Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa‟idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan,
melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan
yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang
bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua,
menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang
seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-
haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek jika
telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun
ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh perdaban barat satu abad
terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai penjuru dunia. Kesejahteraan
dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan iptek modern
membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya hidup peradaban barat tanpa
dibarengi sikap kritis trhadap segala dampak negatif yang diakibatkanya. Pada
dasarnya kita hidup di dunia ini tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada
banyak cara untuk beribadah kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, dan menuntut
ilmu. Menuntut ilmu ini hukumnya wajib. Seperti sabda

1
Rasulullah SAW: “menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban atas setiap muslim laki-

laki dan perempuan”. Ilmu adalah kehidupanya islam dan kehidupanya keimanan.

2
1.1 Rumusan Masalah

Berikut ini adalah beberapa masalah yang akan kami teliti :

2.1 Apa yang dimaksud dengan konsep iptek dan peradaban muslim?

2.2 Apa yang dimaksud dengan hubungan ilmu,agama, dan budaya ?

2.3 Apa yang dimaksud dengan hukum sunatullah (kausalitas) ?

1.2 Maksud Tujuan

Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Aika V. Selain itu diharapkan agar para pembaca lebih mengetahui dan
memahami mengenai hakikat iptek dalam pandangan islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep IPTEK dan Peradaban Muslim

2.1.1. Integrasi Amal, Ilmu, Amal dan Definisi IPTEK

Istilah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sering diterjemahkan


menjadi science and technology. Namun sesungguhnya, menurut perspektif filsafat
ilmu dan pengetahuan memiliki makna yang berbeda. Pengetahuan yang dalam
bahasa inggris disebut dengan knowledge, adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia melalui tahapan panca indra, intuisi, dan firasat. Sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, diorganisasi, disistemasitisasi, dan
diinterpretasi, sehingga menghasilkan kebenaran yang objektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (webter’s dictionary science).
Menurut pandangan dunia Timur (Arab) yang dalam hal ini diwakili Al-Gazali, ilmu
didefinisikan sebagai cahaya dalam hati (Al – ilmu Nurun fil Qulbi). Dalam surat al-
Rahman 1-13 mendefinisikan ilmu sebagai rangkaian keteranagn teratur dari Allah
menurut Sunah Rasul yang menerangkan semesta kehidupan yang tergantung kepada
Allah. Dala sejarah islam, tercatat banyak sekali ilmuwan muslim yang ahli dalam
berbagai bidang kajian ilmu. Beberapa yang bisa disebut antara lain Ibnu Rusyid,
Ibnu Sina, Al –Razi, Al-Khwarizmi dan lain-lain, adalah sosok yang disamping
sebagai filosof, mereka juga ahli kedokteran, astronomi, metematika, fisika dan
sebagainya. Jika teknologi diimbangi dengan ilmu, maka sesungguhnya ia merupakan
aktivitas atau produk dari iman, yaitu hasil amaliyah bil arkan. Seni adalah ungkapan
akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Menurut Sabda Nabi, “Innallaha
jamilun wa yuhibbul Jamaal”, Allah itu indah dan menyukai keindahan.

4
2.1.2. Syarat-syarat ilmu

Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dari pengetahuan. Suatu
pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok,
yaitu:

• Ontologi, yaitu suatu bidang study yang memiliki objek study yang jelas. Subjek
studi tersebut harus dapat diindentifikasikan, diberi batasan, diuraikan, dan sifat-
sifatnya essensial. Objek studi sebuah ilmu ada dua, yaitu objek material dan objek
formal.

• Askiologi, yaitu suatu bidang studi yang memiliki nilai guna atau kemanfaatan. Ia
dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan
umum, konsep-konsep, dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren.
Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat kerancuan dan kesemerawutan pikiran
atau kopntradiksi antara yang satu dengan yang lain.

• Epistimologi, yaitu uatu bidang studi yang memiliki metode kerja yang jelas. Ada
dua metode kerja suatu bidang studi, yaitu deduksi dan induksi.

Dalam pemikiran sekuler, sains memiliki tiga karakteristik, yaitu objektif, netral, dan
bebas nilai. Sedangkan dalam pemikiran islam, sains tidak boleh bebas dari nilai-
nilai, baik nilai local maupun nilai universal. Ia harus dikembangkan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebahagiaan manusia dan kelestariamn
ekologis untuk tujuan rahmatan lil ‘alamin (Q.S al Anbiya 107).

2.1.3. Sumber Ilmu Pengetahuan

Dalam pemikiran islam ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan akal. Islam
sendiri menegaskan bahwa, ad-dinu huwa al-‘alq wa laa diina liman laa ‘ aqla lahu
(agama adalah akal dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal)

5
2.1.4. Keutaman Orang Berilmu

Manusia adalah satu-satunya mahluk Allah yang diberi anugrah akal dan
pikiran oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika manusia berkewajiban
untuk mengagungkan dan mengoptimalkan potensi dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur’an bahkan membedakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu
(QS. 39:9). Ayat tersebut mengatakan: katakanlah, adakah sama orang yang
mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang
berakallah orang yang dapat menerima pelajaran. Demikian juga Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu apabila orang
orang tersebut beriman. (QS 58:11)

Di samping itu, Rasulullah SAW banyak memberikan perumpamaan tentang


keutamaan orang yang berilmu dengan sabdanya, bahwa: mereka adalah pewaris para
nabi, pada hari kiamat darah mereka ditimbang dengan darah syuhada, dan darah
orang yang berilmu dilebihkan Darah darah syuhada. Nabi juga menyarankan
umatnya untuk tidak berhenti mencari ilmu kapan dan dimanapun mereka berada,
lewat sabdanya : Carilah ilmu walaupun di negeri China, mencari ilmu wajib bagi
muslim laki-laki dan perempuan sejak dari ayunan sampai ke liang lahat. Bagi orang
berilmu, yang melandaskan keilmuannya dengan keimanan, pengembangan, dan
pemanfaatan IPTEK dan seni tidaklah ditunjukan sebagai tuntunan hidup semata,
tetapi juga merupakan refleksi dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, hasil-hasil
kemajuan IPTEK akan dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk tujuan
Rahmatan lil alamin. (QS.21:107)

2.1.5. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan

Proses dehumanisasi dan terancamnya keseimbangan ekologi dan kelestarian


alam, merupakan imbas negatif dari kemajuan IPTEKS. Dalam (QS. Ar-Rum 45)
disebutkan : telah timbul kerusakan di daratan dan dilautan karena ulah tangan
manusia.

6
Oleh karena itu, ilmuwan tidak cukup hanya dengan ilmu saja, tetapi harus dibekal
dengan iman dan takwa. Ilmuwan yang beriman dan bertakwa akan memanfaatkan
kemajuan IPTEKS untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan kelangsungan
hidup manusia dan keseimbangan ekologi dan bukan untuk fasad fil ardhi.

2.2. Hubungan antara ilmu, agama, dan budaya

2.2.1. Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang


berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana
modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana
komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh
Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan
dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan
ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Lingkungan hidup
seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan
pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil
rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit
yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan
dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian
(Ahmed, 1999).

Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin
(Ahmed, 1999).

7
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:

a) berseberangan atau bertentangan,

b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,

c) tidak bertentangan satu sama lain,

d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau
iptek mendasari penghayatan agama.

Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa
yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama
dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu
pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk
menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola
hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo
berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa
matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia
dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan, 2009).

Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.


Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak
dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan
satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-
masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan
sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu,
apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang
berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan
dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada
wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang

8
satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat
terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan
agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009).

Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini,
kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan
tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan
dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam
masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak
mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak
mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti
ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa
dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan
dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak
terasa aneh apabila dikaitkan (Furchan, 2009).

Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya
pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran
agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara
teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung
pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama,
pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung
pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan
demikian pula sebaliknya (Furchan, 2009).

Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa

Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf
tidak saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat
pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu
pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya
diselesaikan dengan kebijaksanaan (Furchan, 2009).

9
Dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional
jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan
keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari
bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat
membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham
sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak
akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa (Furchan, 2009).

Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara
eksplisit adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit
diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh
nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus
menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama) (Furchan, 2009).

2.2.2. Hubungan Agama dengan Kebudayaan

Sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang


mengandung kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta
kekuasaan supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai
pemeliharaan kontrol sosial (Sutardi, 2007).

Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan
terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan
terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan
mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan
mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir
dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama-
agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan
kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).

10
Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya
tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama (Sutardi, 2007).

Sebelum ilmu antropologi berkembang, aspek religi telah menjadi pokok


perhatian para penulis etnografi. Selanjutnya, ketika himpunan tulisan mengenai adat
istiadat suku bangsa di luar eropa berkembang denganluas dan cepat melalui dunia
ilmiah, timbul perhatian terhadap upacara keagamaan. Perhatian tersebut disebabkan
hal-hal berikut: upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya
merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahiriah, dan bahan etnografi
mengenai upacara keagamaan yang diperlukan dalam menyusun teori-teori tentang
asal-usul suatu kepercayaan (Sutardi, 2007).

Mengenai soal agama, Pater Jan Bakker menyatakan bahwa filsafat


kebudayaan tidak menanggapi agama sebagai kategori insane semata-mata, karena
bagi filsafat ini agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya; merupakan
jawab manusia kepada panggilan ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman.
Iman tidak berasal dari suatu tempat ataupun pemberian makhluk lain. Iman ini
asalnya dari Tuhan, sehingga nilai-nilai yang mincul dari daya iman ini tidak dapat
disamakan dengan karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut berasal
dari Tuhan. Agama sebagai sistem objektif terkandung unsur-unsur kebudayaan
(Bakker, 1984).

Yang jelas dalam ilmu antropologi memang agama menjadi salah satu unsur
kebudayaan. Dalam hal ini para ahli antropologi tidak berbicara soal iman, sebab
secara empiris iman tidak dapat dilihat (Bakker, 1984).

Perilaku Religi dalam Masyarakat

Agama memiliki posisi yang cukup signifikan dalam kehidupan


bermasyarakat. Negara mengakui keberadaan agama dan melindungi kebebasan
masyarakat dalam melaksanakan ajaran agamanya (Sutardi, 2007).

11
Pada saat ini, adanya kebebasan dan keterbukaan memberikan ruang yang
besar bagi masyarakat untuk mengamalkan ajarana agama sebaik mungkin. Semangat
otonomi daerah yang memberikan keleluasan dan berpartisipasi dalam mengurus
daerahnya masing- masing memberi peluang untuk mengangkat ajaran agama sebagai
ruh pengelolaan pemerintahan. Ajaran agama dikemas sebagai dasar pengaturan
pemerintahan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang diangkat
merupakan nilai-nilai kebaikan universal yang juga diakui oleh agama lain (Sutardi,
2007).

Ajaran agama ketika disandingkan dengan nilai-nilai budaya lokal di era


desentralisasi dapat diserap untuk dijadikan pengangan kehidupan bermasyarakat. Hal
ini dapat dilihat dengan diberikannya otonomi khusus kepada Aceh yang dikenal
dengan Nanggroe Aceh Daussalam. Agama dan budaya di NAD sudah melebur dan
tidak bisa dipisahkan sejak dahulu, ketika kerajaan Islam masih ada di wilayah
tersebut. Dengan otonomi khusus ini hokum pidana Islam kembali dihidupkan
sehingga masyarakat merasakan keadilan sesuai dengan keyakinannya. Hal ini
menjadi awal yang baik dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan
mengangkat agama dan budaya yang ada di masyarakat tersebut (Sutardi, 2007).

Pada masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya,


perilaku keagamaan juga memberikan dampak yang cukup berarti. Hal ini dapat
dilihat pada masyarakat Suku Toraja di Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Toraja
mempercayai bahwa kematian merupakan awal menuju kehidupan yang kekal. Itu
sebabnya dalam budaya Toraja dikenal pemeo ‘hidup manusia adalah untuk mati’.
Artinya, setelah mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana. Untuk
mencapai nirwana, seseorang yang meninggal harus membawa bekal harta sebanyak-
banyaknya. Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surge dengan pesta
yang semarak. Semakin banyak benda yang dibawa si mayat, semakin bahagia
hidupnya di alam baka (Sutardi, 2007).

12
Dari ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku keagamaan dapat
memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Toraja sampai
saat ini dikenal memiliki kebiasaan menabung dan bersikap hidup hemat agar
nantinya dapat menyelenggarakan upacara kematian yang meriah. Mereka
menganggap anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik
sebab dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rejeki dan menjaga
keturunannya dengan baik pula (Sutardi, 2007).

2.3. Hukum sunnatullah (kausalitas)

Sunnatullah, di dunia moden yang sekular dipanggil law of nature bermacam-


macam persepsi dari kalangan manusia, muslim atau non muslim terhadap hukum
yang berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu dangkal
akal yang tidak mendapat petunjuk Ilahy mengenal pencipta alam ini dan undang-
undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan mesej yang jelas, bahawa
hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang dipanggil sunnatullah
dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia sebagai hukum semula jadi yang
tiada penghujungnya itu.

Persepsi yang terkeluar dari menda yang dicetak oleh hukum sekular
(keduniaan) yang menyembah mindanya sendiri. Maka beberapa perkara yang amat
perlu diperhatikan untuk sama-sama kita renungkan, setidak-tidaknya ada tiga
persepsi tentang sunnatullah dari golongan manusia. Pertama patuh secara terpaksa,
kedua, patuh sebahagian dan kufur kepada sebahagian yang lain, ketiga patuh secara
sukarela.

Golongan pertama adalah mereka yang kufur dan tidak segan silu mengenkari
undang-undang Allah dan buta mata hatinya terhadap hukum pertumbuhan jasadnya
dan apa yang berlaku kepada dirinya, mereka ini kufur dari ketentuan Allah terhadap
hukum yang berlaku kepada dirinya dan pertumbuhan jasadnya. Golongan ke dua,
mereka secara sedar atau tidak atau disebabkan kejahilan tidak memperhatikan
hukum pertumbuhan yang berlaku kepada jasadnya, lantas dengan segala

13
kekeliruanya engkar tehadap hukum Allah s.w.t. Golongan ketiga mereka yang patuh
dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, selalu memperhatikan apa yang berlaku
kepada alam ini, mereka sesungguhnya meyakini sepenuhnya pada dirinya dan
hukum pertumbuhan serta perubahan pada jasadnya, kesemuanya dari sunnatullah.

Hukum-hukum yang serba tetap yang mengatur alam ini, maka sesungguhnya itulah
hukum Allah s.w.t. apa yang diistilahkan Sunnatullah.

Kenyataaan ini diperkukuhkan oleh Al Qur'an. Firman Allah yang bermaksud

" Dan Allah mencipta tiap-tiap sesuatu, lalu ditetapkan padanya hukum- hukumnya"
(Q.S Al Furqan:2)

Dalam ayat yang lain ada dinyatakan. Firman Allah yang bermaksud :

" Sesungguhnya kami (Allah) telah mencipta segala sesuatu dengan ketentuan yang
pasti" (AlQamar:49)

Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak
tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan
Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al
Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya (time response) lebih
panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi
waktunya lebih panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh
pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.

14
Hukum Tuhan yang tidak tertulis ciri-ciri khasnya ialah reaksi waktu (time
response) pendek dari usia manusia, ia boleh dilakukan penelitian dan ekperimen
selain itu ia tidak melibatkan manusia. Contoh air yang mendidih 100°C. Jika satu
liter air dimasak memerlukan waktu 10 menit untuk mendidih, maka yang 10 minit
itulah disebut reaksi waktu yang jauh lebih pendek dari umur manusia, sehingga didih
air dapat diketahui dengan mengukur suhu air itu mendidih, begitu juga hukum gaya
berat gravitasi, dan semuanya ini tidak diwahyukan Allah dalam Al Qur'an.
Hikmahnya supaya manusia menggunakan anugerah Tuhan amat istimewa yang
bernama akal itu akan perlu adanya ekperimen atau pengembangan ilmu dan
teknologi. Sekiranya Allah itu mewahyukan semua hukum-hukumnya, maka tentulah
manusia itu diciptakan serupa dengan robot dan tidak dinamik lagi.

Maka inilah dinamakan hukum Allah itu pasti (exact), objektif dan tetap.
Hukum-hukum Allah itu tidak pernah berubah sejak diciptakan alam semesta ini, dan
tidak akan berubah sampai hancurnya alam ini (kiamat besar). Sejak diciptakan,
misalnya air mengalir tentunya dari tempat tinggi ke tempat rendah, tetapi tidak pula
disebaliknya. Demikian juga dalam keadaan biasa tidak pernah air itu mendidih
dalam keadaan suhu 10°C tapi selalu dalam suhu 100°C. Sebelum Newton lahir,
setiap batu yang diangkat kemudian dilepaskan tidak pernah melayang-layang, tetapi
ia jatuh dengan mudah. Hukum gravitasi adalah hukam Allah s.w.t. yang pertama kali
dipopulerkan oleh Newton (1642-1727) seorang filosuf dan Ilmuan Barat (Inggeris.)

Firman Allah s.w.t yang bermaksud :

" Yang demikian adalah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu
sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu."(Q.S Al Fath :23)

Dalam ayat yang lain. Allah berfirman yang bermaksud :

" Anda tidak akan menjumpai dalam ciptaan Allah itu sebuah kekacauan, maka
lihatlah sekali lagi adakah kamu temui padanya kecacatan." (Q.S Al Mulk: 3)

15
Oleh itu Allah selalu mengingatkan manusia supaya memperhatikan alam,
juga memerintahkan manusia supaya membuat penelitian terhadap alam semesta
dengan segala isi kandungannya dengan segala rendah hati bukan secara yang
sombong angkuh dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki, betapa Allah telah
menciptanya segala benda-benda tersebut berlaku secara teratur, sedikitpun tidak
terdapat sesuatu yang kacau dan cacat kecuali yang merosakkan adalah terdiri
makhluk yang bernama manusia samada kecacatan itu berlaku didarat atau dilautan,
semuanya hasil dari perbuatan jahat manusia.

Maka oleh kerana alam semesta dengan seluruh isi kandungannya taat atau
patuh dan tunduk kepada Allah, maka menurut tata bahasa dan secara literal Al
Qur'an samada kepatuhan itu secara terpaksa dalam bentuk kekufuran (ingkar) yang
cuba mempertikaikan kekuasaan Allah s.w.t atau patuh dengan penuh rasa keimanan
dan ketakwaan, maka seluruh alam ini adalah muslim adanya.

Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah
antara lain berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah
dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang
semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara
dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum
alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar pukul
rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan hukum-hukum
alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra, 17:77) dan tidak
pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena
sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau
ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.

Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-
Ahzab, 33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu,
tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi.
Hukum-hukum alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti,

16
tidak satupun di negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila
melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya
dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri.
Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang
halal akan terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata
adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang
melanggar hukum alam/ kemasyarakatan.

Al-Qur'an berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial,


yaitu al-Anfal, 8:53; dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang
perubahan, ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang
menggunakan kata "ma" (apa) berbicara tentang perubahan apapun, baik dari nikmat
(positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi) maupun dari negatif ke positif.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

A. Konsep IPTEK dan peradaban muslim

• Integrasi Amal, Ilmu, dan Definisi IPTEKS

• Syarat – syarat ilmu

• Sumber ilmu pengetahuan

• Keutamaan orang berilmu

• Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam dan lingkungan

B. Hubungan ilmu, agama, dan budaya

• Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang


berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana
modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat.
Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana
komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh
Columbus. Tapi di sisi lain, tidak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan
dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan
ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Lingkungan hidup
seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan
pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil
rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit
yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan
dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian
(Ahmed, 1999).

18
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin
(Ahmed, 1999).

Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:

a) berseberangan atau bertentangan,

b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,

c) tidak bertentangan satu sama lain,

d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari

• Hubungan Agama dengan Kebudayaan

Sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang


mengandung kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan kekuatan serta
kekuasaan supernatural. Sistem religi ada pada setiap masyarakat sebagai
pemeliharaan kontrol sosial (Sutardi, 2007).

Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan
terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan
terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan
mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan
mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir
dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama-
agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan
kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).

Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya
tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama.

19
C. Hukum sunnatullah (kausalitas)

Sunnatullah, di dunia modern yang sekular dipanggil law of nature


bermacam-macam persepsi dari kalangan manusia, muslim atau non muslim terhadap
hukum yang berlaku kepada alam dan isi kandunganya, ini menggambarkan begitu
dangkal akal yang tidak mendapat petunjuk Ilahi mengenal pencipta alam ini dan
undang-undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an memberikan penjelasan, bahwa
hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t yang dipanggil sunnatullah
dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia sebagai hukum semula jadi yang
tiada penghujungnya itu.

Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak
tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan
Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al
Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya (time response) lebih
panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan siksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi
waktunya lebih panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh
pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.

20
3.2. Saran

Dalam makalah ini penulis memiliki harapan agar pembaca memberikan kritik
dan saran yang membangun. Karena penulis sadar dalam penulisan makalah ini
terdapat begitu banyak kekurangan.

Selain itu, penulis juga menyarankan setelah membaca makalah ini kita semua dapat
lebih memahami tentang hakikat IPTEKS dalam pandangan islam.

DAFTAR PUSTAKA

Agdogan, Cemil. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS.


Jakarta. Thn I No 4, Januari-Maret 2005.

Al Faruqi, Isma’il Raji. Islamisasi Pengetahuan. Pustaka. Bandung. 1984

Al Baghdadi, abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik & Tari.
Gema Insani Press. Jakarta. 1991

Amsari, Fuad. Islam Kaaffah: Tantangan Sosial Dan Aplikasinya Di Indonesia. Gema
Insani Press. Jakarta. 1995.

Arif, Syamsuddin. Islamia: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam. INSISTS.


Jakarta. Thn I No 6, Juli September 2005.

21

Anda mungkin juga menyukai