Anda di halaman 1dari 8

ILMU PENGETAHUAN

DALAM ISLAM

Nama : Citra yulianti pratiwi.S


NIM : 32321055
Kelas : 1C_D3ELKA
ILMU Ilmu pengetahuan adalah usaha yang bersifat multi

dimensional, sehingga dapat didefinisikan dalam berbagai cara dan tidak baku. Al-Attas berpendapat
PENGETAHUAN bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan secara ketat, ia hanya dapat dijelaskan dan penjelasan ini hanya
lebih mengacu kepada sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang dimiliki manusia
DALAM adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari ALLAH. Menurut Al-Attas, dilihat dari sumber hakiki
pengetahuan tersebut, maka pengetahuan adalah kedatangan makna suatu objek kedalam jiwa, (Al-
PERSPEKTIF Attas, 1980:42).

ISLAM Pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia, dipandang dari sudut ibadah sangat tinggi nilai
pahalanya. Nabi Muhammad SAW bersabda "sungguh sekiranya engkau melangkahkan kaki di waktu
pagi (menjelang petang) kemudian mempelajari suatu ayat dari kitab ALLAH yaitu Al-Quran, maka
pahalamya lebih baik dari ibadah satu tahun". Hal denada di temukan di hadis lain yang artinya
"barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka ia termasuk golongan fisabilillah (orang-orang yang
menegakkan agama ALLAH) hingga sampai ia pulang kembali.

Demikian pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga ALLAH SWT mewajibkan setiap muslim untuk


menuntut ilmu sebagai bekal dirinya, baik dalam menjalani hidup dam memenuhi segala keperluan
hidupnya. Sebagai sabda Rasulullah yang artinya "menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim".

Nabi Muhammad SAW, mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu tanpa batas waktu: "tuntutlah ilmu
dari lahir hingga ke liang lahat". Dengan demikian jelas bahwa islam menghargai ilmu pengetahuan
dan merupakan kewajiban.
INTEGRASI, Dalam pandangan islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang
harmonis dan dinamis yang terintegrasi kedalam suatu sistem yang disebut dinul islam. Di dalamnya
terkandung tiga unsur pokok, yaitu akidah, syari’ah dan akhlak, dengan kata lain Iman, Ilmu dan Amal
ILMU, IMAN, shaleh. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran yang artinya :

DAN AMAL
“Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik(Dinul Islam) seperti
sebatang pohon yg baik,akarnya kokoh(menghujam ke bumi) dan cabangnya menjulang ke langit.
Pohon itu mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan
– perumpamaan itu agar manusia selalu ingat" ( QS : 14 ;24-25).

Ayat diatas mengindentikkan bahwa Iman adalah akar,Ilmu adalah pohon yg mengeluarkan dahan dan
cabang-cabang ilmu pengetahuan.Sedangkan Amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi
dan seni. Ipteks dikembangkan diatas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh bukan
kerusakan alam.

Islam adalah agama wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang paripurna. Keparipurnaannya
terletak pada tiga aspek yaitu : aspek Aqidah, aspek ibadah dan aspek akhlak. Meskipun diakui aspek
pertama sangat menentukan,tanpa integritas kedua aspek berikutnya dalam perilaku kehidupan muslim,
maka makna realitas kesempurnaan Islam menjadi kurang utuh, bahkan diduga keras akan
mengakibatkan degradasi keimanan pada diri muslim, sebab eksistensi prilaku lahiriyah seseorang
muslim adalah perlambang batinnya.
Keutuhan ketiga aspek tersebut dalam pribadi Muslim sekaligus
merealisasikan tujuan Islam sebagai agama pembawa kedamaian,
ketentraman dan keselamatan. Sebaliknya pengabaian salah satu
aspek akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran

Agama (Iman) berfungsi untuk memberikan arah bagi seorang


ilmuwan untuk mengamalkan Ilmunya. Dengan didasari oleh
keimanan yang kuat, pengembangan ilmu dan teknologi akan selalu
dapat dikontrol beradapada jalur yang benar. Sebaliknya, tampa
dasar keimanan ilmu dan teknologi dapat disalahgunakan sehingga
mengakibatkan kehancuran orang lain dan lingkungan.
TANGGUNG Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang ilmuwan muslim
mempunyai tanggung jawab, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban
JAWAB atas ilmu yang dimilikinya. Rasulullah SAW bersabda:

ILMUWAN
‫ «اَل تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َّ َم‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ع َْن َأبِي بَرْ َزةَ اَأل ْسلَ ِم ِّي‬
‫ َو َع ْن َمالِ ِه ِم ْن َأي َْن ا ْكتَ َسبَهُ َوفِي َم‬،‫ َو َع ْن ِع ْل ِم ِه فِي َم فَ َع َل‬،ُ‫القِيَا َم ِة َحتَّى يُ ْسَأ َل َع ْن ُع ُم ِر ِه فِي َما َأ ْفنَاه‬
2417[ ‫ص ِحي ٌح‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫ هَ َذا َح ِد‬: ‫ وقال‬،‫ َوع َْن ِج ْس ِم ِه فِي َم َأ ْباَل هُ» (رواه الترمذي‬،ُ‫َأ ْنفَقَه‬

            Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata: Rasulullah SAW


bersabda: “Tidak bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada
hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya; dalam hal apa ia
menghabiskannya,  tentang ilmunya; dalam hal apa ia berbuat, tentang
hartanya; dari mana ia mendapatkannya dan dalam hal apa ia
membelanjakannya, dan tentang pisiknya; dalam hal apa ia
mempergunakannya”. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata: “Ini hadits
hasan shahih”, hadits no. 2417).
DR. Yusuf Al-Qaradawi menjelaskan ada tujuh sisi tanggung jawab seorang ilmuwan muslim, yaitu: 1) Bertanggung jawab dalam hal memelihara dan menjaga
ilmu, agar ilmu tetap ada (tidak hilang), 2) Bertanggung jawab dalam hal memperdalam dan meraih hakekatnya, agar ilmu itu menjadi meningkat, 3) Bertanggung
jawab dalam mengamalkannya, agar ilmu itu berbuah, 4) Bertanggung jawab dalam mengajarkannya kepada orang yang mencarinya, agar ilmu itu menjadi bersih
(terbayar zakatnya), 5) Bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dan mempublikasikannya agar manfaat ilmu itu semakin luas, 6) Bertanggung jawab dalam
menyiapkan generasi yang akan mewarisi dan memikulkan agar mata rantai ilmu tidak terputus, lalu, terutama, bahkan pertama sekali, 7) Bertanggung jawab dalam
mengikhlaskan ilmunya untuk Allah SWT semata, agar ilmu itu diterima oleh Allah SWT.

Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis
seorang ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi
sosial pengembangan ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan orang lain, menjalani prosedur
ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudah ada untuk
mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga
memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia sehingga
seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir untuk menyalahgunakan ilmu.
PANDANGAN ISLAM mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Berbeda
dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya untuk kepentingan materiel,
Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah. Selain itu
ISLAM iptek juga sebagai pengabdian muslim kepada Allah (spiritual) dan mengembangkan
amanat khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan

TERHADAP menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Belajar dan mengembangkan iptek merupakan bentuk keimanan seseorang dan menjadi daya

KEMAJUAN penggerak untuk menggali ilmu. Memandang betapa pentingnya mempelajari ilmu-ilmu lain (selain
ilmu syariat, yakni iptek) dalam perspektif Alquran, Mehdi Golshani dalam bukunya, The Holy Qur'an

IPTEK and The Science Of Nature (2003), mengajukan beberapa alasan.


Pertama, jika pengetahuan dari suatu ilmu merupakan persyaratan pencapaian tujuan Islam
sebagaimana dipandang oleh syariat, mencarinya merupakan sebuah kewajiban karena ia merupakan
kondisi awal untuk memenuhi kewajiban syariat. Contohnya, kesehatan badan bagi seseorang dalam
satu masyarakat adalah penting. Oleh sebab itu, sebagian kaum muslim harus ada yang mempelajari
ilmu mengenai pengobatan.

Kedua, masyarakat yang dikehendaki Alquran adalah masyarakat yang agung dan mulia, bukan
masyarakat yang takluk dan bergantung pada nonmuslim (QS An-Nisa’: 141). Agar dapat
merealisasikan tujuan yang dibahas Alquran itu, masyarakat Islam benar-benar harus menemukan
kemerdekaan kultural, politik, dan ekonomi.
Pada gilirannya, hal itu membutuhkan pelatihan para spesialis spesifikasi tinggi di dalam segala
lapangan dan penciptaan fasilitas ilmiah dan teknik dalam masyarakat Islam. Sebab, pada abad modern,
kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali dengan upaya pengembangan ilmiah dan kunci
sukses seluruh urusan bersandar pada ilmu.
Ketiga, Alquran menyuruh manusia mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaiban-keajaiban alam, sebab-sebab, akibat-akibat seluruh benda, dan organisme
hidup. Pendek kata, seluruh tanda kekuasaan Tuhan di alam eksternal dan kedalaman batin jiwa manusia, seperti tersirat dalam Alquran, “ Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS Al-
Baqarah: 164).

Keempat, alasan lain untuk mempelajari fenomena-fenomena alam dan skema penciptaan adalah bahwa ilmu tentang hukum-hukum alam dan karakteristik benda
serta organisme dapat berguna untuk perbaikan kondisi manusia. Ini misalnya yang tersirat dalam Alquran, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berpikir”. (QS Al-Jatsiyah: 13)
Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan iptek, antara lain QS Ar-Rum: 22, QS Al-An’am: 97, dan QS Yunus: 5. Ayat-ayat itu secara jelas
menggambarkan fenomena alam yang selalu dihadapi dan mengiringi perjalanan hidup umat manusia untuk dipahami, diteliti, sehingga lahirlah pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena itu, seperti diisyaratkan dalam ayat-ayat di atas, yang mengetahui hakikat alam ini hanyalah orang-orang yang mengetahui, yakni mereka
yang intens bergerak untuk mencari dan mencari karena kuriositasnya yang tinggi dengan memaksimalkan kerja pikiran.

Anda mungkin juga menyukai