Anda di halaman 1dari 8

TIM MENTORING STUDENT CLUB

HANDOUT MATERI ISLAMIC LEARNING CLUB (ILC)


MENTORING KADER KISI 2021

A. Tema
“Urgensi Ilmu dan belajar Islam (Ma'rifatul Ilmu)”

B. Alokasi Waktu
1. 5 menit open gate, sambut salam sapa (MC)
2. 5 menit tanya kabar (MC ke semuanya)
3. 10 menit Tilawah (Diserahkan ke Mentor)
4. 10 menit Sharing hikmah (berita/pengalaman)
5. 45 menit materi Ma'rifatul Ilmu (Mentor)
6. 15 menit Diskusi bebas (opsional, menyesuaikan kebutuhan mentee)
7. 5 menit doa kafaratul majelis dan isi feedback

C. Output Peserta
1. Sadar bahwa hidup harus dengan ilmu
2. Memahami keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu
3. Mempunyai tekad kuat dan teguh dalam menuntut ilmu dan memberantas diri dari
kebodohan.
4. Paham Urgensi Ilmu dan memahami porsi tuntutan ilmu yang harus kita perjuangkan
untuk kebaikan dunia dan akhirat.

D. Poin-poin Materi yang Harus Disampaikan


1. Ma'rifatul Ilmu
2. Islam terhadap Ilmu
3. Aspek-aspek Ilmu
4. Keutamaan Ilmu dan orang-orang berilmu
5. Pengaruh Ilmu terhadap iman dan tingkah laku
6. Kewajiban penuntut ilmu dan hak-hak ilmu terhadap pemiliknya
7. Dll

E. Metode (menyesuaikan)
1. Sharing
2. Ceramah
3. Diskusi
4. Dll

F. Materi

URGENSI ILMU DAN BELAJAR ISLAM


1. Ma'rifatul Ilmu
Secara bahasa ilmu itu berasal dari kata ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti
pengetahuan/mengetahui, memahami, mempelajari.

Imam Al-Ghazali berkata, bahwa ilmu itu adalah : Idzroku kulla syaiim ma yujhalu hatta
ta’lam yg artinya “menemukan tiap-tiap sesuatu yang tidak diketahui hingga menjadi tahu”

1) Sesungguhnya manusia pada saat di lahirkan itu tidak tahu apa-apa.


‫هّٰللا‬
َ ‫َو ُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُموْ نَ َش ْيـ ًۙٔا َّو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َب‬
َ‫ْصا َر َوااْل َ ْفـِٕ َد ۙةَ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur."
(QS. An-Nahl[16]:78)

2) Mengerjakan sesuatu yang tanpa ada ilmunya itu akan menimbulkan keraguan
ٰ ‫ق َش ْيًأ َّن‬
َ‫اللّهَ َعلِ ْي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُوْ ن‬ ِّ ‫َو َمايَتَّبِ ُع أ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل ظَنا َّ اِ َّن الظَّ َّن الَيُ ْغنِئ ِمنَ ْال َح‬
‫ِإ‬

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus:36)

3) Segala sesuatu harus dengan ilmu karena ada pertanggungjawabannya

(Q.S. al Isra 17 : 36) ً‫ص َر َو ْالفُوَأ َد ُكلُّ ُأوْ ٰلِئكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسُئوال‬
َ َ‫ك بِه ِع ْل ٌم اِ ّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬ َ ‫َوالَ تَ ْقفُ َمالَي‬
َ َ‫ْس ل‬

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. “

2. Islam terhadap Ilmu


Manusia tidak pernah menemukan agama yang sangat memperhatikan kelimuan dengan
sempurna selain Islam. Islam selalu menyeru dan memotivasi penekunan ilmu
pengetahuan, mengajak umatnya untuk menuntut, mempelajari, mengamalkan, dan
sekaligus mengajarkan ilmu. Islam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu dan etikanya
serta menegur orang yang tidak memperdulikannya. Islam juga sangat menghormati dan
menghargai ahlul „ilmi dan menganjurkan umatnya untuk dekat dengan mereka.
3. Aspek-aspek Ilmu dalam Pandangan Islam
Ilmu dalam pandangan Islam mencakup beberapa aspek kehidupan termasuk aspek-aspek
ilmu dalam pengertian barat sekarang:
a. Aspek Wahyu Ilahi
Ilmu yang datangnya melalui wahyu Allah SWT. Ilmu ini mencakup hakikat alamiah
manusia dan menjawab setiap pertanyaan abadi yang tak pernah hilang pada diri
manusia, yaitu: dari mana, ke mana, dan mengapa? Dengan adanya jawaban atas
pertanyaan pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui asalnya, arah perjalanan
yang harus ditempuh, dan tujuan hidupnya. Ia akan mengetahui dirinya dan Tuhannya
serta akan tenang menuju tujuan hidupnya. Aspek inilah yang pertama kali disebut
“ilmu” bahkan disebut ilmu yang paling tinggi oleh Imam Ibnu Abdil Barr.
Standar kebenaran al-ilmu adalah Allah dan Rosul-Nya (Al-Quran dan As-
Sunah).
“Pelajarilah ilmu, mempelajari ilmu karena Alloh itu sebagai ciri takut kepada-Nya,
mencarinya termasuk ibadah. Mengulang-ngulangnya termasuk tasbih.
Membahasnya termasuk jihad. Mengajarkannya kepada orang jahil termasuk
sodaqoh. Menyampaikannya kepada yang berhak termasuk taqorrub. Dialah teman
yang jinak dikala hati sedang liar (keras), teman dalam kesepian, dalil terhadap
agama, penyabar dalam keadaan lapang maupun sempit. Ia ibarat menteri disisi
pemimpin, teman dikala terasing, petunjuk jalan ke Surga.” (Muhammad bin Jabal)
b. Aspek Humaniora (manusia) dan Kajian-kajian yang Berkaitan Dengannya
Ilmu yang membahas tentang segi-segi kehidupan manusia yang berhubungan dengan
tempat tinggal dan wktu. Ilmu ini mengkaji manusia sebagai individu ataupun
anggota masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.
c. Aspek Material
Yaitu ilmu-ilmu yang mengkaji berbagai materi yang bertebaran di jagat raya ini,
baik di udara, darat, maupun di dalam bumi seperti fisika, kimia, biologi, astronomi,
dan sebagainya. Pengertian Islam tentang ilmu tidak terbatas pada aspek terakhir yang
menganggap materi sebagai objek seperti yang dipahami oleh dunia barat pada
umumnya sekarang. Selain itu, Islam menganggap aspek material akan melahirkan
keimanan bagi yang mendalaminya (Q.S. Ali- Imran/3:190-191).

4. Keutamaan Ilmu dan Orang-orang yang Berilmu


Al-Quran adalah kitab terbesar yang mengangkat derajat ulul ilmi dan orang-orang yang
berilmu, memuji kedudukan orang-orang yang diberi ilmu. Sebagaimana Alloh SWT
menjelaskan bahwa Ia menurunkan kitab-Nya dan merinci ayat-ayat-Nya bagi orang-
orang yang mengetahui.Dalam al-Quran Q.S. 3:18, Allah memulai pernyataan dari diri-
Nya, memuji para Malaikat-Nya dan orang-orang yang berilmu. Allah meminta kesaksian
mereka atas permasalahan kehidupan yang paling besar, yaitu masalah keesaan.Allah
SWT dalam al-Quran menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang berilmu:
a. QS. Az-Zumar/39:9 menjelaskan mengenai peniadaan persamaan antara orang-orang
yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui.
b. QS. Fatir/35:19-22 menjelaskan mengenai kebodohan sejajar dengan buta, ilmu
sejajar dengan melihat, hingga bodoh adalah kematian dan ilmu adalah kehidupan.
c. QS. Fatir/35:28 menjelaskan mengenai ulama (orang yang mengetahui tentang
kebesaran dan kekuasaan Allah) kian berilmu kian takut kepada Allah.

4. Pengaruh Ilmu terhadap Iman dan Tindakan


a. Ilmu Memberi Petunjuk kepada Iman
Ilmu dan iman berjalan beriringan dalam Islam (30:36 dan 58:11), bahkan al-Quran
menyertakan iman kepada ilmu seseorang mengetahui lalu beriman. Dengan kata lain
tidak ada iman sebelum ada ilmu (22:54, 34:6).
b. Ilmu Adalah Penuntun Amal
Ilmulah yang menuntun, menunjuki, dan membimbing seseorang kepada amal
(47:19). Ayat ini dimulai ilmu tentang tauhid lalu disusul dengan permohonan ampun
yang merupakan amal. Ilmu juga merupakan timbangan/penentu dalam penerimaan
atau penolakan amal. Amal yang sesuai dengan ilmu adalah amal yang diterima,
sedangkan amal yang bertentangan dengan ilmu adalah amal yang tertolak (5:27).
Maksud ayat ini adalah Allah hanya menerima amal seseorang yang bertaqwa
kepada-Nya. Jadi amal tersebut harus dilakukan karena keridhaan-Nya dan sesuai
dengan perintah-Nya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan ilmu. Untuk dapat berakhlak
baik pun salah satunya harus dicapai dengan ilmu. Imam Ghazali berkata:
“Muqadimah agama dan berakhlak dengan akhlak para Nabi tercapai jika diramu
dengan 3 dimensi yang tersusun rapi, yaitu ilmu, perilaku, dan amal.” (Ilmu
mewariskan perilaku, dan perilaku mendorong amal).
c. Kelebihan Ilmu dari Ibadah
Dalam hadits Huzaifah dan Sa‟ad, Rasulullah SAW bersabda: “Kelebihan ilmu lebih
kusukai dari pada kelebihan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah al-wara‟.”
Ilmu dilebihkan atas ibadah sebab manfaat ilmu tidak terbatas pada pemiliknya
melainkan juga untuk orang lain. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah dalam al-Miftah
menyebutkan diantaranya: “Ilmu menunjukkan kepada pemiliknya amal-amal yang
utama di sisi Allah.”

5. Perintah Mencari Ilmu


Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan vakum dari ilmu. Lalu Ia memberinya
parangkat ilmu guna menggali ilmu dan belajar (16:78). Banyak hadits-hadits yang
menerangkan keutamaan menuntut ilmu: "Siapa yang berjalan di jalan menuntut ilmu,
maka Allah akan memudahkannya jalannya ke surga.” (HR. Muslim). Termasuk di
dalamnya menghapal, menelaah, mengkaji, berjalan menuju majelis ilmu, dan
mendatangi ahli ilmu. Dalam hadits lain: “Sesungguhnya para malaikat merunduhkan
sayap-sayapnya kepada orang yang mencari ilmu karena ridha terhadap apa yang
diperbuatnya.”

6. Adab-adab dalam Mencari Ilmu


Berikut merupakan beberapa adab penting dalam mencari ilmu (hikmah kisah Nabi Musa
a.s. dalam menuntut ilmu kepada Nabi Khaidir dalam surat al-Kahfi).
a. Semangat dalam mencari ilmu walaupun harus menghadapi kesulitan dan tantangan.
b. Bersikap baik terhadap guru, memuliakan dan menghormatinya (18:66).
c. Sabar terhadap guru (18:67-70).
d. Tidak pernah kenyang mencari ilmu (20:114).
e. Diniatkan karena Allah SWT. Artinya harus dianggap sebagai ibadah dan jihad
fisabilillah. “Janganlah kalian mempelajari ilmu agar kalian bisa saling membanggakan
di kalangan orang berilmu sedang kalian tidak memperdulikan orang-orang yang bodoh
dan tidak membagus-baguskan majelis ilmu itu. Barang siapaberbuat demikian, maka
nerakalah baginya.”

7. Hak-hak Ilmu Atas Pemiliknya


a. Mengerti dan memahami
b. Beramal berdasarkan ilmu yang dimiliki

8. Kewajiban bagi penuntut ilmu


a. Menguatkan keilmuannya (QS.96:1, 47:19)
b. Mengimani ilmunya (QS.103:3, 61:3, 2:44)
c. Mendakwahkan ilmunya (QS. 103:3, 9:122
d. Sabar dalam mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya (QS. 103:2, 2:155-156)

9. Tujuan Ilmu
Ilmu tujuan akhirnya adalah untuk mengetahui hakikat kebenaran. Ilmu yang wajib
dituntut oleh setiap muslim adalah untuk menemukan kebenaran yang dapat
membawanya kepada keselamatan.

10. Pelajaran dari Kisah Imam Bukhari


Kisah Imam Bukhari saat difitnah mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum
muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran penting dari kisah
ini diantaranya :
a. Pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam
dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan
kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap
muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah
Islam.Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i-
meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting
dan mendasar.
b. Kita harus menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan
Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin
mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang
berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang
arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.”
Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah melupakan
pandangan manusia dengan senantiasa melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu
Allah.
c. Kita harus berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita, karena bisa jadi
berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan
kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait
dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama
ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga
kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki
kedudukan dan keutamaan di mata publik.
d. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita terutama para da’i dan tokoh
masyarakat untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika
kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat
atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis,
kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
e. Seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya.
Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan
perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa
memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya
seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila
wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.
f. Pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok)
bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli
dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia.
Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian.
Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak
setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan
batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari
kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari
kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.
g. Memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan
hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi
diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh
sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil :
Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya:“Kritikan antara orang-orang yang
sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.”
Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor
hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
h. Kita harus bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena
perasaan su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat
adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran
kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan
kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak
mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita
lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi
kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
i. Seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah
perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah
dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba
ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang
menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala
mendapatkan kenikmatan.
j. Kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang
menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat.
Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan
ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan
ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut
celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia
tegak di atas kebenaran.
k. Besarnya bahaya kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di
dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia
juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang
bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh
sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan.
Sebagian diantara mereka mengatakan, “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada
maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah
hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap
dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih
mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
l. Kita harus bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan
walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah
orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya
kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau
‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan,“Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran.
Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan
jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya
orang yang binasa.”
m. Perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama dalam sebagian permasalahan
adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk
bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris
para nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-
lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi
yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh
meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila
kebenaran yang mereka sampaikan yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah maka
wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan
bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullah
berpesan kepada para pengikutnya, “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu
yang bertentangan dengan Sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tinggalkanlah pendapatku.”

Doa Kaffaratul Majlis


Kaffaratul Majlis; artinya penghapus dosa apa yang terjadi di dalam majelis. Doa ini
dapat dibaca setelah selesai dari majelis ilmu, selesai mengajar, dapat juga ditulis pada
akhir menulis buku, menulis skripsi, menulis thesis, artikel, tugas laporan kuliah, tugas
sekolah dan semisal nya. Lafadz do'a Kafaratul Majelis diambil dari hadits Rasulullah‫ﷺ‬.

“Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau, aku meminta ampunan dan bertaubat
kepadamu.”

Referensi
https://muslim.or.id/9748-pelajaran-berharga-dari-imam-bukhari.html

INGATKAN MENTEE MENGISI AMAL YAUMI

Anda mungkin juga menyukai