Anda di halaman 1dari 8

FISIKA SECARA ISLAMI?

Muhamad Alfarizi
2208066003
PF-1A

"Apakah mungkin mempelajari fisika dengan cara


non-Islam?" Dengan kata lain, "Apakah ada cara Islami
atau non-Islami untuk mempelajari fisika?".
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, apalagi banyak
orang salah memahami konsep dan proses Islamisasi dalam
sains modern. Masih ada yang berpendapat bahwa
mengislamkan sains berarti memproduksi "pesawat terbang
Islami" atau "mesin Islami". Atau masih ada yang
beranggapan bahwa Islamisasi berarti hanya mengoreksi
atau membenarkan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap
penemuan-penemuan ilmiah, atau sebaliknya (Budi
Handrianto “Meluruskan Konsep Islamisasi Ilmu”).
Jika memang ada cara khusus untuk mempelajari
fisika secara Islami, pertanyaan selanjutnya adalah: “Apa
yang diperlukan untuk mempelajari fisika secara Islami?
Ini bisa dijawab dari dua sisi. Pertama, bahwa dalam Islam
tujuan utama dari semua pendidikan dan ilmu pengetahuan
adalah untuk mencapai Ma'rifatullah dan lahirnya manusia
yang beradab, yaitu manusia yang mampu mengetahui
segala sesuatu sesuai dengan nilai yang mereka definisikan
Allah.
Tak terkecuali ketika seorang muslim mempelajari
fisika. Tujuannya tidak hanya untuk menghasilkan
terobosan ilmiah atau penemuan ilmiah baru; Juga tidak
hanya menghasilkan segunung jurnal ilmiah atau hanya
segunung
properti. Namun di luar itu, seorang Muslim
memandang alam semesta sebagai ayat-ayat Allah. "Ayat"
adalah karakter. Tanda-tanda menuju kepada yang
dimaksud, yaitu wujud al-Khaliq. Allah menurunkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yaitu ayat
Tanziliyah (wahyu lisan seperti Al- Qur'an) dan ayat
Kauniyah, yaitu alam semesta. Padahal, tubuh manusia itu
sendiri memiliki ayat-ayat dari Allah.
Allah memberikan peringatan keras kepada orang-
orang yang tidak mampu menggunakan potensi akal dan
akalnya untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka disebut
calon penghuni neraka dan disamakan dengan hewan
ternak, yang lebih hina lagi (QS 7:179).
Peternakan sapi bekerja secara profesional di
bidangnya sendiri. Ini memberinya hadiah untuk memenuhi
keinginannya. Makan sampai kenyang, bersenang-senang,
istirahat, lalu mati. “Dan orang-orang kafir akan bersenang-
senang dan makan (di dunia) seperti binatang. Dan
nerakalah tempat tinggal mereka.” (QS 47:12).
Kedua, tujuan pendidikan nasional adalah
menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap,
berbakat, kreatif, mandiri. Pendidikan dan pengajaran
ilmiah untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa,
dan berakhlak mulia? Apakah itu untuk buku teks dan buku
pelajaran fisik?
Mempelajari fisika secara Islami dimulai dari apakah
pikiran fisikawan itu Islami atau tidak. Bagaimana seorang
fisikawan melihat alam, apa pemahamannya tentang sains
dan bagaimana pemahamannya tentang Tuhan. Perspektif
ini menentukan apakah dia mempelajari sains dengan cara
Islam atau tidak, dan perspektif ini dikenal sebagai
pandangan dunia. Pikiran fisikawan secara tepat
memahami bahwa ada hubungan yang erat antara sains
('ilm), alam ('alam) dan Sang Pencipta (al-Khaliq).
Kata ilm sendiri berasal dari kata dasar yang tersusun
dari alam. Makna yang terkandung di dalamnya adalah
'alaamah, artinya arah. Al-Raghib alIsfahani al-'alam adalah
al-atsar alladzi yu'lam bihi syai (jalur yang dengannya
sesuatu diketahui). Dalam Knowledge Triumphant, The
Concept of Knowledge in Medieval Islam, Rosenthal
menawarkan pandangan tentang adanya hubungan
linguistik yang erat antara ilmu dan ajaran, yaitu bahwa arti
kata ilmu merupakan perluasan dari bahasa Arab. Istilah
konkret aslinya, yaitu rambu lalu lintas, hubungan antara
rambu lalu lintas dan pengetahuan sangat dekat dan
memiliki arti khusus di lingkungan Arab.
Mengenai hubungan keberadaan Sang Pencipta
dengan alam, sangat menarik jika kita melihat Dr. Moh
Zaidi Ismail, seorang ahli ilmu pengetahuan Islam, bahwa
prototipe ilmu pengetahuan alam, khususnya dalam
pengertian kontemporer disebut ilm al-tabii'ah (ilmu alam)
dalam tradisi ilmu pengetahuan dan keilmuan Islam. Kata
al-tabii' ah berasal dari kata bahasa Inggris naturally
(alam), yang mengacu pada keabadian dunia, dari akar kata
tab'a seterusnya, yang berarti akibat dari sesuatu.
Jadi, alam tidak hanya dipelajari untuk alam itu
sendiri, tetapi alam dipelajari karena menunjukkan sesuatu
yang layak dikejar, yaitu mengenal Pencipta alam itu.
Karena alam adalah ayat (tanda). Seorang fisikawan yang
mempelajari alam lalu berhenti pada fakta dan informasi
ilmiah ibarat seorang pengemudi yang memperhatikan
rambu-rambu lalu lintas, kemudian hanya memperhatikan
detail huruf dan warna rambu-rambu tersebut. Dia lupa
bahwa tanda-tanda itu menunjukkan sesuatu.
Pemisahan makna dan peran alam sebagai ayat
sebenarnya merupakan efek dari sekularisme, sebagaimana
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya
utamanya Islam and Secularism. Sekularisme telah
menyebabkan rusaknya kesucian alam dan pesona alam.
Oleh karena itu, alam tidak lebih dari sebuah benda tanpa
makna atau nilai spiritual (Wendi Zarman "Fisika dan
Metafisika Islam Membutuhkan Lebih Banyak").
Konsep-konsep ini membentuk perspektif fisikawan
Islam, dan berdasarkan pandangan dunia ini, fisika dapat
dipelajari dengan cara Islami. Ciri lain dari dunia ilmiah
berasal dari pandangan dunia ini, seperti kejujuran ilmiah,
objektivitas, sikap ilmiah, seperti menerima kritik,
menerima kesalahan dan menerima kebenaran. Sikap
ilmiah Islam lahir tidak hanya dari etika ilmiah itu sendiri,
tetapi dari pandangan dunia dan inisiasinya pada Sang
Pencipta alam (ma'rifatullah). Pandangan dunia inilah yang
membentuk kepribadian para ilmuwan Muslim sebelumnya
dan mahakarya brilian mereka ("Fisikawan Muslim
Membuat Sejarah", John Adler).
Pandangan dunia Islam ini kemudian memunculkan
konsep abadi dalam hubungannya dengan alam. Dengan
cara ini, ilmuwan mengolah dan menggunakan alam
dengan cara yang benar. Kemudian muncul konsep sikap
Islami yang pro lingkungan, yang tidak hanya didasarkan
pada sumber daya alam yang terbatas, tetapi juga pada
kesadaran bahwa alam bukanlah milik manusia, tetapi
merupakan titah sekaligus titah Allah. Orang yang beradab
dan bermoral hanya dapat dilahirkan dengan citra alam ini,
seperti yang diperjuangkan oleh tujuan pendidikan kita saat
ini.
Profesor Naquib al-Attas mengenang hilangnya adab
terhadap alam menurut ayat-ayat Allah yang menyebabkan
kerusakan besar di alam semesta. Belum pernah dalam
sejarah manusia alam ini begitu terdegradasi seperti saat
ini, di mana sains sekuler mendominasi dunia sains. Akar
dari korupsi ini adalah informasi yang disebarkan oleh
barat, yang telah kehilangan tujuan sebenarnya. Informasi
palsu menciptakan kekacauan dalam kehidupan manusia
bukannya membawa perdamaian dan keadilan. Sains yang
tampak benar tetapi menyebabkan kebingungan dan
skeptisisme. Juga ilmu sekuler ini, untuk pertama kali
dalam sejarah, menyebabkan kekacauan di tiga kerajaan
alam, yaitu hewan, tumbuhan, dan mineral.
Menurut Al-Attas, kebenaran dasar agama dalam
peradaban barat dianggap hanya teoretis. Kebenaran mutlak
ditolak dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada kepastian.
Hasilnya adalah penyangkalan Tuhan dan akhirat serta
penempatan manusia sebagai satu-satunya yang berhak
menguasai dunia. Pada akhirnya, manusia menjadi dewa
dan Tuhan menjadi manusia. (Jennifer M. Webbed).
Hal ini sesuai dengan pentingnya ilmu dalam Islam,
yang ditunjukkan oleh Jurjani dalam kitabnya at-Ta'rifaat
bahwa ilmu adalah hushuul shurat asy- Syai’ fi al Aql
(masuknya makna dalam akal), tetapi juga wushul an-nafs
ilaa ma 'na asy-syai (jiwa memiliki kepentingan tertentu).
Oleh karena itu, pakar filsafat keilmuan Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas menyatakan, “Sesungguhnya
sesuatu seperti kata adalah tanda atau lambang, dan tanda
atau lambang adalah sesuatu yang nyata dan tidak
terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak nyata. Sampai
yang pertama dapat dipahami dan sifatnya sama dengan
yang pertama dapat diketahui. Oleh karena itu kami
mendefinisikan mengetahui secara epistemologis sebagai
mencapai makna bagi jiwa atau mencapai jiwa untuk
mencapai makna. Arti sesuatu berarti makna yang
sebenarnya, dan apa yang kita anggap sebagai makna yang
benar, menurut pandangan kami, ditentukan oleh sistem
konseptual Hati tercermin dalam pandangan Islam tentang
realitas dan kebenaran”.
Fisika merupakan salah satu bidang ilmu yang
berkembang sangat pesat dan telah terbukti membawa
banyak manfaat bagi umat manusia. Sebagian umat Islam
terpaksa menguasai ilmu ini. Namun, perspektif dan cara
belajar seorang Muslim berbeda dari yang lain. Karena
bagi umat Islam, alam semesta adalah ayat-ayat Allah yang
patut dipelajari, tidak hanya untuk membuat penemuan
baru, tetapi juga untuk mengenal Sang Pencipta.

Masgono. 2010. Insists Commited to The Truth. Belajar


Fisika Secara Islami. https://insists.id/belajar-fisika-
secara-islami-2/

Anda mungkin juga menyukai