PENDAHULUAN
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa‟idah fikriyah) bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan,
melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan
yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang
bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua,
menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang
seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-
haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek jika
telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun
ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh perdaban barat satu abad
terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai penjuru dunia. Kesejahteraan
dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan iptek modern
membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya hidup peradaban barat tanpa
dibarengi sikap kritis trhadap segala dampak negatif yang diakibatkanya. Pada
dasarnya kita hidup di dunia ini tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada
banyak cara untuk beribadah kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, dan menuntut
ilmu. Menuntut ilmu ini hukumnya wajib. Seperti sabda
1
Rasulullah SAW: “menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban atas setiap muslim laki-
laki dan perempuan”. Ilmu adalah kehidupanya islam dan kehidupanya keimanan.
2
1.1 Rumusan Masalah
2.1 Apa yang dimaksud dengan konsep iptek dan peradaban muslim?
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Aika V. Selain itu diharapkan agar para pembaca lebih mengetahui dan
memahami mengenai hakikat iptek dalam pandangan islam.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.1.2. Syarat-syarat ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dari pengetahuan. Suatu
pengetahuan dapat dikatagorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok,
yaitu:
• Ontologi, yaitu suatu bidang study yang memiliki objek study yang jelas. Subjek
studi tersebut harus dapat diindentifikasikan, diberi batasan, diuraikan, dan sifat-
sifatnya essensial. Objek studi sebuah ilmu ada dua, yaitu objek material dan objek
formal.
• Askiologi, yaitu suatu bidang studi yang memiliki nilai guna atau kemanfaatan. Ia
dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan
umum, konsep-konsep, dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren.
Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat kerancuan dan kesemerawutan pikiran
atau kopntradiksi antara yang satu dengan yang lain.
• Epistimologi, yaitu uatu bidang studi yang memiliki metode kerja yang jelas. Ada
dua metode kerja suatu bidang studi, yaitu deduksi dan induksi.
Dalam pemikiran sekuler, sains memiliki tiga karakteristik, yaitu objektif, netral, dan
bebas nilai. Sedangkan dalam pemikiran islam, sains tidak boleh bebas dari nilai-
nilai, baik nilai local maupun nilai universal. Ia harus dikembangkan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebahagiaan manusia dan kelestariamn
ekologis untuk tujuan rahmatan lil ‘alamin (Q.S al Anbiya 107).
Dalam pemikiran islam ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan akal. Islam
sendiri menegaskan bahwa, ad-dinu huwa al-‘alq wa laa diina liman laa ‘ aqla lahu
(agama adalah akal dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal)
5
2.1.4. Keutaman Orang Berilmu
Manusia adalah satu-satunya mahluk Allah yang diberi anugrah akal dan
pikiran oleh Allah. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika manusia berkewajiban
untuk mengagungkan dan mengoptimalkan potensi dengan sebaik-baiknya.
Al-Qur’an bahkan membedakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu
(QS. 39:9). Ayat tersebut mengatakan: katakanlah, adakah sama orang yang
mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang
berakallah orang yang dapat menerima pelajaran. Demikian juga Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu apabila orang
orang tersebut beriman. (QS 58:11)
6
Oleh karena itu, ilmuwan tidak cukup hanya dengan ilmu saja, tetapi harus dibekal
dengan iman dan takwa. Ilmuwan yang beriman dan bertakwa akan memanfaatkan
kemajuan IPTEKS untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan kelangsungan
hidup manusia dan keseimbangan ekologi dan bukan untuk fasad fil ardhi.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin
(Ahmed, 1999).
7
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek:
d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau
iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa
yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama
dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu
pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk
menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola
hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo
berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa
matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia
dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat (Furchan, 2009).
8
satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat
terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan
agama dari urusan negara/masyarakat (Furchan, 2009).
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini,
kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan
tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan
dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam
masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak
mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak
mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti
ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa
dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan
dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak
terasa aneh apabila dikaitkan (Furchan, 2009).
Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif. Terjadinya
pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran
agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara
teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung
pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama,
pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung
pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan
demikian pula sebaliknya (Furchan, 2009).
Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf
tidak saling mengganggu. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat
pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu
pengembangan kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya
diselesaikan dengan kebijaksanaan (Furchan, 2009).
9
Dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional
jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan
keberhasilan pembangunan nasional. Namun, bangsa Indonesia juga menyadari
bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat
membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham
sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak
akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa (Furchan, 2009).
Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara
eksplisit adalah pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit
diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh
nilai-nilai agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus
menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama) (Furchan, 2009).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan
terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan
terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan
mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan
mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir
dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama-
agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan
kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
10
Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya
tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama (Sutardi, 2007).
Yang jelas dalam ilmu antropologi memang agama menjadi salah satu unsur
kebudayaan. Dalam hal ini para ahli antropologi tidak berbicara soal iman, sebab
secara empiris iman tidak dapat dilihat (Bakker, 1984).
11
Pada saat ini, adanya kebebasan dan keterbukaan memberikan ruang yang
besar bagi masyarakat untuk mengamalkan ajarana agama sebaik mungkin. Semangat
otonomi daerah yang memberikan keleluasan dan berpartisipasi dalam mengurus
daerahnya masing- masing memberi peluang untuk mengangkat ajaran agama sebagai
ruh pengelolaan pemerintahan. Ajaran agama dikemas sebagai dasar pengaturan
pemerintahan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang diangkat
merupakan nilai-nilai kebaikan universal yang juga diakui oleh agama lain (Sutardi,
2007).
12
Dari ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku keagamaan dapat
memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Orang-orang Toraja sampai
saat ini dikenal memiliki kebiasaan menabung dan bersikap hidup hemat agar
nantinya dapat menyelenggarakan upacara kematian yang meriah. Mereka
menganggap anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik
sebab dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rejeki dan menjaga
keturunannya dengan baik pula (Sutardi, 2007).
Persepsi yang terkeluar dari menda yang dicetak oleh hukum sekular
(keduniaan) yang menyembah mindanya sendiri. Maka beberapa perkara yang amat
perlu diperhatikan untuk sama-sama kita renungkan, setidak-tidaknya ada tiga
persepsi tentang sunnatullah dari golongan manusia. Pertama patuh secara terpaksa,
kedua, patuh sebahagian dan kufur kepada sebahagian yang lain, ketiga patuh secara
sukarela.
Golongan pertama adalah mereka yang kufur dan tidak segan silu mengenkari
undang-undang Allah dan buta mata hatinya terhadap hukum pertumbuhan jasadnya
dan apa yang berlaku kepada dirinya, mereka ini kufur dari ketentuan Allah terhadap
hukum yang berlaku kepada dirinya dan pertumbuhan jasadnya. Golongan ke dua,
mereka secara sedar atau tidak atau disebabkan kejahilan tidak memperhatikan
hukum pertumbuhan yang berlaku kepada jasadnya, lantas dengan segala
13
kekeliruanya engkar tehadap hukum Allah s.w.t. Golongan ketiga mereka yang patuh
dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, selalu memperhatikan apa yang berlaku
kepada alam ini, mereka sesungguhnya meyakini sepenuhnya pada dirinya dan
hukum pertumbuhan serta perubahan pada jasadnya, kesemuanya dari sunnatullah.
Hukum-hukum yang serba tetap yang mengatur alam ini, maka sesungguhnya itulah
hukum Allah s.w.t. apa yang diistilahkan Sunnatullah.
" Dan Allah mencipta tiap-tiap sesuatu, lalu ditetapkan padanya hukum- hukumnya"
(Q.S Al Furqan:2)
Dalam ayat yang lain ada dinyatakan. Firman Allah yang bermaksud :
" Sesungguhnya kami (Allah) telah mencipta segala sesuatu dengan ketentuan yang
pasti" (AlQamar:49)
Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak
tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan
Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al
Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya (time response) lebih
panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi
waktunya lebih panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh
pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.
14
Hukum Tuhan yang tidak tertulis ciri-ciri khasnya ialah reaksi waktu (time
response) pendek dari usia manusia, ia boleh dilakukan penelitian dan ekperimen
selain itu ia tidak melibatkan manusia. Contoh air yang mendidih 100°C. Jika satu
liter air dimasak memerlukan waktu 10 menit untuk mendidih, maka yang 10 minit
itulah disebut reaksi waktu yang jauh lebih pendek dari umur manusia, sehingga didih
air dapat diketahui dengan mengukur suhu air itu mendidih, begitu juga hukum gaya
berat gravitasi, dan semuanya ini tidak diwahyukan Allah dalam Al Qur'an.
Hikmahnya supaya manusia menggunakan anugerah Tuhan amat istimewa yang
bernama akal itu akan perlu adanya ekperimen atau pengembangan ilmu dan
teknologi. Sekiranya Allah itu mewahyukan semua hukum-hukumnya, maka tentulah
manusia itu diciptakan serupa dengan robot dan tidak dinamik lagi.
Maka inilah dinamakan hukum Allah itu pasti (exact), objektif dan tetap.
Hukum-hukum Allah itu tidak pernah berubah sejak diciptakan alam semesta ini, dan
tidak akan berubah sampai hancurnya alam ini (kiamat besar). Sejak diciptakan,
misalnya air mengalir tentunya dari tempat tinggi ke tempat rendah, tetapi tidak pula
disebaliknya. Demikian juga dalam keadaan biasa tidak pernah air itu mendidih
dalam keadaan suhu 10°C tapi selalu dalam suhu 100°C. Sebelum Newton lahir,
setiap batu yang diangkat kemudian dilepaskan tidak pernah melayang-layang, tetapi
ia jatuh dengan mudah. Hukum gravitasi adalah hukam Allah s.w.t. yang pertama kali
dipopulerkan oleh Newton (1642-1727) seorang filosuf dan Ilmuan Barat (Inggeris.)
" Yang demikian adalah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu
sekali-kali tidak akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu."(Q.S Al Fath :23)
" Anda tidak akan menjumpai dalam ciptaan Allah itu sebuah kekacauan, maka
lihatlah sekali lagi adakah kamu temui padanya kecacatan." (Q.S Al Mulk: 3)
15
Oleh itu Allah selalu mengingatkan manusia supaya memperhatikan alam,
juga memerintahkan manusia supaya membuat penelitian terhadap alam semesta
dengan segala isi kandungannya dengan segala rendah hati bukan secara yang
sombong angkuh dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki, betapa Allah telah
menciptanya segala benda-benda tersebut berlaku secara teratur, sedikitpun tidak
terdapat sesuatu yang kacau dan cacat kecuali yang merosakkan adalah terdiri
makhluk yang bernama manusia samada kecacatan itu berlaku didarat atau dilautan,
semuanya hasil dari perbuatan jahat manusia.
Maka oleh kerana alam semesta dengan seluruh isi kandungannya taat atau
patuh dan tunduk kepada Allah, maka menurut tata bahasa dan secara literal Al
Qur'an samada kepatuhan itu secara terpaksa dalam bentuk kekufuran (ingkar) yang
cuba mempertikaikan kekuasaan Allah s.w.t atau patuh dengan penuh rasa keimanan
dan ketakwaan, maka seluruh alam ini adalah muslim adanya.
Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah
antara lain berarti "kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah
dalam memperlakukan masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang
semakna dengannya seperti sunnatuna, dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara
dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat bahwa apa yang dinamai hukum-hukum
alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia, dan dari ikhtisar pukul
rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar merumuskan hukum-hukum
alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra, 17:77) dan tidak
pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena
sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau
ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.
Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-
Ahzab, 33:62; ada keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu,
tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi.
Hukum-hukum alam sebagaimana hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti,
16
tidak satupun di negeri manapun orang dapat terbebaskan dari sanksi bila
melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya
dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri.
Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang
halal akan terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata
adalah sanksi otomatis, karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang
melanggar hukum alam/ kemasyarakatan.
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
18
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk
ditengok kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak
iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin
(Ahmed, 1999).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang universal, religi dan kepercayaan
terdapat di hamper semua kebudayaan masyarakat. Religi meliputi kepercayaan
terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi kedudukannya daripada manusia dan
mencangkup kegiatan- kegiatan yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan
mencari hubungan dengan kekuatan- kekuatan gaib tersebut. Kepercayaan yang lahir
dalam bentuk religi kuno yang dianut oleh manusia sampai masa munculnya agama-
agama. Istilah agama maupun religi menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dan kekuatan gaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan keyakinan dan
kepercayaan menurut paham atau ajaran agama (Sutardi, 2007).
Agama sukar dipisahkan dari budaya karena agama tidak akan dianut oleh umatnya
tanpa budaya. Agama tidak tersebar tanpa budaya, begitupun sebaliknya, budaya akan
tersesat tanpa agama.
19
C. Hukum sunnatullah (kausalitas)
Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak
tertulis. Hukum Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan
Rasul terhimpun dalam kitab -kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al
Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini reaksi waktunya (time response) lebih
panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan tidak dapat diketahui secara
ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang beriman, beribadah
dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan kebahagiaan,
disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan siksa yang amat pedih). Hukum Tuhan
pasti berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan
keatas mereka yang durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi
waktunya lebih panjang dari umur manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh
pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan dengan ekperimen.
20
3.2. Saran
Dalam makalah ini penulis memiliki harapan agar pembaca memberikan kritik
dan saran yang membangun. Karena penulis sadar dalam penulisan makalah ini
terdapat begitu banyak kekurangan.
Selain itu, penulis juga menyarankan setelah membaca makalah ini kita semua dapat
lebih memahami tentang hakikat IPTEKS dalam pandangan islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdadi, abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik & Tari.
Gema Insani Press. Jakarta. 1991
Amsari, Fuad. Islam Kaaffah: Tantangan Sosial Dan Aplikasinya Di Indonesia. Gema
Insani Press. Jakarta. 1995.
21