Anda di halaman 1dari 39

BAB

KONSEP ISLAM TENTANG PENGEMBANGAN


IPTEK an pembelajaran Khusus

Mahasiswa mampu menganalisa dan menyajikan hasil kajian tentang

konsep politik, sosial-budaya, m

X. Konsep Islam tentang Pengembangan IPTEK

A. Capaiaritim dan
pengembangan iptek dalam

perspektif
Islam.

B. Sub Pokok Bahasan

10.1 Kedudukan Iptek dalam


Islam

10.2 Tujuan Iptek dalam


Islam

10.3 Tanggung jawab Ilmuwan dalam pandangan


Islam

10.1 Kedudukan IPTEK dalam Islam

Sejak generasi awal Islam sampai sekarang, pandangan kaum Muslim


tentang

kedudukan ilmu dalam kehidupan mereka tetap sama, bahwa ilmu adalah kunci

kesuksesan; ilmu adalah prasyarat mutlak bagi usaha-usaha meraih kebahagiaan hidup

baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur‟an dan al-Sunnah dalam kedudukannya


sebagai

sumber utama ajaran Islam memang memberi landasan kuat terbentuknya kerangka

berpikir yang menempatkan ilmu sebagai asas kehidupan umat Muslim dan asas

peradaban Islam. Secara historis-sosiologis dapat dikemukakan bahwa kehadiran al-


Qur‟an sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw. melahirkan situasi yang berbeda

dengan apa yang pernah terjadi pada nabi-nabi sebelum beliau. Kendati pada nabi

Musa as., Dawud as. dan Isa as. diturunkan kitab-kitab suci yang kelihatannya memilki

kedudukan yang serupa dengan kitab suci al-Qur‟an, yakni sebagai manifestasi

kehendak Tuhan Allah yang harus dijadikan pedoman bagi umat manusia, namun di

sana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan khas. Umat nabi-nabi sebelum

Muhammad masih melihat kemukjizatan yang bersifat fisik (tongkat Musa as. yang

berubah jadi ular dan dapat membelah laut, kehebatan Dawud as. dalam perang

mengalahkan Jalut yang kuat, kesaktian Isa as. membangkitkan orang yang mati dst.)

sebagai alasan terkuat keyakinan mereka kepada nabi-nabi Allah. Kitab suci baik

Taurat, Zabur maupun Injil baru berfungsi sebagaimana mestinya sebagai aturan Tuhan

Allah yang wajib ditaati manakala telah terbukti kebenaran risalah nabi-nabi mereka

12
5

melalui kemukjizatan secara fisik. Nalar mereka baru tunduk manakala dihadapkan

pada peristiwa-peristiwa fisik yang diluar jangkauan pengetahuan


mereka.

Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang dialami oleh nabi Muhammad saw.

Kepada beliau diturunkan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup kaum Muslim. Dan melalui

al-Qur‟an pula kebenaran risalah beliau ditegakkan. Al-Qur‟an adalah kitab suci

sekaligus inheren di dalamnya mukjizat nabi Muhammad saw. Sejak pertama

diturunkan, al-Qur‟an menghadirkan tantangan bagi nalar masyarakat Arab jahiliyyah

pada waktu itu. Al-Qur‟an (sebagai representasi kehendak Allah) menantang mereka

untuk menggubah baik sya‟ir ataupun karya prosa yang keindahannya melebihi atau

bahkan sekedar menyamai keindahan susunan bahasanya. Al-Qur‟an juga menggugah

kesadaran dan emosi mereka untuk bisa menghadirkan infromasi-informasi sejarah,

argumentasi-argumentasi menyangkut masalah keyakinan, kemasyarakatan, nilai-nilai,

dan lain sebagainya, yang lebih dapat diterima oleh nalar manusia daripada
penjelasan-

penjelasan al-Qur‟an. Kemukjizatan al-Qur‟an ini tidak saja menunjukkan kebenaran

risalah Nabi Muhammad Saw., tetapi juga mendorong manusia untuk mengeksplorasi

potensi nalar sebagai kekuatan utama manusia. Di dalam al-Qur‟an, ungkapan afala

ta'qilun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?)

terulang dalam al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar

kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum

yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu,

ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb. Dengan demikian, ajaran Islam

menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang sangat terhormat dan


khas.

1. Keutamaan Orang yang Berilmu


Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena

sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu

sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi

kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari

beberapa aspek.

Pertama, turunnya wahyu pertama ( al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan

perintah untuk membaca. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas

membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirinya dan

lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam

12
6

menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga

terpahami betul makna dan


hakikatnya.

Kedua, banyaknya ayat Al-qur‟an yang memerintahkan manusia untuk


menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-

An‟aam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan

kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak


berharga.

Ketiga, Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan

potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih

rendah dari itu (al-A‟raf 7 :


179).

Keempat, Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu

dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 :


9).

2. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi

Secara sederhana pengetahuan dapat dimaknai dengan “pemahaman subyek

terhadap obyek”. Sementara ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi,

diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif,

sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International

Webster‟s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003). Istilah

ilmu kadangkala dipadankan pula dengan istilah sains, yang biasa diartikan sebagai

pengetahuan tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya adalah botani,

fisika, kimia, geologi dan biologi. Bisa juga dikatakan sains adalah pengetahuan

sistematis yang diperoleh dari observasi penelitian dan uji coba yang mengarah

pada penemuan sifat dasar atau prinsip sesuatau yang diteliti. Dengan demikian

pengetahuan memiliki arti yang lebih umum, sementara ilmu lebih


spesifik.

Secara etimologis, kata „ilm (ilmu) dalam bahasa Arab berarti kejelasan.

Karena itu segala kosakata yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri

kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur‟an.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek

pengetahuan (Quraish Shihab, 1996). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu

bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu

disebut sebagai
spesialis.

Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia

yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima

12
7

oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang

sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains

mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan

dalam pemikiran Islam, sains tidak bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai

universal.

Sedangkan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan

praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa

kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa

dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia yang

berakibat kehancuran alam semesta. Sebagian intelektual Islam dewasa ini

berusaha membuat elaborasi yang menarik dan berlawanan dengan pendapat

umum, bahwa sebagai produk budaya, teknologi tidaklah bersifat netral. Artinya,

pernyataan bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya

atau juga bisa digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri patut dipertanyakan

ulang. Kesimpulan tersebut sesungguhnya muncul karena adanya perbedaan yang

tajam antara perspektif Islam tentang sains dengan perspektif Barat. Pendekatan

Islam mengakui keterbatasan akal manusia serta mengakui ilmu pengetahuan

termasuk sains adalah berasal dari Tuhan. Sementara konsep dan identitas sains
Barat seperti yang disinyalir oleh intelektual Muslim seperti Nasr, Sardar dan Naquib

al-Attas, bersifat sekular, tidak dibimbing oleh kehidupan nilai moral dan bahkan

dikuasai oleh materialisme dan arogansi. Sehingga dampaknya jelas, seluruh

cabang ilmu dan aplikasinya terkontamitnasi oleh borok yang


sama.

Indikasi dari pernyataan ini jelas, bahwa sains Barat itu sudah tidak netral dan

tentu berbeda dengan sains Islam. Terbukti sains Barat tidak memberi tempat pada

wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan. Realitas Tuhan tidak menjadi

pertimbangan lagi dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riil. Akibatnya,

agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi kemudian

dimarginalkan.

Secara lebih luas, perbedaan keduanya jika ditelusuri dari pandangan hidup

(world view). Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep fundamental

tentang Tuhan, ilmu, manusia dan alam, etika dan agama yang tentu saja berbeda-

beda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situsasi seperti ini pertemuan

12
8

keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya sains Barat modern itu

ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup


Islam.

Dalam Islam pengetahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan akal

saja, tapi juga wahyu, instuisi dan pengalaman. Tapi dalam sains Barat akal

diletakkan lebih tinggi dari pada wahyu. Sehingga sains tidak berhubungan

harmonis dengan agama bahkan meninggalkan agama. Sementara tentang

teknologi ada yang memahami bahwa ia adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu

pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian,

mesin atau alat canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan
hasil dari
teknologi.

Meskipun sains dan teknologi benar telah membawa dampak positif berupa

kemajuan, kemudahan hidup dan kesejahteraan bagi manusia, namun kenyataan

yang juga tidak boleh diabaikan adalah munculnya berbagai problem besar seperti

kerusakan alam, alienasi individual, senjata pembunuh massal, gaya hidup yang

merusak dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan

pendayagunaan iptek sekurang-kurangnya harus senantiasa berada dalam jalur

nial-nilai keimanan dan


kemanusiaan.

Menurut pandangan hidup Islam, terdapat dua obyek utama dari ilmu, yakni
al-

Qur‟an dan alam semesta. Dalam sebuah riwayat dari Ibn Mas‟ud ra.
Disebutkan:

‫هتبدأم نم اوملعتف ضرالا يف ال َّل ةبدأم نارقال اذه نا‬

“Sesungguhnya Kitab Suci Al-Qur‟an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka

belajarlah dengan sepenuhnya dari


Jamuan-Nya”

Maka kitab suci Al-Qur‟an adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di

bumi dan kita di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu

sejati darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah ‟mengecap rasanya yang

sejati‟, dan itulah sebabnya dapat dikatakan, dengan merujuk kepada unsur-unsur

utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan

spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung. Pengalaman tersebut hampir

secara serentak menyingkapkan realitas dan kebenaran sesuatu kepada

penglihatan spiritualnya.

Selain kitab suci al-Qur‟an. alam semesta juga merupakan obyek utama ilmu.

Alam adalah great book, kitab ciptaan Tuhan, dan karenanya alam harus dipahami,
12
9

dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Zaidi Ismail membahas

bagaimana Islam memandang alam sebagai obyek utama


sains.

Cara pandang Islam yang di refleksikan oleh pandangan hidup Islam dapat di

lacak dari peristilahan yang di gunakan dalam Alquran dan hadits. Istilah ilmu („ilm),

ilmuwan (al „alim), dan alam (al „alam) merupakan derivasi dari akar kata yang
sama

dengan moralitas
manusia.

Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan

itu mesti menggunakan etika dan moralitas. Kaitan antara ilmu, ilmuwan, dan alam

semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya mempunyai indikasi-

indikasi kuat. Korelasi ketiganya bagi orang yang mau berpikir akan menunjukan

tuhan adalah penciptanya. Integralitas seperti yang digambarkan di atas berdampak

terhadap orientasi sains masyarakat muslim dann itu adalah sebagian dari world

view Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual
Islam.

Pandangan para ilmuwan, yang dalam hal ini adalah ilmuwan muslim, sudah

barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan al-Quran yang dijelaskan oleh

Nabi Saw. Bagaimana Nabi Saw. mentransformasikan pandangan hidup Islam yang

terkandung dalam al Quran dapat ditelusuri terutama sejak Nabi hijrah ke Madinah.

Nabi membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model

pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya. As-Shuffah adalah universitas

pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi. Di Madinah mahasisiwanya: disebut

Ashab as-Shuffah atau Ahl as-Shuffah. Di dalamnya mereka menulis, membaca,


belajar hukum-hukum Islam dan mempraktekan kandungan al quran dan ilmu-ilmu

lainya. Ubaidah Ibn al-Samith seperti disebut dalam Sunan Abu Daud ditunjuk oleh

Nabi sebagai pengajar di Madrasah as Shuffah untuk belajar menulis dan ilmu al-

Quran. Aktifitas ilmiah dalam rangka memahami al-Quran yang memproyeksikan

pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan itu pada

akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan. Hingga ada mata rantai yang

menghubungkan generasi ke generasi


selanjutnya.

Dengan paparan di atas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan

lagi baik secara historis, teoristis, ataupun


prospektif.

3. Sumber Ilmu Pengetahuan


Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu.
Keduanya

tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi

13
0

(perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu

yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge),

serta tingkat kebenarannya nisbi (relative). Karena itu, tidak ada istilah final dalam

suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan

untuk dilakukan kajian ulang atau perbaikan


kembali.

Al-Qur‟an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber

pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan

juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas

karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan

pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang


atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan al-Qur‟an

membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan


sejarah.

4. Batasan Iptek dalam Islam


Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala

bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan

seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada rusaknya nilai-nilai

kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya

yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan


teknologi.

Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an

expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni

merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang

menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan

yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama,

yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi

karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal


budi.

Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah,

senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan

pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang

bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai

sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat

diterima dalam Islam.

Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan

pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan

13
1
budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih

dan sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta

ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah (hukum

alam hukum Allah).

Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin

mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri.

Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami

selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan

kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan

Islam tidak bebas nilai.

5. Integrasi Iman, Ipteks dan Amal


Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat

tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman,

Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran

yang disubut Dienul Islam.

Dalam Al-Qur‟an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah

tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan

keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan

menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman

diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu

bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu

pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan

seni
.

Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan

amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila

perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek

yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak
akan

menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan

akan menjadi malapetaka bagi kehidupan


manusia.

10.2 Hakikat dan Tujuan IPTEK Menurut Pandangan Islam

Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia

sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak

13
2

terhadap manusia daripada tantangan yang di bawa oleh peradaban Barat saat ini.

Seorang pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas berani mengatakan

bahwa “tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah

tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang

difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban


Barat.

Hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan

hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan

keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia

bahkan ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan. Ilmu yang di sajikan

dan disampaikan dengan topeng dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang

benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhannya

merupakan ilmu yang sebenarnya. Watak, kepribadian, esensi, dan ruh peradaban

Barat seperti apakah yang telah mengubah dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa

semua yang menerima tafsiran ilmu itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada

kehancuran ? „Peradaban Barat‟ yang Al-Attas maksudkan adalah peradaban yang

berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi

Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan
perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin,

Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis,

epistemologis, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur-

unsur hukum, ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen

diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik,

Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka,

serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan


teknologi.

Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong

peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan

yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan

semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di

susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat,

sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak

serta kepribadian peradaban Barat.

13
3

10.3 Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam Lingkungannya

Ada dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah)

dan sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di bumi. Esensi dari Abdullah adalah ketaatan,

ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi

dari Khalifah adalah tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya, baik

lingkungan sosial maupun lingkungan


alam.

Dalam konteks Abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang

memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada
penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta

dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang pencipta

kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghamba

kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan

manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia

kepada sesama manusia termasuk kepada


dirinya.

Fungsi kedua adalah sebagai Khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam

posisi ini manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan

lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk

mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan

sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan

dan melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh

Allah untuk kehidupan dan kemaslahatan


manusia.

Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu

pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup

(para ilmuwan atau para cendekiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan

sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi

sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga

keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan,

memberdayakan dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada

para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab
yang

lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu


pengetahuan.

Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah

tangan manusia sendiri (Qs. Ar Rum : 41). Mereka banyak yang menghianati

perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat sebagai khalifah
13
4

yang bertugas untuk menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengeksploitsi alam ini

untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kedua tugas dan fungsi manusia tersebut

tidak boleh terpisah, artinya keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang

seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat

dilakukan secara terpadu, akan dapat mewujudkan manusia yang ideal (insan kamil)

yakni manusia sempurna yang pada akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup

dunia dan
akhirat.

Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang disebut ilmu itu tidak hanya

terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) saja, melainkan ilmu oleh

Allah dirumuskan dalam lauhil mahfudz yang disampaikan kepada kita melalui Alquran

dan As-Sunnah. Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan

manusia sendiri. Jadi bila diikuti jalan pikiran ini, maka dapatlah kita pahami, bahwa

Alquran itu merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia

(knowledge and science).

Menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat

dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan

pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama

tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang

mengarah kepada duniawi. Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib.

Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu bermanfaat

untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di

balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak
diamalkan.

Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada


pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi

kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama

(amal saleh). Tanggung jawab ilmuwan dan seniman meliputi: (1) nilai ibadah, (2)

berdasarkan kebenaran ilmiah, (3) ilmu amaliah, dan (4) menyebar-luaskan ilmunya.

Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk

menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.” (Jamaluddin

al-Afgani) Dilatar belakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat dengan

globalisasinya, westernisasi dan berbagai ideologinya tersebar ke seluruh dunia,

termasuk Islam. Komunitas muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas

13
5

sains Islam dan sains Barat. Begitu mengakarnya di setiap sendi kehidupan berakibat

pada terjadinya pengkaburan paradigma, cara pandang terhadap sains Islam. Sehingga

banyak di antara kita yang sulit untuk mengidentifikasi, sinis, bahkan takut terhadap

identitas kita sendiri. Tidak sedikit cendekiawan muslim yang canggung terhadap sifat

Islam terutama pada ilmu sosiologi, fisika, psikologi, politik, dan ilmu ekonomi. Padahal

ketika seseorang menyebut sains modern atau sains Barat, tanpa disadari telah

meletakkan identitas itu, yaitu sains yang diproduksi oleh ideologi dan pandangan-

pandangan dari Barat. Dampak dari hilangnya identitas itu dapat diamati dari berbagai

pernyataan cendekiawan muslim. Jamaluddin al Afghani seorang tokoh pembaharu

misalnya mengatakan, ”Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan

dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang

sebenarnya.” Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu

pengetahuan bahkan tidak ada ketidaksesuaian dengan ilmu pengetahuan dasar-dasar

agama. Sebagaimana yang disinyalir oleh al Afgani di


atas.
13
6

Latihan
Soal

1. manusia merupakan satu-satunya makhluk yang potensial menyerap ilmu pengetahuan


hal ini dapat dilihat dari 4 aspek. Sebutkan 4 aspek
tersebut?

2. Apa perbedaan sains dalam pemikiran islam dan pemikiran sekuler?

3. Apa dampak positif dan negatif atas berkembangya teknologi?

4. Diskusikan dengan teman-teman anda tentang batasan IPTEK dalam islam?

5. Jelaskan bagaimana integrasi antara iman, ilmu, dan amal?


13
7

10.4 Daftar
Pustaka

Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

Al-FaruqiI,Ismail Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan,

diterjemahkan Anas Mahyudin, Cetakan ke-1 Pustaka, Bandung:


1984

Al-Qordhowi. Al-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban: Diskursus Kontekstual

dan Aktualisasi Sunnah Nabi SAW dalam Iptek dan Peradaban Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 1999.

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Sebuah rekonstruksi Holistik. Jakarta: UIN Jakarta

Press.
2005.

Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions(Peran Paradigma dalam

Revolusi Sains terj. Tjun Suryaman). Jakarta: Remaja Rosdakarya.


2002.
13
8

BAB
XI

DINAMIKA IMPEMENTASI AJARAN ISLAM DI INDONESIA

XI. Dinamika implementasi ajaran agama Islam di Indonesia

A. Capaian pembelajaran Khusus

Mahasiswa mampu menyajikan hasil kajian tentang ajaran Islam dalam

konteks kemoderenan dan


keindonesiaan
B. Sub Pokok Bahasan

11.1 Ragam pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada abad ke-20

11.2 Ragam pemikiran dan gerakan Islam Era Milenial

11.1 Ragam Pemikiran Islam di Indonesia Pada Abad ke-20

“Among the currents and tendencies presently operating in the Muslim world, the

fundamentalist, the modernist, and the traditionalist can be considered as the three

most important and influential. Despite this, only the first—and, in smaller measure,the

second—receive attention from our newspapers and television stations, media that

undoubtedly forge the souls of the majority of our contemporaries.” (Mateus Soares De

Azevedo, Men Of Single Book: Fundamentalism In Islam, Christianity And Modern

Thought) Perkembangan pemikiran dan gerakan Islam pada masa kontemporer telah

mencapai titik kulminasinya, sehingga banyak timbul bukan saja perbedaan dan

perpecahan, tapi juga konflik antar umat islam yang sejatinya merugikan umat Islam

sendiri. Karena itu penting memahami peta perkembangan pemikiran dan gerakan itu

untuk kemudian dapat mengambil langkah-langkah bijak untuk kebaikan bersama

seluruh umat
Islam.

1. Taksonomi Orientasi Gerakan Islam

Berkembangnya beragam varian atau manifestasi keagamaan Islam,

terutama gerakan dan pemikiran keislaman, mendorong beberapa sarjana membuat

tipologi, klasifikasi, atau taksonomi (taxonomy). Dalam Political Islam: Religion and

Politics in the Arab World, Nazih Ayubi membuat taksonomi orientasi gerakan Islam:

13
9
reformisme atau modernisme Islam, salafisme, fundamentalisme, neo-

fundamentalisme, Islamisme, dan Islam politik (political


Islam).

Menurut Ayubi, reformisme Islam atau modernisme Islam (diwakili antara

lain oleh al-Afghani dan „Abduh) berpandangan bahwa Islam adalah sistem

keyakinan yang sempurna tetapi cukup fleksibel untuk mengakomodasi

perkembangan modern (modernitas). Sementara itu, salafisme menekankan


kepada

sumber Islam yang otentik (al-Qur‟an, Sunnah Nabi dan tradisi pasa generasi

Muslim awal, salaf). Salafisme cenderung skripturalis dan tradisionalis, seperti

direpresentasikan oleh Wahhabiyah, Sanusiyyah, Mahdiyyah, dan ajaran-ajaran

yang bersumber dari dari Rashid Rida dan tokoh al-Ikhwan al-Muslimun awal,

seperti Hasan al-Banna. Kaum salafi cenderung kepada dogmatisme doktrinal,

meskipun kadangkala secara politik fleksibel. Sedangkan fundamentalisme, hampir

sama dengan salafisme, menekankan kepada sumber asli Islam (al-Qur‟an dan al-

Sunnah), tetapi kurang simpatik terhadap fiqh. Fundamentalisme memegangi

pandangan holistik dan komprehensif tentang Islam (intégrisme –Perancis). Islam,

menurut fundamentalisme, adalah agama, dunia dan negara (din, dunya, dawlah).

Perspektif holistik ini mengimplikasikan keharusan tindakan kolektif untuk

mewujudkan totalitas Islam ke dalam


kenyataan.

Sementara itu, neo-fundamentalisme Islam adalah sempalan dari ideologi

fundamentalisme. Biasanya neo-fundamentalisme memiliki orientasi yang lebih

radikal dan militan. Pada umumnya, gerakan neo-fundamentalis cenderung

melakukan tindakan langsung sebagai reaksi terhadap suatu kasus tertentu. Contoh

dari gerakan model ini adalah Takfir wa al-Hijrah di Mesir dan al-Jihad di Mesir dan

beberapa negara Arab. Ayubi menyebutkan bahwa orientasi neo-fundamentalisme

ini lebih bercorak politik. Keanggotaannya terutama terdiri dari mahasiswa atau
sarjana baru, dari kawasan urban baru kota besar atau dari kota-kota kecil dengan

asal-usul pedesaan (rural). Di Mesir, neo-fundamentalis menguasai organisasi

mahasiswa, dan memiliki hubungan dengan kalangan profesional, ahli teknik, dan

pegawai pemerintahan. Saad Eddin Ibrahim menyebut gerakan ini sebagai bentuk

militansi Islam (Islamic militancy) yang ia definisikan sebagai “actual violent group

behavior committed collectively against the state or other actors in the name of

Islam,” seperti tampak pada Jama„at al-Fanniyyah al-„Askariyyah (Technical Military

Academy) dan al-Takfîr wa al-Hijrah. Tentang Islamisme, Ayubi menyebutkan

14
0

bahwa istilah ini biasanya digunakan untuk menunjuk tiga kategori gerakan Islam:

salafi, fundamentalis dan neo-fundamentalis. Islamisme tidak sekedar menekankan

identitas sebagai muslim, tetapi lebih kepada pilihan sadar terhadap Islam sebagai

doktrin dan ideologi. Islam politik (political Islam) sering digunakan untuk merujuk

kepada kategori fundamentalis dan neo-fundamentalis yang cenderung

menekankan watak politik dari Islam dan terlibat dalam kegiatan anti-negara secara

langsung.

2. Fundamentalisme Islam

Istilah fundamentalisme muncul dari luar tradisi sejarah Islam, dan pada

mulanya merupakan gerakan keagamaan yang timbul di kalangan kaum Protestan

di Amerika Serikat pada 1920-an. Menilik asal-usulnya ini, kita dapat mengatakan

bahwa fundamentalisme sesungguhnya sangat tipikal Kristen. Namun, terlepas dari

latar belakang Protestan-nya, istilah fundamentalisme sering digunakan untuk

menunjuk fenomena keagamaan yang memiliki kemiripan dengan karakter dasar

fundamentalisme Protestan. Karena itu, kita dapat menemukan fenomena

pemikiran, gerakan dan kelompok fundamentalis di semua agama, seperti

fundamentalisme Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme. Dalam hal ini, selain
fundamentalisme tidak terbatas pada agama tertentu, dalam faktanya ia juga tidak

hanya muncul di kalangan kaum miskin dan tidak terdidik. Fundamentalisme dalam

bentuk apapun bisa muncul di mana saja ketika orang-orang melihat adanya

kebutuhan untuk melawan budaya sekular (godless), bahkan ketika mereka harus

menyimpang dari ortodoksi tradisi mereka untuk melakukan


perlawanan.

Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama

Kristen di Amerika, Peter Huff mencatat ada enam karakteristik penting

fundamentalisme. Secara sosiologis, fundamentalisme sering dikaitkan dengan

nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan perubahan

dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukkan

kecenderungan kepada sesuatu yang vulgar dan tidak-tertarik pada hal-hal yang

bersifat intelektual; secara psikologis, fundamentalisme ditandai dengan

otoritarianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara

intelektual, fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan ketidak-

mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis, fundamentalisme

14
1

diidentikkan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan tribalisme; sedangkan

secara politik, fundamentalisme dikaitkan dengan populisme reaksioner.

Dalam kasus Islam, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap

akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan

politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik

fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti

ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam)

merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata

yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam
kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya,

fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada

sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang

berasal dari warisan modernisme


Barat.

Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah

pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‟an dan al-Sunnah).

Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk

melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat

penafsiran- sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat

ideologis. Literalisme ini berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme, meskipun

Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme non-skriptural untuk pemikir

fundamentalis seperti Sayyid


Qutb.

Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan

modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama

atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam,

terutama Syi‟ah. Islam Syî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada „ulama

untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya,

kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit

dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung

berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas „ulama,

termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam

hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan

tradisionalisme di pihak
lain.

14
2
Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik

merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum

klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja.

Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di

Iran.

Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan

oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi.

Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi

ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dnegan ideologi modern seperti

kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai

bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern

tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekuler” yang

secara terbuka mengklaim sebagai pemikir religius. Mereka berpendapat bahwa

karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik,

insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama. Jadi, terdapat semacam anti-

clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun fundamentalisme

dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligraki klerikal seperti disebut

terdahulu.

Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang

ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam

terhadap dunia sekular-modern. Islam dijagikan sebagai alternatif pengganti


ideologi

modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena fundamentalisme

bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik

yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam

(syari‟ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah

kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan
lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik. Ini sangat

tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme


Sunni.

Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan

kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan

politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas mereka

tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan

14
3

taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini,

fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.

Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan

kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi

fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang

domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi

sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau

syari‟at Islam (ideologi


Islam).

Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka,

fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius,

melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama

(mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-

karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme

dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan


pluralisme.

3. Fundamentalisme dan Revivalisme

Yang agak problematik dalam konteks ini adalah korelasi antara


fundamentalisme dan revivalisme. Penulis-penulis seperti Youssef Chouieri, R.
Hrair

Dekmejian dan John Obert Voll memiliki perspektif yang beragam dalam melihat

fenomena fundamentalisme dan revivalisme. Chouieri menyatakan bahwa

munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan

politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan

Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam

revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn „Abd

al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman

Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan

Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad „Ali al-Sanusi (1787-

1859). Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik

gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli,

memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong

penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang

didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin

yang adil dan seorang


pembaru.

14
4

Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi orientasi

ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang timbul dari

penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur‟an, al-Sunnah dan sejarah Islam awal.

Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis, keunikan dalam kondisi

sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-masing gerakan. Atas dasar itu,

Dekmejian mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis: (a) adaptasionis-

gradualis (al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan

Jama‟at-i Islami di Pakisan); (b) Shi‟ah revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-
Da‟wah Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-

Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama‟ah Abu Dharr Syria, Hizb

al-Tahrir di Jordania dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-

Takfir wa al-Hijrah Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama‟at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.

Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan antara

revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic

resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya

Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of rigorous

fundamentalism in the modern Islamic experience,” yang oleh Choueiri dipandang

sebagai revivalis dalam makna yang positif, seperti disebut


terdahulu.

Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang

ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara

fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa

dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam

family resemblance antara berbagai orientasi ideologis tersebut, meskipun masing-

masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda, tergantung situasi dan

kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-masing

gerakan.

11.2 Ragam Pemikiran dan Gerakan Islam pada Era Milenial

1. Neo-Fundamentalisme dan Islam Politik (Political Islam)

Mengikuti penjelasan Ayubi dan Roy di atas, fundamentalisme Islam juga

sering digunakan untuk menunjuk Islam politik (political Islam). Ini tidak terlepas dari

beberapa agenda fundamentalis di bidang politik. Watak politis fundamentalisme

14
5
Islam termanifestasikan dalam simbol-simbol keagamaan yang mereka gunakan

dalam konteks perjuangan politik atau kekuasaan, misalnya negara Islam,

pemerintahan Islam dan formalisasi syari‟ah dalam negara. Salah satu doktrin
Islam

fundamentalis –dan pelbagai varian di dalamnya - adalah bahwa tidak ada

pemisahan agama dari politik. Olivier Roy menyebut paham ini sebagai Islamic

political imagination (imajinasi politik Islam). Menurut Roy, fundamentalisme ini

tampak pada Ikhwân al-Muslimîn di Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Bannâ, dan

Jamâ„at-i Islâmî di Indo-Pakistan yang didirikan oleh Abû al-A‟lâ al-Mawdûdî.

Keduanya mendefinisikan Islam sebagai sistem politik (ideologi) vis-à-vis ideologi-

ideologi besar abad ke-20.

Eskpresi kontemporer dari fundamentalisme Islam adalah Hizb al-Tahrîr al-

Islâmî yang didirikan oleh Taqî al-Dîn al-Nabhânî (w.1977) di Jerussalem pada

1953. Sejak awal gerakan ini bersaing dengan Ikhwân al-Muslimîn. Gerakan ini

sangat unik karena ia mendeklarasikan diri secara terbuka sebagai partai politik

yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan bergerak dalam lapangan politik. Ia

bertujuan untuk membangun kembali khilafah Islam sebagai sebuah sistem tunggal,

dan tidak terpecah-pecah ke dalam negara-bangsa. Khilafah didasarkan kepada

syari‟ah, tidak pada demokrasi sekular. Gerakan ini tergolong radikal dan

revolusioner, karena ia menggunakan strategi jihad. Menurut gerakan ini, seluruh

negara di dunia saat ini tidak menerapkan Islam (shari‟ah), karena itu merupakan

dâr al-kufr, meskipun penduduknya Muslim. Ia menekankan bahwa restorasi

khilafah adalah tugas seluruh umat muslim di dunia melalui agitasi politik dan

revolusi kekhalifahan (caliphal evolution).

Namun demikian, idealisme pelbagai kelompok Islam politik ternyata gagal

mengubah landscape politik Timur Tengah dan beberapa kawasan lainnya. Islam

politik tidak berhasil meraih kekuasaan, sementara rejim-rejim lama masih terus
berkuasa. Kekuatan Barat dan Amerika pun semakin menancapkan hegemoni

(politik, ekonomi, budaya) di kawasan tersebut. Islam politik juga tidak selalu

berhasil menampilkan nilai-nilai yang terkandung dalam cita-cita fundamentalisme

berupa penerapan hukum-hukum agama (syari„ah) dalam politik. Kaum Islam

fundamentalis di beberapa tempat, seperti di Aljazair, Sudan atau Turki, hanya

melahirkan perubahan-perubahan yang tindak signifikan di bidang hukum, politik

14
6

dan ekonomi. Dalam hal ini, fundamentalisme memang menekankan penerapan

syari„ah secara total, tetapi seringkali tidak mempedulikan watak sistem


politik.

Dalam realitasnya fundamentalisme bukan merupakan realitas yang

monolitik, tetapi mengandung varian-varian yang beragam, dan bahkan mengalami

pergeseran-pergeseran yang cukup signifikan. Selain terdapat varian

fundamentalisme tradisional dan fundamentalisme modern seperti disebutkan di

muka, dapat disaksikan pula adanya pergeseran kepada apa yang disebut sebagai

neo-fundamentalisme.

Kaum fundamentalis pada mulanya tertarik bergerak dalam level politik

negara. Mereka menawarkan formula-formula dan struktur politik kenegaraan yang

diderivasi dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Bahkan, untuk mewujudkan ideal-ideal

tersebut kaum fundamentalis juga membentuk partai-partai dalam kerangka

demokrasi modern maupun dengan jalan revolusi. Namun, ketika mereka

mengalami kegagalan politik, sasaran perjuangan kaum fundamentalis tidak lagi

pada level negara, tetapi bergeser ke individu dan masyarakat. Neo-

fundamentalisme lebih memfokuskan upaya pengisian kehidupan sehari-hari

dengan moralitas dan syari„ah (legalism). Karenanya, diskursus negara digantikan


oleh diskursus masyarakat, dan strategi yang dipilih meliputi salah satu dari berikut

ini: menyusup ke dalam kehidupan politik resmi, re-investasi dalam lapangan sosial,

dan moral, atau ekonomi dan pembentukan kelompok-kelompok kecil, baik

kelompok ultra ortodoks atau kelompok


teroris.

Orientasi dan strategi kelompok neo-fundamentalisme adalah menguasai

masyarakat melalui tindakan sosial. Jauh dari kesan revolusioner, kaum neo-

fundamentalis sekarang masuk ke “civil society” dan kelas-kelas politik. Meski watak

revolusi hilang, simbol-simbol Islam merembes ke masyarakat dan diskursus politik

Islam. Mundurnya (retreat) fundamentalis Islam dari politik dibarengi dengan

meningkatnya Islam sebagai fenomena sosial dan moral. Neo-fundamentalisme

berusaha me-reislamisasi masyarakat pada tingkat grassroot, dan tidak lagi lewat

negara. Ini konsisten dengan apa yang diyakini oleh kaum fundamentalis: jika

masyarakat Islam didasarkan pada kebaikan anggota-angotanya, maka individu-

individu dan praktik mereka harus diperbarui. Kaum fundamentalis model ini

14
7

mengarahkan perjuangannya pada lahirnya masyarakat Islam dan ruang Islami

(Islamized space).

Namun, pergeseran ini dipandang sebagai simbol kegagalan

fundamentalisme Islam dalam politik yang berakibat pada terjadinya perubahan

signifikan dalam bobot pemikiran dan gerakannya. Roy menyebut fenomena ini

sebagai lumpenization, yang melahirkan lumpenintelligentsia. Kualitas intelektual

dari kaum fundamentalis mengalami kemerosotan, aktivisme politik juga mengalami

penurunan. Kaum neo-fundamentalis lebih menekankan islamized space yang

otonom, dan lebih menekankan iktikad baik individu, tanpa perlu dengan susah
payah melibatkan diri dalam perjuangan politik. Di Indonesia, fenomena

fundamentalisme baru ini tampak dalam Front Pembela Islam (FPI) atau Lasykar

Jihad dan gerakan-gerakan radikal sejenis. Tidak jarang kaum fundamentalisme

model ini juga memakai cara-cara yang mengarah kepada


kekerasan.

Tampaknya, kaum Islamis beranggapan bahwa masyarakat akan

terislamisasi hanya melalui tindakan sosial dan politik. Gerakan Islamis harus terjun

ke lapangan politik. Islamis menyatakan bahwa politik dimujlai dari prinsip bahwa

Islam adalah sistem pemikiran global. Islamis tidak dipimpin oleh „ulama (kecuali di

Iran), tetapi oleh intelektual sekular yang menyatakan diri sebagai pemikir religius.

Islamis mengadopsi visi klasik Islam sebagai sistem universal dan lengkap. Karena

itu tidak harus dimodernisasi, justru sebaliknya kehidupan modern harus

diislamisasi. Gerakan Islamis melihat dirinya sebagai gerakan sosio-politik,

dibangun di atas dasar Islam yang dipahami lebih sebagai ideologi politik. Karena

itu mereka tidak memperhadapkan diri dengan agama lain, tetapi lebih dengan

ideologi-ideologi modern seperti Marxisme, kapitalisme, dan


liberalisme.

2. Radikalisme (Islam Militan)

Fundamentalisme Islam dapat mengekspresikan orietnasi radikal. Radikal

Islam memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan

memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama

dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang

mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis

yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik.


Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan
negara Islam yang

14
8
didasarkan pada syari‟ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah

penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam. Mereka dengan tegas menolak

setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi, kapitalisme,

sosialisme atau ideologi barat lainnya. Hanya saja, berbeda dari Islamis atau neo-

fundamentalis, radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara kekerasan

atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya.

Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan

merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme Islam

mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme berusaha untuk

menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme

menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang

merdeka. Militansi dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif

revivalisme dan
reformisme.

3. Fundamentalisme Islam di Indonesia: Mapping Awal

Dalam konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam

membutuhkan observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita


mengikuti pendekatan Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam
di Indonesia memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya
dikawasan Timur Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan
paradoks-paradoks.

Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional


dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan
pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam
(Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
fatwa-fatwanya.

Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam


politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan
Sejahtera
(PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita

mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari‟ah dan ideologi Islam. Mereka yang

memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok

fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak

14
9

negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara substansial

sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap sistem


politik

sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi, ditemukan

adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok

fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.

Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI)

yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai

dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak

untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada,

tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal

khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama‟ah


Islamiyyah

yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di

bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia

(MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki

kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular,

demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika). Meminjam Roy, mereka ini adalah

kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah

landscape politik Indonesia.

Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah orientasi


radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI),

dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah

pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan mengikuti penjelasan

Roy terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum

fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara) ke

pengislaman (penerapan syariah pada level) masyarakat. Mereka berjuang tidak

untuk mewujudkan negara Islam (setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi

lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat (Islamized

space). Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga

moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan


kekerasan.

15
0

11.3 Latihan Soal

1. Bagaimana cara anda menyikapi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam yang

menimbulkan perbedaan dan


perpecahan?

2. Jelaskan mengenai pandangan Ayubi tentang reformisasi Islam atau modernism

Islam?

3. Apa yang anda pahami tentang neo-fundamentalisme Islam?

4. Jelaskan perbedaan fundamentalisme Islam tradisonal dan modern menurut Oliver

Roy?
15
1

11.4 Daftar Pustaka

Ali, H.A. Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan,
1990.

Bellah, Robert N., Beyond Belief esei-esei tentang Agama di dunia Modern.
Jakarta:
Penerbit
Paramadina.2000.

Geertz, Clifford, Religion as a Cultural System. In: The Interpretation of Cultures:

selected essays, Geertz, Clifford, pp. 87 – 125. Fontana press.


1993.

Nasution, Harun, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan,


1995.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


2001.

William Shepard, ―What is ̳Islamic Fundamentalism„?,‖ Studies in Religion 17, 1

(1988):
5-25.

Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought.

Hongkong: Macmillan Education


Ltd.
15
2

Anda mungkin juga menyukai