Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“HALAL, HARAM, DAN SYUBHAT”

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Hadist-hadist Ekomomi
dan dipresentasikan di Kelas AKSYA-6A

DOSEN PENGAMPU

ARIF HENDRA ERIZAL, Lc, MA

OLEH KELOMPOK 1
JOKO NOVANDI NIM: 1930403050
M. AL HUSEIN HABIBULLOH NIM: 1930403057
M. REZA ARYA PRATAMA NIM: 1930403058

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
T.A 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menjalankan kehidupan ini
dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga dengan rahmat Allah
tersebut kami menyesuaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Shalawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang mana beliau telah bersusah payah dan telah berjasa dalam menegakkan
Agama Islam di mukabumi ini.

Dengan selesainya penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak yang dengan ikhlas memberi bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada
pemakalah. Sehingga bisa terselesaikannya tugas ini. semoga bantuan dan dukungan
yang diberikan kepada pemakalah baik secara moril maupun materil diterima dan
dibalas oleh Allah SWT. Pemakalah menyadari bahwa

Tulisan ini masih jauh dari kata sempurna baik materi, penganalisaan, dan
pembahasannya. Semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman
yang ada pada pemakalah. Oleh karena itu pemakalah sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Batusangkar, Maret 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Kriteria Halal, Haram, dan Syubhat ............................................................. 3
B. Menjauhi Hal-hal yang Meragukan ............................................................... 9
C. Usaha yang Halal ........................................................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harapan atau idealitas seseorang di dunia telah diberikan pedoman dan


tuntunannya oleh agama Islam, yiatu al-Qur‟an dan Hadis. Dua kitab
pedoman tersebut merupakan pusaka yang harus dipegang teguh dalam
keyakinan dan dipedomani sepanjang hidup.
Hadis atau Sunnah Nabi saw merupakan tuntunan praktis al-Qur‟an,
sekaligus menjadi bentuk perhatian dan kasih sayang Nabi saw kepada
umatnya untuk selalu berada dalam lintasan yang lurus. Nabi Muhammad
SAW memberikan rincian-rincian petunjuk agar umatnya mudah
memahaminya dan mengamalkannya demi tercapainya harapan hiup, yaitu
mendapatkan keselamatan hidup di duni dan di akhirat.
Salah satu aturan dan tuntunan yang penting dalam kehidupan umat
manusia dan terutama umat Islam adalah prihal kehalalan dan keharaman
sesuatu, baik berupa sikap, maupun berupa makanan/minuman. Kedua hal itu
menjadi urgen diketahui karena di antara keduanya terdapat hal yang disebut
syubhat (keragu-raguan atau ketidakjelasan antara halal dan haram)
Nabi Muhammad SAW menghendaki agar umatnya menaruh perhatian
pada hal-hal yang halal dan memperhatikan segala hal yang haram untuk
mengetahui hal-hal di antara halal dan haram (subhat).
Persoalan halal, haram, dan syubhat memiliki andil besar dalam
menentukan keselamatan hidup setiap orang. Dengan demikian, petunjuk al-
Qur‟an dan tuntunan Nabi SAW menjadi penting untuk diketahui.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kriteria Halal, Haram, dan Syubhat


2. Bagaimana Meninggalkan Hal-hal yang Meragukan

1
2

3. Bagaimana Usaha yang Halal

C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mendeskripsikan Kriteria Halal, Haram, dan Syubhat


2. Untuk Mendeskripsikan Meninggalkan Hal-hal yang Meragukan
3. Untuk Mendeskripsikan Usaha yang Halal
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kriteria Halal, Haram, dan Syubhat

Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persolan yang
sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman, karena setiap muslim
yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu
sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan
keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau
mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri
seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram sehingga
sebagian ulama menyatakan, “Hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan
tentang halal dan haram”.
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka dan tidak suka.
Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai membuat-buat hukum atau
tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang agama.
Firman Allah sebagai berikut:

              

              

Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al- A‟raf : 33)

3
4

Dalam firman-Nya yang lain Allah secara tegas melarang tahakkum


(penetapan hukum tanpa didasari argument), dalil. Ini dapat dipahami dari
ayat berikut :

           

           

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.” (Q.S An-Nahl : 116)

Atas dasar itu, penentuan halalharam hanyalah hak prerogatif Allah.


Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu, termasuk
bidang pangan, harus didasarkan pada al-Quran, Sunnah, dan kaidah-kaidah
hukum, yakni pedoman yang dapat dipertanggungjawabkan secara syari‟ah.1

Abu Abdillah Nu'man bin Basyir ra. berkata, Aku mendengar


Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang
haram pun telah jelas. Sedangkan diantaranya ada masalah yang samar -
samar (syubhat) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)- nya.
Barang siapa menghindari yang samar - samar, maka ia telah membersihkan
agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke dalam yang samar -
samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti
penggembala yang berada di dekat pagar (milik orang lain); dikhawatirkan
ia akan masuk ke dalamnya.”

1
Rahmadani, Gema. "Halal dan Haram dalam Islam." Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 2.1 (2015):
hlm. 20-26.
5

Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki pagar (aturan). Ketahuilah,


bahwa pagar Allah adalah larangan - larangan-Nya. Ketahuilah, bahwa di
dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula
seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya.
Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (hr. Bukhari dan
Muslim)2

1. Halal
Kata halal, berasal dari bahasa arab berakar dari kata halla-yahillu-
hillan yang artinya membebaskan, melepaskan, memecahkan,
membubarkan, dan membolehkan. Secara etimologi, kata halal berarti hal-
hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan yang melarangnya, atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan akhirat. Dalam konteks pangan,
makanan halal adalah makanan yang boleh dikomsumsi, diproduksi dan
dikomersialkan.
Secara terminologi istilah diartikan dengan dua pengertian yaitu 1).
Segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakannya. 2). Sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syarak.
Imam al-Jurjani, ahli bahasa Arab dalam kitabnya “at-Ta‟rifat”
menjelaskan bahwa defenisi pertama di atas menunjukkan bahwa kata
halal menyangkut kebolehan menggunakan benda – benda atau apa saja
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasukdi dalamnya
makanan, minuman dan obat – obatan. Adapun defenisi kedua berkaitan
dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan
sesuatu yang kesemuanya ditentukan oleh nash.

2
Imam An-Nawawi, “Hadist Arbain An-Nawawiyah Terjemah Bahasa Indonesia” (Surabaya : AW
Publisher , 2005), hlm 8
6

Yusuf Qardhawi mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu


yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang
melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt. Karenanya, yang
berhak dan berwenang untuk menentukan kehalalan segala sesuatu adalah
Allah SWT. Hal ini sesuai dengan beberapa dalil dari al-Qur‟an dan
hadits, seperti pada QS. As-Syuura ayat 21, QS. At-Taubah ayat 31, dan
QS. Yunus ayat 59.4 Manusia tidak memiliki sedikitpun kewenangan
dalam hal ini. Rasulullah SAW bersabda:

ٍ‫ فاقبهٕا ي‬، ‫ ٔيا سكت عُّ فٕٓ عافية‬، ‫ ٔيا حسو فٕٓ حساو‬، ‫يا أحم ْهال يف كتابّ فٕٓ حانم‬
(‫ يث تال ْرِ اآنية ) ٔيا كاٌ زبك َسيا‬، ‫ فإٌ ْهال يم يكٍ َسيا‬، ‫ْهال انعافية‬

“Apa yang Allah halalkan pada kitab sucinya, maka ia adalah halal, dan apa yang
diharmkan maka ia adalah haram, dan apa yang didiamkan maka itulah yang ditoleransi,
maka terimalah apa yang ditoleransi, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa, kemudian
Rasulullah membaca ayat “dan Tuhanmu tidak pernah lupa”. (HR.ad-Darulqutni, al-Hakim,
ath-Thabrani)

Halal adalah suatu istilah dalam ilmu yang berhubungan dengan


ketentuan hukum, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dibolekan,
dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh syara‟.3

2. Haram
Adapun lawan dari yang halal adalah haram. Secara etimologis,
Haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh
dilanggar. Haram dan Mahzhûr adalah dua istilah untuk konotasi yang
sama. Keduanya merupakan sinonim (mutarâdif). Menurut syara‟ adalah
apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana

3
Hasballah, Zamakhsyari. "HALAL, HARAM DAN SYUBHAT DALAM SYARI‟AT ISLAM." (2018):
hlm. 2-4
7

pelakunya akan dikecam, dikenai sanksi ketika di dunia dan adzab ketika
di akhirat.
Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk
larangan yang tegas disertai dalil qath‟î, namun jika tidak disertai dalil
qath‟î, mereka sebut dengan Makrûh tahrîm. Meskipun sebenarnya, dua-
duanya maksudnya sama.
Selain itu, haram juga biasa dinamakan dengan mahzur, maksiat,
mutawa‟ad alaih, mazjur „anhu, mamnu‟, fahisyah, itsm, zanb, haraj,
tahrij, dan uqubah. Kesemua istilah ini menunjukkan segala sesuatu atau
perkara-perkara yang dilarang oleh syara‟ (hukum Islam), jika perkara
tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan
berpahala. Seperti: perbuatan zina, mencuri, minum khamar dan yang
semisalnya.
Haram, Hazhar atau Makrûh Tahrîm ini bisa diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu haram substantial (lidzâtihi) dan haram aksidental
(lighayrihi):
a. Haram Substantial (lidzâtihi)
Haram jenis ini diartikan apa yang dituntut untuk ditinggalkan
dengan tuntutan yang tegas, karena substansinya. Misalnya zina, riba,
membunuh dan suap. Haram jenis ini tidak akan pernah menjadi boleh
atau disyari‟atkan, mengingat pelarangan untuk melakukannya telah
disebutkan sejak awal dalam suatu perintah syara‟. Jika seorang
mukallaf melakukan haram jenis ini, ia menjadikan dirinya dihadapkan
dengan hukuman dan balasan buruk dari Allah, dan ia tidak akan
memperoleh sebarang dampak baik ataupun manfaat dari
melakukannya.
Sebagai contoh, zina tidak akan pernah menjadi sebab tetapnya
nasab bagi anak kepada ayahnya, begitu pula menikah dengan
8

mahram. Karena larangan melakukan perbuatan yang demikian


kembali pada zat perbuatan itu, bukan pada lainnya.
b. Haram Aksidental (Lighayrihi)
Haram kedua ini diartikan apa yang dituntut untuk ditinggalkan
dengan tuntutan yang tegas, bukan karena substansinya, namun karena
faktor eksternal. Pada dasarnya suatu yang dihukumi haram pada jenis
ini pada dasarnya disyari‟atkan, akan tetapi karena adanya sesuatu
yang diharmkan terkait dengannya, maka hukumnyapun menjadi
haram.
Misalnya menghina tuhan-tuhan para penganut agama lain,
hukum asalnya dibolehkan, bahkan bisa jadi wajib. Namun, Allah
melarangnya karena bisa menyebabkan mereka menghina Allah. Allah
berfirman.

               

          

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S Al-An‟am : 108)4

3. Syubhat
Sedangkan syubhat, secara bahasa artinya adalah Al Mitsl (serupa,
mirip) dan iltibas (samar, kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu

4
Ibid,. hlm. 4-5
9

yang dinilai syubhat belum memiliki hukum yang sama dengan haram
atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip
haram bukanlah haram. Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau
haramnya, masih samar dan gelap.
Syubhat artinya samar atau kurang jelas. Maksudnya disini ialah
setiap perkara/persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya
bagi manusia. Adapun yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya masih
dalam pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan
semacam itu termasuk sifat wara‟. Para Ulama berbeda pendapat
mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan Rasulullah. Pada hadits
tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari
yang samarsamar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan
kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram.
Nabi bersabda : “Dari Al-Husain bin Ali r.a ia berkata : Saya selalu
ingat pada sabda Rasulullah Saw, yaitu:

‫دع يا يسيبك إَل ياال يسيبك‬

“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah


sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmizy)5

B. Menjauhi Hal-hal yang Meragukan

Salah satu syariat agama islam adalah meninggalkan segala sesuatu


yang meragukan. Perintah mengenai ini ditemukan dalam hadist kesebelas
dalam hadist Arbain karya Imam Nawawi, hadist tersebut berbunyi : Abu
Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra., cucu kesayangan Rasulullah

5
Ibid,. hlm. 6
10

saw. berkata, Aku telah hafal sabda Rasulullah saw., "Tinggalkan perkara
yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu." (HR.
Tirmidzi dan Nasa'i, Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan shahih")6
Faedah Hadist:
1. Agama Islam tidak menghendaki umatnya memiliki perasaan ragu dan
bimbang.
2. Jika Anda menginginkan ketenangan dan ketentraman, tinggalkanlah
keraguan dan buang jauh-jauh, terutama setelah selesai melaksanakan
suatu ibadah sehingga engkau tidak merasa gelisah.
3. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam menyampaikan sesuatu dengan
singkat, namun begitu luas maknanya. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-„Utsaimin rahimahullah, “Seandainya seseorang membuat penafsiran
atau penjelasan mengenai hadits ini dalam satu jilid buku yang sangat
tebal, niscaya kandungan dua kalimat ini akan melebihinya.”
4. Syari‟at Islam itu membawa kemudahan.
5. Hadits ini mengandung pelajaran agar kita diam terhadap perkara syubhat
dan meninggalkannya. Kalau sesuatu yang halal tentu akan mendatangkan
ketenangan, sedangkan sesuatu yang syubhat mendatangkan keragu-
raguan.
6. Bentuk wara‟ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu
mengambil yang tidak meragukan. Hal ini dikatakan oleh Abu
„Abdirrahman Al-„Umari, seorang yang terkenal zuhud. Hal ini dikatakan
pula oleh Al-Fudhail, Hasan bin Abi Sinan.
7. Dari sekelompok sahabat seperti Umar, Ibnu „Umar, Abu Ad-Darda‟, dan
Ibnu Mas‟ud mengatakan, “Apa yang engkau inginkan dari hal yang
masih meragukan padahal di sekelilingmu ada 4.000 hal yang tidak
meragukan.”

6
Imam An-Nawawi, Op. Cit., hlm. 13-14
11

8. Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini bahwa keluar dari perselisihan
ulama itu lebih afdal.
9. Meninggal dusta dan terus menjaga kejujuran akan membawa ketenangan,
sedangkan dusta selalu membawa pada keragu-raguan.

Misalkan, kalau ada orang sudah wudhu kemudian shalat, lalu ragu-ragu
apakah sudah wudhu atau belum, maka yang dipilih adalah yang meyakinkan.
Yang meyakinkan adalah pada asalnya belum wudhu. Maka untuk
mengenyahkan keraguan, kembali berwudhu.

C. Usaha yang Halal

Manusia harus bekerja bukan hanya untuk meraih sukses di dunia ini
namun juga untuk kesuksesan di akhirat. Semua kerja seseorang akan
mengalami efek yang demikian besar pada diri seseorang, baik efek positif
dan konstruktif maupun efek negatif dan destruktif. Dia harus bertanggung
jawab dan harus memikul semua konsekuensi aksi dan transaksinya selama di
dunia ini pada saatnya nanti di akhirat yang kemudian dikenal dengan yaumul
hisab sebagaimana hari itu juga disebut sebagai yaum al-Diin.
Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Bersegeralah melakukan amal shaleh karena akan datang fitnah
yang diumpamakan bagaikan potongan-potongan dari malam yang gelap
gulita. Saat itu seorang laki-laki berada dalam keadaan beriman di waktu
pagi, namun kafir di waktu sore, dan beriman di waktu sore, lalu kafir di
waktu pagi, dia menjual agamanya dengan harta dunia”. (H.R.Muslim)7
Kata rezeki berasal dari bahasa arab yaitu razaqa yang berarti
memberikan sesuatu. Rezeki ada dua macam yakni rezeki yang diperoleh
dengan cara yang halal dan rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram.
7
Muchtar, Evan Hamzah. "KONSEP HUKUM USAHA SYARIAH DALAM AL-Qur'an SURAT AL-BAQARAH
[2] AYAT 168-169 (Studi Tematik Mencari Rezeki Halal)." Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam
2.02 (2018) hlm. 157-158
12

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata rezeki mempunyai dua
arti, yaitu pertama, rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk
memelihara kehidupan yang diberikan oleh Allah berupa makanan sehari-hari.
Kedua, yaitu kiasan dari penghidupan, pendapatan,(uang dan sebagainya yang
digunakan untuk memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan
mendapatkan makanan, dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam, rezeki merupakan anugerah nikmat yang
dikaruniakan Allah SWT kepada manusia untuk keperluan jasmani dan rohani
seperti makan, ilmu, dan sebagainya. Rezeki mempunyai maksud dan
pengertian yaitu makanan dari Tuhan, pemberian Tuhan, bekal dari Tuhan,
dan anugerah dari langit. Usaha-usaha yang dapat dilakukan manusia untuk
mendapatkan rezeki antara lain :
1. Istighfar dan Taubat
Istighfar dan taubat adalah salah satu cara yang dapat melapangkan
rezeki, setiap kali seorang hamba beristighfar dan mengakui kesalahannya
di hadapan Allah SWT dan bertaubat tidak mengulangi lagi,
sesungguhnya dalam istighfar dan taubatnya tersebut terbuka pintu rezeki.
2. Sedekah di Jalan Allah SWT
Rezeki yang telah Allah SWT limpahkan kepada hamba-Nya tidak
akan pernah berkurang jika mereka menggunakan untuk berjuang di jalan
Allah SWT, justru apa yang disedekahkan tersebut akan dilipatgandakan
di kemudian hari.
3. Taqwa
Taqwa mempunyai arti mentaati semua perintah Allah SWT,
mempercayai semua wahyu yang diturunkan, menerima dengan ikhlas
semua rezeki yang diberikan dan percaya kepada hari akhir. Taqwa
merupakan salah satu kunci lapangnya rezeki.
13

4. Berhijrah di Jalan Allah SWT


Hijrah disini mempunyai maksud berpindah dari tempat yang penuh
dengan kemaksiatan dan hal yang buruk berpindah ke tempat yang dapat
menjaga dan menyelamatkan ibadah dan agama. Allah SWT telah
menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun rezeki tidak akan
diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha. Islam mengajarkan bahwa
apabila peluang kerja di tempat tinggal asal tertutup, maka orang-orang
yang mengalami hal tersebut dianjurkan untuk merantau (hijrah) untuk
memperbaiki kondisi kehidupan orang tersebut.
5. Bekerja/berwirausaha dengan Niat Tawakal Kepada Allah SWT
Tawakal disini adalah melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-
sungguh dan meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan rezeki sampai
kepada manusia dengan berbagai cara sesuai dengan kehendak Allah
SWT.

Banyak hadits yang membicarakan tentang keutamaan rezeki yang


halal, tidak akan meninggal orang sampai rezekinya habis, rezeki, jodoh dan
ajal sudah menjadi ketetapan Allah sehingga tidak akan tertukar rezeki antar
hambanya. Berikut hadist- hadist tentang usaha yang halal:

‫اض شَ َياٌ َل يُبَا ِني ْان ًَ ْس ُء ِب ًَا أ َ َخرَ ْان ًَا َل أ َ ِي ٍْ َح َالل أ َ ْو ِي ٍْ َح َساو‬ َ ٍَ‫نَيَأْتِي‬
ِ ُ‫عهَى ان‬

Artinya: “Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak
lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang
halal ataukah dengan cara yang haram“. [HR Bukhari].

ُ ُ‫إَُِّ َل يَ ْد ُخ ُم ْان َجُةَ نَحْ ى ََبَتَ ِي ٍْ سُحْ ت ان‬


ِّ ِ‫از أ َ ْٔنَى ب‬

Artinya: “Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh


dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya“. [HR Ahmad dan Ad
Darimi].
14

‫ت‬ ِ ‫سًاعٌَُٕ ِن ْه َك ِر‬


ِ ْ‫ب أَكانٌَُٕ ِنهسُّح‬ َ

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita


bohong, (lagi) banyak memakan yang haram“. [Al Maidah:42].

Imam Al Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya, bahwa salah satu


bentuk memakan makanan yang haram adalah dengan cara menerima suap.
Nabi Muhammad sallalahu „alaihi wa sallam mewajibkan supaya umatnya
mencari harta yang halal. Karena nanti kelak di akhirat, ada dua pertanyaan
yang berkaitan dengan harta yang kita niliki, tentang asal harta dan bagaimana
memanfaatkannya.

Sebagaimana hadits dari Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu „anhu,


beliau bersabda:

َ َٔ ُِ‫س ِد ِِ فِي ًَا أَب َْال‬


ٍْ ‫ع‬ َ َٔ ُِ‫ع ًُ ِس ِِ فِي ًَا أ َ ْفَُا‬
َ ‫ع ٍْ َج‬ ُ ٍْ ‫ع‬ َ ‫عبْد يَ ْٕ َو ْان ِقيَا َي ِة َحتى يُسْأ َ َل‬
َ ‫ع ٍْ أ َ ْزبَع‬ َ ‫َل ت َُصٔ ُل قَدَ َيا‬
َ ‫ع ٍْ ِع ْه ًِ ِّ َياذَا‬
ِّ ‫ع ًِ َم فِي‬ َ َٔ َُّ‫ضع‬ َ َ ‫َيا ِن ِّ ِي ٍْ أَيٍَْ ا ْكت‬
َ َٔ ‫سبَُّ َٔفِي ًَا‬

Artinya: “Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari
Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya
untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang
hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya,
dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan.” [HR At Tirmidzi dan
Ad Darimi].8

8
Ramadhan, Bagus Mohamad, dan Muhamad Nafik Hadi Ryandono. “Etos Kerja Islami terhadap
Kinerja Bisnis Muslim di Pasar Besar Madiun.” Jurnal Teori dan Penerapan Ekonomi Syariah 2.4
(2015) hlm. 274-278
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian dapat disimpulkan bahwa, pertama; Halal adalah


segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang
melakukannya tidak dikenakan sanksi dari Allah SWT. Haram adalah sesuatu
yang tidak boleh dilanggar. Menurut syara' adalah apa yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya akan dikecam,
dikenai sanksi ketika di dunia dan diazab ketika di akhirat. Sedangkan syubhat
adalah setiap perkara/persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan
haramnya bagi manusia. Adapun yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya
masih dalam pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan
semacam itu termasuk sifat wara‟.
Berdasarkan hadist riwayat Tirmidzi dan Nasa‟I yang berbunyi: Abu
Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra., cucu kesayangan Rasulullah
saw. berkata, Aku telah hafal sabda Rasulullah saw., "Tinggalkan perkara
yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu." Dapat
diketahui bahwa Agama Islam tidak menghendaki umatnya memiliki perasaan
ragu dan bimbang. Jika Anda menginginkan ketenangan dan ketentraman,
tinggalkanlah keraguan dan buang jauh-jauh, terutama setelah selesai
melaksanakan suatu ibadah sehingga engkau tidak merasa gelisah. Hadits ini
mengandung pelajaran agar kita diam terhadap perkara syubhat dan
meninggalkannya. Kalau sesuatu yang halal tentu akan mendatangkan
ketenangan, sedangkan sesuatu yang syubhat mendatangkan keragu-raguan.
Rezeki merupakan anugerah nikmat yang dikaruniakan Allah SWT
kepada manusia untuk keperluan jasmani dan rohani seperti makan, ilmu, dan
sebagainya. Rezeki mempunyai maksud dan pengertian yaitu makanan dari
Tuhan, pemberian Tuhan, bekal dari Tuhan, dan anugerah dari langit. Usaha-

15
16

usaha yang dapat dilakukan manusia untuk mendapatkan rezeki antara lain:
istighfar dan taubat, sedekah di jalan Allah SWT, Taqwa, berhijrah di jalan
Allah SWT, bekerja/berwirausaha dengan niat tawakal kepada Allah SWT.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam pembuatan


makalah ini, baik dari penulisan maupun kelengkapan materi. Oleh karena itu
pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang baik untuk menimalisir
kekurangan tersebut dan diharapkan agar pembuatan makalah selanjutnya
dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Hasballah, Zamakhsyari. "HALAL, HARAM DAN SYUBHAT DALAM SYARI‟AT


ISLAM." (2018)

Imam An-Nawawi, “Hadist Arbain An-Nawawiyah Terjemah Bahasa Indonesia”


(Surabaya : AW Publisher , 2005)

Muchtar, Evan Hamzah. "KONSEP HUKUM USAHA SYARIAH DALAM AL-Qur'an


SURAT AL-BAQARAH [2] AYAT 168-169 (Studi Tematik Mencari Rezeki
Halal)." Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 2.02 (2018)

Rahmadani, Gema. "Halal dan Haram dalam Islam." Jurnal Ilmiah Penegakan
Hukum 2.1 (2015)

Ramadhan, Bagus Mohamad, dan Muhamad Nafik Hadi Ryandono. “Etos Kerja
Islami terhadap Kinerja Bisnis Muslim di Pasar Besar Madiun.” Jurnal Teori
dan Penerapan Ekonomi Syariah 2.4 (2015)

17

Anda mungkin juga menyukai