Anda di halaman 1dari 12

RELASI SAINS DAN AGAMA

MATA KULIAH

PENGANTAR INTEGRASI ILMU

DOSEN PENGAMPU

Wardatun Nadhiroh, S.Th.I, M.Hum

DISUSUN OLEH:

Dellya 200103040015

Dhea Puspita Dwi. R 200103040071

Muhammad Aldi 200103040078

Nur Syifa Nadila 200103040100

Selma Jasmine Lubuk 200103040086

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

PRODI PSIKOLOGI ISLAM

BANJARMASIN

2020/2021
PENDAHULUAN

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil aplikasi


sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia
secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia
secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu
sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama. Sah seluruh usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti.
Sains merupakan ilmu yang perkembangannya sangat pesat di dunia saat
ini. Dari segi manapun kehidupan yang dijalani manusia tidak luput dari adanya
bantuan dari sains itu sendiri. Tidak terkecuali dalam kehidupan beragama.
Adapun agama merupakan sandaran atau tiang yang menjadi pedoman tujuan
hidup setiap manusia. Banyak agama yang kita ketahui dari seluruh dunia,
diantaranya; Islam, Hindu, Budha, Katolik, Kristen, Konghucu, yang dikenal dan
berkembang di Indonesia.
Sepanjang sejarah manusia, pembicaraan mengenai sains dan agama tidak
pernah berhenti. Agama dan sains merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Sains dan agama merupakan dua entitas yang sama-sama telah
mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Keduanya telah berperan penting
dalam membangun peradaban. Dengan lahirnya agama tidak saja telah
menjadikan umat manusia memiliki iman, namun juga terbangunnya manusia
yang beretika, bermoral ,dan beradab yang menjadi pandangan hidup bagi
manusia dalam menjalani hidup. Sedangkan, sains dengan perkembangannya telah
menjadikan kemajuan dunia dengan berbagai penemuan gemilang. Dari asal-
muasalnya memang terdapat perbedaan antara agama dan sains. Agama berasal
dari wahyu yang diturunkan Tuhan melalui nabi dan rasul, sementara sains (ilmu)
merupakan proses perenungan atau olah pikir dan aktivitas berpikir otak manusia.

1
Berdasarkan uraian di atas, sangat penting untuk dipahami seluk beluk dari
hubungan sains dan agama, sehingga tidak terjadi penyimpangan terhadap
penerapan sains dalam segi agama. Maka, dalam makalah ini berisi tentang
pengertian sains dan agama, hubungan antara sains dan agama, dan pandangan
para tokoh tentang hubungan sains dan agama.

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sains dan Agama


Kata sains berasal dari kata science, scienta, scine yang artinya
mengetahui. Dengan kata lain, sains adalah logos, sendi, atau ilmu. Sains dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari kebenaran
berdasarkan fakta atau fenomena alam (Sudjana, 2008: 3-4). Sains yang dipahami
dalam arti sebagai pengetahuan obyektif, tersusun, dan teratur tentang tatanan
alam semesta.
Djojosoebagio, S (1995) sebagaimana dikutip oleh Sudjana (2008: 4)
mengemukakan beberapa sifat-sifat sains antara lain:
1. Kumulatif, artinya dinamis atau tidak statis karena selalu mencari
tambahan ilmu sebab mengingat kebenaran bersifat sementara.
2. Ekonomis, untuk penjelasan dan kaidah-kaidah yang kompleks,
formulasinya sederhana, susunannya ekonomis sehingga dipakai istilah
pendek, simbol dan formula.
3. Dapat dipercaya atau diandalkan untuk meramalkan sesuatu dan lebih
baik hasilnya daripada pekerjaan berdasarkan perkiraan saja.
4. Mempunyai daya cipta tentang sesuatu.
5. Dapat diterapkan untuk menganalisis perilaku atau kejadian-kejadian
alamiah.
Dalam tradisi keilmuan Barat, science mempunyai beberapa ciri atau sifat
yang menyebabkan ia disebut sebagai ilmu, yaitu: kegiatan, tata cara, dan
pengetahuan. Ilmu harus diusahakan dengan kegiatan manusia, kegiatan harus
dilaksanakan dengan tata cara tertentu, dan akhirnya kegiatan yang bertata cara itu
menghasilkan pengetahuan teratur. Dengan demikian, ilmu secara nyata dan khas
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan, yang
menggunakan pikiran, menyangkut pengertian dan pemahaman, serta mempunyai
tujuan-tujuan tertentu.1

1
Syarif Hidayatullah, “Agama dan Sains: Sebuah Kajian Tentang Relasi dan Metodologi.”
Dalam Jurnal Filsafat, Vol. 29, No. 1, Februari 2019, 107-108.

3
Di sisi lain, sains secara etimologis berasal dari bahasa Latin “scire”
berarti mengetahui, keadaan atau fakta mengetahui atau pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Sedangkan secara ontologis,
seperti ditulis Kertanegara, sains merupakan pengetahuan sistematis yang berasal
dari observasi, kajian dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar
atau prinsip apa yang dikaji. Kemudian, menurut Conant dalam Science and
Common Sense, sains adalah rangkaian konsep dan rencana-rencana konseptual
yang bertalian satu dengan lainnya dan telah berkembang sebagai hasil dari
percobaan dan pengamatan serta berfaedah untuk percobaan dan pengamatan
lebih jauh.2
Dalam kajian Gie, istilah “science” dalam literatur Barat, mengandung
lima cakupan, yang merupakan pertumbuhan kesejarahan dari pemikiran manusia
yang saling melengkapi. Bahkan, bisa dikatakan dari cakupan satu ke cakupan
berikutnya terjadi penegasan makna sehingga menjadi pengertian ilmu dalam
artian dewasa ini. Cakupan ilmu yang pertama dan tertua adalah sesuai dengan
asal usul dari kata “science” yang mengacu pada “pengetahuan semata-mata
mengenai apa saja.” Dalam kelaziman Bahasa Inggris Kuno hingga abad ke-17,
science memang diartikan apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang, misalnya
menjahit dan menunggang kuda. Cakupan kedua, bahwa sesudah abad ke-17 dan
memasuki abad berikutnya, pengertian science mengalami penghalusan dan
mengacu pada pengetahuan yang teratur. Cakupan ketiga, science sebagai ilmu
kealaman, yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh sebagian pakar. Ilmu
pengetahuan alami dalam perkembangannya terpecah menjadi cabang-cabang
ilmu, seperti Ilmu Alam, Ilmu Hayat, dan Ilmu Kimia yang bersifat lebih khusus.
Masing-masing cabang ilmu yang khusus ini merupakan cakupan keempat.
Terakhir cakupan kelima, pengertian ilmu seumumnya yang muncul akibat
pembahasan lebih lanjut, misalnya tentang peranan ilmu, rakitan ilmu, atau
sejarah ilmu, yang menyebabkan orang harus berbicara mengenai segenap ilmu

2
Zainul Arifin, “Model-Model Relasi Agama dan Sains.” Dalam Jurnal Psikologi dan
Psikologi Islam, Vol. 5, No. 2, 2008, 168.

4
sebagai suatu kebulatan atau ilmu seumumnya dan bukan pada masing-masing
cabang ilmu yang besifat khusus, seperti sebelumnya (2003: 20).3
Sedangkan agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah
sistem atau kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dewa atau nama lainnya
dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut. Agama adalah pegangan hidup yang dianutnya yang dapat
memberikan kedamaian.4
Menurut Sir Muhammad Iqbal (2016: 239), dipilah ke dalam tiga dimensi:
keimanan (faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery). Agama,
menurut Burhanuddin Daya (1993), merupakan kesempurnaan eksistensi manusia,
sumber vitalitas, yang mewujudkan perubahan dunia dan melestarikan kehidupan
manusia. Kualitas suatu perubahan ditentukan oleh kualitas agama yang menjadi
dasarnya. Agama juga salah satu sumber nilai, memiliki peran, arti dan bahkan
sumbangan yang sangat besar dan paling tinggi harganya bagi setiap jenjang
kehidupan manusia. Max Muller mendefiniskan agama sebagai keadaan mental
atau kondisi pikiran yang bebas dari nalar dan pertimbangan sehingga menjadikan
manusia mampu memahami Yang Maha Tak Terbatas melalui berbagai nama dan
perwujudan (Menzies, 2014: 11).5
Sementara menurut Scharf, agama merupakan sistem kepercayaan dan
peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa (masyarakat) dalam perjuangan
mereka dalam mengatasi persoalan-persoalan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka agama bisa dipandang dalam 3 makna
sekaligus, 1) agama merupakan kepercayaan terhadap yang gaib yang menjadi
jalan hidup bagi manusia, 2) di dalam agama terdapat aturan-aturan, norma-
norma, dan nilai-nilai, termasuk peribadatan yang mesti dilaksanakan dengan

3
Syarif Hidayatullah, “Relasi Agama dan Sains Dalam Pandangan Mehdi Golshani.” Dalam
Jurnal Filsafat, Vol. 27, No. 1, Februari 2017, 68-69
4
Baharuddin, “Relasi antara Science Dengan Agama.” Dalam Jurnal IAIN Pontianak, Vol.
8, No. 2, 2014, 73
5
Syarif Hidayatullah, op. cit. hlm 69

5
penuh khidmat dan kehati-hatian, 3) bahwa aturan, norma, dan nilai dalam agama
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia, masyarakat, dan budayanya.6

B. Hubungan Sains dan Agama


Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan
ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antara
keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama tidak mengarahkan pada jalan
yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada
kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak akan
pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda dan berdiri
sendiri, memiliki wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-material,
metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan. Pandangan
beberapa pakar terhadap hubungan antara sains dan agama diantaranya seperti:
1. Tipologi Ian G. Barbour
a. Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan
tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker,
serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama
memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih
salah satu di antara keduanya. Menolak agama dan menerima sains, atau
sebaliknya. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih
luas dalam kehidupan. Sedang-kan sains tidak dapat mengungkap rentang
yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-
kemungkinan bagi tranfor-masi hidup manusia sebagaimana yang
dipersak-sikan oleh agama (Barbour, 2006 : 224). Dalam konflik
pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan:
1. Materialisme ilimiah, menganggap bahwa materi sebagai realita
dasar alam (pentingnya realitas empiris), sekaligus meyakini

6
Thoriq Aziz Jayana, “Relasi Sains, Budaya, dan Agama Upaya Pendekatan Paradigma
Yang Menyatukan.” Dalam Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 11, No. 1, Januari-Juni 2018, 157

6
bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sahih untuk
mendapatkan pengetahuan.
2. Literalisme kitab suci merupakan satu-satunya sumber kebenaran
adalah kitab suci, karena dianggap sebagai sekumpulan wahyu
yang bersifat kekal dan benar karena
b. Independensi
Memisahkan agama dan sains dalam wilayah yang berbeda,
memiliki bahasa yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang berbeda,
berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi tanpa saling
mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains
berhubungan dengan fakta. Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua
bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing berbeda.
Bahasa agama adalah seperangkat pedoman yang menawarkan jalan hidup
yang berprinsip pada moral tertentu, sedangkan sains dianggap sebagai
serangkaian konsep untuk memprediksi dan mengontrol alam.
c. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama
dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan
independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan
yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain.
Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep.
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat
diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion
without science is blind: science without religion is lame“. Tanpa sains,
agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh.
d. Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat
daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan
agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama diang-gap valid
dan menjadi sumber koheren dalam pan-dangan dunia. Bahkan

7
pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat
memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
2. Tipologi versi John Haught (1995)
Menurut Haught, hubungan agama dan sains diawali dengan titik
konflik antara agama dan sains untuk mengurangi konflik, dilakukan
pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak
kontras/perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah
berikutnya adalah mengupayakan agar keduanya berdialog/kontak. Setelah
tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pema-haman yang
benar tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains saling
melengkapi/konfirmasi.7

C. Relasi Sains dan Agama Dalam Konteks Islam


Ketika agama dan sains mengalami ketegangan, menurut Hidayat (2014:
97), dibutuhkan berbagai cara untuk menjembati keduanya agar dapat saling
mengisi dan tidak saling meniadakan. Satu hal yang patut diapresiasi adalah
bahwa saat ini para agamawan (ilmuwan teolog) terutama dari kalangan Islam
maupun Kristen telah memiliki kecenderungan positif untuk terjun langsung
dalam dunia sains yang sangat luas ini. Kalau selama ini kalangan agamawan
banyak yang hanya berada di pinggiran sebagai penonton yang sering
dikecewakan oleh arus perkembangan sains, maka “agama” paling tidak telah
memiliki wakil-wakilnya untuk masuk ke dalam aturan sains. Tokoh-tokoh seperti
Ian Barbour, John F. Haught, Keith Ward, Peacocke, Mehdi Golshani, Huston
Smith, Fritjof Capra, dan tokoh-tokoh lainnya merupakan sebagian dari pelaku
wacana baru dalam menghubungkan sains dan agama. Di sini pentingnya upaya
melakukan integrasi antara akal yang melahirkan sains dengan pandangan teologis
yang lebih terbuka dalam memandang dalil-dalil kitab suci yang berbicara tentang
fenomena alam. Dengan pemahaman yang holistik tentang cara alam dan cara
Tuhan dalam sains seharusnya tidak perlu diingkari, apalagi ditakuti.8

7
Baharuddin, op.cit. hlm 78-82
8
Syarif Hidayatullah, op.cit. hlm 69-70

8
PENUTUP

Kata sains berasal dari kata science, scienta, scine yang artinya
mengetahui. Dengan kata lain, sains adalah logos, sendi, atau ilmu. Artinya
dinamis atau tidak statis karena selalu mencari tambahan ilmu sebab mengingat
kebenaran bersifat sementara. Untuk penjelasan dan kaidah-kaidah yang
kompleks, formulasinya sederhana, susunannya ekonomis sehingga dipakai istilah
pendek, simbol dan formula. Dipercaya atau diandalkan untuk meramalkan
sesuatu dan lebih baik hasilnya daripada pekerjaan berdasarkan perkiraan saja.
Daya cipta tentang sesuatu. Diterapkan untuk menganalisis perilaku atau kejadian-
kejadian alamiah.
Dalam tradisi keilmuan Barat, science mempunyai beberapa ciri atau sifat
yang menyebabkan ia disebut sebagai ilmu, yaitu: kegiatan, tata cara, dan
pengetahuan. Ilmu harus diusahakan dengan kegiatan manusia, kegiatan harus
dilaksanakan dengan tata cara tertentu, dan akhirnya kegiatan yang bertata cara itu
menghasilkan pengetahuan teratur. Dengan demikian, ilmu secara nyata dan khas
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan, yang
menggunakan pikiran, menyangkut pengertian dan pemahaman, serta mempunyai
tujuan-tujuan tertentu.
Di sisi lain, sains secara etimologis berasal dari bahasa Latin "scire"
berarti mengetahui, keadaan atau fakta mengetahui atau pengetahuan yang
dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan. Sedangkan secara ontologis, seperti
ditulis Kertanegara, sains merupakan pengetahuan sistematis yang berasal dari
observasi, kajian dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar
atau prinsip apa yang dikaji. Kemudian, menurut Conant dalam Science and
Common Sense, sains adalah rangkaian konsep dan rencana-rencana konseptual
yang bertalian satu dengan lainnya dan telah berkembang sebagai hasil dari
percobaan dan pengamatan serta berfaedah untuk percobaan dan pengamatan
lebih jauh.
Sedangkan agama, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah
sistem atau kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dewa atau nama lainnya

9
dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut. Agama adalah pegangan hidup yang dianutnya yang dapat
memberikan kedamaian.
Menurut Sir Muhammad Iqbal, dipilah ke dalam tiga dimensi : keimanan,
pemikiran, dan petualangan diri. Agama, menurut Burhanuddin Daya , merupakan
kesempurnaan eksistensi manusia, sumber vitalitas, yang mewujudkan perubahan
dunia dan melestarikan kehidupan manusia. Kualitas suatu perubahan ditentukan
oleh kualitas agama yang menjadi dasarnya.
Tipologi versi John Haught. Menurut Haught, hubungan agama dan sains
diawali dengan titik konflik antara agama dan sains untuk mengurangi konflik,
dilakaukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak
kontras/perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah
berikutnya adalah mengupayakan agar keduanya berdialog/kontak. Setelah tahap
ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pema-haman yang benar
tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi/konfirmasi.
Ketika agama dan sains mengalami ketegangan, menurut Hidayat,
dibutuhkan berbagai cara untuk menjembati keduanya agar dapat saling mengisi
dan tidak saling meniadakan. Satu hal yang patut diapresiasi adalah bahwa saat ini
para agamawan terutama dari kalangan Islam maupun Kristen telah memiliki
kecenderungan positif untuk terjun langsung dalam dunia sains yang sangat luas
ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainul, “Model-Model Relasi Agama dan Sains.” Dalam


Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, Vol. 5, No.2, 2008.
Baharuddin, “Relasi antara Science Dengan Agama.” Dalam Jurnal
IAIN Pontianak, Vol. 8, No. 2, 2014.
Hidayatullah, Syarif, “Agama dan Sains: Sebuah Kajian Tentang
Relasi dan Metodologi.” Dalam Jurnal Filsafat, Vol. 29, No.
1, Februari 2019.
Hidayatullah, Syarif, “Relasi Agama dan Sains Dalam Pandangan
Mehdi Golshani.” Dalam Jurnal Filsafat, Vol. 27, No. 1,
Februari 2017.
Jayana, Thoriq Aziz, “Relasi Sains, Budaya, dan Agama Upaya
Pendekatan Paradigma Yang Menyatukan.” Dalam Jurnal Al-
Maiyyah, Vol. 11, No. 1, Januari-Juni 2018.

11

Anda mungkin juga menyukai