non-Islam?" Dengan kata lain, "Apakah ada cara Islami atau non-Islami untuk mempelajari fisika?". Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, apalagi banyak orang salah memahami konsep dan proses Islamisasi dalam sains modern. Masih ada yang berpendapat bahwa mengislamkan sains berarti memproduksi "pesawat terbang Islami" atau "mesin Islami". Atau masih ada yang beranggapan bahwa Islamisasi berarti hanya mengoreksi atau membenarkan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan-penemuan ilmiah, atau sebaliknya (Budi Handrianto “Meluruskan Konsep Islamisasi Ilmu”). Jika memang ada cara khusus untuk mempelajari fisika secara Islami, pertanyaan selanjutnya adalah: “Apa yang diperlukan untuk mempelajari fisika secara Islami? Ini bisa dijawab dari dua sisi. Pertama, bahwa dalam Islam tujuan utama dari semua pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai Ma'rifatullah dan lahirnya manusia yang beradab, yaitu manusia yang mampu mengetahui segala sesuatu sesuai dengan nilai yang mereka definisikan Allah. Tak terkecuali ketika seorang muslim mempelajari fisika. Tujuannya tidak hanya untuk menghasilkan terobosan ilmiah atau penemuan ilmiah baru; Juga tidak hanya menghasilkan segunung jurnal ilmiah atau hanya segunung properti. Namun di luar itu, seorang Muslim memandang alam semesta sebagai ayat-ayat Allah. "Ayat" adalah karakter. Tanda-tanda menuju kepada yang dimaksud, yaitu wujud al-Khaliq. Allah menurunkan ayat- ayat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yaitu ayat Tanziliyah (wahyu lisan seperti Al- Qur'an) dan ayat Kauniyah, yaitu alam semesta. Padahal, tubuh manusia itu sendiri memiliki ayat-ayat dari Allah. Allah memberikan peringatan keras kepada orang- orang yang tidak mampu menggunakan potensi akal dan akalnya untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka disebut calon penghuni neraka dan disamakan dengan hewan ternak, yang lebih hina lagi (QS 7:179). Peternakan sapi bekerja secara profesional di bidangnya sendiri. Ini memberinya hadiah untuk memenuhi keinginannya. Makan sampai kenyang, bersenang-senang, istirahat, lalu mati. “Dan orang-orang kafir akan bersenang- senang dan makan (di dunia) seperti binatang. Dan nerakalah tempat tinggal mereka.” (QS 47:12). Kedua, tujuan pendidikan nasional adalah menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, berbakat, kreatif, mandiri. Pendidikan dan pengajaran ilmiah untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia? Apakah itu untuk buku teks dan buku pelajaran fisik? Mempelajari fisika secara Islami dimulai dari apakah pikiran fisikawan itu Islami atau tidak. Bagaimana seorang fisikawan melihat alam, apa pemahamannya tentang sains dan bagaimana pemahamannya tentang Tuhan. Perspektif ini menentukan apakah dia mempelajari sains dengan cara Islam atau tidak, dan perspektif ini dikenal sebagai pandangan dunia. Pikiran fisikawan secara tepat memahami bahwa ada hubungan yang erat antara sains ('ilm), alam ('alam) dan Sang Pencipta (al-Khaliq). Kata ilm sendiri berasal dari kata dasar yang tersusun dari alam. Makna yang terkandung di dalamnya adalah 'alaamah, artinya arah. Al-Raghib alIsfahani al-'alam adalah al-atsar alladzi yu'lam bihi syai (jalur yang dengannya sesuatu diketahui). Dalam Knowledge Triumphant, The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Rosenthal menawarkan pandangan tentang adanya hubungan linguistik yang erat antara ilmu dan ajaran, yaitu bahwa arti kata ilmu merupakan perluasan dari bahasa Arab. Istilah konkret aslinya, yaitu rambu lalu lintas, hubungan antara rambu lalu lintas dan pengetahuan sangat dekat dan memiliki arti khusus di lingkungan Arab. Mengenai hubungan keberadaan Sang Pencipta dengan alam, sangat menarik jika kita melihat Dr. Moh Zaidi Ismail, seorang ahli ilmu pengetahuan Islam, bahwa prototipe ilmu pengetahuan alam, khususnya dalam pengertian kontemporer disebut ilm al-tabii'ah (ilmu alam) dalam tradisi ilmu pengetahuan dan keilmuan Islam. Kata al-tabii' ah berasal dari kata bahasa Inggris naturally (alam), yang mengacu pada keabadian dunia, dari akar kata tab'a seterusnya, yang berarti akibat dari sesuatu. Jadi, alam tidak hanya dipelajari untuk alam itu sendiri, tetapi alam dipelajari karena menunjukkan sesuatu yang layak dikejar, yaitu mengenal Pencipta alam itu. Karena alam adalah ayat (tanda). Seorang fisikawan yang mempelajari alam lalu berhenti pada fakta dan informasi ilmiah ibarat seorang pengemudi yang memperhatikan rambu-rambu lalu lintas, kemudian hanya memperhatikan detail huruf dan warna rambu-rambu tersebut. Dia lupa bahwa tanda-tanda itu menunjukkan sesuatu. Pemisahan makna dan peran alam sebagai ayat sebenarnya merupakan efek dari sekularisme, sebagaimana Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya utamanya Islam and Secularism. Sekularisme telah menyebabkan rusaknya kesucian alam dan pesona alam. Oleh karena itu, alam tidak lebih dari sebuah benda tanpa makna atau nilai spiritual (Wendi Zarman "Fisika dan Metafisika Islam Membutuhkan Lebih Banyak"). Konsep-konsep ini membentuk perspektif fisikawan Islam, dan berdasarkan pandangan dunia ini, fisika dapat dipelajari dengan cara Islami. Ciri lain dari dunia ilmiah berasal dari pandangan dunia ini, seperti kejujuran ilmiah, objektivitas, sikap ilmiah, seperti menerima kritik, menerima kesalahan dan menerima kebenaran. Sikap ilmiah Islam lahir tidak hanya dari etika ilmiah itu sendiri, tetapi dari pandangan dunia dan inisiasinya pada Sang Pencipta alam (ma'rifatullah). Pandangan dunia inilah yang membentuk kepribadian para ilmuwan Muslim sebelumnya dan mahakarya brilian mereka ("Fisikawan Muslim Membuat Sejarah", John Adler). Pandangan dunia Islam ini kemudian memunculkan konsep abadi dalam hubungannya dengan alam. Dengan cara ini, ilmuwan mengolah dan menggunakan alam dengan cara yang benar. Kemudian muncul konsep sikap Islami yang pro lingkungan, yang tidak hanya didasarkan pada sumber daya alam yang terbatas, tetapi juga pada kesadaran bahwa alam bukanlah milik manusia, tetapi merupakan titah sekaligus titah Allah. Orang yang beradab dan bermoral hanya dapat dilahirkan dengan citra alam ini, seperti yang diperjuangkan oleh tujuan pendidikan kita saat ini. Profesor Naquib al-Attas mengenang hilangnya adab terhadap alam menurut ayat-ayat Allah yang menyebabkan kerusakan besar di alam semesta. Belum pernah dalam sejarah manusia alam ini begitu terdegradasi seperti saat ini, di mana sains sekuler mendominasi dunia sains. Akar dari korupsi ini adalah informasi yang disebarkan oleh barat, yang telah kehilangan tujuan sebenarnya. Informasi palsu menciptakan kekacauan dalam kehidupan manusia bukannya membawa perdamaian dan keadilan. Sains yang tampak benar tetapi menyebabkan kebingungan dan skeptisisme. Juga ilmu sekuler ini, untuk pertama kali dalam sejarah, menyebabkan kekacauan di tiga kerajaan alam, yaitu hewan, tumbuhan, dan mineral. Menurut Al-Attas, kebenaran dasar agama dalam peradaban barat dianggap hanya teoretis. Kebenaran mutlak ditolak dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada kepastian. Hasilnya adalah penyangkalan Tuhan dan akhirat serta penempatan manusia sebagai satu-satunya yang berhak menguasai dunia. Pada akhirnya, manusia menjadi dewa dan Tuhan menjadi manusia. (Jennifer M. Webbed). Hal ini sesuai dengan pentingnya ilmu dalam Islam, yang ditunjukkan oleh Jurjani dalam kitabnya at-Ta'rifaat bahwa ilmu adalah hushuul shurat asy- Syai’ fi al Aql (masuknya makna dalam akal), tetapi juga wushul an-nafs ilaa ma 'na asy-syai (jiwa memiliki kepentingan tertentu). Oleh karena itu, pakar filsafat keilmuan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan, “Sesungguhnya sesuatu seperti kata adalah tanda atau lambang, dan tanda atau lambang adalah sesuatu yang nyata dan tidak terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak nyata. Sampai yang pertama dapat dipahami dan sifatnya sama dengan yang pertama dapat diketahui. Oleh karena itu kami mendefinisikan mengetahui secara epistemologis sebagai mencapai makna bagi jiwa atau mencapai jiwa untuk mencapai makna. Arti sesuatu berarti makna yang sebenarnya, dan apa yang kita anggap sebagai makna yang benar, menurut pandangan kami, ditentukan oleh sistem konseptual Hati tercermin dalam pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran”. Fisika merupakan salah satu bidang ilmu yang berkembang sangat pesat dan telah terbukti membawa banyak manfaat bagi umat manusia. Sebagian umat Islam terpaksa menguasai ilmu ini. Namun, perspektif dan cara belajar seorang Muslim berbeda dari yang lain. Karena bagi umat Islam, alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang patut dipelajari, tidak hanya untuk membuat penemuan baru, tetapi juga untuk mengenal Sang Pencipta.
Masgono. 2010. Insists Commited to The Truth. Belajar
Fisika Secara Islami. https://insists.id/belajar-fisika- secara-islami-2/