Anda di halaman 1dari 11

BAB X

KONSEP ISLAM TENTANG PENGEMBANGAN IPTEK

X. Konsep Islam tentang Pengembangan IPTEK


A. Capaian pembelajaran Khusus
Mahasiswa mampu menganalisa dan menyajikan hasil kajian tentang
konsep politik, sosial-budaya, maritim dan pengembangan iptek dalam
perspektif Islam.

B. Sub Pokok Bahasan

10.1Kedudukan Iptek dalam Islam

10.2Tujuan Iptek dalam Islam

10.3Tanggung jawab Ilmuwan dalam pandangan Islam

10.1 Kedudukan IPTEK dalam Islam


Sejak generasi awal Islam sampai sekarang, pandangan kaum Muslim tentang
kedudukan ilmu dalam kehidupan mereka tetap sama, bahwa ilmu adalah kunci
kesuksesan; ilmu adalah prasyarat mutlak bagi usaha-usaha meraih kebahagiaan hidup
baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kedudukannya sebagai
sumber utama ajaran Islam memang memberi landasan kuat terbentuknya kerangka
berpikir yang menempatkan ilmu sebagai asas kehidupan umat Muslim dan asas
peradaban Islam. Secara historis-sosiologis dapat dikemukakan bahwa kehadiran al-
Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw. melahirkan situasi yang berbeda
dengan apa yang pernah terjadi pada nabi-nabi sebelum beliau. Kendati pada nabi
Musa as., Dawud as. dan Isa as. diturunkan kitab-kitab suci yang kelihatannya memilki
kedudukan yang serupa dengan kitab suci al-Qur’an, yakni sebagai manifestasi
kehendak Tuhan Allah yang harus dijadikan pedoman bagi umat manusia, namun di
sana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan khas. Umat nabi-nabi sebelum
Muhammad masih melihat kemukjizatan yang bersifat fisik (tongkat Musa as. yang
berubah jadi ular dan dapat membelah laut, kehebatan Dawud as. dalam perang
mengalahkan Jalut yang kuat, kesaktian Isa as. membangkitkan orang yang mati dst.)
sebagai alasan terkuat keyakinan mereka kepada nabi-nabi Allah. Kitab suci baik
Taurat, Zabur maupun Injil baru berfungsi sebagaimana mestinya sebagai aturan Tuhan
Allah yang wajib ditaati manakala telah terbukti kebenaran risalah nabi-nabi mereka
melalui kemukjizatan secara fisik. Nalar mereka baru tunduk manakala dihadapkan pada
peristiwa-peristiwa fisik yang diluar jangkauan pengetahuan mereka.
Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang dialami oleh nabi Muhammad saw.
Kepada beliau diturunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum Muslim. Dan melalui
al-Qur’an pula kebenaran risalah beliau ditegakkan. Al-Qur’an adalah kitab suci
sekaligus inheren di dalamnya mukjizat nabi Muhammad saw. Sejak pertama
diturunkan, al-Qur’an menghadirkan tantangan bagi nalar masyarakat Arab jahiliyyah
pada waktu itu. Al-Qur’an (sebagai representasi kehendak Allah) menantang mereka
untuk menggubah baik sya’ir ataupun karya prosa yang keindahannya melebihi atau
bahkan sekedar menyamai keindahan susunan bahasanya. Al-Qur’an juga menggugah
kesadaran dan emosi mereka untuk bisa menghadirkan infromasi-informasi sejarah,
argumentasi-argumentasi menyangkut masalah keyakinan, kemasyarakatan, nilai-nilai,
dan lain sebagainya, yang lebih dapat diterima oleh nalar manusia daripada penjelasan -
penjelasan al-Qur’an. Kemukjizatan al-Qur’an ini tidak saja menunjukkan kebenaran
risalah Nabi Muhammad Saw., tetapi juga mendorong manusia untuk mengeksplorasi
potensi nalar sebagai kekuatan utama manusia. Di dalam al-Qur’an, ungkapan afala
ta'qilun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?)
terulang dalam al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar
kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum
yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu,
ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb. Dengan demikian, ajaran Islam
menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang sangat terhormat dan khas.
1. Keutamaan Orang yang Berilmu
Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena
sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu
sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi
kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari
beberapa aspek.
Pertama, turunnya wahyu pertama ( al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan
perintah untuk membaca. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas
membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirin ya dan
lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam
menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga
terpahami betul makna dan hakikatnya.
Kedua, banyaknya ayat Al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk
menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-
An’aam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan
kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga.
Ketiga, Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan
potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih
rendah dari itu (al-A’raf 7 : 179).
Keempat, Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu
dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9).

2. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Secara sederhana pengetahuan dapat dimaknai dengan “pemahaman subyek
terhadap obyek”. Sementara ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi,
diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif,
sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International
Webster’s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003). Istilah
ilmu kadangkala dipadankan pula dengan istilah sains, yang biasa diartikan sebagai
pengetahuan tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya adalah botani,
fisika, kimia, geologi dan biologi. Bisa juga dikatakan sains adalah pengetahuan
sistematis yang diperoleh dari observasi penelitian dan uji coba yang mengarah
pada penemuan sifat dasar atau prinsip sesuatau yang diteliti. Dengan demikian
pengetahuan memiliki arti yang lebih umum, sementara ilmu lebih spesifik.
Secara etimologis, kata ‘ilm (ilmu) dalam bahasa Arab berarti kejelasan.
Karena itu segala kosakata yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri
kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek
pengetahuan (Quraish Shihab, 1996). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu
bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis.
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia
yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima
oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang
sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains
mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam
pemikiran Islam, sains tidak bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.
Sedangkan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan
praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa
kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa
dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia yang
berakibat kehancuran alam semesta. Sebagian intelektual Islam dewasa ini
berusaha membuat elaborasi yang menarik dan berlawanan dengan pendapat
umum, bahwa sebagai produk budaya, teknologi tidaklah bersifat netral. Artinya,
pernyataan bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar -besarnya
atau juga bisa digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri patut dipertanyakan
ulang.
Kesimpulan tersebut sesungguhnya muncul karena adanya perbedaan yang
tajam antara perspektif Islam tentang sains dengan perspektif Barat. Pendekatan
Islam mengakui keterbatasan akal manusia serta mengakui ilmu pengetahuan
termasuk sains adalah berasal dari Tuhan. Sementara konsep dan identitas sains
Barat seperti yang disinyalir oleh intelektual Muslim seperti Nasr, Sardar dan Naquib
al-Attas, bersifat sekular, tidak dibimbing oleh kehidupan nilai mor al dan bahkan
dikuasai oleh materialisme dan arogansi. Sehingga dampaknya jelas, seluruh
cabang ilmu dan aplikasinya terkontamitnasi oleh borok yang sama.
Indikasi dari pernyataan ini jelas, bahwa sains Barat itu sudah tidak netral dan
tentu berbeda dengan sains Islam. Terbukti sains Barat tidak memberi tempat pada
wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan. Realitas Tuhan tidak menjadi pertimbangan
lagi dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riil. Akibatnya, agama bahkan
dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi kemudian dimarginalkan.
Secara lebih luas, perbedaan keduanya jika ditelusuri dari pandangan hidup
(world view). Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep fundamental
tentang Tuhan, ilmu, manusia dan alam, etika dan agama yang tentu saja berbeda-
beda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situsasi seperti ini pertemuan
keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya sains Barat modern itu
ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam.
Dalam Islam pengetahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan akal
saja, tapi juga wahyu, instuisi dan pengalaman. Tapi dalam sains Barat akal
diletakkan lebih tinggi dari pada wahyu. Sehingga sains tidak berhubungan harmonis
dengan agama bahkan meninggalkan agama. Sementara tentang teknologi ada
yang memahami bahwa ia adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan
untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian, mesin atau alat
canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari
teknologi.
Meskipun sains dan teknologi benar telah membawa dampak positif berupa
kemajuan, kemudahan hidup dan kesejahteraan bagi manusia, namun kenyataan
yang juga tidak boleh diabaikan adalah munculnya berbagai problem besar seperti
kerusakan alam, alienasi individual, senjata pembunuh massal, gaya hidup yang
merusak dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan
pendayagunaan iptek sekurang-kurangnya harus senantiasa berada dalam jalur
nial-nilai keimanan dan kemanusiaan.
Menurut pandangan hidup Islam, terdapat dua obyek utama dari ilmu, yakni al-
Qur’an dan alam semesta. Dalam sebuah riwayat dari Ibn Mas’ud ra. Disebutkan:
ِ‫ض فَتَ َعلَّ مُ ْوا مِن َمأَدَّبَتِه‬
ِ ْ‫ي اْالَر‬ ِ َّ ٌ‫اِ َّن هَذَا القُرْ ا ُن َمأْدَبَة‬
ْ ِ‫َّللا ف‬
“Sesungguhnya Kitab Suci Al-Qur’an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka
belajarlah dengan sepenuhnya dari Jamuan-Nya”
Maka kitab suci Al-Qur’an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di
bumi dan kita di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu
sejati darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah ’mengecap rasanya yang
sejati’, dan itulah sebabnya dapat dikatakan, dengan merujuk kepada unsur -unsur
utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan
spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung. Pengalaman tersebut hampir
secara serentak menyingkapkan realitas dan kebenaran sesuatu kepada
penglihatan spiritualnya.
Selain kitab suci al-Qur’an. alam semesta juga merupakan obyek utama ilmu.
Alam adalah great book, kitab ciptaan Tuhan, dan karenanya alam harus dipahami,
dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Zaidi Ismail membahas
bagaimana Islam memandang alam sebagai obyek utama sains.
Cara pandang Islam yang di refleksikan oleh pandangan hidup Islam dapat di
lacak dari peristilahan yang di gunakan dalam Alquran dan hadits. Istilah ilmu (‘ilm),
ilmuwan (al ‘alim), dan alam (al ‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama
dengan moralitas manusia.
Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan
itu mesti menggunakan etika dan moralitas. Kaitan antara ilmu, ilmuwan, dan alam
semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya mempunyai indikasi-
indikasi kuat. Korelasi ketiganya bagi orang yang mau berpikir akan menunjukan
tuhan adalah penciptanya. Integralitas seperti yang digambarkan di atas berdampak
terhadap orientasi sains masyarakat muslim dann itu adalah sebagian dari world
view Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam.
Pandangan para ilmuwan, yang dalam hal ini adalah ilmuwan muslim, sudah
barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan al-Quran yang dijelaskan oleh
Nabi Saw. Bagaimana Nabi Saw. mentransformasikan pandangan hidup Islam yang
terkandung dalam al Quran dapat ditelusuri terutama sejak Nabi hijrah ke Madinah.
Nabi membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model
pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya. As-Shuffah adalah universitas
pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi. Di Madinah mahasisiwanya: disebut
Ashab as-Shuffah atau Ahl as-Shuffah. Di dalamnya mereka menulis, membaca,
belajar hukum-hukum Islam dan mempraktekan kandungan al quran dan ilmu-ilmu
lainya. Ubaidah Ibn al-Samith seperti disebut dalam Sunan Abu Daud ditunjuk oleh
Nabi sebagai pengajar di Madrasah as Shuffah untuk belajar menulis dan ilmu al-
Quran. Aktifitas ilmiah dalam rangka memahami al-Quran yang memproyeksikan
pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan itu pada
akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan. Hingga ada mata rantai yang
menghubungkan generasi ke generasi selanjutnya.
Dengan paparan di atas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan
lagi baik secara historis, teoristis, ataupun prospektif.
3. Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya
tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi
(perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu
yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge),
serta tingkat kebenarannya nisbi (relative). Karena itu, tidak ada istilah final dalam
suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan
untuk dilakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.
Al-Qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber
pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan
juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena
ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan
pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang
atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan al-Qur’an
membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah.
4. Batasan Iptek dalam Islam
Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan
seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada r usaknya nilai-nilai
kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya
yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi.
Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an
expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni
merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang
menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan
yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu
keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena
ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi.
Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah,
senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan
pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang
bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai
sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat
diterima dalam Islam.
Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan
pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan
budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan
sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini,
bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah ( hukum alam
hukum Allah).
Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin
mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri.
Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami
selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan
kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan
Islam tidak bebas nilai.
5. Integrasi Iman, Ipteks dan Amal
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat
tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman,
Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran
yang disubut Dienul Islam.
Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah
tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan
keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan
menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman
diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu
bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan
seni.
Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan
amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila
perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek
yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan
menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan
akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.

10.2 Hakikat dan Tujuan IPTEK Menurut Pandangan Islam


Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia
sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak
terhadap manusia daripada tantangan yang di bawa oleh peradaban Barat saat ini.
Seorang pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas berani mengatakan
bahwa “tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah
tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami
dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.
Hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan
hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan
keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia
bahkan ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan. Ilmu yang di sajikan
dan disampaikan dengan topeng dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang
benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhannya merupakan
ilmu yang sebenarnya. Watak, kepribadian, esensi, dan ruh peradaban Barat seperti
apakah yang telah mengubah dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa semua yang
menerima tafsiran ilmu itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada kehancuran
? ‘Peradaban Barat’ yang Al-Attas maksudkan adalah peradaban yang berkembang
dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan
Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan
serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik,
dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar
pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum,
ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen diserap unsur-unsur
keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik
kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka, serta
pengembangan ilmu sains (fisika) dan teknologi.
Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong
peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan
yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan
semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di
susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat,
sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak
serta kepribadian peradaban Barat.
10.3 Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam Lingkungannya
Ada dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah)
dan sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di bumi. Esensi dari Abdullah adalah ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedan gkan esensi
dari Khalifah adalah tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya, baik
lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam konteks Abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang
memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada
penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta
dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang pencipta
kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghamba
kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan
manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia
kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya.
Fungsi kedua adalah sebagai Khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam posisi
ini manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan
lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk
mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan
sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan dan
melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh Allah
untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia.
Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu
pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup
(para ilmuwan atau para cendekiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan
sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi
sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga
keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan,
memberdayakan dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada
para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab yang
lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah
tangan manusia sendiri (Qs. Ar Rum : 41). Mereka banyak yang menghianati
perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat sebagai khalifah yang
bertugas untuk menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengeksploitsi alam ini untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kedua tugas dan fungsi manusia tersebut tidak
boleh terpisah, artinya keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang seharusnya
diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara
terpadu, akan dapat mewujudkan manusia yang ideal (insan kamil) yakni manusia
sempurna yang pada akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat.
Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang disebut ilmu itu tidak hanya
terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) saja, melainkan ilmu oleh
Allah dirumuskan dalam lauhil mahf udz yang disampaikan kepada kita melalui Alquran
dan As-Sunnah. Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan
manusia sendiri. Jadi bila diikuti jalan pikiran ini, maka dapatlah kita pahami, bahwa
Alquran itu merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia
(knowledge and science).
Menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat
dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan
pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama
tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang
mengarah kepada duniawi. Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib.
Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu ber manfaat
untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di
balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan.
Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada
pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi
kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama
(amal saleh). Tanggung jawab ilmuwan dan seniman meliputi: (1) nilai ibadah, (2)
berdasarkan kebenaran ilmiah, (3) ilmu amaliah, dan (4) menyebar-luaskan ilmunya.
Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk
menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.” (Jamaluddin
al-Afgani)
Dilatar belakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat dengan globalisasinya,
westernisasi dan berbagai ideologinya tersebar ke seluruh dunia, termasuk Islam.
Komunitas muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains
Barat. Begitu mengakarnya di setiap sendi kehidupan berakibat pada terjadinya
pengkaburan paradigma, cara pandang terhadap sains Islam. Sehingga banyak di
antara kita yang sulit untuk mengidentifikasi, sinis, bahkan takut terhadap identitas kita
sendiri. Tidak sedikit cendekiawan muslim yang canggung terhadap sifat Islam terutama
pada ilmu sosiologi, fisika, psikologi, politik, dan ilmu ekonomi. Padahal ketika
seseorang menyebut sains modern atau sains Barat, tanpa disadari telah meletakkan
identitas itu, yaitu sains yang diproduksi oleh ideologi dan pan dangan-pandangan dari
Barat. Dampak dari hilangnya identitas itu dapat diamati dari berbagai pernyataan
cendekiawan muslim. Jamaluddin al Afghani seorang tokoh pembaharu misalnya
mengatakan, ”Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan
alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.”
Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan bahkan
tidak ada ketidaksesuaian dengan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama. Sebagaimana
yang disinyalir oleh al Afgani di atas.

Anda mungkin juga menyukai