Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Hadist-hadist Ekomomi
dan dipresentasikan di Kelas AKSYA-6A
DOSEN PENGAMPU
OLEH KELOMPOK 1
JOKO NOVANDI NIM: 1930403050
M. AL HUSEIN HABIBULLOH NIM: 1930403057
M. REZA ARYA PRATAMA NIM: 1930403058
Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menjalankan kehidupan ini
dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga dengan rahmat Allah
tersebut kami menyesuaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Shalawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang mana beliau telah bersusah payah dan telah berjasa dalam menegakkan
Agama Islam di mukabumi ini.
Dengan selesainya penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak yang dengan ikhlas memberi bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada
pemakalah. Sehingga bisa terselesaikannya tugas ini. semoga bantuan dan dukungan
yang diberikan kepada pemakalah baik secara moril maupun materil diterima dan
dibalas oleh Allah SWT. Pemakalah menyadari bahwa
Tulisan ini masih jauh dari kata sempurna baik materi, penganalisaan, dan
pembahasannya. Semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman
yang ada pada pemakalah. Oleh karena itu pemakalah sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1
2
C. Tujuan Masalah
Dalam ajaran (hukum) Islam, halal dan haram merupakan persolan yang
sangat penting dan dipandang sebagai inti keberagaman, karena setiap muslim
yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi mengkonsumsi sesuatu
sangat dituntut oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan
keharamannya. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan, menggunakan atau
mengkonsumsinya; namun jika jelas keharamannya, harus dijauhkan dari diri
seorang muslim. Sedemikian urgen kedudukan halal dan haram sehingga
sebagian ulama menyatakan, “Hukum Islam (fiqh) adalah pengetahuan
tentang halal dan haram”.
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu
tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka dan tidak suka.
Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai membuat-buat hukum atau
tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang agama.
Firman Allah sebagai berikut:
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al- A‟raf : 33)
3
4
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.” (Q.S An-Nahl : 116)
1
Rahmadani, Gema. "Halal dan Haram dalam Islam." Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 2.1 (2015):
hlm. 20-26.
5
1. Halal
Kata halal, berasal dari bahasa arab berakar dari kata halla-yahillu-
hillan yang artinya membebaskan, melepaskan, memecahkan,
membubarkan, dan membolehkan. Secara etimologi, kata halal berarti hal-
hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan
ketentuan yang melarangnya, atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan akhirat. Dalam konteks pangan,
makanan halal adalah makanan yang boleh dikomsumsi, diproduksi dan
dikomersialkan.
Secara terminologi istilah diartikan dengan dua pengertian yaitu 1).
Segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakannya. 2). Sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syarak.
Imam al-Jurjani, ahli bahasa Arab dalam kitabnya “at-Ta‟rifat”
menjelaskan bahwa defenisi pertama di atas menunjukkan bahwa kata
halal menyangkut kebolehan menggunakan benda – benda atau apa saja
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasukdi dalamnya
makanan, minuman dan obat – obatan. Adapun defenisi kedua berkaitan
dengan kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum, dan mengerjakan
sesuatu yang kesemuanya ditentukan oleh nash.
2
Imam An-Nawawi, “Hadist Arbain An-Nawawiyah Terjemah Bahasa Indonesia” (Surabaya : AW
Publisher , 2005), hlm 8
6
ٍ فاقبهٕا ي، ٔيا سكت عُّ فٕٓ عافية، ٔيا حسو فٕٓ حساو، يا أحم ْهال يف كتابّ فٕٓ حانم
( يث تال ْرِ اآنية ) ٔيا كاٌ زبك َسيا، فإٌ ْهال يم يكٍ َسيا، ْهال انعافية
“Apa yang Allah halalkan pada kitab sucinya, maka ia adalah halal, dan apa yang
diharmkan maka ia adalah haram, dan apa yang didiamkan maka itulah yang ditoleransi,
maka terimalah apa yang ditoleransi, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa, kemudian
Rasulullah membaca ayat “dan Tuhanmu tidak pernah lupa”. (HR.ad-Darulqutni, al-Hakim,
ath-Thabrani)
2. Haram
Adapun lawan dari yang halal adalah haram. Secara etimologis,
Haram diambil dari al-hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh
dilanggar. Haram dan Mahzhûr adalah dua istilah untuk konotasi yang
sama. Keduanya merupakan sinonim (mutarâdif). Menurut syara‟ adalah
apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana
3
Hasballah, Zamakhsyari. "HALAL, HARAM DAN SYUBHAT DALAM SYARI‟AT ISLAM." (2018):
hlm. 2-4
7
pelakunya akan dikecam, dikenai sanksi ketika di dunia dan adzab ketika
di akhirat.
Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk
larangan yang tegas disertai dalil qath‟î, namun jika tidak disertai dalil
qath‟î, mereka sebut dengan Makrûh tahrîm. Meskipun sebenarnya, dua-
duanya maksudnya sama.
Selain itu, haram juga biasa dinamakan dengan mahzur, maksiat,
mutawa‟ad alaih, mazjur „anhu, mamnu‟, fahisyah, itsm, zanb, haraj,
tahrij, dan uqubah. Kesemua istilah ini menunjukkan segala sesuatu atau
perkara-perkara yang dilarang oleh syara‟ (hukum Islam), jika perkara
tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan
berpahala. Seperti: perbuatan zina, mencuri, minum khamar dan yang
semisalnya.
Haram, Hazhar atau Makrûh Tahrîm ini bisa diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu haram substantial (lidzâtihi) dan haram aksidental
(lighayrihi):
a. Haram Substantial (lidzâtihi)
Haram jenis ini diartikan apa yang dituntut untuk ditinggalkan
dengan tuntutan yang tegas, karena substansinya. Misalnya zina, riba,
membunuh dan suap. Haram jenis ini tidak akan pernah menjadi boleh
atau disyari‟atkan, mengingat pelarangan untuk melakukannya telah
disebutkan sejak awal dalam suatu perintah syara‟. Jika seorang
mukallaf melakukan haram jenis ini, ia menjadikan dirinya dihadapkan
dengan hukuman dan balasan buruk dari Allah, dan ia tidak akan
memperoleh sebarang dampak baik ataupun manfaat dari
melakukannya.
Sebagai contoh, zina tidak akan pernah menjadi sebab tetapnya
nasab bagi anak kepada ayahnya, begitu pula menikah dengan
8
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S Al-An‟am : 108)4
3. Syubhat
Sedangkan syubhat, secara bahasa artinya adalah Al Mitsl (serupa,
mirip) dan iltibas (samar, kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu
4
Ibid,. hlm. 4-5
9
yang dinilai syubhat belum memiliki hukum yang sama dengan haram
atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip
haram bukanlah haram. Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau
haramnya, masih samar dan gelap.
Syubhat artinya samar atau kurang jelas. Maksudnya disini ialah
setiap perkara/persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya
bagi manusia. Adapun yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya masih
dalam pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan
semacam itu termasuk sifat wara‟. Para Ulama berbeda pendapat
mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan Rasulullah. Pada hadits
tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari
yang samarsamar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan
kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram.
Nabi bersabda : “Dari Al-Husain bin Ali r.a ia berkata : Saya selalu
ingat pada sabda Rasulullah Saw, yaitu:
5
Ibid,. hlm. 6
10
saw. berkata, Aku telah hafal sabda Rasulullah saw., "Tinggalkan perkara
yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu." (HR.
Tirmidzi dan Nasa'i, Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan shahih")6
Faedah Hadist:
1. Agama Islam tidak menghendaki umatnya memiliki perasaan ragu dan
bimbang.
2. Jika Anda menginginkan ketenangan dan ketentraman, tinggalkanlah
keraguan dan buang jauh-jauh, terutama setelah selesai melaksanakan
suatu ibadah sehingga engkau tidak merasa gelisah.
3. Nabi shallallahu „alaihi wa sallam menyampaikan sesuatu dengan
singkat, namun begitu luas maknanya. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-„Utsaimin rahimahullah, “Seandainya seseorang membuat penafsiran
atau penjelasan mengenai hadits ini dalam satu jilid buku yang sangat
tebal, niscaya kandungan dua kalimat ini akan melebihinya.”
4. Syari‟at Islam itu membawa kemudahan.
5. Hadits ini mengandung pelajaran agar kita diam terhadap perkara syubhat
dan meninggalkannya. Kalau sesuatu yang halal tentu akan mendatangkan
ketenangan, sedangkan sesuatu yang syubhat mendatangkan keragu-
raguan.
6. Bentuk wara‟ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu
mengambil yang tidak meragukan. Hal ini dikatakan oleh Abu
„Abdirrahman Al-„Umari, seorang yang terkenal zuhud. Hal ini dikatakan
pula oleh Al-Fudhail, Hasan bin Abi Sinan.
7. Dari sekelompok sahabat seperti Umar, Ibnu „Umar, Abu Ad-Darda‟, dan
Ibnu Mas‟ud mengatakan, “Apa yang engkau inginkan dari hal yang
masih meragukan padahal di sekelilingmu ada 4.000 hal yang tidak
meragukan.”
6
Imam An-Nawawi, Op. Cit., hlm. 13-14
11
8. Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini bahwa keluar dari perselisihan
ulama itu lebih afdal.
9. Meninggal dusta dan terus menjaga kejujuran akan membawa ketenangan,
sedangkan dusta selalu membawa pada keragu-raguan.
Misalkan, kalau ada orang sudah wudhu kemudian shalat, lalu ragu-ragu
apakah sudah wudhu atau belum, maka yang dipilih adalah yang meyakinkan.
Yang meyakinkan adalah pada asalnya belum wudhu. Maka untuk
mengenyahkan keraguan, kembali berwudhu.
Manusia harus bekerja bukan hanya untuk meraih sukses di dunia ini
namun juga untuk kesuksesan di akhirat. Semua kerja seseorang akan
mengalami efek yang demikian besar pada diri seseorang, baik efek positif
dan konstruktif maupun efek negatif dan destruktif. Dia harus bertanggung
jawab dan harus memikul semua konsekuensi aksi dan transaksinya selama di
dunia ini pada saatnya nanti di akhirat yang kemudian dikenal dengan yaumul
hisab sebagaimana hari itu juga disebut sebagai yaum al-Diin.
Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Bersegeralah melakukan amal shaleh karena akan datang fitnah
yang diumpamakan bagaikan potongan-potongan dari malam yang gelap
gulita. Saat itu seorang laki-laki berada dalam keadaan beriman di waktu
pagi, namun kafir di waktu sore, dan beriman di waktu sore, lalu kafir di
waktu pagi, dia menjual agamanya dengan harta dunia”. (H.R.Muslim)7
Kata rezeki berasal dari bahasa arab yaitu razaqa yang berarti
memberikan sesuatu. Rezeki ada dua macam yakni rezeki yang diperoleh
dengan cara yang halal dan rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram.
7
Muchtar, Evan Hamzah. "KONSEP HUKUM USAHA SYARIAH DALAM AL-Qur'an SURAT AL-BAQARAH
[2] AYAT 168-169 (Studi Tematik Mencari Rezeki Halal)." Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam
2.02 (2018) hlm. 157-158
12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata rezeki mempunyai dua
arti, yaitu pertama, rezeki adalah segala sesuatu yang dipakai untuk
memelihara kehidupan yang diberikan oleh Allah berupa makanan sehari-hari.
Kedua, yaitu kiasan dari penghidupan, pendapatan,(uang dan sebagainya yang
digunakan untuk memelihara kehidupan), keuntungan, kesempatan
mendapatkan makanan, dan sebagainya.
Dalam perspektif Islam, rezeki merupakan anugerah nikmat yang
dikaruniakan Allah SWT kepada manusia untuk keperluan jasmani dan rohani
seperti makan, ilmu, dan sebagainya. Rezeki mempunyai maksud dan
pengertian yaitu makanan dari Tuhan, pemberian Tuhan, bekal dari Tuhan,
dan anugerah dari langit. Usaha-usaha yang dapat dilakukan manusia untuk
mendapatkan rezeki antara lain :
1. Istighfar dan Taubat
Istighfar dan taubat adalah salah satu cara yang dapat melapangkan
rezeki, setiap kali seorang hamba beristighfar dan mengakui kesalahannya
di hadapan Allah SWT dan bertaubat tidak mengulangi lagi,
sesungguhnya dalam istighfar dan taubatnya tersebut terbuka pintu rezeki.
2. Sedekah di Jalan Allah SWT
Rezeki yang telah Allah SWT limpahkan kepada hamba-Nya tidak
akan pernah berkurang jika mereka menggunakan untuk berjuang di jalan
Allah SWT, justru apa yang disedekahkan tersebut akan dilipatgandakan
di kemudian hari.
3. Taqwa
Taqwa mempunyai arti mentaati semua perintah Allah SWT,
mempercayai semua wahyu yang diturunkan, menerima dengan ikhlas
semua rezeki yang diberikan dan percaya kepada hari akhir. Taqwa
merupakan salah satu kunci lapangnya rezeki.
13
اض شَ َياٌ َل يُبَا ِني ْان ًَ ْس ُء ِب ًَا أ َ َخرَ ْان ًَا َل أ َ ِي ٍْ َح َالل أ َ ْو ِي ٍْ َح َساو َ ٍَنَيَأْتِي
ِ ُعهَى ان
Artinya: “Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak
lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang
halal ataukah dengan cara yang haram“. [HR Bukhari].
Artinya: “Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari
Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya
untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang
hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya,
dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan.” [HR At Tirmidzi dan
Ad Darimi].8
8
Ramadhan, Bagus Mohamad, dan Muhamad Nafik Hadi Ryandono. “Etos Kerja Islami terhadap
Kinerja Bisnis Muslim di Pasar Besar Madiun.” Jurnal Teori dan Penerapan Ekonomi Syariah 2.4
(2015) hlm. 274-278
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
16
usaha yang dapat dilakukan manusia untuk mendapatkan rezeki antara lain:
istighfar dan taubat, sedekah di jalan Allah SWT, Taqwa, berhijrah di jalan
Allah SWT, bekerja/berwirausaha dengan niat tawakal kepada Allah SWT.
B. Saran
Rahmadani, Gema. "Halal dan Haram dalam Islam." Jurnal Ilmiah Penegakan
Hukum 2.1 (2015)
Ramadhan, Bagus Mohamad, dan Muhamad Nafik Hadi Ryandono. “Etos Kerja
Islami terhadap Kinerja Bisnis Muslim di Pasar Besar Madiun.” Jurnal Teori
dan Penerapan Ekonomi Syariah 2.4 (2015)
17