Anda di halaman 1dari 12

1.

Motivasi islam terhadap ilmu pengetahuan

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya" (Al-'Alaq : 1-5)

Ayat tersebut diatas mendorong Umat Islam untuk pandai membaca, berfikir dan berkreasi. semakin
banyak membaca, semakin banyak manfaat yang diperoleh. Ilmu akan bertambah, bahasa makin baik,
dan wawasan makin luas. Bacalah alam ini. Bacalah Al Qur'an ini. Bacalah buku-buku ilmu pengetahuan.
Jadi, membaca merupakan kunci pembuka untuk mempelajari ilmu pengetahuan.

Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicerminkan dalam wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut diatas. Begitu besar perhatian Islam terhadap ilmu
pengetahuan, sehingga setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk menuntut
ilmu.

Sabda Nabi : "Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan" (HR. Ibnu Abdil
Bar). Dimanapun ilmu berada, Islam memerintahkan untuk mencarinya. Sabda Nabi: "Carilah ilmu
meskipun di negeri Cina" (HR Ibnu 'Adi dan Baihaqi). Menuntut ilmu dalam Islam tidak berhenti pada
batas usia tertentu, melainkan dilaksanakan seumur hidup. tegasya dalam hal menuntut ilmu tidak ada
istilah "sudah tua". Selama hayat masih dikandung badan, manusia wajib menuntut ilmu. Hanya caranya
saja hendaklah disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Perintah menuntut ilmu
sepanjang masa ini diterangkan dalam Hadits Nabi SAW. "Carilah ilmu sejak buaian sampai ke liang
lahad".

Dengan memiliki ilmu, seseorang menjadi lebih tinggi derajatnya dibanding dengan yang tidak berilmu.
Atau dgn kata lain, kedudukan mulia tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu.

Firman Allah SWT : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat" (Al Mujadilah : 11)

Dan firman Allah SWT : "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui" (Az-Zumar : 9). Sementara itu, penghormatan terhadap penuntut ilmu dijelaskan pula
dalam beberapa Hadits Nabi SAW. diantaranya : "Tidaklah suatu kaum berkumpul disalah satu rumah
Allah, sambil membaca al Qur'an dan mempelajarinya kecuali mereka dinaungi oleh para malaikat,
mereka diberikan ketenangan, disirami rahmat dan selalu diingat Allah".

"Sesungguhnya, malaikat akan meletakkan sayapnya (menaungi) pada pencari ilmu karena senang apa
yang sedang dituntutnya".

Menurut hadits tersebut diatas, tempat-tempat majlis ilmu itu dinaungi malaikat, diberikan ketenangan
(sakinah), disirami rahmat dan dikenang Allah di singgasana-Nya. Begitulah penghormatan yang
diberikan kepada orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan itu.

Ilmu menurut pandangan Islam adalah tiang. Pondasi bagi kebangkitan suatu bangsa, tonggak
kebudayaan dan sarana untuk mencapai kemajuan baik bagi individu ataupun kelompok masyarakat
Mukjizat Rasullah saw yang paling agung adalah al-Quran yang mulia, yang mengarahkan manusia
menuntut ilmu, menggunakan akal dan pikiran, menghargai tulis menulis, membaca, penelitian dan
mengarahkan umat manusia pada keluhuran akhlak dan budi pekerti. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-alaq(96):1-5 yang artinya, bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang maha pemurah yang
mengajarkan manusia dengan perantara pena dia mengajarakan pada manusia apa yang telah
diketahuinya.
Manusia menjadi makhluk yang paling mulia bila dibandingkan dengan makhluk lain. Karena ia
memiliki ilmu. karena itu manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling banyak memiliki ilmu
dan yang paling banyak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu Memperkuat Iman


lmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala
sikap dan tindakan. Keluasan wawawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat
seseorang lebih cenderung kepada obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan
sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk. Tentunya bagi seorang muslim, dibalik
wajah-wajah kebenaran itu tersirat kebenaran yang mutlak adalah Allah SWT. Dengan kata lain, ilmu
yang benar mendorong seseorang beriman kepada Allah SWT. Bahkan lebih dari itu, ilmu yang benar
dapat pula memperkuat dan meningkatkan keimanan seseorang. Ilmu dapat memperkuat iman, dan
iman melahirkan kepatuhan dan tawadhu' kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT : "Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini Al Qur'an itulah yang hak
(petunjuk yang benar) dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepada-Nya" (al Hajj
: 54).

Dari salah satu hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud : "Dari Abu Darda' berkata, saya
mendengar Rasulallah SAW bersabda : 'Kelebihan seseorang alim dari seseorang 'abid (banyak ibadah)
seperti kelebihan bulan pada bintang-bintang".

Menurut hadits ini orang yang berilmu melebihi dari orang yang banyak ibadah laksana bulan melebihi
bintang-bintang. Ilmu manfaatnya tidak terbatas, bukan hanya bagi pemiliknya. Tapi ia membias ke
orang lain yang mendengarkannya atau yang membaca karya tulisnya. Sedangkan ibadah manfaatnya
terbatas hada pada sipelakunya.

Ilmu atasar dan pengaruhnya tetap abadi dan lestari selama masih ada orang yang memanfaatkannya,
meskipun sudah beberapa ribu tahun. Tetapi orang yang melakukan shalat, puasa, zakat, haji, bertasbih,
bertakbir dll tetap diberi pahala oleh Allah SWT, akan tetapi semua ini segera berakhir dengan
berakhirnya pelaksanaan dan kegiatan.

Sabda Nabi : "Jika manusia meninggal dunia, semua amalnya terputus kecuali tiga : sedekah jariah, ilmu
yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya" (HR. Muslim).

Marilah kita perhatikan intisari ajaran Al-Quran tentang sains dan teknologi:
Pertama, Allah menciptakan alam semesta dengan haqq (benar) kemudian mengaturnya dengan
hukum-hukum yang pasti (Al-A`raf 54, An-Nahl 3, Shad 27).

Kedua, manusia diperintahkan Allah untuk meneliti dan memahami hukum-hukum Allah di alam
semesta (Ali Imran 190-191, Yunus 101, Al-Jatsiyah 13).

Ketiga, dalam memanfaatkan hukum-hukum Allah di alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, manusia harus berwawasan lingkungan dan dilarang untuk merusak atau membuat
pencemaran (Al-Qasas 77, Ar-Rum 41).

Pentingnya ilmu menurut Islam, dorongan serta kewajiban mencari dan menuntut ilmu telah
menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau menjadi pusat pengembangan ilmu dan
kebudayaan. Di masa yang akan datang, kejayaan di masa lampau itu insya Allah akan berulang, kalau
pemeluk agama Islam menyadari makna firman Allah yang menjelaskan bahwa umat Muhammad adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mempelajari dan mengamalkan agama secara menyeluruh.

a. Motivasi alquran dan hadist kearah pengembangan IPTEK

Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnyadimiliki
umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi
seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber
segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagisegala ilmu pengetahuan.
Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islamdapat diterima dan diamalkan, sedang
yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dantidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan
Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam)sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam
kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteriainilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam,
bukan standar manfaat(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah
ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-
haram(hukum-hukum syariahIslam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telahdihalalkan
oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan olehSyariah, maka tidak
boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkanmanfaat sesaat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu
sisi memang berdampakpositif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai
sarana modernindustri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Denganditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum
jahit.Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan per
menit(Qardhawi, 1997).

Terdapat tiga alasan pokok, mengapa kita perlu menguasai iptek, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara barat. Ini
fakta, tidak bisa dipungkiri.
2. Negara-negara barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara
Islam. Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya,
misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri, ramai
sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.

b. Kedudukan dan kehormatan ilmuwan dalam islam

Di dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mengenal kata Ilmuwan/Ulama. Dimana arti
Ilmuwan/Ulama adalah orang yang Alim atau mengetahui. Ulama/Ilmuwan bukan sekedar istilah dan
kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukkan di lembaga bentukan
pemerintahan dengan subsidi dana. Namun kosa kata al-Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti
dan kedudukan sangat terhormat di sisi Rabb.
Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar alima (telah mengetahui); berubah menjadi
kata benda pelaku alimun berarti orang yang mengetahui (mufrad/singular) dan ulama (jamak
taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran. Yang sangat
masyhur dalam hal ini adalah :
Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-Nya adalah ulama (QS.Fathir
28).
Merujuk dari Nash yang jelas tentang lafadz al-Ulama dalam al Quran di atas adalah hamba Allah
yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintah-Nya dikarenakan dengan ilmunya ia
sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan
asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara,
khowasy dan arif.
Dalam al-Quran Surat Al-Mujadalah ayat 11 dikemukakan: Allah akan mengangkat derajat orang-
orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat mengilhami kepada kita untuk serius
dan konsisten dalam memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa tokoh penting
(ilmuwan) dalam sejarah Islam jelas menjadi bukti janji Allah s.w.t akan terangkatnya derajat mereka
baik dihadapan Allah maupun sesama manusia.
DR Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al Munir-nya memaknai kata darajaat (beberapa derajat)
dengan beberapa derajar kemuliaan di dunia dan akhirat. Orang alim yang beriman akan memperoleh
fahala di akhirat karena ilmunya dan kehormatan serta kemuliaan di sisi manusia yang lain di dunia.
Karena itu Allah s.w.t meninggikan derajat orang mumin diatas selain mumin dan orang-orang alim di
atas orang-orang tidak berilmu.[8]
Dalam perspektif sosiologis, orang yang mengembangkan ilmu berada dalam puncak piramida
kegiatan pendidikan. Banyak orang sekolah/ kuliah tetapi tidak menuntut ilmu. Mereka hanya mencari
ijazah, status/gelar. Tidak sedikit pula guru atau dosen yang mengajar tetapi tidak mendidik dan
mengembangkan ilmu. Mereka ini berada paling bawah piramida dan tentunya jumlahnya paling
banyak. Kelompok kedua adalah mereka yang kuliah untuk menuntut ilmu tetapi tidak mengembangkan
ilmu. Mereka ini ingin memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya atau untuk
dirinya sendiri, tidak mengembangkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kelompok ini berada di
tengah piramida kegiatan pendidikan. Sedangkan kelompok yang paling sedikit dan berada di puncak
piramida adalah seorang yang kuliah dan secara bersungguh-sungguh mencintai dan mengembangkan
ilmu. Salah satunya adalah dosen yang sekaligus juga seorang pendidik dan ilmuwan. (Tobroni:36)
Keutamaan orang alim (ilmuwan) dibanding lainnya diperkuat oleh hadist Nabi dari Muadz;[9]
""
Keutamaan orang alim atas hamba (lainnya) adalah seperti kelebihan bulan purnama atas bintang-
bintang H.R Abu Daud, Turmudzi, Nasai , dan Ibn hibban.
Tentang keutamaan dan kedudukan orang berilmu juga dijelaskan dalam QS. Fathir: 28, yang
artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk-makhluk bergerak yang bernyawa dan
hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Diantara hamba-hamba
Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai makna ayat di atas, di sini akan dikemukakan beberapa
penafsiran ulama tentang ayat tersebut:

a) Tafsir Ibnu Katsir


Ibnu Katsir memberikan penjelasan terhadap ayat ini, yang penulis kemukakan secara ringkas/inti
dari penjelasannya bahwa sesungguhnya yang paling takut kepada Allah swt adalah para ulama yang
mengetahui tentang-Nya. Karena ketika mengetahui tentang keagungan, kekuasaan, yang Maha
Mengetahui, dan semua sifat kesempurnaan-Nya serta nama-nama yang terbaik, ketika pengetahuan
tentang hal itu sempurna, maka rasa takut kepada Allah menjadi sangat besar (khasyyah).
Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengatakan tentang ayat itu, bahwasanya orang alim itu
adalah orang yang mengetahui bahwasanya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang mengetahui
Allah adalah yang tidak mensekutukan Allah dengan segala sesuatu, menghalalkan yang halal,
mengharamkan yang haram, serta menjaga dan meyakini bahwa Allah selalu mengawasinya. Ibnu
Masud mengatakan, bukanlah ilmu dengan banyak bicara, tapi ilmu itu adalah dengan banyak khasyyah
(takut kepada Allah).[10]
b) Tafsir Al-Kasysyaf
Zamakhsyari mengatakan: Ulama adalah orang yang mengetahui Allah beserta sifat-sifatNya,
keadilanNya, serta meng-EsakanNya, maka mereka akan mengagungkan-Nya, merasa sangat takut
kepada-Nya. Dan barang siapa yang bertambah ilmunya, maka akan bertambah pula rasa takut kepada
Allah.
Lebih lanjut Zamakhsyari menjelaskan dalam Al-Kasysyafnya, jika ada yang mengatakan, apakah
berbeda maknanya jika didahulukan maful atau dibelakangkan dalam ayat ini? Beliau mengatakan:
tentu, karena jika didahulukan nama Allah dan dibelakangkan kata Ulama, maka artinya adalah
bahwasanya orang-orang yang sangat takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah ulama,
tidak ada selain mereka. Jika terbalik, maka maknanya pun akan berubah yaitu: bahwasanya para ulama
tidaklah takut kecuali kepada Allah. Sebagaimana dalam Firman Allah swt QS.Al-Ahzab:39
( dan tidaklah mereka takut pada seorang pun kecuali kepada Allah).
Bagaimana jika lafazh Allah dijadikan fail ( ?)Beliau mengatakan: khasyyah di sini adalah kiasan,
yang artinya Allah memuliakan mereka (ulama), menyayangi mereka, dan akan memberikan pahala
serta ampunan karena ketaatan mereka.[11]

c) Tafsir Al-Lubab
M. Quraish Shihab dalam Al-Lubab menjelaskan dengan ringkas tentang ayat ini, bahwa: diantara
manusia, binatang melata, dan binatang ternak, bermacam-macam juga bentuk, ukuran, jenis dan
warnanya. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuwan dan karena
itu sesungguhnya yang takut lagi kagum kepada Allah swt di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama/para ilmuwan. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Pengetahuan dan fenomena alam dan sosial, demikian juga pengetahuan agama, mestinya
menghasilkan khasyat, yakni rasa takut disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang
objek. Pernyataan Al-Quran bahwa memiliki sifat tersebut hanya ulama. Mengandung arti bahwa yang
tidak memilikinya tidak wajar dinamai ulama/cendikiawan.[12]
Penjelasan al Quran, Hadist maupun fakta di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa
kedudukan ilmu dan ilmuwan begitu tinggi dan mulia di hadapan Allah dan hamba-hambaNya. Yang
beriman dan berilmu mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sekedar beriman
tanpa berilmu. Ketinggian itu bukan saja karena nilai ilmu yang dimilikinya, tetapi juga karena amal dan
pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Jika umat Islam menyadari dan memegang teguh ajaran agamanya untuk menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan, maka pasti dapat diraih kembali puncak kejayaan Islam sebagaimana catatan sejarah di
abad awal Hijrah hingga abad ke dua belas Hijrah, dimana umat dan Negara- negara Islam menjadi pusat
peradaban dunia.
Kedudukan Ulama

1. Orang yang berkedudukan tinggi di sisi Aloh.

Hal ini sebagaimana penegasan sekaligus janjiAllah Subhanahu wa Taala kepada Ulama dalam
firmannya yaitu Surat Al Mujaddalah Ayat 11

2. Orang Yang paling khasyyah/Taqwa kepada Allah.

Sebagaimana dalam Q.S Fathir: 28 Allah memuji Ulama.

3. Orang yang paling peduli terhadap umat. (Ali Imran: 110)

4. Ulama adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar. (Al-Anbiya: 7)

c. Ciri ciri yang harus dimiliki ulul al-albab

A. Pengertian
Kata Ulil Albab dalam pengertian secara sederhana sering diartikan sebagai orang yang Berakal
atau orang yang berfikir. Pengertian ini tidak salah kalau kita tinjau dari sudut istilah bahasa Indonesia.
Akan tetapi, mungkin sudah waktunya kita memahami dan mendalami dengan lebih mendalam dan
lebih spesifik lagi. Sehingga kita dapat merenungi secara seksama arti kata ulil albab. Sehingga setiap
kita membaca ayat suci Al-Quran akan menjadi lebih menghayati lagi makna yang terkandung di dalam
hati kita.Mari kita lihat beberapa surat di dalam Alqur'an yang mengandung kata Ulil Albab.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)

Menurut A.M. Saefudin, bahwa ulul albab adalah pemikir intlektual yang memiliki ketajaman
analisis terhadap gejala dan proses alamiyah dengan metode ilmiah induktif dan deduktif, serta
intlektual yang membangun kepribadian dengan dzikir dalam keadaan dan sarana ilmiah untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia.
ulul
Dalam kitab-kitab terjemahan al-Qur'an, kata Ulil Albab seringkali dimaknai dengan "orang-
orang yang berakal atau berpikir", karena merujuk pada kalimat di dalam Surat Ali Imran ayat 191, "dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Kemudian banyak yang menafsirkan bahwa
"orang-orang yang berpikir" tersebut adalah para cendekiawan adalah seorang pemikir atau seorang
ilmuwan. Apakah setiap orang yang melakukan aktivitas berpikir seperti mereka otomatis termasuk di
dalam golongan Ulil Albab? Jawabannya adalah belum tentu, karena dalam ayat diatas sudah
dipaparkan dengan begitu jelas, bahwa definisi dari Ulil Albab adalah meliputi semua yang tertulis
seperti berikut

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."

Dalam uraian di atas dapat kita lihat bahwa sebelum melakukan aktivitas berpikir, seseorang
akan dikatakan sebagai Ulil Albab jika ia telah mampu melaksanakan kegiatan dzikir dalam artian selalu
mengingat Allah dalam segala kondisi. Baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring bahkan pada saat
sedang berpikir, dirinya tidak pernah terlepas dari dzikir.

Kita telah mengetahui dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena
dikaruniai oleh Allah berupa akal pikiran, punya nalar untuk menentukan mana yang salah dan mana
yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi, jika kata ulil albab dipahami hanya sebagai
orang-orang yang berpikir seperti ayat di atas sangatlah tidak tepat, karena tidak semua orang dari kita
yang berakal ini, mampu mengambil pelajaran dari kisah para nabi.

Pada kisah Nabi Ibrahim, misalnya, bagaimana mungkin Beliau tega untuk membawa, dan
kemudian meninggalkan istrinya Siti Hajar r.a. yang baru melahirkan Ismail as, dan Ismail as sendiri
ketika itu masih seorang bayi merah, di tengah padang pasir mekkah yang tandus, tanpa bekal dan tanpa
air, selama sebelas tahun lamanya? Sementara Nabi Ibrahim sendiri setelah itu justru pulang ke istrinya
yang lain, Siti Sarah r.a., dan baru kembali menyusul mereka sebelas tahun kemudian. Tindakan beliau
seakan-akan sangat tidak berperi kemanusiaan dan jelas melanggar HAM. Walaupun pada akhirnya,
dalam kehausan yang amat sangat, Ismail kecil menendang-nendang pasir dan muncullah dari sana
sumber air zamzam. Siti Hajar yang berlari bolak-balik ke sana kemari mencari air antara bukit Shafa dan
Marwa, hingga sekarang diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji. Baru bertahun-tahun kemudian
Ibrahim a.s datang kembali ke tempat itu, untuk membangun Kabah bersama Ismail dan Hajar.
Berabad-abad kemudian, tempat itu menjadi sebuah kota bernama Mekkah.

Berdasarkan keterangan diatas, jika kita manusia yang sudah memiliki akal, tapi masih bingung
dengan takdir kita yang mungkin tidak menyenangkan, dengan musibah, dengan makna hidup, dengan
perilaku para Nabi yang tidak sesuai dengan kehendak kita, bingung dengan kehidupan, bingung kenapa
harus ada bencana, atau tidak mampu memahami ayat-ayat mutasyabihaat dalam al-Quran, artinya kita
memang berakal, tapi belum termasuk ke dalam golongan yang ulil albab

B. Ciri-ciri Ulil Albab


Adapun ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Quran adalah:
1. Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan.
Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Quran maupun gejala-gejala alam),
menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat
demi kebaikan bersama.
"Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).
Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang
menunjukan tanda-tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Ilahy, ulul albab juga seorang yang
senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan
keluhuran moral dalam dirinya.
Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa
dalam al-Quran terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta
memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya
yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan
segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah yang
kemudian dikenal dengan istilah teknologi. Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus
mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat Allah semakin bertambah.
"Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Jika
kamu mengingkari (nikmat- Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih" (QS, Ibrahim, 7).
Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai manusia, serta mampu menaklukkan
jagat raya bila mau berpikir dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi.
"Jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuruu langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak
akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (teknologi)" (QS, Ar-Rahman, 33).

2. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.


Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik.
Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan
didukung banyak orang.
"Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan
dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100)
Dalam masyarakat, Ulul Albab tampil bagai seorang "nabi". Ia tidak hanya asyik dalam acara
ritual atau tenggelam dalam perpustakan; sebaliknya tampil dihadapan umat. Bertabligh untuk
memperbaiki ketidakberesan yang terjadi di tengah- tengah masyarakat, memberikan peringatan bila
terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.

3. Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang
lain.
Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan
mentah-mentah apa yang diberikan orang lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu
mengecek kebenarannya.
"Yang mengikuti perkataan lalu mengikuti yang paling baik dan benar, mereka itulah yang diberi
petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah ulul albab" (QS, Az-Zumar, 18).

4. Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu.


Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.
Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan
mampu membuat prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat persiapan untuk
menyambut kemungkinan- kemungkinan yang bakal terjadi.
Sampai pada ciri-ciri ini, ulul albab tidak ada bedanya dengan intelektual yang lain. Tapi bila
dilanjutkan, maka ada nilai tambah yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh seorang intelektual biasa.

5. Rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk dihadapan Allah swt.
Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah
sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala
derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi. Ulul Albab sangat "dekat" dengan Tuhannya.
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadah di waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Tuhannya.
Katakanlah: 'Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?'.
Sesungguhnya, hanya ulul albab yang dapat menerima pelajaran" (QS, Az-Zumar, 9).

6. Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata.


Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal
ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi kepentingan pribadi
(menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua.
Ia dapat digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan dan dimanfaatkan untuk
perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat
berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, ia tidak akan segan-segan
menggunakan hasil teknologinya untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan nafsu
angkara murkanya.
Dengan demikian, ulul albab bukan sekedar ilmuwan atau intelektual. Dalam diri ulul albab
terpadu sifat ilmuwan, sifat intelektual dan sekaligus sifat orang yang dekat dengan Allah. Dalam dunia
pendidikan dewasa ini, kita sangat mengharapkan perguruan tinggi mampu mencetak sosol sarjana yang
mempunyai kemampuan keilmuan dan kepribadian seperti itu. Seorang sarjana yang benar-benar,
bukan hanya sekedar sarjana.

http://bacaonlines.blogspot.co.id/2011/04/motivasi-islam-mengembangkan-ilmu.html

http://aaotid.blogspot.co.id/2014/01/motivasi-islam-dalam-mengembangkan-ilmu.html

http://idajamal.blogspot.co.id/2010/04/keutamaan-menuntut-ilmu-dan-kedudukan.html

http://agusdus11.blogspot.co.id/2014/06/kedudukan-orang-berilmu-dan-dampak-ilmu.html

http://makalahzaki.blogspot.co.id/2012/10/kedudukan-ilmuwan.html

http://sasmitagoomi.blogspot.co.id/2016/01/ulul-albab-orang-yang-berakal-dan.html

Anda mungkin juga menyukai