Anda di halaman 1dari 5

Prinsip-Prinsip Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam

Oleh: Ali Syafiq*

Prinsip, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah asas; pokok; penting;
permulaan; fundamen; dan aturan pokok. Prinsip hidup, misalnya, dapat diartikan dengan
pondasi yang paling kokoh dalam alur kehidupan ini. Dalam contoh tersebut, prinsip adalah
patokan yang dipakai seseorang untuk menjadi sukses dalam dunia pendidikan, sosial
kemasyarakatan. Prinsip tersebut tidak boleh hanya tumbuh didalam hati, tetapi juga harus
punya relevansi dengan usaha agar dapat memuluskan jalannya prinsip tersebut.
Martabat Islam tergantung pada para generasi yang mempertahankannya. Agar terus
terjaga, maka mereka harus mempunyai sebuah prinsip yang baik, yang antara lain:
A. Adanya pembatasan lingkup pengetahuan
Sebenarnya manusia berhak untuk mempelajari, memikirkan, dan mengambil apa saja
yang berguna baginya dari ilmu yang tersedia dialam sekitar. Setiap orang harus memiliki
interpretasi yang cukup luas terhadap kajian isu keislaman sekaligus juga tahu batas.
Pembatasan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang tertanam didalam akalnya
terhadap sesuatu yang sulit dicerna oleh akal sehatnya. Marilah setiap muslim berpikir
tentang ciptaan Allah, rahasia penciptaan alam semesta. Namun selayaknya ia tidak
menerobos batas hingga memikirkan seperti apakah dzat Allah SWT, bagaimana Allah lahir,
dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan hal supranatural yang tidak dapat dijangkau
oleh ilmu pengetahuan atau dunia empiris.
Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 190-191 menyatakan bahwa: ”Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. [3]: 190-191)
Allah SWT memperbolehkan manusia untuk memikirkan ciptaannya yang ada di
alam ini, misalnya manusia diciptakan dalam bentuk laki-laki dan perempuan yang memiliki
perbedaan fisik dan psikologi, gunung yang megah dan tinggi dan berbagai contoh lain.
Diharapkan dengan hal itu manusia akan menjadi lebih beriman dan bertakwa pada Allah
SWT.
Sebaliknya, Allah kurang berkenan pada manusia yang mencari apa yang tidak dapat
dijangkaunya. Hal itu karena sebagian hal yang supernatural tersebut merupakan hal yang
transenden, yang berada jauh diluar alam. Karena tidak terjangkau akal, maka perkara-
perkara tersebut kerap menimbulkan kesesatan, kesalahan tafsir. Allah berfirman: “Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85)
Dari kedua ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam mendorong kita untuk
menjauhi pengetahuan yang tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh akal sehat
manusia yang berpotensi fatal yakni mengakibatkan seseorang lari dari ketauhidan
(keimanan). Al-Qur’an menganjurkan para ilmuwan muslim untuk lebih memperhatikan
aspek fisik yang lebih nyata dan kentara manfaatnya.
B. Adanya keshahihan
Di dalam belajar, kita pasti sering menemui salah satu dari hal yang qath’i/pasti
(yakin) dan dzan (ragu-ragu). Ilmu pengetahuan ada kalanya menjadi sesuatu yang pasti dan
memiliki nilai kemutlakan dan kebenaran dari berbagai sudut pandang. Namun terkadang ada
kalanya suatu ilmu pengetahuan hanya benar disatu sisi dan tidak benar benar disisi yang
lain.
Islam tidak memberatkan pemeluknya. Islam memberikan kelonggaran pada orang
yang belum meyakini suatu ketetapan. Ayat berikut menjelaskan hal itu: ”Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
(QS. Al-Isra’ [17]: 36)
Dan juga di tambah dengan surat An-Nur 15 yakni: Artinya: “(Ingatlah) di waktu
kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu
apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.
Kita diharapkan memiliki pembatasan terhadap keshahihan dan nilai dalam
memperoleh berbagai pengetahuan dalam peradaban manusia didunia ini. Kita dilarang
membohongi orang, menyampaikan pemberitaan dan pengetahuan yang salah, dan berbagai
tindakan yang bisa merusak citra kita sebagai muslim. Alangkah indahnya jika para penuntut
ilmu sama-sama mengedepankan nilai kejujuran dan ketulusan. Tentu tidak akan ada lagi
plagiator, penipu, dan ilmuwan curang.
C. Komitmen dan berpegang teguh pada kebenaran (al-haq)
Komitmen adalah pondasi yang paling kokoh bagi siapa saja yang berusaha mencapai
sesuatu. Sebagai komitmen atas janjinya beriman pada Allah, tugas seorang muslim adalah
mencari kebenaran, bertitik tolak pada kebenaran itu, dan kemudian mengambil segala
sesuatu yang benar. Ia pertama harus mencari Allah dan pengetahuan atas tauhid pada Allah.
Selanjutnya ia harus memakai hal itu sebagai prinsip dan pegangan hidupnya. Selanjutnya ia
harus mengenal segala sesutau yang berhubungan dengan keimanan pada Allah itu. Ia harus
pula beriman pada malaikat, kitabullah, rasulullah, hari akhir dan takdir. Ia harus pula
mengetahui cara beribadah dan bermuamalah.
Hal ini termaktub dalam surat Shaad: “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita
bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu
ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi
Allah adalah besar.” (QS. Shaad [38]: 26)
Komitmen berarti patuh pada peraturan yang sudah ia sepakati. Orang yang hanya
mengikuti hawa nafsunya akan berusaha bagaiman caranya agar ia tidak kalah dengan orang
lain, kehilangan komitmennya sebagai muslim yang baik.
D. kritis,teliti, dan selektif
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’
kepadamu: ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu
jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka
telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]:
94 (
Allah SWT juga menyebutkan didalam surat Al-Hujurat: “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49]:
6)
Manusia harus terus memiliki ketelitian, sifat kritis dan selektif dalam mencari dan
mengajarkan ilmu pengetahuan. Ia harus menjadi muslim yang baik dan mempuyai
intelektual yang tinggi. Selain itu ia tidak boleh gampang percaya pada satu opini/isu. Semua
harus dibuktikan dahulu agar tidak ada saling tuduh-menuduh.
E. Menjaga pemikiran antara hasil pemikiran dan orangnya
Begitu banyak pemikiran yang kita terima. Syahdan hal itu berpotensi membuat
seseorang bingung membedakan manakah ilmu yang baik dan yang buruk. Tentunya hasil
pemikiran yang benar dari siapapun harus diterima (taken for granted). Sebaliknya juga
semacam itu pemikiran yang buruk dari siapapun maka harus ditolak secara saklek karena
akan mempengaruhi terhadap pola pemikiran kita. Tentu mudah menerapkan standar. Kita
tinggal melihat apakah pemikiran tersebut sesuai dengan Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas.
Harus ada keseimbangan antara ilmu yang disampaikan dan hasil pemikiran yang
diungkapkannya.
F. Jujur.
Dalam mengambangkan dan menuntut ilmu pengetahuan, kejujuran adalah salah satu
pilar terpenting. Kejujuran merupakan sikap islami. Perintah kejujuran ditandai dalam Al-
Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]: 119)
”Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar [39]: 33)
Nabi Muhammad, penyebar agama Islam sellu mempraktikkan sifat jujur dalam
segala aktifitas beliau. Karena itu seorang peneliti barat, Michael H. Hart, tak segan
menempatkan beliau sebagai yang pertama dalam daftar 100 orang terhebat dunia.
E. Menghindar dari hal-hal yang menghancurkan pemikiran dan tujuannya
1. Ketidakjujuran
Seseorang diharuskan untuk menghindari ketidakjujuran dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam persepektif Islam. Hal ini karena ketidakjujuran merupakan suatu
sifat yang tidak terpuji.
Al-Qur’an menyatakan dalam surat Ali Imran [3] ayat 94 bahwa salah satu ciri orang
zalim adalah ia selalu mendustakan terhadap Allah. Seseorang yang zalim akan
berkata bahwa Allah telah menetapkan hukum atas sesuatu jauh sebelum Al-Qur’an
diturunkan, jadi kitab suci tersebut sudah tidak berfungsi apa-apa.
Juga dalam surat Thaha [20] ayat 61 dinyatakan bahwa nabi Musa berkata pada
kaumnya: "Celakalah kamu, janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap
Allah, maka Dia membinasakan kamu dengan siksa."
2. Merahasiakan kebenaran
kebenaran adalah sesuatu yang tidak boleh dirahasiakan akan tetapi kebenaran dapat
dirahasiakan apabila kita dalam keadaan darurat,karena di daam ushul fiqih
disebutkan bahwa dalam masalah yang berbahaya dibolehkan merahasiakan
kebenaran.
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil)
mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan
sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal
mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 146)
Ayat tersebut dilanjutkan oleh:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 159)
3. Mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil
4. Mengungkapkan ilmu tanpa didasari ilmu
5. Enggan menerima kebenaran
Dalam surat al-hijr 14-15 disebutkan:
”Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu)
langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata:
"Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang
orang yang kena sihir."
Prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas bukan hanya harus dipahami oleh
kaum muslim, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat
mengembangkan pengetahuan yang semakin modern dengan kerangka islami.

*Penulis adalah Alumni Santri PP. Miftahul Huda, Malang.

Anda mungkin juga menyukai