Anda di halaman 1dari 12

RESUME TUGAS

AL – ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAH IV (AIK 4)


PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEKS

Oleh :

RISKHA HARDIYANA
NPM. 1880100037

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2020
PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEKS

A. Definisi IPTEK
IPTEK adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi. Ilmu adalah pengetahuan
yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan
kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah
(International Webster’s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003)
Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854
kali dalam Al-qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan
obyek pengetahuan . Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu
seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut
pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh
melalui proses yang disebut metode ilmiah. Sedang teknologi adalah pengetahuan dan
ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-
hari.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang
dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal.
Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis
(science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga
karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sain
tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya
berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari
ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong
manusia untuk berkembang lebih maju lagi. Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa
dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali
dalam Alquran sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Seperi kita ketahui, teknologi kini telah merembet dalam kehidupan kebanyakan
manusia bahkan dari kalangan atas hingga menengah kebawah sekalipun. Dimana upaya
tersebut merupakan cara atau jalan di dalam mewudkan kesejahteraan dan meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Atas dasar kreatifitas, akalnya, manusia mengembangkan
IPTEK dalam rangka untuk mengolah SDA yang di berikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dimana dalam pengembangan IPTEK harus didasari terhadap moral dan kemanusiaan yang
adil dan beradab, agar semua masyarakat mengecam IPTEK secara merata. Disatu sisi telah
terjadi perkembangan yang sangat baik sekali di aspek telekomunikasi, namun pelaksanaan
pembangunan IPTEK masih belum merata.
Masih banyak masyarakat kurang mampu yang putus harapannya untuk mendapatkan
pengetahuan dan teknologi. Hal itu dikarenakan tingginya biaya pendidikan yang harus
mereka tanggung. Maka dari itu pemerintah perlu menyikapi dan menanggapi masalah-
masalah tersebut, agar peranan IPTEK dapat bertujuan untuk meningkatkan sumber daya
manusia yang ada. Perkembangan IPTEK disamping bermanfaat untuk kemajuan hidup
Indonesia juga memberikan dampak negatif.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan IPTEK untuk menekan dampaknya
seminimal mungkin antara lain:
1. Menjaga keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan setempat.
2. Teknologi yang akan diterapkan hendaknya betul-betul dapat mencegah timbulnya
permasalahan di tempat itu.
3. Memanfaatkan seoptimal mungkin segala sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang ada.
Dengan perkembangan dan kemajuan zaman dengan sendirinya pemanfaatan dan
penguatan IPTEK mutlak diperlukan untuk mencapaikesejahteraan bangsa. Visi dan Misi
IPTEK dirumuskan sebagai paduan untuk mengoptimalkan setiap sumber daya IPTEK yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia.Undang-undang No.18 Tahun2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah
berlaku sejak 29 Juli 2002, merupakan penjabaran dari visi dan misi IPTEK sebagaimana
termaksud dalam UUD 1945 Amandemen pasal 31 ayat 5, agar dapat dilaksanakan oleh
pemerintah beserta seluruh rakyat dengan sebaik baiknya. Selain itu pula perkembangan
IPTEK di berbagai bidang di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat semestinya
dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di tengah bermunculannya dampak
negatif dari adanya perkembangan IPTEK, sehingga diperlukan pemikiran yang serius dan
mantap dalam menghadapi permasalahan dalam penemuan-penemuan baru tersebut.
Pengetahuan yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman kepada
Allah SWT. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
2. Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori : pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan
filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya nisbi. Al-Qur’an dan As-
Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya mutlak dan wajib diyakini (QS. Al-
Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda
maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan
panca indra, intuisi dan firasat sedangkan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi,
diorganisasi, disistematisasi dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif,
sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu
berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri
kejelasan. Dalam Al-Qur’an, ilmu digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan
obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu
membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam
ilmu tertentu disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak
mendalam disebut generalis. Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam
sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan
praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik
obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi
untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan
teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi
manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan
dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam
semesta. Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak
boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya
berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran
Islam ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak,
karena bersumber dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge)
tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal pikiran manusia. Dalam
pemikiran sekuler (perennial knowledge) yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui
sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama
dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan
ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat
agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.
B. Paradigma Hubungan Agama dan IPTEK
Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas,
memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang dimaksud di sini, adalah agama
Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk
mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah),
hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan
hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana). Dalam Al Qur’an surat Ali Imron ayat 190 – 191 yang artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa
neraka.”
Dari ayat diatas menjelaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk dipelajari dan dimiliki.
Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan
keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek
adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah
dipisahkan dari kehidupan agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya
dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan
umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan IPTEK tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan
eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun
dengan IPTEK. IPTEK bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama.
Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma
sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Berdasarkan paradigma sosialis
ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan IPTEK. Seluruh bangunan
ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme,
khususnya Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses
dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah
mengandung benih perkembangan itu sendiri. Sedang dalam paradigma sosialis, agama
dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari
kehidupan. Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan.
Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits--
menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun
seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Paradigma ini memerintahkan
manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari
aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari
Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman
kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan
prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan IPTEK
Dunia Islam antara tahun 700 M - 1400 M.
Pada masa inilah dikenal nama-nama seperti :
1. Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
2. Al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi,
3. Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika,
4. Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia,
5. Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.
C. Integrasi Iman, IPTEK dan Seni dalam Islam.
Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan umat
manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya
mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan
perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat
memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak
tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran
nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral,
dan kemanusiaan.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat ,
terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau “agama
palsu”(Pseudo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat, timbul mazhab baru yang
dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi isme, ideologi bahkan agama
baru. Namun sejak pertengahan abad XX, terutama seteleh terjadi penyalahgunaan iptek
dalam perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi
ilmu dan agama, iptek dan imtaq. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral
dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan
iptek dengan moral (agama) di harapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja
(aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya
sekaligus.
Di Indonesia, gagasan tentang perlunya integrasi Imtaq dan iptek ini sudah lama
digulirkan. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-
ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan
bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa
dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak
memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan
kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara lebih spesifik, integrasi Imtaq dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan manfaat yang
sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan
takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas Imtaq, iptek bisa disalahgunakan pada
tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika
demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah
menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan
hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh
bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan
jasmani), tetapi juga membutuhkan Imtaq dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh
karena itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi
pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah
menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Keempat, Imtaq menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar
manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar Imtaq, segala atribut duniawi, seperti
harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia
meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan,
hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan
palsu.
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia
tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya”. (Q.S. An-Nur:39).
Maka integrasi Imtaq dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga
keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia
(hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap
saat kita panjatkan kepada Tuhan:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka” (Q.S. Al-Baqarah :
201).
Integrasi Imtaq dan iptek, berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama
ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang
menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan Imtaq dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah
SWT seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer. Selain pada
pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di
atas, integrasi Imtaq dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat.
Pendidikan Imtaq pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di
berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan Imtaq
dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam disemua
jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik,
integralistik dan fungsional.
Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan
partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman, Islam dan Ihsan, atau pola iman,
ibadah dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan
Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana
keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi
tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan
budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, Imtaq dan iptek
haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam.
Secara pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan
dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari
pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan
lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al
-Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang
selama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum
ilmuan (Saintis) dan intelektual.
Secara fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan
mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum
muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk
pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat
manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Semetara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang
pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan
kecerdasan peserta didik semata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong
dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek
afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan
prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam
mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah
dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis bertugas
mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan
kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan nyata sehingga tugas dan kerja intelektual
pada hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam
paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai. Pengembangan iptek
harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai Imtaq), sejalan dengan semangat wahyu
pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari
Imtaq. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-
besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat
dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu” (Al-
Hadist).
Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa
akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di
akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari
kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya
serta memperburuk citra kepelajarannya. Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam
pembinaan keimanan dan ketakwaan (Imtaq) serta akhlak siswa di sekolah adalah guru.
Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor
paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada
pembentukan karakter siswa.
Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus
mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual dan aspek
spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun praktiknya, aspek
spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat,
sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan. Upaya melibatkan
semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (Imtaq) pada setiap
pokok bahasan yang diajarkan, sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman
Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama.
SOAL PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEKS

1. IPTEKS merupakan singkatan dari ....


Jawaban : IPTEK adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi.

2. Apa yang dimaksud dengan Ilmu .....


Jawaban : Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi,
disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah.

3. Apa yang perlu kita perhatikan dalam meminimalisir penerapan IPTEK...


Jawaban :
- Menjaga keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan setempat.
- Teknologi yang akan diterapkan hendaknya betul-betul dapat mencegah
timbulnya permasalahan di tempat itu.
- Memanfaatkan seoptimal mungkin segala sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang ada

4. Kebijakan Pemerintah tentang IPTEK yaitu...


Jawaban : Undang-undang No.18 Tahun2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

5. Sebutkan dan jelaskan pengetahuan manusia ...


Jawaban :
- Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka yang beriman
kepada Allah SWT. Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin, sifatnya mutlak.
- Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori : pengetahuan, ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis, sifatnya
nisbi. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi
keterangannya mutlak dan wajib diyakini

6. Teknologi dapat membawa dampak positif dan juga dampak negatif, ssebutkan salah
satu dampak positif akibat teknologi....
Jawaban : dampak positif bagi teknologi berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi
manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-
ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat
kehancuran alam semesta

7. Teknologi dapat membawa dampak positif dan juga dampak negatif, ssebutkan salah
satu dampak negatif akibat teknologi....
Jawaban : dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan
manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta

8. Paradigma hubungan agama dengan IPTEK secara garis besar dibagi menjadi tiga
yaitu ....
Jawaban :
- paradigma sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah
terpisah satu sama lain
- paradigma sosialis yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan
eksistensi agama sama sekali
- paradigma islam yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar
dan pengatur kehidupan

9. Apa yang dimaksud dengan paham materialis dialektis ...


Jawaban :
Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan
proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih
perkembangan itu sendiri.

10. Apa yang dimaksud dengan paradigma sosialis...


Jawaban :
Paradigma sosialis adalah agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada
(in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Berdasarkan paradigma sosialis
ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek.

Anda mungkin juga menyukai