Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN

AKHLAK DIBALIK SHALAT


Dalam Qs Al-Ankabut ayat : 45
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat di atas begitu eksplisit menjelaskan adanya keterkaitan antara shalat dan perilaku yang ditunjukkan oleh
seorang muslim. Pengaruh shalat memang tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menggeneralisasi dan
menghukumi kepribadian semua orang. Tetapi, paling tidak dalam ayat ini Allah menjelaskan sikap seorang
manusia dari sudut pandang karakter dan watak/ tabiat yang dibawanya. Shalat itu membersihkan jiwa,
menyucikannya, mengkondisikan seorang hamba untuk munajat kepada Allah Swt di dunia dan taqarrub
dengan-Nya di akhirat. (Jabir Al-Jazairi, 2004: 298).
Shalat sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam sebagaimana bangunan ibadah yang lain juga
memiliki banyak keistimewaan. Ia tidak hanya memiliki hikmah spesifik dalam setiap gerakan dan rukunnya,
namun secara umum shalat juga memiliki pengaruh drastis terhadap perkembangan kepribadian seorang
muslim. Tentu saja hal itu tidak serta merta dan langsung kita dapatkan dengan instan dalam pelaksanaan shalat.
Manfaatnya tanpa terasa dan secara gradual akan masuk dalam diri muslim yang taat melaksanakannya.
Shalat merupakan media komunikasi antara sang Khlalik dan seorang hamba. Media komunikasi ini sekaligus
sebagai media untuk senantiasa mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat. Selain itu, shalat bisa menjadi
media untuk mengungkapkan apapun yang dirasakan seorang hamba. Dalam psikologi dikenal istilah katarsis,
secara sederhana berarti mencurahkan segala apa yang terpendam dalam diri, positif maupun negatif. Maka,
shalat bisa menjadi media katarsis yang akan membuat seseorang menjadi tentram hatinya.

1. KETERKAITAN SHALAT DAN AKHLAK


SINERGI SABAR DAN SHALAT, SEBUAH HARMONI
Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah)
Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat”. Demikian sabda Rasulullah SAW. Hadis ini menunjukkan
betapa penting dan strategisnya peranan shalat bagi seorang Muslim, sampai detail gerakan dan bacaannya
dicontohkan langsung oleh beliau.
Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah gerak, dan olah rasa (sensibilitas).
Ketiganya terpadu secara cantik dan selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling
melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al bayan), respons motorik, rasionalitas (menempatkan diri secara
proporsional), dan kepekaan terhadap jati diri–kepekaan dan kehalusan untuk merasakan cinta dan kasih sayang
Allah SWT.
Yang menarik, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Salah satunya dalam QS Al
Baqarah, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.
Mengapa Sabar dan Shalat?
Secara etimologi, sabar (ash shabr) dapat diartikan dengan “menahan” (al habs). Dari sini sabar dimaknai
sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.
Difirmankan, QS Ar Ra’d : 22
Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya,
Sabar termasuk kata yang banyak disebutkan Alquran. Jumlahnya lebih dari seratus kali. Tidak mengherankan,
karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak. Muhammad Al Khudhairi
mengungkapkan bahwa saat kita menelusuri kebaikan serta keutamaan, maka kita akan menemukan bahwa
sabar selalu menjadi asas dan landasannya. ‘Iffah [menjaga kesucian diri] misalnya, adalah bentuk kesabaran
dalam menahan diri dari memperturutkan syahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari
nikmat yang telah Allah karuniakan. Qana’ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan
menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah kesabaran dalam menahan dan
mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula akhlak-akhlak
mulia lainnya. Semuanya saling berkaitan. Faktor-faktor pengukuh agama semuanya bersumbu pada kesabaran,
hanya nama dan jenisnya saja yang berbeda.
Cakupan sabar ternyata sangat luas. Tak heran jika sabar bernilai setengah keimanan. Sabar ini terbagi ke dalam
tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan, seperti musibah, bencana atau
kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.
Tidak berputus asa saat menghadapi hal yang tidak mengenakan merupakan tingkat terendah dari kesabaran.
Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat serta sabar dalam berbuat taat. Mengapa demikian?
Sabar menghadapi musibah sifatnya idhthirari alias tidak bisa dihindari. Pada saat ditimpa musibah, seseorang
tdak memiliki pilihan kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar. Tidak sabar pun musibah tetap terjadi.
Lain halnya dengan sabar menjauhi maksiat dan melaksanaan taat, keduanya bersifat ikhtiari atau bisa dihindari.
Di sini manusia “berkuasa” melakukan pilihan, bisa melakukan bisa pula tidak. Biasanya ini lebih sulit.
Secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, mengolah, dan
menyikapi kenyataan. Dengan kata lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah. Difirmankan, Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Rabb-nya (QS Ar Ra’d [13]: 22).
Jiwa yang Tenang Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap optimal dalam
setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan, melainkan optimisme yang terukur. Ketika
menghadapi situasi di mana kita harus “marah” misalnya, maka marahlah secara bijak serta diniatkan untuk
mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat melembutkan hati, menghantarkan sebuah
kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan pemuasan hawa nafsu.
Dalam shalat dan sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari
gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi
yang bersifat muthma’innah. Jiwa muthma’innah atau jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik
malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah).
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya(QS Al Fajr [89]: 27-28).
Orang-orang yang memiliki jiwa muthma’innah akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam
kesehariannya. Sebuah nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya tercermin dari sikap penuh
syukur, pemaaf, lemah lembut, penyayang, tawakal, merasa cukup dengan yang ada, pandai menjaga kesucian
diri, serta konsisten.
Tak heran bila Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana
pembelajaran, pembangkit energi, sumber kekuatan, dan pemandu meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki
berlimpah, shalatlah ungkapan kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang
meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah pelepasannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan
teladan. Saat menghadapi dieksekusi mati di tiang gantungan, Abu Sufyan memberinya kesempatan untuk
mengatakan keinginan terakhirnya. Apa yang ia minta? Khubaib minta shalat. Permintaan itu dikabulkan.
Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. “Andai saja aku tidak ingin dianggap takut dan mengulur-ulur waktu,
niscaya akan kuperpanjang lagi shalatku ini!” ungkap Khubaib saat itu.
Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya kesabaran yang baik akan
menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga
melahirkan ketenangan dan kedamaian di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari “titipan” kepentingan.
Dengan terbebas dari gangguan “kepentingan” tersebut, insya Allah shalat kita akan mencapai derajat
komunikasi tertinggi. Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT, hingga
berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan sekali melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa
pun, asal tidak kehilangan shalat. Jika sudah demikian, Perolongan Alloh InsyaAlloh akan dating Walohu
A’lamu bima Sya`a
Ibadah Shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah bangunan megah indah yang
memiliki sejuta ruang yang menampung semua inspirasi dan aspirasi serta ekspresi positif seseorang untuk
berperilaku baik, karena perbuatan dan perkataan yang terkandung dalam shalat banyak mengandung hikmah,
yang diantaranya menuntut kepada mushalli untuk meninggalkan perbuatan keji dan mungkar.
Sayangnya shalat sering dipandang hanya dalam bentuk formal ritual, mulai dari takbir, ruku’, sujud, dan salam.
Sebuah kombinasi gerakan fisik yang terkait dengan tatanan fikih, tanpa ada temuan yang mendalam atau
keinginan untuk memahami hakikat yang terkandung di dalam simbol-simbol shalat. Berikut ini adalah nilai-
nilai akhlak yang terkandung dalam proses menjalankan ibadah shalat.
1. latihan kedisiplinan. Waktu pelaksanaan shalat sudah ditentukan sehingga kita tidak boleh seenaknya
mengganti, memajukan ataupun mengundurkan waktu pelaksanaannya, yang akan mengakibatkan batalnya
shalat kita. Hal ini melatih kita untuk berdisiplin dan sekaligus menghargai waktu. Dengan senantiasa menjaga
keteraturan ibadah dengan sunguh-sungguh, manusia akan terlatih untuk berdisiplin terhadap waktu (Toto
Tasmara, 2001: 81). Dari segi banyaknya aturan dalam shalat seperti syarat sahnya, tata cara pelaksanaannya
maupun hal-hal yang dilarang ketika shalat, batasan-batasan ini juga melatih kedisiplinan manusia untuk taat
pada peraturan, tidak se-enaknya ataupun menuruti keinginan pribadi semata.
2. latihan kebersihan, sebelum shalat, seseorang disyaratkan untuk mensycikan dirinya terlebih dahulu, yaitu
dengan berwudlu atau bertayammum. Hal ini mengandung pengertian bahwa shalat hanya boleh dikerjakan oleh
orang yang suci dari segala bentuk najis dan kotoran sehingga kita diharapkan selalu berlaku bersih dan suci. Di
sini, kebersihan yang dituntut bukanlah secara fisik semata, akan tetapi meliputi aspek non-fisik sehingga
diharapkan orang yang terbiasa melakukan shalat akan bersih secara lahir maupun batin.
3. latihan konsentrasi. Shalat melibatkan aktivitas lisan, badan, dan pikiran secara bersamaan dalam rangka
menghadap ilahi. Ketika lisan mengucapkan Allahu Akbar, secara serentak tangan diangkat ke atas sebagai
lambang memuliakan dan membesarkan, dan bersamaan dengan itu pula di dalam pikiran diniatkan akan shalat.
Pada saat itu, semua hubungan diputuskan dengan dunia luar sendiri. Semua hal dipandang tidak ada kecuali
hanya dirinya dan Allah, yang sedang disembah. Pemusatan seperti ini, yang dikerjakan secara rutin sehari lima
sekali, melatih kemampuan konsentrasi pada manusia. Konsentrasi, dalam bahasa Arab disebut dengan khusyu’,
dituntut untuk dapat dilakukan oleh pelaku shalat. Kekhusyukan ini sering disamakan dengan proses meditasi.
Meditasi yang sering dilakukan oleh manusia dipercaya dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi dan
mengurangi kecemasan.
4. latihan sugesti kebaikan. Bacaan-bacaan di dalam shalat adalah kata-kata baik yang banyak mengandung
pujian sekaligus doa kepada Allah. Memuji Allah artinya mengakui kelemahan kita sebagai manusia, sehingga
melatih kita untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati, dan tidak sombong. Berdoa, selain bermakna nilai
kerendahan hati, sekaligus juga dapat menumbuhkan sikap optimis dalam kehidupan. Ditinjau dari teori
hypnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata (bacaan shalat)
merupakan suatu proses auto sugesti, yang membuat si pelaku selalu berusaha mewujudkan apa yang telah
diucapkannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
5. latihan kebersamaan. Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah
(bersama orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek terapi yang sangat hebat
manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat berjamaah, seseorang dapat menghindarkan
diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya
kebersamaan dalam hal nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu
berdasarkan pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah.

2. BACAAN SHOLAT YANG BERKAITAN DENGAN AKHLAK (BAIK HABLUMMINALLOH ATAU


JUGA HABLUMMINANNAAS)
Dalam bacaan Takbirotul ihrom yang Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Umar.
‫س ْب َحانَاللِ َك ِثي ًْرا للِ َو ْال َح ْمده َك ِبي ًْرا أ َ ْكبَ ْر للاه‬ ِ َ‫َوأ‬
‫ص ْيلً به ْك َرة ً َو ه‬
Artinya :
“Alloh adalah yang paling besaar dari segala yang besar, sedang Dia Tuhan yang senantiasa besar; Segala
puji hanya kepunyaan Alloh, pujian yang banyak; san Maha Suci Alloh (aku akui kesucian Alloh) pada tiap-tiap
pagi dan petang.”

Juga dalam hadist lain :


‫ع ْن‬َ ‫علِى‬ َ ‫بن‬ ِ ‫طالِبْ اَبِى‬ َ ‫علَ ْي ِه للا صلى النَّبِي كاَنَ قَا َل‬ َ َ‫صلَة َ اِلَى ق‬
َ ‫ام اِذَا َو َسلم‬ َّ ‫ قا َ َل ال‬: ‫ي َو َج ْهته‬ َ ‫ط َر لِلَّذِى َوجْ ِه‬ َ َ‫ت ف‬ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫ض ال‬ ِ ‫َو َما هم ْس ِل ًما َحنِ ْيفًا َواْالَ ْر‬
‫صلَتِى ا َِّنّ ال هم ْش ِر ِكيْنَ مِ نَ اَنَا‬ َّ ‫ى ال‬
َ ‫س ِك‬‫اي هون ه‬
َ ‫ي‬
َ ْ‫ح‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫ِى‬ ‫ت‬‫ا‬‫م‬َ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫لل‬ ‫ب‬
ِ ‫ر‬َ ‫ي‬
َ‫ْن‬ ِ‫م‬ َ ‫ل‬‫ا‬ ‫ع‬
َ ‫ال‬ َ ‫ال‬ ‫ي‬
َ‫ْك‬ ‫َر‬
ِ ‫ش‬ ‫ه‬ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫ل‬
َ‫ِك‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫ب‬
ِ ‫و‬َ ‫ته‬‫ر‬ ْ ِ‫م‬‫ه‬ ‫ا‬ َ ‫ا‬‫ن‬َ ‫ا‬‫و‬َ َ‫ن‬ ِ‫م‬ ‫ي‬
َ‫ْن‬ ‫ل‬
ِ‫ِم‬ ‫س‬
ْ ‫م‬
‫ه‬ ‫ال‬ ‫رواه‬ ‫مسلم‬
Artinya :
Dari ‘Ali (Khalifa ke 4) katanya : Rosululoh saw. Apabila berdiri dari solat, beliau membaca : ‘Saya
menghadapkan muka saya kehadirat yang menjadikan langit dan bumi dengan tunduk menyerahkan diri. Saya
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan alloh. Seseungguhnya shalatku, ibadahku hidup dan
matiku adalah kepunyaan Tuhan yang menguasai sekalian alam. Tuhan yang tidak bersekutu bagi-Nya, dan
dengan demikian saya diperintah dan saya termasuk orang-orang yag berserah diri. (Riwayat Muslim)
Dalam bacaan tersebut terdapat ajaran pendidikan yang mengandung moralitas kepada sang kholik maupun
sesama ciptaan-Nya, yakni dalam bacaan tersebut memaknai kepada manusia ketika mendapat pujian dari
oranglain janganlah terlalu membanggakan diri karena pujian itu hanya milik Alloh, hal yang sama dalam bacan
ini mengandung edukasi dan doktrin pada manusia agar selalu berendah hati, jangan takabbur dan sebagainya,
manusia tak pantas untuk sombong karena manusia tak punya apa-apa. Tak perlu mengagungkan segala yang
kita punya karena itu semua hanya milik Alloh. Hanya Alloh yang maha segalanya penguasa Alam semesta dan
pencipta alam semesta beserta isinya.
Dan juga terdapat dalamDo’a yang di baca Rosululloh SAW ketika duduk diantara dua sujud ialah
‫وأبو الترميذى رواه وا َ ْر هز ْقنِى َواْه ِدنِى َواجْ ب ْهرنِى َواْر َح ْمنِى اْغف ِْرلِى اَلل هه َّمّ السجدتين بين يقول كان وسلم عليه للا صلى النبي ان عباس ابن عن‬
‫دود‬
Artinya :
Dari Ibnu Abbas : Sesungguhnya Nabi saw membaca diantara dua sujud : Ya Alloh ampunilah aku, beri
rahmatlah aku, cukupilah aku, pimpinlah aku dan beri rejekilah aku. (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud)
Dalam bacaan tersebut yang dapat kita Ambil adalah bagaimana etika seorang seorang hamba di hadapan
Penciptanya. Dan juga disini mengajarkan pada kita bahwa kita memohon perlindungan dan meminta hanya
kepada Alloh SWT.

Dan juga yang dapat kita ambil berbagai kajian yang mengandung moral Dalam bacaan Tasyahud :
َ ‫ى اِذَا وسلم عليه للا صلى للا رسول قا َ َل َم ْس ٌعّه ْو ِد اب ِْن‬
‫ع ِن‬ َ ‫ فَ ْليَقه ْل ا َ َحده هك ْم‬: ‫ص َلواته لل اَلتَّحِ يَّاته‬
َ ‫صل‬ َّ ‫سلَ هم َو‬
َّ ‫الطّ ِيبَاته َوال‬ َّ ‫علَيْكَ ال‬َ ‫ورحمة النبى اَيّهَا‬
‫ع َل ْينَا السلم وبركاته للا‬ َ ‫لى‬‫ع‬
َ ََ ‫و‬ ‫د‬
ِ ‫ا‬‫ب‬
َ ‫ع‬
ِ ‫للا‬ ‫الحين‬‫الص‬ ‫اشهد‬ ‫ان‬ ‫ال‬ ‫اله‬ ‫اال‬ ‫للا‬ ‫واشهد‬ ‫ان‬ ‫دا‬ ‫محم‬ ‫عبده‬ ‫ورسوله‬ ‫ثم‬ ‫َّر‬ ‫ي‬‫خ‬َ َ ‫ت‬‫ي‬
َ ‫ل‬
ِ َ‫ن‬ ِ‫م‬ ِ‫اء‬‫ع‬َ ‫الد‬ ‫رواه ِالَ ْي ِه ا َ َحبَّهه‬
‫ومسلم البخارى‬
Artinya :
Dari Ibnu Mas’ud, berkata Rosululoh saw : apabila shalat salah seorang diantara kamu maka hendaklah ia
membaca tasyahud : segala kehormatan, segala do’a, dan ucapan-ucapan yang baik kepunyaan Alloh, mudah-
mudahan turunlah sejahtera atas kita sekalian dan atas hamba Alloh yang shalih (baik-baik) aku menyaksikan
bahwa tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya melainkan Alloh, dan aku menyaksikan bahwa nabi Muhammad
itu hamba dan pesuruhnya. (Riwayat Bukhori Muslim)
Yang terkandung dalam bacaan ini adalah “ma asoobaka min hasanatin faminalloh wamaa asoobaka min
sayyiatin faminnafsik” yakni segala perbuatan baik itu adalah dari AlLoh dan perbuatan buruk itu adalah
perbuatan diri kita sendiri, ketika kita melakukan perbuatan baik kita jangan diungkapkan kepada orang lain dan
jangan terlalu membanggakan diri, karena belum tentu perbuatan Itu diterima, sebab semua itu hanya pemberian
dari Alloh, dan lebih spesipikasinya bahwa bacan tersebut mengandung edukasi agar kita menjadi orang yang
selalu berbuat baik karena itu tandanya kita dekat dengan Alloh SWT.

KESIMPULAN
AKHLAK DIBALIK SHALAT

Shalat sebagai salah satu bagian penting ibadah dalam Islam sebagaimana bangunan ibadah yang lain juga
memiliki banyak keistimewaan. Ia tidak hanya memiliki hikmah spesifik dalam setiap gerakan dan rukunnya,
namun secara umum shalat juga memiliki pengaruh drastis terhadap perkembangan kepribadian seorang
muslim. Tentu saja hal itu tidak serta merta dan langsung kita dapatkan dengan instan dalam pelaksanaan shalat.
Manfaatnya tanpa terasa dan secara gradual akan masuk dalam diri muslim yang taat melaksanakannya.

Shalat merupakan media komunikasi antara sang Khlalik dan seorang hamba. Media komunikasi ini sekaligus
sebagai media untuk senantiasa mengungkapkan rasa syukur atas segala nikmat. Selain itu, shalat bisa menjadi
media untuk mengungkapkan apapun yang dirasakan seorang hamba. Dalam psikologi dikenal istilah katarsis,
secara sederhana berarti mencurahkan segala apa yang terpendam dalam diri, positif maupun negatif. Maka,
shalat bisa menjadi media katarsis yang akan membuat seseorang menjadi tentram hatinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fikih Islam. Edisi Baru. H.Sulaian Rosjid. Cet 5. 1992. Penerbit Simar Baru Bandung.
2. Buku Pedoman Sholat; oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shidieky. 1951. Jakarta: Penerbit Bulan bintang.
3. Wayoflive_chm_home.htm. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat.
4. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Depag.
5. (Internet) Kontribusi Republika Online 2007

Anda mungkin juga menyukai