Syarat-Syarat Ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dari pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat
dikatagorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok, yaitu:
• Ontologi, yaitu suatu bidang study yang memiliki objek study yang jelas. Subjek studi
tersebut harus dapat diindentifikasikan, diberi batasan, diuraikan, dan sifat-sifatnya essensial.
Objek studi sebuah ilmu ada dua, yaitu objek material dan objek formal.
• Askiologi, yaitu suatu bidang studi yang memiliki nilai guna atau kemanfaatan. Ia dapat
menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-
konsep, dan kesimpulan-kesimpulan logis, sistematis dan koheren. Dalam teori dan konsep
tersebut tidak terdapat kerancuan dan kesemerawutan pikiran atau kontradiksi antara yang
satu dengan yang lain.
• Epistimologi, yaitu suatu bidang studi yang memiliki metode kerja yang jelas. Ada dua
metode kerja suatu bidang studi, yaitu deduksi dan induksi.
Dalam pemikiran sekuler, sains memiliki tiga karakteristik, yaitu
1. Objektif,
2. Netral, dan
3. Bebas nilai.
Sedangkan dalam pemikiran Islam, sains tidak boleh bebas dari nilai-nilai, baik nilai local
maupun nilai universal. Ia harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kebahagiaan manusia dan kelestarian ekologis untuk tujuan rahmatan lil ‘alamin (Q.S al Anbiya
107).
3. Hukum Sunnatullah
Sunnatullah, di dunia modern yang sekular dipanggil “law of nature” bermacam-macam persepsi
dari kalangan manusia, muslim atau non muslim terhadap hukum yang berlaku kepada alam
dan isi kandunganya. Ini menggambarkan begitu dangkal akal yang tidak mendapat petunjuk
Ilahy mengenal pencipta alam ini dan undang-undang yang berlaku didalamnya. Al-Qur'an
memberikan mesej yang jelas, bahwa hukum yang berlaku di alam ini diatur oleh Allah s.w.t
yang dipanggil sunnatullah dan ia bukan dari anggapan sebahagian manusia sebagai hukum
semula jadi yang tiada penghujungnya itu.
Persepsi yang terkeluar dari menda yang dicetak oleh hukum sekular (keduniaan) yang
menyembah mindanya sendiri. Maka beberapa perkara yang amat perlu diperhatikan untuk
sama-sama kita renungkan, setidak-tidaknya ada tiga persepsi tentang sunnatullah dari golongan
manusia. Pertama patuh secara terpaksa, kedua, patuh sebahagian dan kufur kepada sebahagian
yang lain, ketiga patuh secara sukarela.
Golongan pertama adalah mereka yang kufur dan tidak segan silu mengenkari undang-undang
Allah dan buta mata hatinya terhadap hukum pertumbuhan jasadnya dan apa yang berlaku
kepada dirinya, mereka ini kufur dari ketentuan Allah terhadap hukum yang berlaku kepada
dirinya dan pertumbuhan jasadnya. Golongan ke dua, mereka secara sedar atau tidak atau
disebabkan kejahilan tidak memperhatikan hukum pertumbuhan yang berlaku kepada jasadnya,
lantas dengan segala kekeliruanya engkar tehadap hukum Allah s.w.t. Golongan ketiga mereka
yang patuh dengan penuh keimanan dan ketaqwaan, selalu memperhatikan apa yang berlaku
kepada alam ini, mereka sesungguhnya meyakini sepenuhnya pada dirinya dan hukum
pertumbuhan serta perubahan pada jasadnya, kesemuanya dari sunnatullah.
Hukum-hukum yang serba tetap yang mengatur alam ini, maka sesungguhnya itulah hukum
Allah s.w.t. apa yang diistilahkan Sunnatullah.
Kenyataaan ini diperkukuhkan oleh Al Qur'an. Firman Allah yang bermaksud
" Dan Allah mencipta tiap-tiap sesuatu, lalu ditetapkan padanya hukum- hukumnya" (Q.S Al
Furqan:2)
Dalam ayat yang lain ada dinyatakan. Firman Allah yang bermaksud :
" Sesungguhnya kami (Allah) telah mencipta segala sesuatu dengan ketentuan yang pasti"
(AlQamar:49)
Hukum-hukum Allah pada makhluknya ada dua jenis yang bertulis dan tidak tertulis. Hukum
Allah yang tertulis itu yang diwahyukannya kepada para Nabi dan Rasul terhimpun dalam kitab -
kitab suci yang empat dan yang terakhir ialah Al Qur'an. Ciri-ciri khas hukum Allah tertulis ini
reaksi waktunya ( time response) lebih panjang, mungkin lebih panjang dari usia manusia dan
tidak dapat diketahui secara ekperimen menurut persayaratan ilmu. Umpamanya orang yang
beriman, beribadah dan yang bertaqwa dijanjikan kehidupan yang baik, sejahtera dan
kebahagiaan, disebaliknya orang yang zalim, munafiq, fasiq dan kufur (kafir) diancam dengan
hukuman kehinaan dan kebinasaan (azab dan seksa yang amat pedih). Hukum Tuhan pasti
berlaku terhadap kebaikan seseorang yang taat kepada Tuhan dan kehinaan keatas mereka yang
durhaka kepada Tuhan. Maka yang dimaksudkan reaksi waktunya lebih panjang dari umur
manusia kerana tidak dapat dibuktikan oleh pengamatan akal yang bersifat manusiawi dan
dengan ekperimen.
Hukum Tuhan yang tidak tertulis ciri-ciri khasnya ialah reaksi waktu (time response) pendek dari
usia manusia, ia boleh dilakukan penelitian dan ekperimen selain itu ia tidak melibatkan
manusia. Contoh air yang mendidih 100°C. Jika satu liter air dimasak memerlukan waktu 10
menit untuk mendidih, maka yang 10 minit itulah disebut reaksi waktu yang jauh lebih pendek
dari umur manusia, sehingga didih air dapat diketahui dengan mengukur suhu air itu mendidih,
begitu juga hukum gaya berat gravitasi, dan semuanya ini tidak diwahyukan Allah dalam Al
Qur'an. Hikmahnya supaya manusia menggunakan anugerah Tuhan amat istimewa yang bernama
akal itu akan perlu adanya ekperimen atau pengembangan ilmu dan teknologi. Sekiranya Allah
itu mewahyukan semua hukum-hukumnya, maka tentulah manusia itu diciptakan serupa dengan
robot dan tidak dinamik lagi.
Maka inilah dinamakan hukum Allah itu pasti (exact), objektif dan tetap. Hukum-hukum Allah
itu tidak pernah berubah sejak diciptakan alam semesta ini, dan tidak akan berubah sampai
hancurnya alam ini (kiamat besar). Sejak diciptakan, misalnya air mengalir tentunya dari tempat
tinggi ke tempat rendah, tetapi tidak pula disebaliknya. Demikian juga dalam keadaan biasa tidak
pernah air itu mendidih dalam keadaan suhu 10°C tapi selalu dalam suhu 100°C. Sebelum
Newton lahir, setiap batu yang diangkat kemudian dilepaskan tidak pernah melayang-layang,
tetapi ia jatuh dengan mudah. Hukum gravitasi adalah hukam Allah s.w.t. yang pertama kali
dipopulerkan oleh Newton(1642-1727) seorang filosuf dan Ilmuan Barat (Inggeris.)
Firman Allah s.w.t yang bermaksud :
" Yang demikian adalah Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu dan kamu sekali-kali tidak
akan menemukan perubahan bagi Sunnatullah itu."(Q.S Al Fath :23)
Dalam ayat yang lain. Allah berfirman yang bermaksud :
" Anda tidak akan menjumpai dalam ciptaan Allah itu sebuah kekacauan, maka lihatlah sekali
lagi adakah kamu temui padanya kecacatan." ( Q. S Al Mulk: 3)
Oleh itu Allah selalu mengingatkan manusia supaya memperhatikan alam, juga memerintahkan
manusia supaya membuat penelitian terhadap alam semesta dengan segala isi kandungannya
dengan segala rendah hati bukan secara yang sombong angkuh dengan ilmu dan teknologi yang
dimiliki, betapa Allah telah menciptanya segala benda-benda tersebut berlaku secara teratur,
sedikitpun tidak terdapat sesuatu yang kacau dan cacat kecuali yang merosakkan adalah terdiri
makhluk yang bernama manusia samada kecacatan itu berlaku didarat atau dilautan, semuanya
hasil dari perbuatan jahat manusia.
Maka oleh kerana alam semesta dengan seluruh isi kandungannya taat atau patuh dan tunduk
kepada Allah, maka menurut tata bahasa dan secara literal Al Qur'an samada kepatuhan itu
secara terpaksa dalam bentuk kekufuran (ingkar) yang cuba mempertikaikan kekuasaan Allah
s.w.t atau patuh dengan penuh rasa keimanan dan ketakwaan, maka seluruh alam ini adalah
muslim adanya.
Sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti
"kebiasaan". Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan
masyarakat. Dalam Al-Qur'an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatuna,
dan sunnatul Awwalin, kesemuanya berbicara dalam konteks kemasyarakatan. Perlu diingat
bahwa apa yang dinamai hukum-hukum alam pun adalah kebiasaan-kebiasaan yang dialami
manusia, dan dari ikhtisar pukul rata statistik tentang kebiasaan-kebiasaan itu, para pakar
merumuskan hukum-hukum alam. Kebiasaan itu dinyatakan Allah sebagai tidak beralih (al-Isra,
17:77) dan tidak pula berubah (al-Fath, 48:23), dan berganti juga tidak (al-Ahzab, 33:62). Karena
sifatnya demikian, maka ia dapat dinamai "hukum-hukum kemasyarakatan" atau ketetapan-
ketetapan Allah menyangkut situasi masyarakat.
Menurut beberapa ayat Al-Qur'an, seperti al-Isra, 17:77; al-Fath, 48:23; al-Ahzab, 33:62; ada
keniscayaan bagi sunnatullah (hukum-hukum kemasyarakatan) itu, tidak ubahnya dengan
hukum-hukum alam atau yang berkaitan dengan materi. Hukum-hukum alam sebagaimana
hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satupun di negeri manapun orang dapat
terbebaskan dari sanksi bila melanggarnya. Hukum-hukum itu tidak memperingatkan siapa yang
melanggarnya dan sanksinya pun membisu sebagaimana membisunya hukum itu sendiri.
Masyarakat dan jenis manusia yang tidak membedakan antara yang haram dan yang halal akan
terbentur oleh malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata adalah sanksi otomatis,
karena kepunahan adalah akhir dari semua mereka yang melanggar hukum alam/
kemasyarakatan.
Al-Qur'an berbicara tentang sunnatullah dalam konteks perubahan sosial, yaitu al-Anfal, 8:53;
dan al-Ra'd, 13:11. kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan, ayat pertama berbicara
tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua yang menggunakan kata "ma" (apa) berbicara
tentang perubahan apapun, baik dari nikmat (positif) menuju niqmah (negatif, murka Ilahi)
maupun dari negatif ke positif.