumah tangga. Hal ini bisa dibandingkan dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor
yang mengeluarkan asap yang dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha
memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika
membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses pencarian
kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena ke-belum-mampu-an
manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya.

Jelaslah kiranya bahwa Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofis, yang
didalamnya terdiri atas tiga pilar besar yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, sehingga
agama tidak hanya menjadi landasan etis namun lebih luas menjadi landasan filosofis bagi
perkembangan ilmu. Dengan demikian outcome yang dihasilkan dari institusi yang
mengintegrasikan ilmu dan agama adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam.
Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuwan yang beragama Islam, yaitu seseorang yang
menguasai ilmu dan kuat imannya, sedangkan ilmuwan Islam adalah, ilmuwan yang tidak hanya
kuat imannya, namun yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu.
BAB III
KESIMPULAN

1. Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-interdependentif, artinya


eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa
agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara primordial berasal dari dan
merupakan bagian dari Tuhan, oleh karena Al-‘Ilm adalah salah satu dari nama Tuhan, sehingga
wujud (eksistensi) ilmu dan agama adalah identik dan menyatu dalam wujud Tuhan.
2. Secara epistemologis, hubungan ilmu dan agama bersifat intagratif-komplementer, artinya
seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. Dalam
pencarian kebenaran ilmu tidak hanya menerima sumber dari kebenaran dari empiris dan rasio
saja, namun juga menerima sumber kebenaran dari intuisi dan wahyu.
3. Secara aksiologi, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai
(kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain.
Nilai kebenaran, yang sering kali menjadi tolak ukur utama ilmu, merupakan kebenaran yang
baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus. Justifikasi ilmu tidak hanya benar-salah (nilai
kebenaran) saja, namun juga termasuk didalamnya baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai
keindahan) dan sacral-profan, halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak
hanya untuk ilmu tetapi ilmu harus disinari oleh-terutama-nilai tertinggi, yaitu nilai keilahian
(ketuhanan). Implikasi atas saling mengkualifkasinya keseluruhan nilai dalam ilmu akan
mengarahkan perkembangan ilmu menjadi ilmu yang bermoral.
4. Dengan demikian, kesimpulan akhir dari integrasi ilmu dan agama adalah bahwa integrasi
ilmu dan agama adalah integrasi yang interdependentif-komplementer-kualifikatif, yaitu
integrasi yang dibangun merupakan kristalisasi dari landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis atas ilmu.
5. Jadi, kesimpulan paling akhir, Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama
sesungguhnya berpusat pada tauhid karena dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua
kembali, Innā Lillāhi wa Innā Ilayhi Rāji‘ūn.

Halaman enam

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Pengertian Integrasi Ilmu

Integrasi ilmu agama dan umum hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau
menyatupadukan ontologi,epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut.Itegrasi
kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam
semata,tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya.Karena dengan integrasi,ilmu akan jelas
arahnya,yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan
kebajikan jagat raya,bukan malah menjadi alat dehumanisasi,eksploitasi,dan destruksi alam.Nilai-nilai itu
tidak bisa tercapai bila dikotomi ilmu masih ada seperti yang terjadi saat ini.

Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman,tetapi mempunyai legitimasi yang kuat secara
normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara historis dari perilaku para ulama islam yang telah
membuktikan sosoknya sebagai ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi
kemajuan peradaban manusia.

Saat ini,bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan baik oleh pemerintah sendiri maupun para
intelektual muslim.Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan Tinggi islam
masih menyisakan perdebatan inter maupun ekstern mereka sendiri.Karenanya,model integrasi yang
dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari
semua komponen masyarakat pendidikan Indonesia.

Integrasi ilmu adalah keharusan bagi umat islam,oleh karenanya tanggungjawab ini bukan hanya
kewajiban pemerintah semata dan Perguruan Tinggi Agama Islam,tapi juga kalangan Perguruan Tinggi
Umum dan seluruh umat islam yang menginginkan kemajuan islam dan peradaban manusia yang lebih
maju dari humanis.

Latar Belakang Integrasi Ilmu


Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini
yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim,antara lain Naquid Al-Attas dan Ismail
Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii),tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi.Ia,misalnya berpendapat bahwa umat islam akan maju dan dapat
menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami
wahyu,atau sebaliknya,mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,meski mengalami
pasang surut.Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki
ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis
bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya.Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu
ini,menurut Al-Farabi,berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda.Ilmu merupakan satu kesatuan
karena sumber utamanya hanya satu,yakni intelek Tuhan.Tak peduli dari saluran mana saja,manusia
pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu (Osman Bakar,1998:61-2).Dengan demikian,gagasan
integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.

Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama:

 Munculnya anbivalensi dalam sistem pendidikan islam

 Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam

 Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan islam

 Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam

Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:

A. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid,ilmu tentang kenabian,ilmu
tentang akhirat,dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius.

B. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang kewajiban manusia
kepada Tuhan,ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat,dan ilmu tentang kewajiban manusia
terhadap jiwanya sendiri.
Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum kedalam beberapa ilmu yaitu:

1. Matematika,yang terdiri dari aritmatika,geometri,astronomi dan astrologi,dan musik

2. Logika

3. Fisika atau ilmu alam,yang terdiri dari kedokteran,meteorologi,minerologi,dan kimia

4. Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika,meliputi ontologi,pengetahuan tentang


esensi,pengetahuan tentang subtansi sederhana,pengetahuan tentang dunia halus,ilmu tentang
kenabian dan fenomena kewalian,dan ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan
efek tampak.

Halaman tujuh

UIN: MENUJU INTEGRASI ILMU DAN AGAMA


November 8, 2013 Kependidikan 1 Comment

1. A. Pendahuluan

Kehadiran IAIN dan juga STAIN ternyata dianggap belum cukup memadai untuk pengembangan
ilmu yang dipandang utuh –yang tidak membedakan antara ilmu agama dan umum. Maka
lahirlah pemikiran bahwa IAIN atau STAIN tidak selayaknya hanya terbatas mengembangkan
fakultas yang ada selama ini, yaitu Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Adab, dan dakwah,
melainkan sesuai dengan sifat universalitas ajaran Islam seharusnya membuka diri
mengembangkan ilmu-ilmu lain yang justru diyakini akan memperluas pemahaman terhadap
nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk yang diisyaratkan lewat kitab suci al-Qur’an maupun Sunnah
Nabi. Pemikiran tersebut muncul sebagai konsekuensi terhadap pemahaman Islam yang semakin
berkembang, yakni Islam tidak saja dipahami sebagai agama dalam pengertian sempit dan
terbatas, hanya menyangkut tuntunan spiritual, melainkan bersifat universal menyangkut
berbagai aspek kehidupan, sehingga pemikiran tersebut mampu mendorong bagi pengembangan
kajian Islam dalam lingkup yang lebih luas.

Munculnya pemikiran di atas, selain didorong oleh adanya kajian-kajian Islam yang semakin
luas dan mendalam, juga adanya kenyataan bahwa tidak sedikit dari sarjana umum (biologi,
kimia, fisika, maupun ilmu-ilmu sosial) yang melengkapi kajiannya dengan referensi yang
bersumber dari ajaran agama. Di beberapa perguruan tinggi saat ini juga sudah ditemukan para
sarjana yang menguasai dua bidang kajian ilmu yang berbeda, yaitu kajian Islam (agama) dan
ilmu pengetahuan modern, dan ternyata hasil kajian dan penemuan mereka justru lebih
bermanfaat bagi umat.

Kemudian, jika menoleh sejarah peradaban Islam pada abad pertengahan, kita juga mengenal
sejumlah figur intelektual muslim yang menguasai dua disipilin ilmu, baik ilmu agama maupun
ilmu umum. Sebut saja misalnya Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn-Rusyd, Ibn-Thufail, dan
seterusnya. Mereka adalah para figur intelektual muslim yang memiliki kontribusi besar terhadap
kemajuan dunia Barat modern sekarang ini. Jika pada awalnya kajian-kajian keislaman hanya
terpusat pada al-Qur’an, al-Hadis, Kalam, Fiqh dan Bahasa, maka pada periode berikutnya,
setelah kemenangan Islam di berbagai wilayah, kajian tersebut berkembang dalam berbagai
disiplin ilmu: fisika, kimia, kedokteran astronomi dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan ini bisa
dibuktikan pada masa kegemilangannya antara abad 8-15 Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-
1258 M) hingga jatuhnya Granada tahun 1492 M.

Dalam konteks pengembangan ilmu, Al-Ghazali misalnya mengklasifikasikan disiplin ilmu


menjadi dua kelompok, yaitu: ilmu yang wajib dicari dan menjadi tanggung jawab setiap
individu muslim, yang diistilahkan dengan fardhu ‘ain, seperti ilmu tauhid dan hal-hal yang
berhubungan dengan pelaksanaan ibadah mahdhah (syari’ah); dan ilmu yang wajib dicari dan
menjadi tanggung jawab sekelompok umat Islam yang diistilahkan dengan fardhu kifayah,
seperti ilmu kesehatan, fisika, kimia dan lain-lain. Hanya sayangnya penggolongan ilmu yang
dibuat oleh Al-Ghazali tersebut ditangkap secara tidak tepat oleh kebanyakan generasi
penerusnya, sehingga perhatian mereka terhadap ilmu yang dianggap fardhu kifayah tersebut
sangat kurang, bahkan diabaikan. Padahal Al-Ghazali sendiri adalah seorang figur ilmuwan
besar yang menguasai disiplin ilmu yang beragam, baik ilmu agama, filsafat, maupun ilmu yang
selama ini dianggap ilmu “umum”.

Perubahan status IAIN atau STAIN menjadi UIN memang menimbulkan kesan pada sebagian
orang terhadap “kecilnya peran Islam” itu sendiri. Sebab jika sudah menjadi universitas, maka
fakultas agama Islam akan didominasi oleh fakultas umum seperti yang terjadi selama ini di
beberapa universitas Islam di Indonesia. Bahkan kesan ini juga terjadi pada seorang pakar Islam
seperti Nurcholish Majid. Majid melihat kasus di universitas Al-Azhar yang animo fakultas
agamanya sangat rendah. Di sinilah yang harus diantisipasi terkait dengan kehadiran UIN di
Indonesdia, teristimewa di Malang ini. Mampukah kita menjadikan UIN yang memadukan antara
ilmu dan agama dalam konteks teoretis maupun praktis? Tulisan ini ingin mengungkap beberapa
problem pendidikan Islam dan rekonstruksinya bagi pengembangan ke depan; bagaimana
lembaga perguruan tinggi Islam mampu bersaing dalam kehidupan modern dan global ini?

B. Problem Pendidikan Islam


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari waktu ke waktu terus mengalami
perkembangan dan kemajuan yang pesat, seiring dengan tingkat berpikir manusia. Dari tahapan
yang paling mitis, pemikiran manusia terus berkembang hingga sampai pada yang supra rasional.
Atau kalau meminjam terminologi Peursen, dari yang mitis, ontologis hingga fungsional.
Sementara menurut Comte, dari yang teologis, metafisik hingga positif.

Perkembangan industri di abad 18 yang telah menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik
telah melahirkan cabang ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklir sebagaimana
pada abad 20 telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan polemologi (Koento Wibisono,
1988:8) dan seterusnya entah apa lagi nanti namanya.

Dalam konteks ini, negara kita Indonesia termasuk negara yang menempati posisi terbesar
jumlah penduduk muslimnya. Tetapi potensi mayoritas muslim tersebut belum menjamin peran
sosialnya. Hal ini tentu terkait dengan soal konseptualisasi ilmu dan pendidikan. Apakah
pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia sudah memenuhi fungsi dan
sasarannya?

Karena itu seperti yang diungkap Kuntowijoyo (l994:350), bahwa pendidikan tinggi Islam saat
ini –sebagaimana pendidikan tinggi lainnya– secara empirik belum mempunyai kekuatan yang
berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik.
Disinyalir, bahwa pusat-pusat kebudayaan sekarang ini bukan berada di dunia akademis,
melainkan di dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan tinggi Islam
terancam oleh subordinasi.

Pendidikan tinggi Islam, baik dalam kaitan nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia
Islam, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Kini agenda besar yang dihadapi
bangsa Indonesia pasca Orde Baru adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan
makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga negara yang
berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan tinggi Islam dituntut
untuk berperan serta mewujudkan tatanan Indonesia baru dimaksud, dengan merumuskan
langkah-langkah pengembangannya.

Pendidikan tinggi Islam, baik dalam konteks nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari
dunia Islam, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Agenda besar yang dihadapi
bangsa Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan makmur
dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga negara yang
berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan tinggi Islam
dituntut untuk berperan serta mewujudkan tatanan Indonesia baru dimaksud, dengan
merumuskan langkah-langkah pengembangannya.

Hingga saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi
perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi kebudayaan. Setidaknya ada tiga
faktor yang menjadikan model pendidikan Islam berwatak statis dan tertinggal: pertama, subject
matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual. Ini
bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat
berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip:
tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-
muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip
yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam; kedua, masih mengentalnya
sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu
benar terhadap warisan masa lalu; ketiga masih ada pandangan dikotomis ilmu secara
substansial (ilmu agama dan ilmu umum).

Secara umum Johan Hedrik Meuleman (Perta, 2002: 16-17) melihat adanya beberapa kelemahan
tradisi ilmiah di kalangan Muslim, yaitu pertama, adanya logosentrisme, tektualis. Akibat
logosentrisme tersebut kemudian mengabaikan unsur tak tertulis dari agama dan kebudayaan
Islam, seperti tindakan sosial, seni dst.; kedua sikap apologetik terhadap aliran (teologi, fiqh
dst.); ketiga adanya kecenderungan yang verbalistik dan memberikan wibawa terlalu besar pada
tradisi, yang berimplikasi pada sikap ekskulisivisme. Kondisi demikian menurut Meuleman,
bebannya masih terasa sampai sekarang ini. Malangnya hal serupa juga dialami oleh Islamolog
Barat.

Pada sebagian besar masyarakat kita sekarang ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama”
dan “ilmu” merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa ditemukan, keduanya dianggap
memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan
sampai pada penyelenggaraan institusinya. Kenyataan ini bisa kita lihat misalnya pada
pemisahan departemen dalam sistem pemerintahan Indonesia (ada departemen agama ada pula
departemen pendidikan).

Adalah sangat penting untuk melihat sejarah masa lalu, bahwa dalam sejarah kependidikan Islam
telah terbelah dua wajah paradigma integralistik-ensiklopedik di satu pihak dan paradigma
spesifik-paternalistik di pihak lain. Paradigma pengembangan keilmuan yang integralistik-
ensiklopedik ditokohi oleh ilmuwan Muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun,
sementara yang spesifik-paternalistik diwakili oleh ahli hadis dan ahli fiqh. Keterpisahan secara
diametral antara keduanya (dikotomis) dan sebab lain yang bersifat politis-ekonomis itu menurut
Amin Abdullah (Perta, 2002: 49) berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan dan kemunduran
dunia Islam saat itu. Oleh sebab itu Amin Abdullah menawarkan gerakan rapproachment
(kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu
keilmuan yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Gerakan ini juga disebut dengan
reintegrasi epistemologi.

Di sini pula Brian Fay (1996) menyarankan agar kita waspada terhadap adanya dikotomi,
menghindari dualisme buruk dan supaya berpikir secara dialektis. Disarankan oleh Fay, agar kita
tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau
dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis.

C. Rekonstruksi Ilmu Islam


Hasil sarasehan HUT XXV Kompas (1990) merumuskan, bahwa gambaran normatif-ideal
Manusia Baru Indonesia memuat tiga ciri utama, yaitu: manusia yang sadar IPTEK dan serba
tahu (well-informed); manusia kreatif yang mampu mengantisipasi perkembangan zaman; dan
manusia yang bermoral serta peka terhadap keadilan dan solidaritas sosial. Ketiga ciri tersebut
tentu menuntut tanggung jawab dan peran lembaga pendidikan tinggi untuk turut
mewujudkannya, karena pendidikan merupakan faktor terpenting bagi pembentukan karakteristik
manusia.

Dalam konteks pengembangan kualitas pendidikan ini, Amich Alhumami, peneliti Research
Institut for Cultur and Development (Kompas, 25/8/2000), mengkaitkan dengan tiga hal penting:
pertama, kurikulum yang relevan, artinya memenuhi sejumlah kompetensi guna menjawab
tuntutan dan tantangan arus globalisasi; memiliki kontribusi pada pembangunan sosial dan
kesejahteraan masyarakat; bersifat fleksibel dan adaptif terhadap perubahan; kedua, adanya
dukungan kepada staf yang ditandai dengan pemberian pelatihan menurut disiplin ilmu dengan
melakukan pembaruan secara reguler; memberi kesejahteraan yang memadai dan membuka
peluang pengembangan karier; ketiga, proses belajar-mengajar yang baik yang ditandai dengan
tercapainya materi yang menjadi sasaran pembelajaran, materi yang diberikan relevan dengan
kebutuhan di masyarakat; berorientasi pada hasil dan out put; monitoring dengan kualitas yang
terjaga secara ketat dan terjamin dengan baik.

Pendidikan tinggi Islam sebagai wahana pendidikan dan pelayanan masyarakat pada level tinggi
dan wadah potensial bagi munculnya sumberdaya manusia, seharusnya mampu mengantisipasi
persoalan-persoalan dan berbagai tantangan dunia saat ini. Daya pikir, serta nurani merupakan
potensi yang harus dikembangkan oleh setiap individu. Dunia pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi Islam, merupakan tempat strategis untuk membantu para mahasiswa mengembangkan
potensi dirinya melalui kegiatan pembelajaran, karena melalui pembelajaran para dosen
diharapak dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi para mahasiswa untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya menjadi bentuk karya nyata sesuai
tuntutan ajaran Islam.

Secara konseptual sebetulnya bagi orang Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan hal yang baru –apalagi asing– melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari
kemaujudan dan pandangan dunianya (world-view). Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika
ilmu memiliki arti yang sedemikian penting bagi kaum muslimin pada masa awalnya, sehingga
tidak terhitung banyaknya pemikir Islam yang larut dalam upaya mengungkap konsep ini.
Konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan nampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang
tiada habis-habisnya, dengan kepercayaan bahwa ilmu tak lebih dari perwujudan “memahami
tanda-tanda kekuasaan Tuhan”, seperti juga membangun sebuah peradaban yang membutuhkan
suatu pencarian pengetahuan yang komperehensif.

Sebagaimana kata Rosentall, sebuah peradaban Muslim tanpa hal itu tak akan terbayangkan oleh
orang-orang Islam abad pertengahan sendiri, lebih-lebih pada masa sebelumnya (Anees,
1991:73). Reorientasi intelektual umat Islam –oleh karena itu–harus dimulai dengan suatu
pemahaman yang benar dan kritis atas epistemologinya. Dengan begitu, sebuah reorientasi
seharusnya bukan merupakan suatu pengalaman yang baru bagi kita, melainkan sekadar sebuah
proses memperoleh kembali warisan kita yang hilang. Jika umat Islam tidak ingin tertinggal
maju dengan dunia Barat, maka sudah saatnya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi)
warisan intelektual Islam yang selama ini terabaikan, dan jika perlu mendefinisikan kembali ilmu
dengan dasar epistemologi yang diderivasi dari wahyu (baca: Al-Qur’an dan al-Hadis).

Bukankah sains dan teknologi adalah juga warisan intelektual umat Islam sendiri? Oleh sebab itu
kita harus menemukan kembali warisan yang berharga itu. Kita mesti ingat sabda Nabi “Bahwa
ilmu pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah hilang. Barang
siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya.” (Lihat Al-Qardhawi, 1989 : 56). Karena, seperti
kata Anees (1991: 83), selama ini pembaruan-pembaruan pendidikan di seluruh dunia Islam saat
ini lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan tonggak intelektual Barat daripada membentuk
kembali sumber akalnya sendiri. Dengan demikian jika kita tidak mendefinisikan kembali
konsep pandangan dunia (world-view) Islam, maka kita hanya akan menoreh luka-luka
intelektual kita sebelumnya.

Dulu, tepatnya pada abad ke-8 hingga dengan abad 12 M, umat Islam berada pada zaman
kejayaannya, zaman di mana ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat
mencapai puncaknya. Pada saat itu umat Islam menjadi pemimpin dunia karena pergumulannya
dengan ilmu dan filsafat yang mereka tekuni, terutama ilmu-ilmu murni (natural-sciences). Pada
masa ini muncul tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat aktif dan handal, sebut saja mialnya: Al-
Kindi (185 H/807M-260 H/873 M), Al-Khawarizmi (w. 249 H/86M), Al-Razi (2551H/865M-
313H/925M), Al-Farabi (258H/870M-339H/950M), Ibn Sina (370H/980M-428/1037M), Al-
Biruni (362H/973M-442H/1051M), Al-Ghazali (450H/1058M-505H/1111M) dst. Para ilmuwan
tersebut oleh Sayyed Hossein Nasr (1970) disebut sebagai figur-figur universal ilmu
pengetahuan Islam. Kenapa umat Islam sekarang tidak mampu melakukan hal yang sama?

Dalam perspektif keilmuan Islam, posisi filsafat Islam adalah sebagai landasan adanya integrasi
berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karena dalam konstruks epistemologi
Islam, filsafat Islam dengan metode rasional-transendentalnya dapat menjadi dasarnya. Sebagai
contoh, fiqh pada hakikatnya adalah pemahaman yang dasarnya adalah filsafat, yang kemudian
juga dikembangkan dalam ushul fiqh. Tanpa filsafat, fiqh akan kehilangan semangat inovasi,
dinamisasi dan perubahan. Oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara fiqh dan filsafat
seperti yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, maka menurut Musa Asy’ari (2002:
34), hal ini lebih disebabkan karena terjadinya kesalahpahaman dalam memahami risalah
kenabian. Filsafat bukan anak haram Islam, melainkan anak kandung yang sah dari risalah
kenabian tersebut.

Senada dengan Musa, Nursamad (tt:19-20) berpendapat, bahwa setiap diskursus tentang
metodologi haruslah dibangun di atas sentuhan-sentuhan filsafat. Tanpa sense of philosophy
menurut Nursamad, maka sebuah metodologi akan kehilangan substansinya. Metodologi Studi
Islam (MSI) perlu dikembangkan lebih lanjut agar visi epistemologisnya dapat menjabarkan
secara integral dan terpadu tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq.
Integritas ketiga aspek tersebut hendaknya dimantapkan berdasarkan kecenderungan intelektual
masa kini, bukan mencatat metodologi setiap ilmu yang berkembang dalam sejarah pemikiran
Islam secara parsial, melainkan berupaya menemukan hubungan-hubungan logis antar pelbagai
disiplin ilmu yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer.
Para ilmuwan dulu memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis, Ibn Khaldun
misalnya membuat klasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu pokok: naqliyah dan ‘aqliyah. Ilmu
naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu, dan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan
rasio. Menurut Khaldun yang termasuk ilmu naqliyah adalah: al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam,
tasawuf dan bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat, kedokteran,
pertanian, geometri, astronomi dst. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurut Azyumardi Azra
(Perta, 2002:16) bukan dimaksud mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tatapi hanya
sekadar klasifikasi. Klasifikasi tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam
peradaban Islam. Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja dari berbagai
cabang ilmu secara keseluruhan.

Jadi persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih kepada “kepentingan”,
untuk apa ilmu tersebut digunakan (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan). Dan apalagi
jika kita sepakat bahwa pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah. Dengan demikian terminologi
“ilmu agama” dan “ilmu umum”, “non agama” adalah peristilahan sehari-hari dalam pengertian
sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang
Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya
ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu tersebut sering disebut ilmu
syar’iah/ fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/ keimanan kepada Allah SWT, yang biasa disebut
sebagai ilmu tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan
kritis tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut
“ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam. Karena semua sistem
peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas
dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam
sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut sebagai hablun
min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Di sini rukun iman
dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang
ghaib, sedang rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan
manusia yang lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan
tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal (integral) (Zainuddin, 2003).

Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik Copernicus (1543), Bruno
(1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena pendapatnya yang bertolak belakang dengan
agama, telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya ingin
terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu yang
berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das sein) dengan semboyan: “ilmu yang
bebas nilai”. Setelah pertarungan + 250 tahun, atau yang dikenal dengan gerakan renaissance
(abad 15) dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah
filsafat Barat menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat
inilah terjadinya benih “sekularisasi” di dunia Barat. Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan
agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur
karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah.

Oleh sebab saatnya kini kita tidak perlu mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan antara ilmu
dan agama (ilmuwan dan agamawan) yang akan melahirkan sekularisasi. Harus ada sinergi dan
integrasi antara ilmu dan agama. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara
dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah menurut Jujun (1986: 4) hanya akan mendorong ilmu
surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan
berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga
sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam
pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya
paradigma integralisme dan desekularisasi tadi.

Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama
Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi
yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau
rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Pola
pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif
harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut
untuk selalu melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi
setiap perubahan yang terjadi.

Kemudian kita juga perlu menciptakan kesadaran untuk berlaku objektif (willingness to be
objective). Sikap ini penting, sebab objektivitas merupakan ciri ilmiah. Sikap demikian harus
dimiliki oleh seorang ilmuwan. Menurut Archi J. Bahm (1980: 4-9) sikap objektif harus
memenuhi syarat-sayarat diantaranya: 1) memiliki sifat rasa ingin tahu terhadap apa yang
diselidiki untuk memperoleh pemahaman sebaik mungkin; 2) bisa menerima perubahan
(fleksibel, terbuka), artinya jika objeknya berubah, maka seorang ilmuwan mau menerima
perubahan tersebut; 3) berani menanggung resiko kekeliruan. Oleh sebab itu trial and error
merupakan karakteristik dari seorang ilmuwan; 4) tidak mengenal putus asa, artinya gigih dalam
mencari objek atau masalah, hingga mencapai pemahaman secara maksimal; 5) terbuka, artinya
selalu bersedia menerima kritik dan saran ilmuwan lain secara lapang dada.

Adanya anggapan, bahwa pendidikan Islam masih merupakan subsistem dari sistem pendidikan
secara umum haruslah dilihat dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar pendidikan Islam
untuk melakukan rekonstruksi pendidikan Islam tersebut. Apa sebenarnya konsep pendidikan
Islam untuk mengantisipasi masa depan?

D. Antisipasi Masa Depan

Merumuskan konsep pendidikan Islam memang bukanlah pekerjaan yang ringan, sebab rumusan
tersebut harus mengkaitkan Islam sebagai disiplin ilmu. Dalam upaya merekonstruksi pendidikan
Islam, kita perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi: (1) pendidikan
Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses internalisasi dan
sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan
budaya, (2) pendidikan Islam merupakan sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yang
membentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3) pendidikan Islam
merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia, (4) pendidikan Islam berlangsung
melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif
antara pendidik dan peserta didik, (5) pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak
mengenai pesan-pesan moral pada peserta didik.

Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi fondasi bagi terciptanya konsep
pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islam lebih pas apabila
diletakkan dalam kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan menurut
Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya bukan saja berusaha
meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga untuk melihat perubahan-perubahan sosial
dalam perspektif transedental, dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan
dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern (Soedjatmoko, 1987). Ini berarti
bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung upaya peningkatan kemampuan
mengintegrasikan akal dengan nurani dalam menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan
begitu diharapkan pendidikan Islam dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi
perkembangan sosial, apabila dalam proses belajar-mengajar menggunakan pola pengajaran
innovative learning, yakni: (1) berusaha memupuk motivasi yang kuat pada peserta didik untuk
mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha memupuk sikap
berani menghadapi tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadap
kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu proses perubahan
sosial.

Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS.
Al-Hasyr: 18). Pesan Tuhan ini bisa dipahami bahwa untuk menuju kemasa depan yang lebih
baik, seseorang haruslah memperhatikan apa yang telah dan sedang terjadi di masyarakat. Tentu
ini terkait dengan upaya menyadap sebanyak mungkin informasi, kemudian menganalisisnya.

Heteroginitas informasi yang telah disadap yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengolahan
dan interpretasi akan menumbuhkan kemampuan berpikir secara holistik dan integratif. Bila
kemampuan ini telah dimiliki seseorang, maka untuk mengantisipasi perubahan yang
menumbuhkan kesadaran internal dan ketrampilan memecahkan masalah bukannya sesuatu yang
memberatkan.

Adalah bukan tidak mungkin, bahwa persoalan informasi mempunyai korelasi akseptabilitas
dengan dunia pendidikan (baca:pendidikan Islam), bahkan dengan fungsi informasi, pendidikan
Islam akan mampu mengimbangi kemajuan zaman. Korelasi ini terletak pada persoalan substansi
materi pendidikan Islam itu sendiri. Dalam spektrum yang lebih makro, seberapa jauh alih nilai
moral mampu membekali peserta didik untuk menghadapi sekaligus memecahkan persoalan
secara proporsional sekaligus mampu mengembangkan budaya religius. Spektrum tersebut
menuntut peran pendidik (guru, dosen) untuk mampu tampil lebih profesional di hadapan peserta
didik dengan menyertakan menu-menu materi yang bersifat kontekstual, dinamis dan
berorientasi ke masa depan. Semua ini akan didapatkan jika tradisi menyadap banyak informasi
menjadi tuntutan setiap saat bagi para pendidik.

Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki kemampuan mengantisipasi
persoalan hari ini dan esok harus dilihat dari dimensi informasi. Dengan kata lain, kemampuan
tersebut akan dicapai hanya melalui intensitas mencari, mengolah dan mengintepretasikan
informasi. Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi hari esok.
Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan hari esok. Sekarang dan esok
sebenarnya bersifat saling berkaitan dan merupakan jaringan-jaringan masalah yang kompleks
meski dengan tingkat kompleksitas yang beragam.

Dengan gelombang informasi, maka proses belajar-mengajar akan terhindar dari diskontinuitas
kesejarahan dan sistem nilai dalam pendidikan kemarin, sekarang dan esok. Sehingga pendidikan
sebagai alih nilai (transfer of value) tidak hanya memberi materi sesuai dengan program of
studies yang ada dalam jadwal kelas, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
mengkondisikan lingkungan yang memungkinkan dirinya secara optimal dan menjadi berkualitas
tinggi sesuai tuntutan zaman.

Adalah benar apa yang dideskripsikan oleh H.A.R Gibb (seperti yang dikutip Abdussalam, 1983:
17), bahwa tumbuh suburnya sains dalam masyarakat Islam lebih banyak tergantung pada
dukungan penguasa. Di mana masyarakat Islam mengalami kemunduran, di situ sains kehilangan
vitalitas dan kekuatan. Tetapi selama di salah satu negara masih terdapat penguasa yang masih
memberi dukungan pada sains, maka obor ilmu akan tetap menyala. Jika tidak maka akan terjadi
kemerosotan intelektual. Indikasi dari situasi ini nampak dalam peristiwa peledakan
observatorium bintang di Istambul oleh meriam-meriam angkatan laut atas perintah Sultan
Murad III pada abad ke-16, dengan alasan bahwa tugas observatorium untuk mengoreksi jadwal
astronomi Ulugh Beg telah selesai, yang lantas dianggap tidak perlu lagi (Abdussalam, 1983 :
17).

Pertanyaan selanjutnya adalah, dapatkah kita memimpin kembali di bidang sains? Dengan
optimis Abdussalam menjawab, bisa! asalkan katanya, masyarakat secara keseluruhan, terutama
generasi mudanya, bersedia menerima kenyataan sebagai tujuan yang diidam-idamkan. Generasi
muda harus didorong untuk berpikir ilmiah, mengejar sains dan teknologi dengan menggunakan
satu sampai dua persen Pendapatan Nasional untuk kepentingan penelitian dan pengembangan,
paling sedikit sepersepuluhnya. Hal demikian telah dilakukan oleh Jepang ketika revolusi Maiji.
Kaisar Jepang bersumpah akan mencari ilmu pengetahuan dari manapun datangnya meski dari
sudut bumi ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh Uni Sovyet empat puluh tahun lalu, ketika
Akademi Ilmu Pengetahuan berambisi untuk unggul dalam sains. Dan langkah ini pula lah yang
ditiru secara berencana oleh RRC yang hendak bersaing dengan Inggris Raya (Abdussalam, 1983
: 19 – 20).

Persoalan sains dan teknologi begitu pentingnya, hingga Sultan Takdir Alisyahbana (1992)
menghimbau, untuk menghadapi masa depan umat manusia, bangsa Indonesia harus
meningkatkan kemampuan sains dan teknologi, dengan jalan menyediakan dana sebanyak
mungkin untuk mengirimkan generasi muda ke luar negeri, ke pusat-pusat ilmu pengetahuan.
Dan cara lain menurut Takdir adalah menterjemahkan karya-karya sains dan dan teknologi
tersebut. Dia mencontohkan ketika Jepang belum maju seperti sekarang, mereka berusaha
menterjemahkan buku-buku berbahasa asing. Sejak 150 tahun yang lalu orang Jepang sudah
melakukan penterjemahan sekitar 2000 hingga 2500 buku setiap tahunnya. Dan sekarang
Malaysia sudah mampu mengirimkan mahasiswanya ke luar negeri sekitar 7000 lebih setiap
tahunnya. Jalan lain untuk menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
menjadikan kampus sebagai pusat riset dan pengembangan ilmiah.
E. Tanggungjawab Ilmuwan Muslim

Masalah sentral yang perlu segera digarap, menyangkut angkatan muda di dunia Islam menurut
Hussein Nasr (1989 : 6) adalah: Pertama, bagaimana memberikan bekal yang cukup untuk
mereka, bagaimana memahamkan pesan-pesan Islam secara tepat dan benar; kedua, memberikan
pengertian kepada mereka betapa kaya khazanah intelektual dan tradisi spiritual Islam. Jangan
membiarkan mereka terperangkap oleh slogan dan gelombang peradaban Barat yang sekuler.
Dengan kata lain kita berharap untuk bisa mencetak generasi pemikir Islam yang handal yang
memiliki wawasan luas dan jauh ke depan, bukan generasi yang jumud dan fantastis.

Kita telah memiliki tradisi keilmuan yang sudah berusia 14 abad, yang berisi ajaran-ajaran
komprehensif tentang bagaimana kita harus berhubungan dengan Tuhan (teologis), dengan
sesama manusia dan juga alam semesta (antropologis-kosmologis). Tradisi keilmuan dengan
bimbingan wahyu harus dihidupkan kembali untuk menjawab tantangan modernitas.

Umat Islam dengan pandangan dunianya sendiri kata Anees (1991: 83), memiliki dua tanggung
jawab. Pertama, membuat dan menghasilkan dasar ilmunya sendiri, yang merupakan sebuah
sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi yang organis; kedua, tanggung jawab moral
terhadap umat manusia dan alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi
kesejahteraan material dan spritual yang terbaik.

Sebagaimana kata Syah Idris (dalam Budiman, 1988: 12–13), bahwa baik pakar ilmu
pengetahuan alam maupun sosial muslim sama-sama dibebani kewajiban untuk merumuskan
konsep sains yang baru dan radikal. Tugas tersebut menurut Idris adalah: Pertama, menunjukkan
eksistensi Allah SWT bukan semata-mata sebagai masalah keimanan yang taken for granted,
tetapi juga fakta yang kebenarannya dapat dibuktikan secara rasional; kedua, memikirkan
konsekuensi praktis dari pandangan tentang sains yang lebih menyeluruh dan lebih luas. Setiap
ahli dibebani untuk melakukan revisi atas sains berdasarkan spesialisasi masing-masing. Jika kita
berhasil melakukan upaya tersebut, maka kita dapat membuktikan bahwa sains Islam memiliki
landasan yang kokoh dan memiliki kebenaran yang dapat dibuktikan secara rasional.

Ilmu-ilmu modern Barat tentu masih bisa dipakai, hanya yang perlu ditinjau kembali adalah
landasan falsafahnya, yang menyangkut tujuan dan kegunaannya, apakah ilmu-ilmu Barat
tersebut masih sesuai dengan ruh Islam atau tidak. Kalau tidak, di sinilah tugas kita untuk
mengarahkannya, meluruskannya sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam tersebut. Nah, maka
tidak salah pula kalau dikatakan bahwa ilmu jika berada dalam masyarakat Muslim fungsinya
temodifikasi, artinya ia harus diarahkan kepada kemaslahatan umat. Di sinilah sebetulnya tanpa
kata “islamisasi” seharusnya ilmu itu inheren dengan Islam. Jadi tinggal siapa berada di balik
ilmu itu dan digunakan untuk apa ilmu itu. Kalau umat Islam menggunakan ilmu untuk tujuan
destruktif, maka ia pun menjadi destruktif dan tidak islami. Sebaliknya, jika ilmu digunakan
untuk kesejahteraan umat, meski bukan orang Islam yang menggunakannya, maka ia pun
menjadi islami. Oleh sebab itu penulis sependapat dengan ide yang seperti ini. Masdar misalnya
(1989:8) mengatakan, bahwa iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sebagai fenomena yang
independen, yang berada di luar diri manusia, sebenarnya tidak ada relevansinya dengan
keislaman. Ilmu sebagai ilmu tidak pernah menjadi muslim atau kafir. Ini berlaku bagi bidang
keilmuan apa saja, baik ilmu yang selama ini dikesohorkan sebagai “ilmu agama”. Sains, baik
yang alamiah maupun yang sosial, kata Nurcholis (1991: 268), adalah netral, artinya, tidak
mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya. Nilainya diberikan oleh manusia yang
menguasainya. Sebagaimana halnya dengan apa saja yang netral, sains dapat dipergunakan untuk
tujuan-tujuan yang bermanfaat atau yang merusak (Bandingkan dengan Syafii Ma’arif, 1987 : 4).

Karena ilmuwan Muslim sebagai pewaris Nabi (waratsat al-anbiya’), maka ia memiliki tugas
dan tanggung jawab yang besar. Tugas ilmuwan muslim tersebut menurut penulis adalah:
Pertama, sebagai saksi (terhadap perbuatannya sendiri maupun orang lain). Sebagai saksi ia
dituntut untuk adil dan jujur; kedua, penyeru ke jalan Allah dan petunjuk ke jalan yang benar,
amar ma’ruf nahi munkar (lihat QS. Al-Ahzab: 45–46); ketiga, sebagai khalifah Allah di bumi.
Karena sebagai hamba yang dipercayai oleh Tuhan, maka ia harus bertanggung jawab atas
amanat yang dipikulkan.

Dalam Islam, startegi pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan dan
kelangsungan hidup manusia untuk menjadi khalifah di bumi dengan tetap memegang amanah
besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam kontrol iman. Ilmu dan
iman menjadi bagian yang integral dalam diri seseorang, sehingga dengan demikian teknologi
sebagai produk dari ilmu akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia di sepanjang
masa. Dan inilah yang mesti menjadi tanggung jawab ilmuwan muslim dalam mengembangkan
ilmu.

Kini kita harus berpikir terus tentang kelangsungan perkembangan ilmu, lebih-lebih ilmu sebagai
proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat ilmiah yang sibuk dengan
kegiatan penelitian, eksperimentasi, ekspidisi dan seterusnya untuk menemukan sesuatu yang
baru. Formulasi-formulasi yang telah diperkenalkan oleh para ilmuwan pendahulu kita
hendaknya diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut, atau bahkan perlu
improvisasi. Oleh sebab itu proses pendidikan tak boleh tidak harus digalakkan terus dalam
berbagai disiplin ilmu. Proses pendidikan inilah yang oleh Islam selalu ditekankan (lihat, Q.S Ali
Imran: 190), dan belajar terus menerus sepanjang hidup (life long-education ) seperti yang
disebut dalam kata hikmah uthlub al-‘Ilma min al-mahdi ila ‘l-lahdi, carilah ilmu dari buaian
hingga ke liang kubur.

Dengan hadirnya universitas Islam (UIN) ini, maka kita memiliki peluang untuk mencetak
sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan di bidang sains dan teknologi
sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman. Jika dua hal ini tercapai, maka lembaga
perguruan tinggi Islam tidak akan tersaingi oleh lembaga-lembaga bisnis dan politik seperti yang
terjadi selama ini. Hanya memang, kita perlu membuka fakultas agama yang mampu
memberikan pencerahan pemikiran seperti yang telah dimiliki oleh para filosuf muslim masa
lalu, misalnya fakultas filsafat (Ushuluddin). Fakultas ini mengkaji secara khusus pemikiran-
pemikiran kefilsafatan yang terkait dengan studi Islam kontemporer, disamping mengkaji
pemikiran-pemikiran filsafat Islam abad pertengahan. Lebih dari itu, yang perlu diantisipasi,
untuk menghindari dikotomi maka setiap tenaga pengajar fakultas “non-agama” harus mampu
mengkaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Di sinilah maka kita
dituntut untuk mampu memilih dosen yang mumpuni, professional.
Dalam konteks pengembangan pendidikan, saya kira konsep George Count (lihat Zainuddin,
2002) masih relevan untuk dikemukakan di sini. Menurut salah seorang eksponen
rekonstruksionisme ini, bahwa lembaga pendidikan perlu memikirkan unsur-unsur yang terkait
dengan pengembangan pendidikan, termasuk didalamnya adalah masalah yang terkait dengan
keberadaan dosen. Dosen hendaknya meningkatkan status dan perannya secara profesional.
Selain menjadi pendidik, hendaknya dosen juga turut mengamati masalah-masalah yang timbul
dalam institusi sosial, yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu
pengetahuan yang diberikan hendaknya tidak hanya yang bersifat normatif-repetitif melainkan
harus berkaitan dengan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, misalnya, materi
geografi dapat dikaitkan dengan problem kepadatan penduduk, urbanisasi dan seterusnya; pada
materi fisika dapat dikaitkan dengan pertanyaan etis mengenai gejala perlombaan senjata nuklir
dan dijelaskan beberapa dampak negatifnya untuk kemudian diarahkan pada kesadaran akan
perdamaian manusia; dan pada materi agama hendaknya dosen mampu menjelaskan makna
agama secara transformatif dan inovatif, menanamkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari seperti: kejujuran, keadilan, amanah, tanggung jawab, mengedepankan spiritualitas,
bukan simbol dan formalitas serta mengarahkan pada kerukunan hidup umat beragama dan
antarumat beragama.

F. Kesimpulan

Pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya rekonstruksi pemikiran


kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi: pertama, subject
matter pendidikan Islam harus berrientasi ke masa depan; kedua, perlu dikembangkan sikap
terbuka bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadap setiap perubahan; ketiga menjauhkan
pandangan dikotomis terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum), tidak terjebak pada kategori-
kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus
disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Karena “agama” dan “ilmu” merupakan
entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Setiap diskursus tentang metodologi memerlukan sentuhan-sentuhan filsafat. Tanpa sense of


philosophy maka sebuah metodologi akan kehilangan substansinya. Metodologi Studi Islam
(MSI) perlu visi epistemologis yang dapat menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga
arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Mata kuliah tersebut diberikan pada
semua fakultas, yang merupakan mata kuliah dasar (baca: wajib) bagi pengantar semua mata
kuliah yang ada, yang mencakup wawasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Diharapkan
dengan mata kuliah ini, mata kuliah-mata kuliah lainnya akan terarah pada wawasan dan ruh
keislaman yang kontekstual-transformatif, bukan dogmatic, sebab kecenderungan untuk
memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan
mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang
kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu
juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu
dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme
dan desekularisasi terhadap ilmu.

Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama
Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi
yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya.

Halaman delapan

PENDAHULUAN
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang di lakukan
oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah
ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa umat islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu
mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka
memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian
ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran
dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah kemudian diturunkan aksiologi (tujuan),
epistemologi (metodologi), dan ontologi (obyek) ilmu pengetahuan.
Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen
penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka diperlukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-
ilmu agama dengan ilmu-ilmu umm, sehingga akan tercapailah kemajuan yang seimbang antara
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kemajuan dalam bidang ilmu
agama, moral dan etika.
Sejalan dengan sasaran tersebut, maka pembahasan dalam makalah ini diarahkan pada
upaya mendeskripsikan bangunan pohon ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu umum secara
utuh dan komprehensif sambil mengupayakan integrasinya dngan menggunakan pendekatan
normatif teologis, historis dan filosofis.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Pengertian Integrasi Ilmu
B. Bagaimana Tinjauan Normatif Teologis tentang Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
C. Bagaimana Tinjauan Historis tentang Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
D. Bagaimana Tinjauan Filosofis tentang Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Integrasi Ilmu
Integrasi ilmu agama dan umum hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau
menyatupadukan ontologi,epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut.
Itegrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat
islam semata,tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya.Karena dengan integrasi,ilmu akan
jelas arahnya,yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai
kemanusiaan dan kebajikan jagat raya,bukan malah menjadi alat dehumanisasi,eksploitasi,dan
destruksi alam.Nilai-nilai itu tidak bisa tercapai bila dikotomi ilmu masih ada seperti yang terjadi
saat ini.
Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman,tetapi mempunyai legitimasi yang kuat secara
normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara historis dari perilaku para ulama islam yang telah
membuktikan sosoknya sebagai ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi
kemajuan peradaban manusia.
Saat ini,bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan baik oleh pemerintah sendiri maupun
para intelektual muslim.Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan
Tinggi islam masih menyisakan perdebatan inter maupun ekstern mereka
sendiri.Karenanya,model integrasi yang dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan
memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari semua komponen masyarakat pendidikan
Indonesia.
Integrasi ilmu adalah keharusan bagi umat islam,oleh karenanya tanggungjawab ini
bukan hanya kewajiban pemerintah semata dan Perguruan Tinggi Agama Islam,tapi juga
kalangan Perguruan Tinggi Umum dan seluruh umat islam yang menginginkan kemajuan islam
dan peradaban manusia yang lebih maju dari humanis.

B. Tinjauan normatif teologis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum
Tinjauan normatif teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara
memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari tuhan sebagaimana
terdapat di dalam wahyu yang di turunkan-Nya. Melalui tinjauan ini manusia akan dibawa
kepada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan perspektif tuhan dalam batas-batas yang
dapat di pahami manusia. Artinya manusia akan memiliki pegangan yang kokoh dalam melihat
suatu masalah.
Tinjauan normatif teologis ini perlu dilakukan untuk membangkitkan komitmen dan
melihat sesuatu dalam perspektif yang ideal sebagaimana di kehendaki oleh Tuhan dalam
firman-firman-Nya.
Pada tahap selanjutnya tinjauan ini kurang terlihat penganutnya dalam mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan. Karena dengan tinjauan tersebut manusia banyak
mengandalkan Tuhan. Akibatnya, manusia terlihat kurang kreatif dan inovatif. Sehingga keadaan
dunia islam mengalami kemunduran sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap penggunaan
penalaran.
Akan tetapi pada tahap selanjutnya, tinjauan ini mengharuskan kita untuk melihat secara
seksama sebagaimana pandangan Tuhan terhadap integrasi ilmu agama dan ilmu umum yang
terdapat dalam firman-Nya dan dijabarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Melalui haditsnya.
Masalah Islamisasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum ini merupakan panggilan
Tuhan dan kemanusiaan yang wajib dilakukan. Setiap cendekiawan yang meyakini islam
sebagai agama dituntut untuk melakukan reintegrasi ilmu yang dimilikinya dengan ilmu agama
dalam kerangka iman kepada Allah SWT.
1. Pandangan AL-qur’an dan as-sunnah tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
Al-Qur’an dan as-sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu
umum, yang ada dalam AL-qur’an adalah ilmu pembagian adanya ilmu agama islam dan ilmu
umum adalah merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan
sumber objek kajianya.
 Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah wahyu (al-qur’an) dan hadits dengan
menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu agama seperti; teologi,
tafsir, tasawuf dan lain-lain
 Jika objek kajian ontologisnya yang dibahas adalah jagad raya seperti; langit, bumi beserta
isinya dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran,
penimbangan dan lain-lain. maka yang dihasilkanya adalah ilmu-ilmu alam seperti; ilmu fisika,
biologi, kimia, astronomi dan sebagainya.
 Jika objek kajian ontologisnya adalah prilaku sosial dalam segala aspeknya, dengan
menggunakan metode penelitian sosial maka yang akan dihasilkan adalh ilmu sosial seperti; ilmu
politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
 Jika objek penelitian adalah akal pikiran/pemikiran yang mendalam dengan menggunakan
metode mujadalah atau logika terbimbing, yang dihasilkan adalah filsafat dan ilmu-ilmu
humaniora.
 Jika objek kajiannya berupa intuisi batin dengan menggunakan metode penyucian batin ilmu
yang dihasilkan adalah ilmu ma’rifat.
Ilmu-ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber-sumber
Ilmu-ilmu tersebut berupa wahyu. Dengan demikian para ilmuwan dalam berbagai bidang ilmu
tersebut sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan.
Dalam pengembangan ilmu dan teknologi observasi dan meniru mekanisme kerja
ciptaan-Nya merupakan hal yang lazim. Misalnya, meniru konsep fungsi sayap dan ekor dalam
pembuatan pesawat, capung dalam desain helikopter, serta ikan paus dalam pembuatan kapal
selam, Dan sebagainya. Selain observasi dibutuhkan juga kemampuan imajinasi, analisis, dan
sintesis. Terutama untuk menjawab pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi di
laboratorium untuk dapat melakukan pengembangan ilmu pengetahuan melalui metode tersebut,
al qur’an menginformasikan bahwa Allah SWT telah memberikan alat panca indra yang ampuh,
artinya al qur’an menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah
menjadi pintu ilmu pengetahuan (Q.S al-Nahl ;78)
Dalam epistemologi ilmu dalam pandangan al qur’an harus pula mengintegrasikan
kesucian batin, keluhuran budi, dan kemuliaan akhlak.
Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan, al-qur’an mengingatkan bahwa
selain ilmu pengetahuan (agama dan umum) sebagai mahluk Allah SWT harus di abdikan dalam
rangka beribadah, juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri-ciri tertentu pula.
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa al-qur’an dan hadits memiliki pandangan tentang
pengembangan ilmu yang integrated, baik pada dataran ontologis, epistemologis, maupun
aksiologis.
2. Pandangan AL-qur’an dan as-sunnah tentang integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa menurut pandangan alqur’an dan al-sunnah
sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum. Yang ada hanya ilmu itu sendiri dan
seluruhnya bersumber dari Allah swt.
Namun dilihat dari sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis
dalam membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Dalam berbagai literatur kita temukan paradigma agama sebagai berikut:

Ilmu agama Ilmu umum


 Berasal dari Tuhan  Berasal dari manusia
 Bersifat absolut  Bersifat nisbi
 Bersifat pasti  Bersifat relatif
 Tidak terbatas masa berlakunya Bersifat terbatas
 Berlaku sepanjang zaman  Berlaku dalam kurun waktu
 Bertolak dai keyakinan tertentu saja
 Bertolak dari keragu-raguan

Tabel di atas menunjukkan bahwa paradigma agama dan paradigm ilmu umum berbeda,
selain ada perbedaan juga ada persamaannya. Perbedaannya terletak bahwa pada ilmu agama ada
keterikatan yang kuat pada agama, sedangkan pada ilmu umum keterikatan tersebut tidak ada.
Sedangkan persamaannya terletak pada keadaanya yang bersifat relatif, dapat berubah, dapat
diperdebatkan, tidak selamanya benar dan seterusnya sebagaimana juga terdapat pada ilmu
pengetahuan umum.

C. Bagaimana Tinjauan historis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum
a. Masa khalifah Ar-Rasyidin dan Umayah
Dalam pandangan islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memantapkan dan
menguatkan iman. Iman hanya akan bertambah dan menguat jika disertai dengan ilmu
pengetahuan. Albert Einstein mengatakan bahwa “ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu
adalah lumpuh.
Secara historis, pertumbuhan agama islam (fiqh, hadits, tafsir) sesungguhnya telah
berkembang sejak masa khulafa ar rasyidin dan diawal pemerintahan Bani umayah. Hal ini bisa
di lihat dari adanya tingkat pendidikan, materi pelajaran yang berbeda-beda di setiap jenjang
pendidikan serta para tokoh yang lahir pada saat itu. Menurut Mahmud Yunus menyebutkan
bahwa: “paa masa khalifah ar-rasyidin dan umayah sebenarnya telah ada tingkat pengajaran,
hampir sama masa sekarang.
Baik pada tingkat awal, menengah, maupun tingkat tinggi, pemberian materi pelajaran
masih terbatas pada materi pelajaran alqur’an, tafsir, fiqh, tarikh tasyri’ dan hadits.
b. Masa Bani Abbasiyah
Masa bani abbasiyah dikenal sebagai masa perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa
ini disamping telah berkembang ilmu-ilmu agama islam, juga banyak lahir ilmu-ilmu umum
akibat adanya persinggungan kebudayaan antara islam dan negara-negara lain.
Dengan demikian, ilmu agama islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejak
rasulullah saw. Masih hidup, tetapi berkembang pesat pada pertengahan masa bani umayyah
hingga masa bani abbasiyah.
Berbeda dengan ilmu agama islam yang tumbuh sejak awal perkembangan islam, ilmu
pengetahuan umum mulaiberkembang di Dunia islam sejak masa Dinasti Umayyah dan
mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Ada dua faktor yang sangat berperan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan saat itu:
a. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang
lebih dulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
b. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase;pertama pada fase
khalifah al-masur hingga harun al-rasyid, terutama dalam bidang astronomi dan mantiq. Kedua,
berlangsung mulai masa khalifah al-ma’mun hingga tahun 300 H. terutama dalam bidang filsafat
dan kedokteran. Ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H. bidang-bidang ilmu yang
diterjemahkan semakin luas.
Dengan memperhatikan beberapa faktor yang menjadi sebab lahirnya pembaharuan
pendidikan islam, maka pada garis besarnya telah terjadi dua pemikiran pembaharuan pendidikan
islam, kedua pola tersebut adalah:
1) Pola pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat,
yang kemudian dikenal dngan gerakan modernis. Kelompok ini berpandangan bahwa sumber
kekuatan dan kesejahteraan hidup yang di akui oleh Barat adalah dengan jalan mendirikan
sekolah-sekolah ala barat.
2) pembaharuan pendidikan islam yang berorientasi pada tujuan pemurnian kembali ajaran islam.
Bagi kelompok ini kemunduran umat islam lebih disebabkan oleh ketidaktaatan kaum muslimin
dalam menjalankan ajaran islam menurut semestinya. Pola ini berpandangan bahwa
sesungguhnya islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban
serta ilmu pengetahuan modern, dalam hal ini islam telah membuktikannya pada masa kejayaan
di masa silam.
Dengan pendekatan historis akan sampai pada catatan penting, bahwa dalam sejarah umat
islam-lah yang mempelopori reintegrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ilmu
pengetahuan Yunani, India, Cina, Persia, Romawi dsb. Yang di jumpai umat islam di abad klasik
telah dikembangkan dan diislamkan sehingga ilmu-ilmu tersebut membawa kemajuan bagi
peradaban umat islam.

D. Bagaimana Tinjauan Filosofis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa
ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim,antara lain Naquid Al-Attas dan
Ismail Raji’Al-Faruqi, tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi.Ia,misalnya berpendapat bahwa umat islam akan maju dan
dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam
memahami wahyu,atau sebaliknya,mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,meski
mengalami pasang surut.Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang
kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap
epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat
tempatnya.Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini,menurut Al-Farabi,berakar pada sifat hal-hal
atau benda-benda.Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya satu,yakni
intelek Tuhan.Tak peduli dari saluran mana saja,manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan
ilmu itu (Osman Bakar,1998:61-2).Dengan demikian,gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi
dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama:
a. Munculnya anbivalensi dalam sistem pendidikan islam.
b. Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam.
c. Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan islam
d. Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid,ilmu tentang
kenabian,ilmu tentang akhirat,dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius.
b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang kewajiban
manusia kepada Tuhan,ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat,dan ilmu tentang
kewajiban manusia terhadap jiwanya sendiri.
Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum kedalam beberapa ilmu yaitu:
a. Matematika,yang terdiri dari aritmatika,geometri,astronomi dan astrologi,dan music
b. Logika.
c. Fisika atau ilmu alam yang terdiri dari kedokteran,meteorologi,minerologi,dan kimia.
d. Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika,meliputi ontologi,pengetahuan tentang
esensi,pengetahuan tentang subtansi sederhana,pengetahuan tentang dunia halus,ilmu tentang
kenabian dan fenomena kewalian,dan ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk
menghasilkan efek tampak.
Dimensi-dimensi Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum
a. Dimensi Ontologis Ilmu-ilmu Agama dan Umum
Dimensi ontologism berbicara tentang apakah yang sebenarnya diketahui oleh ilmu?
Bidang apakah yang menjadi kajian itu? Baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum.
Berbicara tentang objek dari ilmu ini mencakup segala sesuatu yang ada di ala mini.
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
menyebutkan bahwa dimensi ontologism (hakikat yang dikaji) meliputi metafisika, asumsi,
peluang, beberapa asumsi dalam ilmu dan batas-batas penjelajahan ilmu.
b. Dimensi Epistemologis Ilmu-ilmu Agama dan Umum
Epistemologi dikatakan sebagai teori pengetahuan yang membahas secara mendalam dan
komprehensif dari segala aktivitas yang merupakan proses untuk mencapai sebuah pengetahuan.
Pada dimensi epistemologi akan dibahas mengenai
 Pengetahuan
 Sejarah pengetahuan
 Metode ilmiah
 Struktur pengetahuan ilmiah
c. Dimensi Aksiologis Ilmu-ilmu Agama dan Umum.
Drs. Prasetyoa mengatakan bahwa aksiologi adalah studi tetang nilai, sedangkan nilai itu
sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang di idamkan oleh setiap insan. Adapun nilai-nilai yang
di maksud, yaitu:
1. Nilai jasmani : nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai guna.
2. Nilai rohani : nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika, dan nilai religi.

IV. KESIMPULAN
 Integrasi ilmu agama dan umum hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau
menyatupadukan ontologi,epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut
 Tinjauan normatif teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu cara memahami
sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari tuhan sebagaimana terdapat di
dalam wahyu yang di turunkan-Nya.
 Tinjauan historis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum ada 2 masa yaitu pada masa
khalifah Ar-Rasyidin dan Umayah, pada masa Bani Abasiyah.
 Pada tinjauan historis tentang integrasi ilmu agama dan ilmu umum ada tiga dimensi ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum yaitu dimensi ontologism ilmu agama dan ilmu umum, dimensi
epistemologis ilmu agama dan ilmu umum.dan dimensi aksiologis ilmu agama dan ilmu umum.

Halaman Sembilan

Integrasi Ilmu dan Agama


A. LATAR BELAKANG
Agama islam menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi, sejajar dengan
orang-orang yang beriman (QS. Al – Mujaadilah, 58:11). Hal ini bisa dilihat dari banyaknya nash baik al-
qur’an maupun al-sunnah yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu bahkan wahyu yang
pertama kali turun adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu yakni perintah untuk membaca seperti yang
terdapat dalam QS al-‘Alaq.

Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS al-‘Alaq, 96: 1-
5)

Umat Islam mendapatkan semangat yang luar biasa karena banyak sekali perintah atau nash
yang menyinggung masalah keilmuan. Hal ini bisa dilihat padamasa awal Islam, banyak sekali egiatan
pengembangan ilmu pengetahuan,bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal dari gama dan
peradabanselain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan buku-buku dari Yunani anPersia (Ahmad Y
al-Hasan dan Donald R. Hill, 1993: 56-59). Namun usaha yangdilakukan tidak rbatas sebagai penerjemah
saja, tapi juga memberikan tambahanberupa saran dan kritik terhadap ilmu ang dipelajari dari luar
tersebut dan jugamengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan
suatuteori baru.

Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Islam mengajarkan
umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal (QS Yunus, 10: 101; QS al-Rad, 13:
3), yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern.
Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Dan
penggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.

.Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi mala petaka seperti teknologi nuklir yang
digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali; sistem yang
tidak memanusiakan manusia; dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama telah menyebabkan
kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan
tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan (Abudin Nata, 2005: 6).
Menurut M Amin Abdullah (pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: ii), Ibnu Rusyd merupakan ilmuwan
muslim pertama yang menggunakan metode integralistik-teosentrik.

Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan.
Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang
berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama dibawah naungan DEPAG (Departemen Agama)
sedangkan lembaga pendidikan yang umum berada dibawah DEPDIKNAS (Departemen Pendidikan
Nasional). Pandangan masyarakat terhadap kedua tipe lembaga pendidikan ini mengisyaratkan secara
implisit bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum memang harus dipisah (M Amin Abdullah,
pengantar dalam Ibn Rusyd, 2005: xiii).

Upaya integrasi ilmu dan agama di Indonesia telah diupayakan oleh para pemikir Muslim dan
penentu kebijakan. Sebagai contoh adanya upaya untuk merubah lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN)
menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga
mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga beberapa IAIN telah dirubah menjadi UIN. Mau tidak mau dalam
mata kuliah UIN harus mengandung mata kuliah ilmu pengetahuan umum dan mendirikan fakultas non-
agama Islam (Adian Husaini, 2008: 54-64).

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, perlu kita rumuskan dengan tujuan, supaya pembahasan ini terarah dan tidak keluar
dari permasalahan.
1. Bagaimana integrasi ilmu dan Agama?
C. TUJUAN PENULISAN
Dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan ini adalah:
1. Untuk mendiskripsikan integrasi ilmu dan agama
D. PEMBHASAN
1. Pengertian Ilmu
Ilmu merupakan istilah yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan
menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap
pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu
pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing
bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi,
sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama[1].
Menurut Syamsuddin Abdullah dalam bukunya ilmu agama adalah suatu semangat yang berusaha
untuk memahami hubungan antarobyek dan merumuskan tata cara bekerjanya. Pada mulanya ilmu
pengetahuan dipergunakan untuk kebutuhan yang sangat mendesak yang ahkirnya berkembang
menjadi suatu kerangka berfikir yang mengandung nilai-nilai teoritis mengenai penjelasan gejala-gejala
ilmiah[2].
Ilmu dapat pula dibedakan berdasar maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam
pengertian pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari
pengetahuan (any systemic boday of knowledje). John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti
semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowladje collected by
means of the scientific method).
Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti tahu. Dalam bahasa inggris disebut
science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to
know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktivitas, sebagaimana
dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science is the process
which makes knowladje). Sebagai aktivitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. Titus mengatakan
bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh
pengetahuan yang obyektif dan dapat membuktikan kebenarannya[3].
Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan ialah menarik antarhubungan antara gejala-gejala yang ada di
alam lahir dan untuk ditegakkan hokum sebab akibat. Selanjutnya diakui bahwa segala gejala-gejala
alam adalah sungguh-sungguh berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan didalam ala mini tidak
ada yang terjadi yang secara kebetulan. Oleh karena itu, dapat diambil suatu catatan bahwa ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang tersusun secara sistematis dengan mempergunakan kekuatan akal
pikiran yang selalu dapat diperiksa oleh setiap orang yang ingin mengetahui secara mendalam dan
obyektif.
Sedangkan ilmu pengetahuan menurut ruang lingkupnya dapat dibagi menjadi tiga cabang yaitu:
1. Natural sciences, yaitu ilmu pengetahuan alam yang mempelajari gejala-gejala alam baik yang hayati
(hidup) misalnya biologi, maupun yang non hayati (mati) misalnya fisika.
2. Humanities sciences/humaniora yaitu suatu ilmu pengetahuan yang obyek garapannya adalah masalah
kerohanian yang mempelajari manifestasi spiritual dari kehidupan bersama, dan termasuk dalam
kelompok ini meliputi: filsafat, ilmu agama dan ilmu bahasa serta seni.
3. Sosial sciences, adalah suatu ilmu pengetahuan yang obyektif garapannya masalah masyarakat. Ia
adalah kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan manusia dengan sesamanya. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah: hukum, politik, antropologi, sosiologi, ekonomi, pendidikan dan
sebagainya.
2. Pengertian Agama
Dalam musyawarah antar agama dijakarta, 30 nopember 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi
mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak
mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu
pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subyektif. Kedua, membahas pengertian agama
selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan yang memberikan pengertian
agama tersebut.
Kata agama yang telah masuk pada perbendaharaan bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa
sangsekerta yang terdiri dari dua perkataan yaitu: A dan Gama. A berarti kocar-kacir, berantakan. Maka
kata agama merupakan penyatuan dari dua kata A dan Gama yang artinya tidak kocar-kacir, teratur. Dan
sama dengan perkataan Griek yaitu agama berarti Chaos atau tidak berantakan. Jadi agama adalah suatu
peraturan yang tidak kocar-kacir dan juga berarti taratur rapi[4].
Dalam bahasa arab agama itu diterjemahkan dengan Ad-dien atau millah. Perbedaan antara
keduanya ialah kalau Ad-dien dinisbatkan kepada Allah, sehingga orang boleh mengatakan Dienullah
(agama Allah). Sedangkan Millah dinisbatkan kepada Rasul yang membawa agama, sehingga disebut
Millatu Ibrahim (agama ibrahim). Sedangkan Ad-dien itu sendiri mempunyai arti bermacam-macam
antara lain, cara atau kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan,
pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasehat dan agama.
Menurut Sidi Gazalba[5] bahwa istilah al-dein lebih luas pengertiannya dari pada istilah agama dan
religi. Agama dan religi hanya berisi hubungan manusia dengan Tuhan saja, sedangkan al-dein berisi
hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan menurut Zainal
arifin Abbas, kata al-dein (memakai awalan al-ta’rif) hanya ditujukan kepada islam saja, dan selainnya
tidak demikian. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 19, di mana Allah hanya mengakui
islam sebagai agama yang sah,
Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
3. INTEGRASI ANTARA ILMU DAN AGAMA
Dalam wacana pemikiran islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan
agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qaulyah
(ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan tidak ada pertentangan antara ilmu
dan agama dalam islam, karena secara ontologism kedua ayat tersebut bersal dari Yang satu. Turunnya
ayat pertama dalam isklam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra’), sejalan pula dengan
misi nabi Muhammad saw, untuk membrantas kebodohan (jahiliyah), sebagai lawan dari berfikir rasional.
Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berisi perintah bagi
setiap muslim untuk selalu berfikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi
orang yang beriman dan berilmu. Dalam islam, menunutut ilmu merupakan satu pencarian religious[6].

Halamn sepuluh

MEMBINGKAI KEMBALI ILMU; KAJIAN KRITIS TENTANG DIKHOTOMI ILMU

Oleh: Duski Samad[1]

A. ABSTRAK

Diskursus tentang adanya ilmu agama dan ilmu umum sejak lama telah membuat dunia keilmuan
menjadi kecil. Pemisahan ilmu agama dan ilmu umum yang sering juga disebut sebagai
dikhotomi ilmu, juga berimbas jauh pada kelembagaan, sarana dan sumber daya dari kedua
cabang keilmuan itu. Dampak lebih serius dari pemisahan kedua macam jenis ilmu tersebut telah
membawa ketimpangan, khususnya pada pengarusutamaan ilmu umum dibanding ilmu agama.
Akibat lebih jauh dari itu lahirlah stigma tidak baik pada ilmu agama yang dikatakan sebagai
ilmu akhirat atau ilmu gaib, yang kadar ilmiahnya diragukan.

Pendangan kurang baik dan tidak obyektif terhadap ilmu-ilmu agama, tentu tidak harus dibiarkan
begitu saja, penjelasan yang komperhensif tentang sumber-sumber ilmu, metode ilmu, dan
sejarah keberadaan kedua cabang ilmu itu harus diungkap guna untuk membingkainya kembali
dalam satu kesatuan utuh dan saling melengkapi. Ilmu adalah sesuatu yang obyektif, perbedaan
dalam menentukan sumber, metode dan kerangka kerjanya tidak boleh menjadikan ilmu menjadi
subyektif dan alat propaganda dengan tujuan tertentu.
B. Kata Kunci.

Dikhotomi, ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu umum, integrasi dan sejarah gelap ilmu.
C. KEBERADAAN ILMU.

Sejarah tidak selalu linear, di satu masa sejarah pernah tidak lurus, berbelok atau
dibelokkan, akibatnya orang dibelakang hari menjadi ragu, bahkan ada yang kehilangan arah.
Keadaan seperti itulah yang terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan. Keberadaan ilmu yang
seharusnya obyektif dan tidak memihak, kini ilmu itu ikut menjadi alat propaganda dan
kepentingan satu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Dampak tak sengaja dari perjalanan
yang salah itu menjadikan ilmu terkotak-kotak pada bidang yang sempit, ada yang menyebut
ilmu umum, dan sekolahnya dinamakan sekolah umum, ilmu agama, sekolah tempatnya
belajarnya pun dikatakan sebagai sekolah agama.

Realitas bahwa ada pemisahan (dikhotomi) ilmu itu telah membuat ilmu menjadi kerdil. Padahal
Ilmu itu mestinya membuka pintu dunia lebih lebar lagi. Karena, Ilmu, adalah suatu alat
potensial dalam hidup dan kehidupan manusia. Usaha dan pekerjaan apapun tanpa ilmu, besar
kemungkinan akan sia-sia, kurang berhasil dan atau akan mengalami kegagalan. Ilmu merupakan
suatu sifat yang mampu menyingkapkan segala sesuatu yang dituntut dan diinginkan. Ada ilmu
yang bersifat sederhana; yaitu tidak memerlukan penilikan mendalam. Dan ada pula ilmu yang
bersifat rumit; yang memerlukan penilikan dan pengkajian lebih mendalam.

Ilmu adalah istilah yang biasa diartikan sebagai kesatuan pengetahuan terhadap beberapa aturan
bidang kajian yang diteliti secara ilmiah, dan terhadap beberapa penerapan praktis dari fakta
yang diperoleh melalui penelitian. Ilmu mempunyai dua unsur penting, pertama penelitian secara
ilmiah, dan penerapan praktis dari fakta yang diperoleh melalui penelitian. Ada juga yang
mendefinisikan ilmu dengan lebih sederhana, yaitu: suatu cabang kajian yang dipermasalahkan
baik dengan suatu gabungan pembuktian maupun dengan pengamatan fakta secara sistematis
guna menemukan keyakinan baru dalam bidang yang dikuasai.[2]

Dalam al-qur’an dikatakan bagaimana hebatnya kedudukan orang berilmu[3]. Tingginya derajat
orang berilmu adalah disebabkan besarnya peran ilmu bagi kehidupan. Ilmu itu sangat luas dan
meliputi berbagai aspek kehidupan. Luasnya cakupan ilmu, oleh sementara pakar hanya
membagi ilmu dalam tiga kelompok; pertama, Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Science);
kedua, Social Science (Ilmu Pengetahuan Sosial); ketiga, Humaniora (pengetahuan kebudayaan).
Lebih sederhana lagi, Yuyun S. Suriasumantri[4] membagi ilmu hanya dalam dua kelompok
besar, Ilmu Pengetahuan Alam (Natural Science), dan Ilmu Sosial (Social Science), sedangkan
“humaniora” (pengetahuan budaya) dimasukkan dalam “Ilmu Sosial”

Penyederhanaan klasifikasi ilmu sebagaimana di atas, sesungguhnya sudah ditemukan spiritnya


al- qur’an. Bila diteliti bahwa ayat pertama turun adalah (Iqra’, artinya baca) QS. 96, Al ‘Alaq 1-
5. Membaca dan menulis, adalah “jendela ilmu pengetahuan”. Dijelaskan, dengan membaca dan
menulis akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui (‘allamal-insana
maa lam ya’lam). Wahyu Allah berfungsi sebagai sinyal dan dorongan kepada manusia untuk
mendalami pemahaman sehingga mampu membaca setiap perubahan zaman dan pergantian
masa.
Keistimewaan ilmu lainnya, menurut wahyu Allah; Yang mengetahui pengertian ayat-ayat
mutasyabihat hanyalah Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya (QS.2:7). Orang berilmu
mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (QS.3:18). Diatas orang berilmu, masih ada lagi
yang Maha Tahu, (QS.12:76). Bertanyalah kepada ahli ilmu kalau kamu tidak tahu, (QS.16:43,
dan 21:7). Jangan engkau turut apa-apa yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu
(QS.17:36). Kamu hanya mempunyai ilmu tentang ruh sedikit sekali (QS.17:85). Memohonlah
kepada Allah supaya ilmu bertambah (QS.20:114). Ilmu mereka (orang yang menolak ajaran
agama) tidak sampai tentang akhirat (QS.27:66). Hanyalah orang-orang berilmu yang bisa
mengerti (QS.29:43). Yang takut kepada Tuhan hanyalah orang-orang berilmu (QS.35:28).
Tuhan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang berilmu beberapa tingkatan
(QS.58:11). Tuhan mengajarkan dengan pena (tulis baca) dan mengajarkan kepada manusia
ilmu yang belum diketahuinya (QS.96:4-5).

D. SUMBER ILMU

Mengenai sumber ilmu pengetahuan ada beberapa pandangan yang mengemuka. Perbedaan
pendapat tentang sumber ilmu pengetahuan itu di dasarkan pada realitas pengetahuan yang
diperoleh manusia. Setidaknya setiap saat orang memperoleh 4 (empat) macam pengetahuan
yang saling bersambung. Pertama, pengetahuan yang bersumber dari hal yang bersifat empiris.
Pengetahuan jenis empiric ini diperoleh melalui jalur observasi atau pengamatan (observerable)
dan pengukuran tertentu (mesureable) dengan mengunakan instrumen indrawi, ilmu jenis ini
lazim disebut sebagai ilmu-ilmu alam (natural science). Kedua, manusia juga bisa mendapatkan
pengetahuan melalui instrument emosi (sense), pengetahuan jenis ini akan muncul dalam bentuk
pengetahuan seni dan budaya (ilmu humaniora). Ketiga, ilmu juga didapatkan melalui pengunaan
rasio atau akal cerdasnya dengan memahami fonemena yang ada, itulah kemudian menjadi ilmu
social (social sience). Keempat, diyakini oleh berbagai komunitas manusia bahwa ada pula ilmu
yang diperoleh berdasarkan pengalaman keruhanian orang yang suci (Nabi dan Rasul), yang
terakhir ini disebut sebagai ilmu agama yang lazimnya bersifat normative, dogmatis dan
transcendent.

Perdebatan tentang sumber ilmu pengetahuan ini terjadi karena ada perbedaan mendasar tentang
alat (instrument) mana yang dapat membuat manusia mengetahui. Ilmuwan Muslim membagi
sumber ilmu pengetahun itu kedalam tiga macam saja. Yang dimaksud dengan sumber adalah
benda-benda atau entitas-entitas yang potensial untuk dijadikan bahan pengetahuan manusia.
Ketiga macam sumber ilmu tersebut adalah: benda-benda yang bisa diindrai (mahsusat/sensible),
entitas-entitas yang hanya bisa dipahami oleh akal (ma’qulat/intelligibles), dan terakhir
wahyu[5]. Ilmuwan Muslim dalam menetapkan prioritas ilmu pengetahuan yang hendaknya
dikuasai ternyata juga berbeda, akan tetapi berkenaan dengan sumber ilmu pengetahuan yang
paling tinggi dan otoritatif mereka sepakat yaitu adalah wahyu. Otoritas wahyu itu terletak pada
sumber wahyu itu itu sendiri, yaitu Allah s.w.t. yang sering disebut Kebenaran (the Truth/ al-
Haqq). Ia menyampaikan wahyu secara langsung atau melalui Malaikat yang terpercaya (al-ruh
al-amin), sehingga tidak ada keraguan didalamnya (la rayba fihi). Kebenarannya adalah mutlak,
dan karena itu wahyu dalam hal ini al-Qur’an selalu dijadikan parameter, dengan mana semua
informasi dari sumber yang lain (mahsusat dan ma’qulat) dicek dan dicocokkan.[6]
Pada masa berikutnya lalu kemudian, setelah wahyu, maka ilmuwan Muslim berbeda dalam
menempatkan sumber ilmu pengetahuan, begitu juga halnya dalam mengurut prioritas ilmu.
Perselisihan tentang prioritas ilmu, antara ilmu utama dengan ilmu pilihan, antara ilmu primer
dengan ilmu sekunder pada akhirnya bermuara pada penempatan posisi akal (reason) dan
persepsi indrawi (sense-perception). Ujung dari perbedaan ini, akhirnya memicu lahirnya
perbincangan tentang adanya ilmu agama dan ilmu umum, jika dilihat kepada akar sejarah umat
Islam, ini sesungguhnya berasal dari pengaruh dominasi antara ahli fiqh dengan ilmuwan
Muslim. Sepanjang sejarah kelembagaan pendidikan Islam, baik madrasah maupun al jami’ah
diabdikan terutama kepada al-‘ulum al-Islamiyah atau tepatnya al-‘ulum al-diniyah –ilmu agama
dengan penekanan khusus pada bidang fiqih, tafsir dan hadist. Dengan demikian ilmu-ilmu “non
agama” atau “keduniaan” (profan) khususnya ilmu alam dan eksakta – yang merupakan akar-
akar dari pengembangan sains dan teknologi – sejak awal perkembangan madrasah dan al-
jami’ah sudah berada pada posisi yang marjinal. Meskipun Islam pada dasarnya tidak
membedakan nilai ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non agama (ilmu umum), akan tetapi
dalam praktiknya, supremasi lebih di berikan kepada ilmu-ilmu agama. Ini disebabkan sikap
keagamaan dan kesalehan yang memandang bahwa ilmu-ilmu agama sebagai “jalan tol” menuju
Tuhan.[7]

Runtuhnya reputasi ilmu-ilmu umum dilingkungan umat Islam, tidak saja karena perlakuan yan
tidak adil oleh penguasa dan dominasi kaum fuqaha, akan tetapi ia juga punya kaitan erat dengan
kekalahan aliran Mu’tazilah dalam percaturan pemikiran Islam. Sebelum Mu’tazilah hancur
sebagai aliran teologi rasional, ketika khalifah al Ma’mun pada dinasti Abbasiyah (198-
218H/813-833M), ilmu-ilmu umum mendapat tempat tersendiri dalam wacana keilmuan di
masyarakat dan lembaga pendidikan madrasah. Mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak
dari nalar dan kajian-kajian empiris oleh kaum fuqaha dikatakan sebagai ilmu yang tidak Islami,
bahkan ada yang menyebutkan makruh dan yang lebih ekstrem mengatakannya sebagai haram,
ini kemudian menjadikan ilmu umum semangkin tidak pupoler dan tidak menjadi penting dalam
kehidupan social masyarakat umat Islam. Dampak lebih jauh dari pemarjinalan ilmu-ilmu umum
menjadikan ia dicurigai dan dalam pelaksanaannya dihapuskan dari kurikulum Madrasah dan al-
jami’ah. Kaum intelektual yang masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa
mempelajarinya secara sendiri-sendiri, dan atau bahkan “di bawah tanah”, karena dipandang
sebagai ilmu-ilmu ”subversive” yang dapat akan menggugat kemapanan doktrin mapan Sunni,
terutama dalam bidang kalam (teologi) dan fiqh.[8]

Pertanyaan yang sering mengemuka disaat mengkritisi sejarah pendidikan dan inteleketual Islam
adalah mengapa kaum fuqaha sebagai intelektual Islam yang cukup kuat mempercayai
pengunaan akal, dengan konsep ijtihadnya, terlalu mudah mengeliminir pengunaan akal pada
hal-hal yang bersifat obyektif dan empiris, sebagaimana dipakai dalam ilmu-ilmu umum?.
Pertanyaan yang lebih tegas lagi mengapa legalisme fiqih dan syari’ah bisa begitu dominan
terhadap lembaga pendidikan dan gerakan intelektual Islam?. Di antara jawaban analisis yang
patut dikemukan adalah bahwa ada tiga alasan, pertama, ini terjadi berkaitan dengan pandangan
tentang ketinggian syari’ah Islam dan ilmu keagamaan lainnya. Kedua, secara institusional
lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik sejak awal berdirinya Madrasah Nizahamiyah yang
didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada 1064 M, memang dikuasai oleh ahli-ahli ilmu agama
semata. Ketiga, berkaitan dengan pendirian Madrasah dan lembaga pendidikan Islam, hampir
semuanya di danai oleh wakaf, infaq dan sadaqah dermawan Muslim, yang secara teologis lebih
merasa tinggi pahalanya jika wakaf, infaq dan sadaqahya itu diberikan kepada sekolah agama.

E. INTEGRASI ILMU

Jika dibuka kembali lembaran sejarah peradaban Islam, akan didapati cuplikan-cuplikan sejarah
kegemilangan dan kejayaan Islam yang sungguh luar biasa. Kedigdayaan Islam mampu
menguasai seluruh sistem dan konsep peradaban dunia. Tidak hanya ranah ekonomi, politik,
budaya saja yang dikuasai, bahkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi menjadi sangat dominan
dan mampu menjadi kiblat ilmu pengetahuan bagi dunia waktu itu.

Tradisi pengkajian ilmu dikalangan umat Islam dengan semangat, kecintaan dan kesungguhan
dalam belajar, menghafal, diskusi, menulis dan mencari ilmu hingga ke lintas negara menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam waktu itu. Maka wajar saja, buah dari
peradaban ilmu tersebut, bermunculan tokoh-tokoh besar ilmuan dan ulama, seperti, Imam Al-
Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi, As-Suyuthi, Ibnu Rusyd, Ibnu Nafis, Ibn Khaldun dan
lain sebagainya. Mereka menjadi referensi umat dalam berbagai persolan kehidupan. Mereka
memahami dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Selain ilmu agama, seperti ilmu Tafsir,
Hadist, Aqidah, Fiqh dan Tasawuf, mereka juga menguasai dan pakar dalam ilmu Fisika, sastra,
Kedokteran, Kimia, Sejarah, Tekhnologi dan ilmu –ilmu umum lainnya. Mereka tidak
memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, meskipun ada perbedaan ruang kajian kedua
ilmu tersebut. Menariknya, pengkajian ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam selalu totalitas dan
selalu berpegang pada aspek ilahiyyah dan juga adab. Sehingga semakin luas ilmu yang
diperoleh maka semakin tinggi pula amal yang dihasilkan.

Namun persoalan kemudian ketika umat Islam mengalami kemunduran dan hampir
seluruh ranah dikuasai oleh peradaban Barat, identitas keilmuan Islam tersebut mulai pudar.
Seluruh konsep ilmu pengetahuan diubah dan disesuaikan dengan nilai-nilai dan tradisi keilmuan
Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa identitas peradaban Barat tak lepas dari paham
sekuler, yaitu pemisahan antara agama dan seluruh persoalan publik, baik ilmu pengetahuan,
politik maupun ranah lainnya. Ini memang ciri khas peradaban Barat. Pemisahan (dikotomi)
terhadap ilmu pengetahuan adalah bagian dari paham tersebut dan dampaknya merambah dalam
kultur keilmuan saat ini. Ini adalah problem yang serius yang dihadapi umat Islam.

Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi
dan epistimologi keilmuan barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan
peran Agama didalamnya, memang bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka.
Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada
tradisi mereka. Dampak dari dikotomi ilmu sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang
menjadi salah satu yang faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut sederhana dapat
dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak sarjana agama yang mengabaikan dan tidak
paham ilmu umum sehingga tidak mampu menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi
modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih
luas. sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada
dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri. di sinilah terlihat
ketidakseimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana
umum yang hanya ahli di bidang umum.

Selain itu, realitas dikotomi ilmu tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya
pemisahan sekolah umum dan agama. Dalam muatan kurikulum misalkan, Sekolah umum
dominan ilmu yang diajarkan hanya ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan
pada nilai-nilai agama. Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir yang sekuler dan
berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya generasi Islam, disebabkan
pondasi ilmu agama yang lemah. Pada akhirnya, agama dianggap tidak penting dalam persoalan
ilmu dan dunia. Dari sinilah yang kemudian banyak umat Islam tergiring pada pemahaman
sekuler. Karena dari sejak sekolah sampai perguruan tinggi, konsep ini terus dipraktekkan secara
sadar atau tidak dapat mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir ummat. Ini adalah satu diantara
contoh-contoh besar lainnya atas dampak dari dikotomi ilmu.

Melihat dampak yang diperoleh dari pengaruh dikotomi ilmu tersebut, perlu sebuah upaya yang
serius dengan membersihkan dan menyingkirkan konsep sekuler tersebut dari ranah ilmu
pengetahuan. Dan memperbaharuinya dengan konsep keilmuan Islam yang pernah berjalan pada
masa kegemilangan peradaban Islam abad pertengahan dulu. Mungkin kendalanya adalah
terletak pada bagaimana cara untuk merubah konsep tersebut hingga sistem keilmuan benar-
benar bisa berjalan secara bersamaan dan saling terkait tanpa terjadi dikotomis atau parsial.

Syed Naquib Al-Attas menawarkan gagasan konsep yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan
problem tersebut yaitu dengan cara islamisasi ilmu, terutama ilmu pengetahuan kotemporer dan
modern karena ilmu-ilmu kontemporer dan modern telah mengalami sekularisasi dengan
worldview peradaban Barat. Metode pengkajian ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada
kaidah empiris, rasional dan materialistik. Perolehan ilmu melalui wahyu dan kitab suci
diabaikan dan dipandang rendah. Ilmu-ilmu di Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden
dan juga tidak berkaitan dengan kepercayaan agama. Ini sangat berlawanan dari worldview
Islam.

Syed Naquib Al-Attas menegaskan bahwa, upaya islamisasi ilmu tersebut sangat penting
dilakukan. Sebagai cara untuk membersihkan pengaruh-pengaruh negatif dalam ilmu
pengetahuan dan kemudian memasukkan konsep-konsep keilmuan berdasarkan Worldview
Islam. Sehingga antara ilmu umum dan agama tidak terpisahkan dan saling integral. Membiarkan
ilmu dalam kondisi terpisah dari agama, akan melahirkan manusia yang memiliki paradigma
sekuler, dan akhirnya melahirkan sikap yang cenderung mencampakkan Tuhan dan agama dari
kehidupan dunia, tentu tidak sama halnya dengan kaum atheis yang menafikan Tuhan.[9]

Pandangan lain yang juga patut dipertimbangkan adalah menegok perjalanan sejarah dikhotomi
antara ilmu agama dan ilmu umum yang sudah melembaga dan menstruktur dalam masyarakat,
maka kiranya patut diupayakan langkah-langkah strategis untuk merukunnya dalam satu bingkai
yang saling melengkapi. Struktur keilmuan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yang
dikembangkan di Perguruan Islam sejak awal berdirinya sampai saat terakhir masih berkutat
pada konseptual hegemoni ilmu agama sebagai ilmu tertinggi dan kurang memberikan perhatian
pada ilmu-ilmu umum. Pola pikiran konseptual yang abstrak dan cendrung dalam bentuk doktrin
ini tentu harus dapat dijabarkan sedemikian rupa, dengan memberikan kesempatan kepada semua
pihak yang terlibat untuk mengembangkan keilmuan yang berbasis pada eksperimen, observasi
dan pendekatan ilmiah lainnya. Ilmu pengetahuan yang berbasis pada al-qur’an dan sunnah dapat
direkatkan untuk digabungkan sedmikian rupa antara ilmu agama dan ilmu umum dalam satu
kesatuan. Ilmuwan dituntut untuk menolak dikhotomi atau pemberian kategorisasi pada ilmu,
sebagai ilmu umum dan ilmu agama. Sebab kategorisasi semacam itu adalah janggal dan rancu.
Karena, Islam pada dasarnya tidak dapat dikatakan sebagai ajaran yang bersifat khusus, sebab
lingkup ajaran Islam luas, universal dan menyangkut berbagai aspek kehidupan. Masalah yang
perlu ditegaskan adalah jika ilmu agama dan ilmu umum dikatakan sebagai ilmu, maka ilmu
agama bersumber dari wahyu ilahi dan ilmu umum berasal dari observasi, eksprimen dan
penalaran ilmiah manusia.

Kewajiban untuk mengintegrasi (memadukan) ilmu agama dan ilmu umum dapat dimulai
dari kerja akademis yang pada akhirnya akan berujung pada misi teologis. Kedua bidang ilmu
yang berasal dari sumber yang berbeda (Allah dan Manusia) tentu harus dikaji secara bersama-
sama dan simultan, mungkin yang harus ditegaskan adalah bahwa bidang ilmu agama itu bersifat
fardu ain sedangkan pengetahuan umum itu fardhu kifayah. Logika ilmiah yang hendaknya
terbangun kokoh dari inetegrasi ilmu itu adalah adanya kesatuanpaduan antara ayat-ayat ilahiyah
dengan ayat-ayat kauniyah. Maka dengan demikian, struktur keilmuan yang diupayakan dalam
pengintegrasian ilmu-ilmu umum dan dengan ilmu agama tentu tidak dapat dibiarkan berjalan
tanpa paradigma dan epistimologi yang jelas dan terukur. Pengkajian dan diskusi yang
mendalam dan intensif tentang bagunan struktur keilmuan yang akan dijadikan acuan harus dapat
ditunjukkan melalui metofara tertentu.

Untuk mengetahui bagaimana ilmuwan Muslim mengintegrasikan ilmu umum dengan ilmu
agama dapat dilihat dalam pola penafsiran mereka, misalnya dalam memahami pengertian bahwa
kejadian langit dan bumi merupakan tanda kekuasaan, ke Maha Esaan Allah bagi orang-orang
yang mempunyai akal pikiran. Dalam penafsiran ayat: Inna fi khalaqi al-samawatiwa al-Ardh,
Al-Sayyid Mahmud al-Alusiy menjelaskan bahwa penciptaan dan pewujudan langit dan bumi
adalah termasuk keajaiban adan keindahan, sedangkan dalam penafsiran ayat: Wa ikhtilaf al lail
wa al-Nahar ia menjelaskan dengansaling berkejarannya siang dan malam adalah dikaitkan
dengan perputarannya bumi dengan putaran rotasi, yaitu berputarnya bumi mengelilingi matahari
melalui jalannya yang berbentuk elip sekali dalam satu tahun (Syamsiyah). Dengan demikian
terjadilah siang dan malam, yang tepat dengan kutub baik kutub selatan maupun kutub utara
siangnya lebih panjang dari pada malamnya atau sebaliknya pada musim-musim tertentu, dan
untuk tempat-tempat tertentu pula terjadi empat musim yaitu musim gugur, dingin, semi dan
musim panas.[10]

Al-Alusiy berpendapat bahwa dalam tata surya ini matahari tetap di tempatnya, sedangkan
semua planet-planet beredar mengelilinginya. Sebagai satelit bumi, bulan mengelilingi bumi
sekali dalam sebulan (Qamariyah), karena bumi mengalami perputaran revolusi, maka sekali-
kali timbul gerhana matahari atau gerhana bulan, akhirnya al-Alusy menyebutkan bahwa
memang tidak terdapat satu hadits pun mengenai bumi dan langit ini karena maslah ii ada diluar
kepentingan syara’.[11]

Sayyid Qutub berbeda dalam menafsirkan ayat ini, ia menjelaskan bahwa disini ada hakekat
yang dalam, jelasnya bahwa keadaan alam ini merupakan kitab yang terbuka, yang mengandung
dalil-dalil dan tanda-tanda iman yang mempunyai latar belakang hikmah, diwahyukan Tuhan
bahwa dibalik kehidupan dunia ini ada akhirat, ada perhitungan ada balasan, hanya orang yang
mempunyai akal fikiran yang tahu dalil-dalil ini, hanya bisa melihat hikmah ini, hakikat alam
inilah merupakan hubungan kuat antara fitrah alam dan fitrah manusia, satu segi merupakan
dilalah kejadian alam untuk menuju Sang Kaliq, segi lain menuju kepada hikmah dan tujuan
wahyu itu sendiri.[12]

Selanjutnya Sayyid Qutub menjelaskan bahwa ada dua hakekat penting pengenai Tafakkaru fi
khalqillah yaitu,(1) Tafakkur fi khalqillah, tadabbur fi kitab al-kaum al-maftuh, dan mengikuti
kuasa Allah yang berbuat, kuasa Allah, yang mengerahkan alam dan membuka halaman-
halaman, kitab al-kaum ini, merupakan ibadah kepada Allah dan zikrullah secara tulus. Kalau
ilmu-ilmu kauniyah membahas persoalan kealaman secara murni, dalam keadaanya, aturannya,
rahasianya, berhubungan dengan zikir terhadap khaliq, baik keagungan atau keutamaannya,
maka itu mengarah kepada ibadah kepada khaliq dan pasti kehidupan dengan ilmu-ilmu itu
bersifat materialis maka akan memutuskan hubungan ilmu-ilmu itu bersifat materialis maka akan
memutuskan hubungan antara kauniyah dengan khlaiqnya, justru itu ilmu yang merupakan
anugerah Allah yang paling baik terhadap manusia, akan berubah menjadi kutukan yang akan
menempatkan manusia ke dalam neraka.(2) Ayat-ayat Allah tentang kauniyah pada hakekatnya
tidak jelas kecuali bagi hati nurani yang selalu ingat dan selalu beribadah kepada Allah,
sedangkan orang-orang yang berzikir kepada Allah, dengan berdiri, duduk, berbaring yang
mereka itu lagi bertafakur tentang kejadian kaum ini merekak itulah yang terbuka penglihatan
mereka tentang hakekat besar yang tercakup pada kejadian langit, bumi, siang dan malam
mereka itulah yang dpat menempatkan latar belakang kaum ini kepada program Allah yang
menuju keselamatan, kebaikan, tetapi apabila mereka membatasi kehidupan dunia yang lahir saja
dan menghubungkannya pada rahasia sebagian kekuatan kauniyah, tidak seperti hubungannya
dengan program Allah, maka mereka itu merusak dirinya dalam rahasia kauniyah dan
menempatkan dirinya ke dalam neraka.[13]

Muhammad Qutub dalam mengulas Ulu al-Albab al-Izina yatafakkarun menjelaskan mereka itu
adalah orang-orang yang mencurahkan kekuatan pikirannyaa untuk memikirkan ayat-ayat Allah
tentang alam ini, tetapi mereka bukan hanya sekedar berpikir secara polos, serta lupa fakta yang
nyata, dan bukan pula memikir-mikir terjauh dari Allah, hal ini dapat menyesatkan dirinya
melainkan mereka dengan Allah, mereka tidak memikirkan ayat-ayat Allah tanpa tujuan
melainkan segara menghubungkan kepada sasaran mereka dengan berdo’a Rabbana ma khalaqta
haza bathila.[14]

Pembahasan keilmuan yang memadukan antara pemahaman ilmiah obyektif dengan teologis
sebagaimana ditunjukkan di atas adalah satu model integrasi ilmu yang dapat dijadikan contoh di
masa datang.

F. PENUTUP

Pemisahan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum yang masih saja berlangsung sampai saat
terakhir adalah bentuk dari perjalanan sejarah gelap yang harus diluruskan. Ilmu pada dasarnya
adalah netral dan merupakan hak Allah yang dianugerahinya kepada siapa saja yang belajar dan
bekerja sungguh-sungguh untuk mendapatnya. Wahyu adalah sumber paling otoritatif untuk
segenap macam cabang ilmu pengetahuan. Ilmu yang dikembangkan melalui observasi, logika
dan eksprimen adalah jenis ilmu yang terus harus dikembangkan guna menciptakan tekhnologi
bagi kemudahan hidup manusia. Ilmu-ilmu yang berkembang karena adanya pencarian rasio,
rasa dan logika juga dituntut untuk dikembangkan guna menciptakan peradaban yang lebih baik
dan maju. Sedangkan ilmu yang bersifat normative, doktriner yang bersumber dari wahyu Allah
SWT adalah merupakan pedoman abadi yang absolute adanya. Dapat juga dikatakan bahwa
agama dan sains itu sejalan. Agama mencoba memahami tujuan dan arti dari alam ini, ilmu
pengetahuan mencoba memahami fungsi dan strukturnya. Jika ada pengertian, struktur pasti
banyak kaitannya dengan arti, dalam jangka panjang keduanya pasti akan sejalan. Sangat tidak
mungkin jika dikatakan bahwa hukum fisika yang mengatur kehidupan di dunia ini hanya
kebetulan. Sains dan agama semestinya menemukan dasar yang sama. Perbedaannya sebenarnya
kabur atau superfisial bahkan jika dilihat sifat realnya sama. Temuan-temuan di bidang
astronomi telah membuka mata manusia kepada agama. Fakta bahwa alam ini ada awalnya
merupakan hal yang menakjubkan, mana mungkin kejadian itu ada tanpa Tuhan ? Islam tidak
memisahkan agama dengan sains. Tuhan adalah Maha penguasa dan sumber kebenaran.
08032012.

Anda mungkin juga menyukai