A. Capaian pembelajaran Khusus Mahasiswa mampu menganalisa dan menyajikan hasil kajian tentang konsep politik, sosial-budaya, maritim dan pengembangan iptek dalam perspektif Islam.
B. Sub Pokok Bahasan
10.1Kedudukan Iptek dalam Islam
10.2Tujuan Iptek dalam Islam
10.3Tanggung jawab Ilmuwan dalam pandangan Islam
10.1 Kedudukan IPTEK dalam Islam
Sejak generasi awal Islam sampai sekarang, pandangan kaum Muslim tentang kedudukan ilmu dalam kehidupan mereka tetap sama, bahwa ilmu adalah kunci kesuksesan; ilmu adalah prasyarat mutlak bagi usaha-usaha meraih kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kedudukannya sebagai sumber utama ajaran Islam memang memberi landasan kuat terbentuknya kerangka berpikir yang menempatkan ilmu sebagai asas kehidupan umat Muslim dan asas peradaban Islam. Secara historis-sosiologis dapat dikemukakan bahwa kehadiran al- Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw. melahirkan situasi yang berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada nabi-nabi sebelum beliau. Kendati pada nabi Musa as., Dawud as. dan Isa as. diturunkan kitab-kitab suci yang kelihatannya memilki kedudukan yang serupa dengan kitab suci al-Qur’an, yakni sebagai manifestasi kehendak Tuhan Allah yang harus dijadikan pedoman bagi umat manusia, namun di sana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan khas. Umat nabi-nabi sebelum Muhammad masih melihat kemukjizatan yang bersifat fisik (tongkat Musa as. yang berubah jadi ular dan dapat membelah laut, kehebatan Dawud as. dalam perang mengalahkan Jalut yang kuat, kesaktian Isa as. membangkitkan orang yang mati dst.) sebagai alasan terkuat keyakinan mereka kepada nabi-nabi Allah. Kitab suci baik Taurat, Zabur maupun Injil baru berfungsi sebagaimana mestinya sebagai aturan Tuhan Allah yang wajib ditaati manakala telah terbukti kebenaran risalah nabi-nabi mereka melalui kemukjizatan secara fisik. Nalar mereka baru tunduk manakala dihadapkan pada peristiwa-peristiwa fisik yang diluar jangkauan pengetahuan mereka. Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang dialami oleh nabi Muhammad saw. Kepada beliau diturunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum Muslim. Dan melalui al-Qur’an pula kebenaran risalah beliau ditegakkan. Al-Qur’an adalah kitab suci sekaligus inheren di dalamnya mukjizat nabi Muhammad saw. Sejak pertama diturunkan, al-Qur’an menghadirkan tantangan bagi nalar masyarakat Arab jahiliyyah pada waktu itu. Al-Qur’an (sebagai representasi kehendak Allah) menantang mereka untuk menggubah baik sya’ir ataupun karya prosa yang keindahannya melebihi atau bahkan sekedar menyamai keindahan susunan bahasanya. Al-Qur’an juga menggugah kesadaran dan emosi mereka untuk bisa menghadirkan infromasi-informasi sejarah, argumentasi-argumentasi menyangkut masalah keyakinan, kemasyarakatan, nilai-nilai, dan lain sebagainya, yang lebih dapat diterima oleh nalar manusia daripada penjelasan - penjelasan al-Qur’an. Kemukjizatan al-Qur’an ini tidak saja menunjukkan kebenaran risalah Nabi Muhammad Saw., tetapi juga mendorong manusia untuk mengeksplorasi potensi nalar sebagai kekuatan utama manusia. Di dalam al-Qur’an, ungkapan afala ta'qilun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb. Dengan demikian, ajaran Islam menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang sangat terhormat dan khas. 1. Keutamaan Orang yang Berilmu Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, turunnya wahyu pertama ( al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan perintah untuk membaca. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirin ya dan lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga terpahami betul makna dan hakikatnya. Kedua, banyaknya ayat Al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al- An’aam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga. Ketiga, Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah dari itu (al-A’raf 7 : 179). Keempat, Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9).
2. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Secara sederhana pengetahuan dapat dimaknai dengan “pemahaman subyek terhadap obyek”. Sementara ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International Webster’s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003). Istilah ilmu kadangkala dipadankan pula dengan istilah sains, yang biasa diartikan sebagai pengetahuan tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya adalah botani, fisika, kimia, geologi dan biologi. Bisa juga dikatakan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi penelitian dan uji coba yang mengarah pada penemuan sifat dasar atau prinsip sesuatau yang diteliti. Dengan demikian pengetahuan memiliki arti yang lebih umum, sementara ilmu lebih spesifik. Secara etimologis, kata ‘ilm (ilmu) dalam bahasa Arab berarti kejelasan. Karena itu segala kosakata yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan (Quraish Shihab, 1996). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sains tidak bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal. Sedangkan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia yang berakibat kehancuran alam semesta. Sebagian intelektual Islam dewasa ini berusaha membuat elaborasi yang menarik dan berlawanan dengan pendapat umum, bahwa sebagai produk budaya, teknologi tidaklah bersifat netral. Artinya, pernyataan bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar -besarnya atau juga bisa digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri patut dipertanyakan ulang. Kesimpulan tersebut sesungguhnya muncul karena adanya perbedaan yang tajam antara perspektif Islam tentang sains dengan perspektif Barat. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan akal manusia serta mengakui ilmu pengetahuan termasuk sains adalah berasal dari Tuhan. Sementara konsep dan identitas sains Barat seperti yang disinyalir oleh intelektual Muslim seperti Nasr, Sardar dan Naquib al-Attas, bersifat sekular, tidak dibimbing oleh kehidupan nilai mor al dan bahkan dikuasai oleh materialisme dan arogansi. Sehingga dampaknya jelas, seluruh cabang ilmu dan aplikasinya terkontamitnasi oleh borok yang sama. Indikasi dari pernyataan ini jelas, bahwa sains Barat itu sudah tidak netral dan tentu berbeda dengan sains Islam. Terbukti sains Barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan. Realitas Tuhan tidak menjadi pertimbangan lagi dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riil. Akibatnya, agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi kemudian dimarginalkan. Secara lebih luas, perbedaan keduanya jika ditelusuri dari pandangan hidup (world view). Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep fundamental tentang Tuhan, ilmu, manusia dan alam, etika dan agama yang tentu saja berbeda- beda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situsasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya sains Barat modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam. Dalam Islam pengetahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan akal saja, tapi juga wahyu, instuisi dan pengalaman. Tapi dalam sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari pada wahyu. Sehingga sains tidak berhubungan harmonis dengan agama bahkan meninggalkan agama. Sementara tentang teknologi ada yang memahami bahwa ia adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari teknologi. Meskipun sains dan teknologi benar telah membawa dampak positif berupa kemajuan, kemudahan hidup dan kesejahteraan bagi manusia, namun kenyataan yang juga tidak boleh diabaikan adalah munculnya berbagai problem besar seperti kerusakan alam, alienasi individual, senjata pembunuh massal, gaya hidup yang merusak dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek sekurang-kurangnya harus senantiasa berada dalam jalur nial-nilai keimanan dan kemanusiaan. Menurut pandangan hidup Islam, terdapat dua obyek utama dari ilmu, yakni al- Qur’an dan alam semesta. Dalam sebuah riwayat dari Ibn Mas’ud ra. Disebutkan: ِض فَتَ َعلَّ مُ ْوا مِن َمأَدَّبَتِه ِ ْي اْالَر ِ َّ ٌاِ َّن هَذَا القُرْ ا ُن َمأْدَبَة ْ َِّللا ف “Sesungguhnya Kitab Suci Al-Qur’an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka belajarlah dengan sepenuhnya dari Jamuan-Nya” Maka kitab suci Al-Qur’an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di bumi dan kita di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu sejati darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah ’mengecap rasanya yang sejati’, dan itulah sebabnya dapat dikatakan, dengan merujuk kepada unsur -unsur utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung. Pengalaman tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realitas dan kebenaran sesuatu kepada penglihatan spiritualnya. Selain kitab suci al-Qur’an. alam semesta juga merupakan obyek utama ilmu. Alam adalah great book, kitab ciptaan Tuhan, dan karenanya alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam sebagai obyek utama sains. Cara pandang Islam yang di refleksikan oleh pandangan hidup Islam dapat di lacak dari peristilahan yang di gunakan dalam Alquran dan hadits. Istilah ilmu (‘ilm), ilmuwan (al ‘alim), dan alam (al ‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama dengan moralitas manusia. Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. Kaitan antara ilmu, ilmuwan, dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya mempunyai indikasi- indikasi kuat. Korelasi ketiganya bagi orang yang mau berpikir akan menunjukan tuhan adalah penciptanya. Integralitas seperti yang digambarkan di atas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat muslim dann itu adalah sebagian dari world view Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Pandangan para ilmuwan, yang dalam hal ini adalah ilmuwan muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan al-Quran yang dijelaskan oleh Nabi Saw. Bagaimana Nabi Saw. mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam al Quran dapat ditelusuri terutama sejak Nabi hijrah ke Madinah. Nabi membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya. As-Shuffah adalah universitas pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi. Di Madinah mahasisiwanya: disebut Ashab as-Shuffah atau Ahl as-Shuffah. Di dalamnya mereka menulis, membaca, belajar hukum-hukum Islam dan mempraktekan kandungan al quran dan ilmu-ilmu lainya. Ubaidah Ibn al-Samith seperti disebut dalam Sunan Abu Daud ditunjuk oleh Nabi sebagai pengajar di Madrasah as Shuffah untuk belajar menulis dan ilmu al- Quran. Aktifitas ilmiah dalam rangka memahami al-Quran yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan. Hingga ada mata rantai yang menghubungkan generasi ke generasi selanjutnya. Dengan paparan di atas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi baik secara historis, teoristis, ataupun prospektif. 3. Sumber Ilmu Pengetahuan Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), serta tingkat kebenarannya nisbi (relative). Karena itu, tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk dilakukan kajian ulang atau perbaikan kembali. Al-Qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan al-Qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah. 4. Batasan Iptek dalam Islam Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada r usaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi. Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi. Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah, senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat diterima dalam Islam. Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah ( hukum alam hukum Allah). Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri. Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan Islam tidak bebas nilai. 5. Integrasi Iman, Ipteks dan Amal Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran yang disubut Dienul Islam. Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan seni. Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.
10.2 Hakikat dan Tujuan IPTEK Menurut Pandangan Islam
Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang di bawa oleh peradaban Barat saat ini. Seorang pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas berani mengatakan bahwa “tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia bahkan ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan. Ilmu yang di sajikan dan disampaikan dengan topeng dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhannya merupakan ilmu yang sebenarnya. Watak, kepribadian, esensi, dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa semua yang menerima tafsiran ilmu itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada kehancuran ? ‘Peradaban Barat’ yang Al-Attas maksudkan adalah peradaban yang berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum, ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat, sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak serta kepribadian peradaban Barat. 10.3 Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam Lingkungannya Ada dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di bumi. Esensi dari Abdullah adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedan gkan esensi dari Khalifah adalah tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Dalam konteks Abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang pencipta kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghamba kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya. Fungsi kedua adalah sebagai Khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam posisi ini manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh Allah untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia. Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup (para ilmuwan atau para cendekiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan, memberdayakan dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah tangan manusia sendiri (Qs. Ar Rum : 41). Mereka banyak yang menghianati perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengeksploitsi alam ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kedua tugas dan fungsi manusia tersebut tidak boleh terpisah, artinya keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara terpadu, akan dapat mewujudkan manusia yang ideal (insan kamil) yakni manusia sempurna yang pada akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat. Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang disebut ilmu itu tidak hanya terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) saja, melainkan ilmu oleh Allah dirumuskan dalam lauhil mahf udz yang disampaikan kepada kita melalui Alquran dan As-Sunnah. Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan manusia sendiri. Jadi bila diikuti jalan pikiran ini, maka dapatlah kita pahami, bahwa Alquran itu merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia (knowledge and science). Menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi. Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu ber manfaat untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan. Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama (amal saleh). Tanggung jawab ilmuwan dan seniman meliputi: (1) nilai ibadah, (2) berdasarkan kebenaran ilmiah, (3) ilmu amaliah, dan (4) menyebar-luaskan ilmunya. Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.” (Jamaluddin al-Afgani) Dilatar belakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat dengan globalisasinya, westernisasi dan berbagai ideologinya tersebar ke seluruh dunia, termasuk Islam. Komunitas muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Begitu mengakarnya di setiap sendi kehidupan berakibat pada terjadinya pengkaburan paradigma, cara pandang terhadap sains Islam. Sehingga banyak di antara kita yang sulit untuk mengidentifikasi, sinis, bahkan takut terhadap identitas kita sendiri. Tidak sedikit cendekiawan muslim yang canggung terhadap sifat Islam terutama pada ilmu sosiologi, fisika, psikologi, politik, dan ilmu ekonomi. Padahal ketika seseorang menyebut sains modern atau sains Barat, tanpa disadari telah meletakkan identitas itu, yaitu sains yang diproduksi oleh ideologi dan pan dangan-pandangan dari Barat. Dampak dari hilangnya identitas itu dapat diamati dari berbagai pernyataan cendekiawan muslim. Jamaluddin al Afghani seorang tokoh pembaharu misalnya mengatakan, ”Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.” Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan bahkan tidak ada ketidaksesuaian dengan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama. Sebagaimana yang disinyalir oleh al Afgani di atas.