Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM MEMPELAJARI ILMU YANG BATIL

Dosen pengampu : Hilman Taufiq Shiddiq, S.E

Disusun oleh :
Nama : Lutfiaturohmah
Prodi / Fakultas : PAI

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STIT MUHAMMADIYAH BANJAR
Jl. Dr. Husein Kartasasmita No.217, Banjar, Ciamis, Kota Banjar, Jawa Barat
46311
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang
“HUKUM MEMPELAJARI ILMU YANG BATIL”.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan, juga untuk lebih memperluas pengetahuan
para siswa/siswi khususnya bagi penulis.
Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini dengan baik,
namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan
kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-
kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon
maaf dan kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat
diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga
dalam pengetahuan kita bersama.
Banjar, November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Pengertian Batil.............................................................................. 3
B. Hukum Mempelajari Ilmu Yang Batil............................................ 6
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sebagian orang
mungkin sangsi terhadap hal ini, karena ada yang beranggapan bahwa agama
bertolak belakang dengan sains. Padahal sifat ilmiah juga dimiliki agama
Islam.
Dalam bahasa Arab, kata ilmu itu sendiri memiliki arti mengetahui,
lawan kata jahlu yang artinya tidak tahu atau bodoh. Bahkan Allah SWT
menurunkan ayat Alqur’an yang pertama dengan diawali kata iqra atau
“bacalah”. Ayat tersebut mengindikasikan bahwa membaca, yang dapat
diartikan sebagai usaha menuntut ilmu, sangat penting bagi umat Islam.
Dalam agama Islam, menuntut ilmu wajib hukumnya. Perintah
kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadis: ”Menuntut ilmu itu wajib atas
setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).
Hadis tersbebut mengindikasikan bahwa menuntut ilmu sangat penting.
Sebab, dengan menuntut ilmu, seseorang memiliki pengetahuan tentang
akidah, ibadah, dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Apalagi jika ilmu-ilmu
tentang persoalan duniawi tersebut dapat memperkuat iman dan menuntun
manusia untuk lebih taat kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menginginkan soal-soal yang
berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa
yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia memiliki ilmunya
pula; dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia
memiliki ilmu kedua-keduanya pula." (HR.Bukhari dan Muslim).
Tujuan diwajibkannya mencari ilmu tidak lain adalah agar umat muslim
menjadi manusia yang cerdas dan terhindar dari kebodohan. Dalam ajaran
Islam, tiap orang dianjurkan untuk bersikap ilmiah dengan berpendapat
menggunakan rujukan yang jelas.

1
Imam Ahmad berkata: “Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan
yang engkau tidak memiliki pendahulunya.” (Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
11/296)
Menjadi orang yang berilmu memiliki keistimewaannya sendiri dalam
Islam. Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa orang yang berilmu akan
memperoleh kedudukan yang mulia: “Niscaya Allah akan mengangkat
(derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujãdalah/58: 11).
Bahkan, Rasulullah juga menyebut orang yang mencari ilmu merupakan
golongan orang yang menegakkan Islam. “Barang siapa yang pergi untuk
menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan Sabilillah (orang yang
menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali. " (HR. Tirmidzi).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian batil
2. Bagaimana hukum mempelajari ilmu batil

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah untuk
mengetahui apa pengertian batil, bagaimana hukum mempelajari ilmu batil.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Batil
BATIL (al-Bathil), berasal dari kata bathala, yabthulu yang berarti
rusak, salah, palsu, tidah syah, tidak memenuhi syarat dan rukun, keluar dari
kebenaran, terlarang atau haram menurut ketentuan agama. Kata batil yang
merupakan lawan dari kata al-haq di dalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 26
kali.
Kata batil memiliki pembahasan yang erat dan sangat berpengaruh
dalam berbagai aspek dalam ajaran Islam secara gelobal antara lain:
1. Aspek Akidah
Kebatilan bila menodai akidah seseorang, niscaya rusak dan sangat
berbahaya. Ciri-ciri yang bisa merusak akidah adalah :
2. Syirik
Syirik termasuk salah satu bentuk kebatilan yang dapat mencemarkan
akidah dan tergolong kedalam salah satu dosa besar yang tidak bisa
diampuni ; sebagai mana firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-
Nya...” (Q.S. An-Nisa (4) : 116).
Pencemaran akidah yang disebabkan syirik ini akan mengakibatkan amal-
saleh yang dikerjakan menjadi batil. Hal ini sebagaimana firman Allah,
“Dan kalau mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari
mereka amal yang telah mereka kerjakan” (Q.S. al-An’am (6) : 88)
3. Takhayul dan Khurafat.
Takhayul adalah segala kepercayaan dan pandangan terhadap perkara
ghaib yang bersumber kepada khayalan, persangkaan-persangkaan atau
perkiraan-perkiraan yang sama sekali tidak ada keterangannyadari al-
Qur’an dan Hadis. Perbuatan ini termasuk bid’ah yakni kepercayaan-
kepercayaan yang dibuat-buat atau yang diada-adakan dengan maksud
tertentu.

3
Takhayul dan khurafat juga banyak berkembang dikalangan umat Islam,
seperti menebak atau melihat nasib melalui garis-garis telapak tangan,
bintang-bintang (zodiak) berdasarkan tanggal dan bulan kelahiranseperti
bintang taurus, cancer, dan sebagainya. Kesemua ini juga merrupakan
bagian dari perbuatan batil yang bukan saja merusak akidah tapi juga
ibadah maupun muamalah.
Menurut bahasa kata batil atau batal berarti tidak terpakai, tidak
berfaedah, rusak dan sia-sia. Secara istilah, batil berarti terlepas atau gugurnya
suatu perbuatan dari ketentuan syarak serta tidak adanya pengaruh perbuatan
tersebut dalam memenuhi tuntutan syariat.
Dalam Alquran pemakaian kata batil sering dihadapkan dengan "yang
benar" (al-haqq), seperti firman Allah SWT yang berbunyi: "Dan janganlah
kamu campur-adukkan yang hak dengan yang batil ..." (QS. Al-Baqarah:42).
Ada 26 ayat yang memakai kata batil dengan berbagai kedudukan dan
fungsinya dalam kalimat tersebut dan pemakaiannya terbagi dalam tiga hal.
Pertama, yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan
akidah yang dikehendaki Alquran (QS. al-Baqarah: 42). Kedua, yang diartikan
sebagai sesuatu yang sia-sia, seperti firman Allah SWT yang berbunyi: "...dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia..." (QS. Ali
'Imran: 191). Pemakaian yang sama juga terdapat dalam QS. Sad: 27.
Ketiga, yang dihubungkan dengan amal perbuatan manusia yang
dituntut oleh agama, seperti yang berbunyi: "Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..."
(QS. al-Baqarah:188). Dalam hal ini terlihat bahwa kata batil berhubungan
dengan hukum perbuatan manusia.
Dalam buku Tarikh at-Tasyri' (Sejarah Tasyrik) karya Khudari Bek,
disebutkan bahwa kata batil atau batal dipakai untuk dua pengertian. Pertama,
tidak adanya pengaruh amal perbuatan yang tampak bagi orang yang
mengerjakannya di dalam kehidupan dunianya.
Contoh, jika dikatakan bahwa ibadah seseorang itu tidak sah atau batal,
bukan berarti ibadah yang dikerjakannya tersebut menggugurkan kewajiban

4
ibadahnya. Karena itu, dia harus mengulang kembali ibadahnya secara benar.
Tidak sahnya ibadah yang ia kerjakan tersebut bisa terjadi karena ibadah yang
dilakukannya itu tidak sesuai dengan tuntutan agama.
Seperti, meninggalkan salah satu syarat atau rukun ibadah tertentu yang
telah ditentukan agama. Apabila syarat atau rukun yang ditinggalkan itu
menyangkut hakikat ibadah itu sendiri, maka ibadahnya dikatakan batil atau
tidak sah.
Tetapi, jika yang ditinggalkan itu menyangkut sifat yang berada di luar
ibadah, seperti mengerjakan shalat dengan sejadah yang dicuri, maka ibadah
shalatnya tetap sah. Menurut jumhur ulama (golongan terbanyak), shalat yang
dikerjakan tersebut memenuhi rukun dan syarat yang dituntut agama. Namun,
ulama lain menganggap shalat yang dikerjakan dengan sajadah hasil curian itu
hukumnya tidak sah atau batil karena menyalahi tuntunan agama.
Kedua, tidak adanya pengaruh yang timbul dari perbuatan tersebut bagi
diri orang yang mengerjakannya untuk kehidupan di akhirat. Artinya, dia tidak
mendapat pahala di akhirat.
Menurut jumhur ulama tidak ada perbedaan antara batil dan fasid
(rusak) bagi perbuatan mukalaf, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun
muamalah. Dengan kata lain, batil identik dengan fasid, dan sebaliknya.
Misalnya, dalam bidang ibadah pengertian shalat itu batil sama dengan
salat itu fasid atau perkawinan yang batil sama dengan perkawinan yang fasid
(dalam arti tidak dapat memberikan kewenangan bagi suami untuk menggauli
istrinya).
Demikian juga halnya dalam bidang muamalah. Jika jual beli itu
dikatakan batil atau fasid, maka artinya perpindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli tidak sah. Bagi jumhur ulama, setiap perbuatan mukalaf, baik
yang menyangkut ibadah, maupun muamalah, hanya mempunyai dua nilai,
yaitu sah jika memenuhi rukun dan syaratnya, serta batil atau fasid jika tidak
memenuhi rukun dan syarat (selama perbuatan itu tidak diulang kembali,
maka kewajiban memenuhi pekerjaan tersebut dianggap belum terbayar).
Dengan demikian tidak ada nilai lain antara sah dan batil.

5
B. Hukum Mempelajari Ilmu Batil
Dalam perkara mengaji dan menuntut ilmu mengenai Islam, kita wajib
berpandukan hakikat bahwa sesiapa yang mematuhi ketetapan al-Quran dan
as-Sunnah, yakni mentaati perintah dan suruhan Allah SWT (i.e al-Quran) dan
mentaati perintah dan suruhan Rasulallah SAW (i.e as-Sunnah), maka dia
berjaya mendapat syurga dan terselamat dari neraka (janji Allah SWT pada
Ayat 13, Surah an-Nisa').Kemudian, Rasulallah SAW memberi kita tahu pula
bahawa jika kita berpandu dgn dua hazanah peninggalan beliau (dalam bentuk
ilmu dan panduan hidup orang iman) iaitu al-Quran dan as-Sunnah, kita pasti
tidak akan sesat mencari dan mengikuti 'siratul mustaqim' atau jalan lurus ke
syurga itu, dan pasti berjaya mendapat syurga Allah SWT. Itu juga janji Allah
SWT.
Sehubungan itu, dalam perkara ilmu kita diperingatkan oleh Rasulallah
SAW dalam dua hadith berikut, bahawa janganlah kita ikuti dan kembangkan
ilmu yg batil, kerana bahawa bagi masa depan kita dalam menyediakan diri
untuk alam akhirat. Ilmu atau panduan agama yg haq itu hanyalah ketetapan
al-Quran dan as-Sunnah, panduan selainnya adalah batal. Ini adalah kerana,
ugama Islam dan syariatnya itu Allah SWT yg tetapkan dan Rasulallah SAW
yg sampaikan dan Rasulallah SAW yg menunjukkan bagaimana
melakasanakannyanya - apa yg boleh dan apa yg tak boleh. Tidak sebarang
orang behak atau diberi mandat untuk menyatakan bahawa ini dan itu adalah
ketetapan Allah SWT atau datangnya dari Allah SWT atau ditetapkan oleh
Rasulallah SAW, sekiranya tiada dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Oleh itu kita disuruh mengaji ilmu al-Quran dan as-Sunnah, supaya kita
tahu yg mana ilmu dan panduan yg haq, dan yg mana pula suatu kebatilan.
Selepas itu pula kita disuruh menghidupkan semula as-Sunnah yang semakin
dilupa dan dibiarkan oleh para ilmuan dan para ulama', yang mengajar umat
Islam dan umat Islam sendiri:
Diriwayatkan hadith daripada Kathir bin Abdullah bin ‘Amru bin ‘Auf
al-Muzaniu (r.a), menceritakan hadith daripada bapanya, hadith daripada
datuknya berkata: ‘Sesungguhnya Rasulallah SAW bersabda: ‘Barangsiapa
menghidupkan satu sunnah dari sunnahku maka beramal dengan dia oleh

6
manusia, adalah baginya seperti pahala barangsiapa yang beramal dengannya
tidak mengurangi (atau dikurangi) sedikitpun pahala mereka yang
mengamalkannya. Dan barangsiapa membuat bid’ah (yakni, pembaharuan
dalam amalan dan ibadat, yang tidak termasuk dalam syariat Islam yang
disampaikan oleh Rasulallah SAW) (dan diajarkannya pula kepada orang lain)
maka mengamalkan (dan mengajarkannya) dengan bid’ah itu, ada atasnya
(yakni, ditanggungnya) dosa barangsiapa mengamalkan dengannya (dan) tidak
mengurangi atau dikurangkan dari dosa barangsiapa beramal dengannya
sedikitpun (yakni, dosa mereka yang mengamalkannya ditanggung oleh yang
mengajar manakala dosa yang mengikut ajarannya juga akan ditanggung
pengamal olehnya).’ [Hadith sahih Ibnu Majah]
Saudara, hadith ini memberitahu kita bahwa besar pahalanya kita
menghidupkan atau mengajarkan dan mengembangkan sesuatu ketetapan atau
prinsip as-Sunnah. Sebaliknya, begitu besar pula dosanya, jika kita mengajar
dan mengembangkan sesuatu ajaran yg bukan termasuk dalam ketetapan as-
Sunnah. Kalau kita ajarkan yg batil (dalam konteks ketetapan hadith ini adalah
bid'ah), dan diamalkan pula orang yg kita ajarkan dan dia pula mengajarkan
orang lain, kemdian orang yg lain itu amalkan, kita mendapat dosa kerana
amal dan ajarkan, orang yg kita ajarkan dapat dosa bila dia amal dan ajarkan
orang lain pula. Begitulah seterusnya. Kalau, sebaliknya, kita ajarkan
ketetapan as-Sunnah - sama ada yg telah dilupakan atau diabaikan oleh umat
Islam atau yg kita telah diajarkan ilmunya, maka kita dapat pahala keranaamal
dan ajarkan orang, dan orang yg ambil ilmu dari kita dapat pahala bila dia
amalkan dan ajarkan pula orang lain, dan apabila diamalkan oleh orang yg kita
ajarkan dan diamalkan pula oleh orang yg dia ajarkan, maka kita dapat
kiriman pahala, tanpa mengurangkan pahala orang yg mengamalkannya itu.
Inlah dividen akhirat bagi kita. Kiriman dividen ini tidak akan terputus atau
terhenti selagi ada orang yg amalkan apa yg kita ajarkan atau ilmukan orang
lain. Alangkah beruntungnya kita! Sebaliknya, kalau yg batil pula, alangkah
ruginya kita kerana mendapat kiriman dosa selagi ada orang yg
mengamalkannya. Contoh: kita ajarkan bahawa ada satu jenis rantai magnet
yg kalau kita pakai akan menghindarkan kita dari terkena sesuatu mudarat atau

7
penyakit atau akan menyembuhkan sesuatu mudarat atau penyakit yg
mengenai kita, adalah suatu kepercayaan bersifat syirik samar. Maka jika
orang amalkan nasihat kita, maka kita berdosa kerana mengajar yg batil, dia
jatuh syirik kerana mengajarkan kebatilan, orang yg memakainya bukan
sahaja syirik tapi mengirim dosa besar pula kpd kita, wal iya zubillah.
Justeru itu, dengan ilmu bolehlah kita berwaspada! Tidaklah kita
mengikut secara membabi buta tanpa ilmu. Janganlah kita mengikuti perasaan
dan mengikuti amalan dan ibadat tanpa mengetahui syariatnya yang haq
seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan al-Hadith. Kita harus ingat ramai
manusia yang kelihatan (seemingly) ‘alim dan wara’, berbuat segala macam
amalan dan ibadah, tetapi tidak semuanya faham tentang Islam atau mereka
berpandukan ketetapan al-Quran dan as-Sunnah.
Menceritakan hadith daripada Kathir ibn Abdullah (r.a), hadith daripada
bapanya, hadith daripada datuknya yang berkata: ‘Aku mendengar Rasulallah
SAW bersabda: ‘Barangsiapa menghidupkan sunnah dari sunnahku (yang)
sungguh-sungguh (telah) dimatikan (atau dilupakan) sesudahku (yakni, setelah
ketiadaanku), maka bahawasanya baginya pahala seperti pahala barangsiapa
yang beramal dengannya dari kalangan manusia, tidak dikurangi (atau
mengurangi) dari pahala manusia yang beramal dengannya sedikitpun. Dan
barangsiapa membuat dan mengajarkan bid’ah tidak redha atasnya Allah SWT
dan RasulNya, maka sesungguhnya diberatkan (atau dipertanggungkan)
atasnya dosa seumpama dosa barangsiapa beramal dengannya dari kalangan
manusia, tidak mengurangi (atau dikurangi) dosa manusia yang
mengamalkannya sedikitpun.’ [Hadith sahih Ibnu Majah]
Hadith di atas ini memberikan hukuman yang sama juga berhubung
dengan isu ini. Yang wajib diberi perhatian adalah bahagian kedua hadith
tersebut: iaitu mengajarkan sesuatu yang bersifat bid’ah. Akibatnya, pertama
Allah SWT tidak redha. Jika Allah SWT tidak redha maka dapatkan kita
rahmatNya (yang membolehkan kita dibalas dengan Syurga?) Atau, apabila
kita menerima kiriman dosa dari mereka yang mengamalkannya, dan mereka
yang mengajarkan pula orang lain, dan yang belajar itu mengamalkannya dan
mengajarkannya pula ad infinitum? Sudahlah kita berdosa, dosa orang lain

8
yang kita ajarkan pula kita terima sebagai habuan kita mengajarnya, kemudian
anak murid kita mengajarkan pula anak muridnya, kitapun dapat dosa yang
sama, dan seterusnya dan seterusnya (yakni, ad infinitum).

9
BAB III
KESIMPULAN

Menjadi orang yang berilmu memiliki keistimewaannya sendiri dalam


Islam. Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa orang yang berilmu akan memperoleh
kedudukan yang mulia: “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat."
(QS. Al-Mujãdalah/58: 11).
Bahkan, Rasulullah juga menyebut orang yang mencari ilmu merupakan
golongan orang yang menegakkan Islam. “Barang siapa yang pergi untuk
menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan Sabilillah (orang yang
menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali. " (HR. Tirmidzi).
dalam perkara menuntut ilmu kita diperingatkan oleh Rasululloh SAW
dalam hadits, bahwa janganlah kita ikuti dan kembangkan ilmu yang batil, karena
bahwa bagi masa depan kita dalam menyediakan diri untuk alam akhirat. Ilmu
atau panduan agama yang haq itu hanyalah ketetapan al-Quran dan as-Sunnah,
panduan selainnya adalah batil. Ini adalah karena agama Islam dan syariatnya itu
yang tetapkan Allah SWT dan Rasulallah SAW yang sampaikan dan Rasulallah
SAW yg menunjukkan bagaimana melakasanakannya - apa yang boleh dan apa
yang tak boleh. Tidak sebarang orang berhak atau diberi mandat untuk
menyatakan bahawa ini dan itu adalah ketetapan Allah SWT atau datangnya dari
Allah SWT atau ditetapkan oleh Rasulallah SAW, sekiranya tiada dalam al-Quran
dan as-Sunnah.
Oleh itu kita disuruh mengaji ilmu al-Quran dan as-Sunnah, supaya kita
tahu yg mana ilmu dan panduan yang haq, dan yang mana pula suatu kebatilan.
Selepas itu pula kita disuruh menghidupkan semula as-Sunnah yang semakin
dilupa dan dibiarkan oleh para ilmuan dan para ulama', yang mengajar umat Islam
dan umat Islam sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://republika.co.id/berita/pm1kay313/memahami-kata-batil

https://id.wikipedia.org/wiki/Batil

http://keuangansyariah.mysharing.co/larangan-dalam-transaksi-syariah/

https://shariagreenland.co.id/perbedaan-akad-shahih-dan-akad-bathil/

https://www.sharinvest.com/contoh-jual-beli-yang-batil-2/

11

Anda mungkin juga menyukai