Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Bagus Muttabi Aulia Ahsan

NIM : 191220006

MK : Islam dan Sains

Tugas : 6

1. Sumber/Objek Ilmu dalam islam dan Barat

Dari sisi objek, baik Islam maupun Barat sama-sama mengakui bahwa ilmu itu memiliki objek
formal dan objek materil. Namun, yang menjadi permasalahannnya adalah apakah objek ilmu itu hanya
terdapat pada alam fisik saja atau melebihi itu semua sampai menembus alam metafisik. Di sinilah letak
perbedaan pandangan antara Islam dan Barat.

Epistemologi Islam mengakui bahwa objek ilmu itu berada pada alam fisik yang bisa dirasa dan
dipikirkan, kemudian juga termasuk alam metafisik, yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan indra
manusia. Maka di sini, Islam menggunakan konsep wahyu untuk memahaminya.

Adapun epistemologi Barat, mereka tidak mengakui adanya alam metafisik tersebut. Bagi mereka
objek ilmu itu hanyalah apa yang bisa diindra dan apa yang bisa dipikirkan oleh akal manusia. Oleh
karenanya, jika sesuatu berhubungan dengan alam metafisik, maka itu bukan bagian dari ilmu.

Di sinilah letak perbedaan antara konsep Islam dan Barat dalam menyikapi objek ilmu. Bagi
Islam objek ilmu itu meliputi alam fisik dan metafisik. Sedangkan Barat hanya mengakui terbatas pada
alam fisik saja.

Di sisi lain, Islam mengakui bahwa ilmu itu bersumber dari akal atau rasio manusia. Islam juga
mengakui bahwa ilmu bersumber dari pengalaman-pengalaman manusia. Islam juga mengakui intuisi
sebagai sumber ilmu. Terlebih lagi, wahyu merupakan sumber pamungkas ilmu dalam konsep Islam.

Wahyu berada pada urutan pertama dan menempati posisi yang sangat penting dibandingkan
dengan sumber-sumber lainnya. Karena kebenaran wahyu itu bersifat mutlak dan benar-benar berasal dari
Allah s.w.t.

Berbeda dengan Barat, mereka menafikan wahyu dan intuisi sebagai sumber ilmu. Baginya
sumber ilmu itu hanya ada dua macam, yaitu akal dan pengalaman manusia. Bagi mereka yang menganut
paham rasionalisme, ilmu itu bersumber dari akalnya. Ilmu itu bersumber dari pengalaman, bagi mereka
yang menganut paham empirisme.
2. Macam-macam objek ilmu pengetahuan: Wahyu (ayat al-Qauliyah), Alam jagat Raya (ayat al-
Kauniyah), dan Fenomena Sosial (Ayat al-Insaniyah)
a) Wahyu (ayat al-Qauliyah)
Kedudukan Alquran sebagai ayat-ayat qauliyyah (words of God) menempati posisi yang sangat
strategis, bahkan sering kali diposisikan lebih tinggi dibandingkan sumber epistemologi lain yang
lazim dipergunakan semisal alam raya yang dikenal dengan ayat-ayat kauniyyah (worlds of God)
ataupun ayat-ayat insâniyyah. Bahkan, tingkat kesahihannya dipandang lebih dapat diandalkan,
karena ia merupakan firman Tuhan Sang Maha Pencipta, yang menciptakan alam raya dan diri
manusia. Keberadaannya juga sekaligus menjadi sumber inspirasi dalam memandang sumber-
sumber ilmu lainnya, karena dalam Alquran juga dibicarakan mengenai alam raya beserta proses
penciptaannya serta banyak aspek dari kemanusiaan.
b) Alam jagat Raya (ayat al-Kauniyah)
Pandangan bahwa kosmos atau alam raya sebagai sebuah sumber ilmu (sumber
epistemologi) sudah hampir menjadi kesepakatan dari mayoritas para ilmuwan.Segenap aktivitas
ilmiah di dunia sekarang ini ditujukan dalam upaya menyingkap berbagai rahasia yang melekat
pada alam semesta ini, yang kemudian melahirkan berbagai teori dan hukum alam semisal teori
tentang gravitasi, hukum berat jenis dan lain sebagainya.
Dalam kaitannya posisi alam sebagai salah satu sumber ilmu ini, Alquran banyak
menyebutkan dalam berbagai ayat, yang memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari
sistem dan skema penciptaan, keajaiban-keajaiban alam, sebab-sebab dan akibat-akibat seluruh
benda yang ada, kondisi-kondisi organisme hidup dan lain sebagainya serta mengambil pelajaran
darinya.
Sebagaimana bisa dilihat pada banyak ungkapan ayat Alquran, Allah telah menjadikan
seluruh benda-benda yang ada di alam semesta sebagai tanda-tanda penciptaan-Nya, dan sistem
alam sebagai rekaman perancang dan pemrogram yang Mahatahu. Kajian tentang alam dan apa-
apa yang ada di dalamnya, sebagaimana disitir oleh Mahdi Ghulsyani, merupakan alat-alat atau
cara yang sangat penting bagi manusia untuk mengetahui Allah dan mengenal keagungan
penciptaannya.
Keniscayaan alam sebagai sumber ilmu juga dapat dilihat dari banyak ayat dalam
Alquran yang menjelaskan bahwa dengan mempelajari berbagai fenomena alam akan dapat
menghasilkan hukum-hukum alam dan berbagai karakteristik benda serta organisme yang
bermanfaat besar dalam upaya perbaikan kondisi hidup manusia. Karenanya, alam merupakan
salah satu sumber ilmu yang penting bagi manusia sehingga berbagai “rahasia” yang masih kabur
bisa tersingkap lebih jelas. Alquran sendiri secara lugas telah menyatakan bahwa segala apa yang
terdapat di langit dan bumi ini diperuntukkan bagi kepentingan manusia, agar dapat dipergunakan
dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, ia harus dikaji secara mendalam untuk memahami berbagai
jejak Ilahi dan melahirkan kesadaran kebertuhanan bagi manusia. Manusia sendiri telah
ditetapkan menjadi khalifah Allah dipermukaan bumi.Khalifah ini selain bermakna wakil atau
utusan Tuhan, juga sekaligus dapat dimaknai sebagai penguasa dengan berbagai tanggung jawab
yang harus dimiliki.
c) Fenomena Sosial (Ayat al-Insaniyah)
Sebagai sumber ilmu, manusia dapat dikelompokkan kepada beberapa bagian.Pertama,
berkaitan dengan tabiat atau internal dirinya, yang menjadi lahan kajian psikologi dan
filsafat.Kedua, berkenaan dengan perbuatan manusia dalam kurun rentang perjalanan waktu yang
kemudian menjadi lahan garapan sejarah.Ketiga, berhubungan dengan interaksi manusia dengan
yang lainnya, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar, yang menjadi perhatian
bidang antropologi, sosiologi dan arkeologi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Keberadaan manusia secara ontologi menempati kedudukan dan posisi yang sangat
strategis dalam kajian keislaman tradisional. Manusia dalam tradisi sufi sering dinyatakan dengan
tiga sebutan: (1) sebagai tujuan akhir dari penciptaan; (2) sebagai miniatur dari alam semesta
(mikrokosmos); dan (3) sebagai cermin atau bayangan Tuhan. Manusia sebagai tujuan akhir dari
penciptaan ini secara implisit dinyatakan dalam berbagai ayat Alquran yang menjelaskan bahwa
alam dan semua yang terdapat di dalamnya diperuntukkan bagi manusia. Ibnu ‘Arabi ketika
mengomentari suatu hadis qudsi yang berbunyi: “Kalau bukan karenamu, tidak akan Kuciptakan
alam semesta ini”, menyatakan bahwa meski hadis ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw.,
namun ia juga dapat diterapkan pada manusia secara umum. Nabi Muhammad saw. dalam hal ini
merupakan simbol dari kesempurnaan pencapaian yang berhasil diraih oleh seorang anak
manusia.
Jalaluddin Rumi membandingkan keberadaan manusia seperti halnya buah pada pohon.
Buah senantiasa muncul di akhir, tetapi ia merupakan tujuan utama sebuah pohon. Manusia
adalah buah alam.Meskipun dia tumbuh belakangan, namun karena buah itulah maka pohon itu
ada.Manusia disebut sebagai mikrokosmos karena padanya melekat berbagai unsur yang ada pada
kosmos. Seperti halnya buah yang padanya terkadang terdapat semua unsur pohon yang
melahirkannya seperti akar, batang, cabang, dahan, dan ranting, demikian juga pada diri manusia
terdapat seluruh unsur kosmos seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan bahkan juga
mencakup unsur malaikat dan Tuhan.
3. Hubungan antara ayat-ayat tersebut; Panca indera, akal, intuisi, dan Tuhan
Ketika dilahirkan dari rahim ibunya, manusia tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu, walau
sedikitpun. Namun, disamping ketidak tahuan tersebut, manusia dibekali Allah Swt dengan potensi psiko-
fisik yang dapat diberdayakan sebagai instrument untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sampai pada
level pengetahuan untuk bersyukur kepada Tuhan.22 Kemampuan awal yang dimiliki manusia untuk
mendapatkan pengetahuan adalah panca indera. Kita mengetahui manisnya gula melalui indera pencicip
(lidah). Mengetahui warna melalui indera penglihatan, mengetahui suara binatang lewat indera
pendengaran. Mengetahui dinginnya air salju dan es lewat indera peraba (kulit). Demikian pula
mengetahui harumnya parfum melalui indera penciuman (hidung).23 Ketika beranjak dewasa, secara
bertahap kita mulai menyadari bahwa tidak semua pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera bisa
dipercaya atau dipedomani. Sebagai contoh, ketika kita melihat bintang, bulan dan matahari tampak kecil.
Benarkah demikian?

Maka sejak saat ini kita mulai memfungsikan akal sebagai sumber pengetahuan. Akal adalah alat
berpikir, berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah usaha untuk
menemukan kebenaran, sehingga dengan demikian para filosof memandang bahwa akal adalah salah satu
alat yang ampuh untuk mencari hakekat kebenaran. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
keistimewaan manusia, terletak pada akal yang merupakan potensi untuk berpikir. Bertambah tinggi daya
berpikir manusia, bertambah pula kemampuan untuk memecahkan problema yang dihadapinya. Namun,
kita kemudian menyadari bahwa tidak semua kebenaran mampu kita capai melalui pedayagunaan akal
atau penalaran. Ketika akal mampu melakukan penalaran dan mencapai kesimpulan bahwa Tuhan wajib
al-wujud dan manusia wajib berterimakasih kepada Tuhan, namun dengan akal atau penalaran rasional
kita tidak pernah mampu menemukan siapa sebenarnya Tuhan itu, apalagi sampai merasakan
kehadirannya. Maka dengan ini kita memerlukan wahyu sebagai pemberi pengetahuan tersebut.

Disisi lain, Kebutuhan akal dalam agama Islam sangat penting, seperti diketahui dalam Alquran
banyak ayat yang memerlukan pembahasan akal. Karena tidak semua kata dalam wahyu Allah itu, dapat
diartikan menurut arti zhahirnya, tetapi kadang-kadang harus diartikan menurut arti bathinnya. Hal
tersebut menandakan betapa pentingnya kebutuhan akal untuk menjelaskan wahyu sebagai pengantar
kepada suatu pengertian yang sulit dipahami. Akal sebagai alat utama untuk memahami ajaran yang
dibawa melalui wahyu. Sekalipun akal tidak mampu mencapai kebenaran mutlak, banyak ayat Alquran
yang membutuhkan penafsiran atau penjelasan agar ayat-ayat tersebut dapat dipahami. Hal ini dipertegas
oleh Allah dalam QS. An-Nahl: 44.
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.

Ayat tersebut di atas, menganjurkan bahwa ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. bertujuan menerangkan dan menjelaskan kepada umat manusia tentang apa yang
diperselisihkan serta apa yang belum jelas di dalamnya. Selain itu, ayat tersebut menganjurkan agar
manusia memikirkan wahyu Allah yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dimengerti bahwa pemikiran berarti mempergunakan akal. Disinilah letak kebesaran akal manusia,
yakni kebesaran yang bukan tanpa batas.

Harifuddin Cawidu dalam makalanya “Alquran Kemukjizatan dan Keistimewaannya”,


mengemukakan bahwa “dalam Alquran ditemukan ayat-ayat yang mempunyai isyarat-isyarat ilmiah. Di
antara isyarat-isyarat tersebut adalah matahari sebagai benda langit yang mengeluarkan cahaya sendiri
sementara bulan adalah benda langit yang bercahaya tetapi tidak memproduksi cahayanya sendiri,
melainkan memantulkan cahaya matahari. Isyarat ini dapat ditangkap dari penggunaan istilah dhiyaan dan
sirajan untuk matahari, sedangkan untuk bulan digunakan istilah muniran (QS. 10: 5; 25: 61; 33: 46; 71:
16). Demikian pula isyarat tentang sistem tata surya yang didasarkan pada teori heliosentris yang ternyata
terbukti kebenarannya, dalam bukunya teori qeosentris peninggalan astronom Ptolomeus yang
diperpegangi selama berabad-abad dan dianut secara fanatik oleh Bibel.

Selanjutnya Syekh Muhammad Abduh mengemukakan pendapatnya mengenai kebutuhan wahyu


terhadap akal dengan mengatakan, Islam adalah agama rasional. Dalam Islam, agama dan akal buat
pertama kali mengikuti tali persaudaraan. Islam datang berbicara kepada manusia, bahwa Islamlah yang
berteriak keras pada akal manusia sehingga ia terkejut dan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Islam
sesungguhnya datang dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dapat dipahami, tidak mungkin membawa
hal-hal yang bertentangan dengan akal. Jika ada teks ayat yang zhahirnya kelihatan bertentangan dengan
akal, akallah wajib berkeyakinan bahwa bukanlah arti yang dimaksudkan, dan selanjutnya akal boleh
memilih antara memakai ta’wil atau berserah diri kepada Allah.27 Dengan demikian, dapatlah dipahami
bahwa wahyu sangat membutuhkan akal, baik untuk membuktikan kebenaran maupun untuk menggali
kebenaran serta mempertahankan kebenaran itu.

Anda mungkin juga menyukai