Anda di halaman 1dari 16

Akal Yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Nash Al Quran Dan Sunnah

Posted by Admin pada 30/06/2009


Kedudukan Akal Dalam Islam Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5) Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). (An-Nahl: 12)

Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanamantanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rad: 4) Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:

Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk: 10) Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: (Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah) Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah Subhanahu wa taala serta dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa taala telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat (Al-Istiqamah, 2/157) Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti: 1. Allah Subhanahu wa taala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi Shalllahu alaihi wassalam bersabda:

Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh. (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan AdDaruquthni dari shahabat Ali dan Ibnu Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Shahih dalam Shahih Jami, no. 3512) 2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35) 3. Allah Subhanahu wa taala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah Subhanahu wa taala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90) Nabi Shallallahu alaihi wassalam bersabda:

Setiap yang memabukkan itu haram. (Muttafaqun alaihi dari Abu Musa Al-Asyari) Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr. (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35) 4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan. As-Safarini rahimahullah berkata: Allah Subhanahu wa taala menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu wa taala menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa taala telah tetapkan maka ia akan membabi buta (Lawamiul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105) Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa taala dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Nabi Shallallahu alaihi wassalam bersabda:

Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah. (HR. Ath-Thabrani, AlLalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85) Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat. Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201) Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima. (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201) Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya demikian perkataan mereka belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-Aqlaniyyun hal. 21) Akal yang terpuji dan akal yang tercela Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam: 1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Quran atau As Sunnah. 2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya. 3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma , sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau(namanama) Allah qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat. 4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bidah dan matinya As Sunnah.

5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat Ilam Muwaqqiin, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-Aql wa Manzilatuhu) Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat. Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam ringkasnya bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173) Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim di atas. Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya. Karena itu wajib bagi orang-orang Mutazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mutazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal. (Daru Taarrudhil Aql wan Naql, 1/155, 138) Ketika dalil bertentangan dengan akal Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya. Hal ini berangkat dari ajaran Al Quran dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab: Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini. (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301) Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu alaihi wassalamdengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata

maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu alaihi wassalam begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya. Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya. (Mukhtashar As-Shawaiq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-Aqliyyah, 1/61-63) Abul Muzhaffar As-Samani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah. (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99) Bila akal didahulukan Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya: 1. Menyerupai Iblis semoga Allah melaknatinya ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi salam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.

Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? Iblis menjawab: Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. (Al-Araf: 12) 2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, . Merekaseperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad katakan:

Dan mereka berkata: Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?. (Az-Zukhruf: 31) 3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkaraperkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya. 4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al-Qashash: 50) 5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.

6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.

Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. (Al-Hajj: Ini termasuk larangan terbesar.

Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Al-Araf: 33) 7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat. 8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92] Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bidah mengatakan: Tinggalkan kami dari Al Quran dan hadits ahad dan tampilkan akal, maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal. (Siyar Alamin Nubala, 4/472)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi Lc, Judul: Kedudukan Akal Dalam Islam

Suka Be the first to like this post. Entri ini dituliskan pada 30/06/2009 pada 4:09 am dan disimpan dalam Kajian hadits. Bertanda: akal yang menyelisihi al quran hadits, cara memfungsikan akan, fungsi fungsi akan kita, mendahulukan akal dalam beragama. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.

Satu Tanggapan to Akal Yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Nash Al Quran Dan Sunnah
1.

riri maysyuri berkata


02/07/2009 pada 7:59 am

permisi.! kalo mungkin berkenan untuk membagi rezekinya, tolong klik disini yah 2x/harinya jangan lebihterima kasih

S: Akal dan Posisinya Dalam Islam: Kritik Terhadap Rasionalisme Mu'tazilah versi Prof. Dr. Harun Nasution Kedudukan akal dalam Islam sangat terhormat, bahkan melebihi agama-agama lain dalam memberi penghargaan kepadanya. Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi larangan-Nya.Dalam al-Qur'an, kata-kata yang berakar pada 'aql bertaburan di berbagai surat. Kata-kata: afala ta'qilun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi katakata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb. Penghargaan terhadap akal yang sedemikian agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana liar tanpa batas dan arahan, terutama saat berhadapan dengan ketentuan wahyu. Dalam aliran teologi Islam, dikenal madzhab Mu'tazilah yang kerap kehilangan kendali dalam pengagungannya terhadap kedudukan akal. Bahkan seringkali wahyu pun harus "tunduk" mengikuti kehendak akal manusia, seperti terlihat jelas dalam konsep baik dan buruk menurut Mu'tazilah yang didasarkan pada akal (al-husnu wal qubhu 'aqliyani), ketidakberdayaan Tuhan melakukan hal-hal yang "buruk", hingga urusan surga dan neraka yang seharusnya menjadi hak mutlak Tuhan pun di atur oleh akal, seperti yang tersusun dalam konsep al-ihbath wat takfir. Penghargaan berlebihan terhadap akal juga terkesan mendominasi prinsip-prinsip keimanan Mu'tazilah yang lima (al-ushul al-khamsah), seperti prinsip tauhid, adil, janji dan ancaman, kedudukan di antara dua kedudukan dan amar ma'ruf nahi munkar.Anehnya, paham Mu'tazilah justru dijunjung tinggi oleh Prof. Harun Nasution. Ini terlihat jelas saat beliau membandingkan antara paham Asy'ariyyah dan Mu'tazilah:"Kalau kaum Mu'tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy'ariyyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu'tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy'ariyyah, sebaliknya, pergi terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasionil untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu'tazilah banyak memakai ta'wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy'ariyyah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan lain kata kalau kaum Mu'tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy'ariyyah membaca yang tersurat".Demikianlah pemaparan Prof. Harun yang memuja paham Mu'tazilah dengan merendahkan madzhab Asy'ariyyah dalam bukunya "Islam ditinjau dari berbagai aspeknya" (hal. 42) yang dijadikan diktat wajib di perguruan tinggi Islam hingga kini. Sehingga aliran Asy'ariyyah yang dikesankan sebagai madzhab yang tidak rasionil--, beliau klaim tidak sesuai dengan kaum terpelajar Islam yang mendapat pendidikan Barat.Sudah proporsionalkah pemujaan Prof. Harun Nasution terhadap rasionalitas Mu'tazilah? Apa komentar Prof Rasjidi terhadap pemikian Harun ini? Bagaimanakah sebenarnya pendapat Mu'tazilah dan Asy'ariyyah tentang kedudukan akal dan wahyu? Apakah definisi akal sebenarnya? Dimanakah batasan-batasannya?

Kajian lebih lanjut dapat anda simak pada Diskusi Sabtuan di kantor INSISTS. Makalah dan tempat duduk terbatas untuk 40 orang.

Kedudukan Akal dalam Islam


Filed under: pemikiran islam Tinggalkan komentar 22/05/2010

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Salah satu keterbatasan manusia terletak pada kemampuan akalnya. Setiap manusia yang masih bersih fitrahnya akan mengakui hal ini. Akal manusia tidak akan mampu mengetahui hakikat sesuatu sesuatu secara sempurna, terlebih bila hakikat itu meliputi berbagai permasalahan. Fungsi akal manusia yang paling besar adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Apa kebenaran sejati itu? Sekali lagi, bagi orang yang fitrahnya masih suci akan mengakui bahwa kalau hanya akalnya, seorang manusia tidak akan mencapai kebenaran sejati. Ia akan mengakui bahwa mengetahui kebenaran harus melalui bimbingan Penciptanya yaitu Allah. Namun, tidak demikian dengan orang-orang yang terlalu percaya diri dengan kemampuan akalnya. Orang-orang yang merupakan penerus dari paham Mutazilah atau bahkan paham iblis ini merasa tidak butuh bimbingan Allah untuk mengetahui kebenaran . Tidak cukup sampai situ, bahkan dengan lancangnya mereka mengobrak-abrik syariat Allah yang menurut akal mereka bukan merupakan kebenaran. Di Indonesia gerakan ini sudah berlangsung cukup lama, antara lain dipelopori oleh Nurcholis madjid, Munawir Syadzali, Ahmad Wahib, Harun nasution, dan lain-lain. Sekarang generasi baru pengusung madzab ini bergabung dalam sebuah sindikat bernama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdala. Dalam wadah inilah ide-ide gila mereka dikeluarkan secara lebih intens.

Ciri gagasan gila mereka adalah berisi gugatan (protes) terhadap syariat Allah yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan akal mereka. Hampir semua sendi agama ini telah digugat mereka seperti syariat tentang jilbab, hukum had, qishahsh, jenggot, memakai gamis, jihad, larangan perkawinan antar agama, hukum waris, makna syahadat, kebenaran Al-Quran dan yang paling tinggi adalah gugatan terhadap Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Intinya, mereka tidak setuju dengan aturan-aturan Allah dan memunculkan gagasan-gagasan yang berlawanan dengannya. KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun. Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), diantaranya : Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. (QS. An-Nahl: 12). Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal. (QS. Ar-Radu: 4) Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya : Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal untuk memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk: 10) Ibnu Taimiyyah mengatakan : (maknanya yaitu) tidak menggunakan akal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah) Bagaimanapun hal itu tidak terpuji dar sisi tersebut, maka dalam kitab Allah serta Sunnah Rasulullah tidak terdapat pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat

Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:

Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh ( HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruqutni dari sahabat Ali dan Ibnu Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan Shahih dalam Shahihu al-Jami). Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90) Nabi bersabda : Setiap yang memabukkan itu haram (dari Abu Musa Al-Asyari). Asy-Syinqithi mengatakan, Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr. Demikian pula tegaknya dakwah kepada keimanan adalah berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula ber-itikad memuliakan akal maka pada hakikatnya mereka menghinakan akal itu sendiri. Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akala adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki kelemahan dan keterbatasan. As-Safarini berkata,Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berfikir. Allah menjadikannya dengan segala keterbatasan, ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya fikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya maka ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah tapi jika ia menggunakannya di luar lingkup dan batas yang telah Allah tetapkan maka ia akan membabi buta Untuk itu kita perlu mengetahui dimana sesungguhnya bidang garap akal. Pada intinya, akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib dibalik alam nyata yang kita saksikan ini,

seperti pengetahuan tetntang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah,surga dan neraka yang semua itu dapat diketahui melalui Wahyu. Nabi bersabda : Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang Dzat Allah. (HR.AthThabarani, Al-lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar). Allah berfirman dalam QS. Al-Isra ayat 85 : Dan mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (QS. Al-Isra: 85) Oleh karena itu, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat walaupun ia tidak tahu hikmah dan sebab perintah itu karena tidak semua hikmah di balik hukum bisa dia ketahui. Kenyataannya, justru terlalu banyak hal yang tidak diketahui akal sehingga ia wajib tunduk pada syariat. Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu (siapa) mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus kemana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa dan terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut, tentu bagi yang meminta ftwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut. Karena, orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih berilmu. Al-Imam Az-Zuhri mengatakan, Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampa ikan dan kewajiban kita menerima. Berarti, orang yang menggunakan akal bukan pada tempatnya ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filsafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan dan mengangkatnya demikian perkataan mereka belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal. Kalau kita tidak mau mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Dimana mereka memaksa akal masuk ketempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan kesana. Akal yang Terpuji dan Akal yang Tercela Menengok penjelasan lalu dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal kadang terpuji ketika diposisikan pada tempatnya dan terkadang tercela, ketika diposisikan bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat sedangkan akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela ada beberapa macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al-Quran atau As-Sunnah. 2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan dibarengi dengan sikap menyepelekan dala mempelajari, memahami serta mengambil hukum dari nash-nash. 3. pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikit filsafat. 4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bidah dan matinya As-Sunnah. 5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. Jadi manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Harus ditinggalkan dan hendaknya menundukkan akal kita kepada syariat. Akal Sehat Tidak Akan Menyelisihi Syariat Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam ringkasnya- bahwa tatkala bertentangan antara akal dan Wahyu maka akal mesti dikedepankan. Dengan prinsip itu sejak dahulu hingga kini mereka senantiasa menolak sekian nash yang shahih. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah, cukup kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim diatas. Lebih rinci lagi, para ulama seperti Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, maka tidak akan tergambar bertentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih sama sekali tidak bertentangan dengan akal yang lurus. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yag diperselisihkan oleh manusi. Saya dapatkan bahwa sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan dengan akal pula, diketahui kebenaran dan kebaikan hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuatakal terkesima. Para Rasul tidak mengabarkan ssuatu yang tidak diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk mengetahuinya. Karena itu wajib bagi orang-orang Mutazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash Wahyu, demikian pula siapa saja yang menempuh jalan serta meniti jejak mereka, hendaknya mengetahui bahwa tidak terdapat satu hadist pun di muka bumi ini bertentangan dengan akal kecuali hadist itu lemah atau palsu. Akal telah membenarkan syariat dalam segala hal yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala hal yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan akal.

Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun, terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau demikian itu terjadi maka jangan salahkan dalil namun curigailah akal. Bisa jadi, akal tidak mampu memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu sendiri tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil maka ia pasti benarnya. Ini berangkat dari ajaran Al-Quran dan As-Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para sahabat yang berpengalaman bersama Nabi dan mengalami kejadian turunnya Wahyu. Seperti dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab, Wahai manusia, tuduhlah/curigailah akal kalian terhadap agama ini. Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan nabi dengan pendapatnya, walaupun setelah itu tunduk. Pada akhirnya beliau melihat ternyata maslahat keputusan Nabi sungguh sangat besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya. Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan, Jika antara dalil naqli dengan akal bertentangan, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh dibawah kaki. Tempatkan (Akal) dimana Allah meletakkannya dan menempatkan para pengkultusnya. Abdul Muzhaffar As-Samani ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah, berkata, Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya maka terima dan bersyukur kepada Allah dimana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah lalu menuduh akal mereka. Sesungguhnya keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang benar sedang pendapat manusia kadang benar dan kadang salah. Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan kepada orang-orang yang tetap mengedapankan akalnya dengan perkataan, Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bidah mengatakan, Tinggalkan kami dari Al-Quran dan hadist ahad dan tampilkan akal, maka ketauhilah ia adalah Abu Jahal. Hadist Tentang Akal Agama adalah akal, barang siapa yang tidak punya agama maka ia tidak punya akal. Hadist diatas atau yang semakna dengannya begitu masyhur. Tak jarang kita mendengarkannya dari para khatib dan muballigh, bahkan menjadi salah satu landasan mereka yang mengkhultuskan akal. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukannya dalam timbangan kritik hadist, mari kita melihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadist abad ini. Beliau mengatakan :

Hadist ini batil. Diriwayatkan oleh An-nasai dalam kitabnya Al-Kuna dan Ad-Dulabi meriwayatkan darinya dalam kitabnya Al-Kuna wal Asma (2/104) melalui seorang perawi bernama Bisyr bin Ghalib bin Bisyr bin Ghalib dari Az-Zuhri dari Mujammi bin Jariyah dari pamannya sampai kepada Nabi tanpa kalimat Agama adalah akal. An-NasaI mengatakan: Hadist ini batil,mungkar. Saya katakana: Sebabnya adalah karena Bisyr ini majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizanil Itidal fi Naqdir Rijal dan oleh Ibnu hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Lisanul Mizan. Al-Harits bin Abu Usamah meriwayatkan dalam musnad-nya dari seorang perawi bernama Dawud bin Al-Muhabbir sebanyak tigapuluh sekian hadist yang menerangkan tentang keutamaan akal. Ibnu Hajar mengomentarinya: Semuanya palsu (maudhu). Diantaranya adalah hadist yang kita bahas ini, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam AsSuyuthi dalam kitabnya Dzailul Laali Al-Mashnuah fil Ahadist Al-maudhuah (hal. 4-10) dan dinukil pula dari beliau oleh Al-Allamah Muhammad bin Thahir Al-Hindi dalam kitabnya Tadzkiratul maudhuat (hal. 29-30). Sedangkan Dawud bin Al-Muhabbir (tersebut diatas) dikatakan oleh Adz-Dzahabi Dia adalah penulis buku Al-Aql (Akal). Duhai seandainya ia tidak menulisnya. Al-Imam Ahmad mengatakan , Sesungguhnya dia tidak tahu tentang hadist. Abu Hatim mengatakan: hadistnya lenyap, tidak bisa dipercaya. Ad-Daruquthni mengatakan: (Hadistnya) ditinggalkan. Abdul Ghani meriwayatkan dari Ad-Daruquthni bahwa ia mengatakan, Buku Al-Aql (hadisthadistnya) dipalsu oleh Maisarah bin Abdi Rabbih. Buku itu dicuri oleh Dawud bin Al-Muhabbir lalu dirangkai sendiri sanadnya, tidak seperti sanad Maisarah, lalu dicuri oleh Abdul Aziz bin Raja kemudian dicuri oleh Sulaiman bin Isa As-Sijzi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, Diantara yang perlu diingatkan bahwa seluruh hadist yang menerangkan keutamaan akal adalah hadist-hadist yang sama sekali tidak shahih, berkisar antara lemah dan palsu. Dan aku telah meneliti hadist-hadist yang disebut oleh Abu bakr bin Abid Dunya dalam kitabnya yang berjudul Al-Aql wa Fadhluhu (Akal dan keutamaannya), maka saya dapati seperti yang tadi saya katakana, tidak sedikitpun yang shahih. Ibnul Qayyim mengatakan dalam bukunya Al-manar (hal. 25), hadist-hadist tentang akal semuanya dusta. (Diterjemahkan dari Silsilah Al-hadist Adh-Dhaifah, no. 1) Hadist lain yang semakna, yang artinya : Penegak seseorang adalah akalnya dan tiada agama bagi yang tidak memiliki akal.

Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Hadist ini maudhu (palsu). Sebabnya, diriwayatkan melalui seorang perawi bernama Dawud bin Al-Muhabbir yang telah dijelaskan diatas. (Silsilah Al-hadist Adh-Dhaifah, No. 370) Ulil Abshar berdalih dengan hadist ini untuk melegitimasi akal-akalannya, padahal nyata kepalsuan atau kebatilan hadist tersebut, sementara di sisi lain ia tidak lagi menganggap hadist nabi sebagai sumber hukum. Memang aneh dan sangat tidak ilmiah sekali argumentasi yang dipaparkan Ulil Abshar dan orang-orang JIL. (Penulis : Qomar Suaidi ZA, Lc )

Share this:

Twitter

Like this:
Suka Be the first to like this post.
^_^ Kedudukan Akal Di Dalam Islam ^_^ Rasulullah sholallohu alaihi wasallam adalah seorang yang maksum yang terjaga dari kesalahan.Beliau pun,tidak jarang menyampaikan berita yang ghaib yang diluar kemampuan akal manusia. Dan Para shahabat Rodhiyallohu Anhum_adalah generasi terbaik keimanannya sehingga mereka selalu bersikap mendengar dan taat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun digenerasi terakhir ini semakin banyak orang yang dijuluki ulama oleh pengikutnya sangat menjunjung tinggi kedudukan rasio, sehingga nash yang tidak masuk akal ditolaknya. Dimanakah posisi Akal didalam Islam ?[Insya Allah tulisan ini sedikit memberikan gambaran dalam perkara ini]. Beberapa Atsar para Shahabat rodhiyallohu anhum , tentang pengutamaan Nash (dalil) di atas Akal/rasio. 1. Dari Ali bin Abi Thalib rodhiyallou anhu, dia berkata :"Andaikata agama itu cukup dengan ra'yu (aka), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khufnya."[HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33] 2. Dari Umar bin Al-Khaththab rodhiyallohu anhu, dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad :"Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu."[HR. Bukhari dan Muslim] 3. Dari Ibnu Umar rodhiyallohu anhu, dia berkata :"Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah kalian mencegah istri-istrimu (untuk

mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta izin kepada kalian."Salim bin Abdullah berkata, "Lalu Bilal bin Abdullah berkata, 'Demi Allah, kami akan mencegah mereka'."Kemudian Salim berkata, "Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu.Dia berkata, "Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau berkata,'Demi Allah, aku benar-benar akan mencegahnya ??[HR. Muslim] 4. Dari Imran bin Hushain rodhiyallohu anhu, dia berkata :"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu itu adalah kebaikan seluruhnya." Lalu Busyair bin Ka'ab berkata, "Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat kelemahan." Lalu Imran berkata, "Aku memberitahukan dari Rasulullah, lalu engkau datang untuk menentang ? Aku tidak akan memberitahukan satu hadits pun yang kuketahui."[HR. Bukhari dan Muslim] 5. Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas rodhiyallo anhu :"Engkau telah menyesatkan manusia.""Apa itu wahai Urayyah ?", tanya Ibnu Abbas.Urwah menjawab, "Engkau memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal hari-hari itu tidak ada umrah."Ibnu Abbas bertanya, "Apakah engkau tidak bertanya mengenai masalah ini kepada ibumu ?"Urwah menjawab, "Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukan hal itu."Ibnu Abbas berkata, "Inilah yang membuat kalian rusak.Demi Allah, aku tidak melihat melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa. Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, namun kalian menjawab dengan diri Abu Bakar dan Umar.."[Hr. Imam Ahmad dan Al-Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih] Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata,"Semoga Allah merahmati Ibnu Abbas.Bagaimana andaikata dia tahu sekian banyak orang yang menentang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan menggunakan perkataan Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan, Bisyr AlMaraisy, Abul Huzail Al-Allaf, dan orang-orang yang se-aliran dengan mereka ?" Dapat kami katakan (Syaikh Ali Hasan-hafidhahulloh),"Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim.Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang Rasionalis [Mu'tazillah gaya Baru-Jamaah Islam Liberalis] abad ke dua puluh ini, yang menentang Sunnah hanya dengan menggunakan Akal atau Rasionya yang serba terbatas, dengan gambaran-gambaran yang rusak dan dengan pendapat yang hina ??"

Anda mungkin juga menyukai