Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM

Maju mundurnya suatu peradaban ditentukan oleh pendidikan. Bahkan, peradaban


dan kebudayaan umat manusia tidak akan pernah muncul tanpa ada lembaga yang
mengarahkan manusia kea rah tersebut. Karena manusia terlahir kedunia tidak memiliki
daya dan ilmu yang dapat membuatnya berkembang lebih maju, maka pendidikanlah
yang membangun daya dan pengetahuan tersebut dalam jiwa manusia. Al-Qur’an
menegaskan :

         


      

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. (Qs. al-Nahl (16): 78)

Dalam keadaan ketidaktahuab manusia tersebut, Allah membekali dengan indra,


baik indra zahir maupun indra batin. Melalui indra tersebut manusia dapat mengetahui
sesuatu. Indra manusia meliputi, indra zahir, indra batin dan indra qalbu yang
merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan. Pendidikan merupakan wadah tempat
manusia berinteraksi, dengan menggunakan indra, dimana melalui indra tersebut ilmu
masuk ke dalam jiwa atau qalbu yang pada akhirnya melahirkan sikap dan perilaku serta
peradaban.

A. PRINSIP TAUHID

Menurut perspektif al-Qur’an, tauhid adalah merupakan akar utama yang harus
memberikan energy kepada pokok, dahan dan daun kehidupan. Atau ia merupakan hulu
yang harus menentukan gerakdan kualitas air sebuah sungai kehidupan.

Pendidikan terdiri atas beberapa komponen, yaitu murid, guru dan kurikulum.
Nilai tauhid mestinya tercermin pada setiap komponen tersebut. Nilai tauhid mesti
mewarnai pribadi siswa dan guru serta interaksi atau komunikasi antar keduanya. Guru
mestinya tampil sebagai pribadi yang bertauhid, yang tercermin dalam perilaku, tutur
sapa, pikiran dan rasa. Semuanya mesti diwarnai oleh tauhid, seperti yang terlihat pada

1
pribadi para nabi mulai dari Adam hingga Muhammad. Demikian pula siswa, mereka
ini mestinya dilihat sebagai komunitas pencari nilai-nilai tauhid. Maka semua aktivitas
belajar dan interaksi antara guru dan murid tidak boleh bertentangan dengan nuansa
tauhid.

Ada tiga aspek yang tidak mungkin dipisahkan dalam perbincangan mengenai
tauhid sebagai prinsip pendidikan Islam, yaitu Allah, manusia, dan alam.

1. Allah

Pendidikan Islam diawali dari mengenal Allah. Siswa mesti diperkenalkan, bahwa
segala yang ada ini berasal dari-Nya. Dia Maha Pencipta, bahkan tidak hanya
mencipta tetapi juga memelihara, mengatur dan memberi rezeki. Semua yang ada ini
tergantung dan terikat kepada-Nya. Tidak ada makhluk yang dapat melepaskan
ketergantungan dan keterikatan dari-Nya, termasuk manusia.

Al-Qur’an menegaskan, bahwa alam raya dan segala isnya diatur dan diurus oleh
Allah.

          
      

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS.
al-Sajadah (32): 5)

Hijazi, dalam menafsirkan ayat diatas, menegaskan “Allah-lah yang mengurus


urusan dunia dan mengatur sistem yang berlaku padanya. Semua itu sesuai dengan
apa-apa yang telah ditetapakan-Nya. Hal ini terus berlaku sampai kiamat nantinya,
dimana pada hari itu semua persoalan dan urusan dunia ini akan kembali kepada-
Nya, dan Dia akan menghukum dengan seadil-adilnya.

Pendidikan itu dibangun atas dasar tauhid, maka segala kegiatan kependidikan
mesti berawal dari Allah. Visi dan misi, sebagai pedoman penyelenggarannya,
disusun atau dirumuskan berdasarkan keimanan kepada-Nya.

2. Manusia

2
Manusia adalah subjek sekaligus juga objek pendidikan, ia mesti dilihat sebagai
makhluk Tuhan. Pribadinya, baik secara fisik maupun psikis, merupakan suatu
sistem yang tidak pernah terlepas dari kaitan dan ketergantungannya kepada Tuhan.
Secara fisik, manusia terikat dengan hukum alam yang Allah ciptakan. Secara
psikis, manusia mempunyai potensi berupa akal sebagai jendela masuknya ilmu
kedalam jiwa, dimana akal juga merupakan anugerah-Nya yang patut disyukuri.

Prinsip lainnya, yang menjadi pertimbangan dalam pengelolaan pendidikan


terkait dengan manusia itu, adalah bahwa manusia itu merupakan makhluk dua
dimensi, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani berasal dari tanah, yang memiliki
kekuatan untuk tumbuh dan berkembang serta kehendak untuk berbuat sesuai
dengan potensi yang ada dalam dirinya, berupa nafsu. Dan rohani merupakan
sesuatu kekuatan yang berasal langsung dari Allah, dimana ia tidak berasal dari
tanah. Al-Ghazali mengatakan, unsur ini berasal dari jenis kejadian malaikat. Unsur
ini memliki potensi akal, yang mesti dikembangkan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan dalam perspektif al-Qur’an bersifat humanis. Perancangan,


penyelenggaraan, atau proses pendidikan dibangun atas prinsip kemanusiaan dalam
artian tidak ada aspek kemanusiaan yang terabaikan. Potensi jiwanya dikembangkan
dan jasmaninya dilatih. Demikian pula sifat-sifat manusiawinya, ia perlu mendapat
pertimbangan dalam menentukan kebijakan segala hal yang berkaitan dengan
pendidikan.

3. Alam

Dalam perspektif Islam, “alam” diartikan kepada segala sesuatu selain Allah (kullu
shay’in mã siwa Allãh). Atau dengan kata lain, alam adalah makhluk atau setiap
yang diadakan. Maka Allah tidak termasuk alam, karena Dia bukan yang diadakan.
Dalam al-Qur’an, kata “alam” sering terulang dan semuanya dalam bentuk jamak
(plural). Hal itu menunjukkan alam itu banyak, seperti alam manusia, alam malaikat
dan alam jin.

Jika dilihat dari sifatnya, alam itu dapat dikategorikan kepada dua macam, yaitu
“alam nyata” (‘ãlam al-shahãdah) dan alam tidak nyata (ãlam al-ghayb). Alam
nyata adalah benda-benda nyata dan konkret yang bisa dikaji secara empiris. Dan

3
alam yang tidak nyata adalah makhluk Tuhan yang tidak bisa dikaji secara empiris,
ia hanya dapat diketahui melalui pemberitahuan-Nya dalam kitab suci atau berita
yang disampaikan oleh para nabi-Nya.

B. RISALAH ILAHIYAH

Penyelenggaraan pendidikan mesti selaras dan sesuai bahkan didasarkan atas


risalah ketuhanan yang dibawa para nabi, terutama Nabi Muhammad. Allah telah
mengutus para rasul kepada umat manusia untuk menyampaikan atau mengajarkan
risalah-Nyaagar manusia memegangi serta mempedomani risalah tersebut dalam
menjalankan kehidupan mereka di dunia ini.

Risalah itu berarti pesan-pesan Tuhan yang dibawa para rasul unutk disampaikan
kepada umatnya. Pesan-pesan tersebut berisi akidah tauhid, pesan-pesan moral, dan
tatanan hidup yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, alam sekitar, dan sesame
manusia itu sendiri. Semua nabi dan rasul mengajarkan risalah tauhid kepada umat
mereka, yaitu u’budū Allāh mā lakum min ilāhin ghayruh (sembahlah Allah, tiada
Tuhan bagimu selain-Nya).

Risalah ilahiyah yang dibawa Nabi Muhammad, seperti yang termasuk dalam al-
Qur’an dan sunnahnya, mengandungi tiga isi utama diaman manusia dituntut agar
memetuhi dan menyikapi dengan baik ketiga isi tersebut. Pertama, keimanan atau
akidah tauhid, meliputi keimanan kepada Allah, dimana mengimani-Nya mempunyai
konsekuensi kemestian mengimani malaikat, kitab suci yang diturunkan-Nya kepada
manusia, rasul, danya hari perhitungan, dan keyakinan kepada ketentuan Allah. Kedua,
hukum normative diman manusia dituntut menaati hukum tersebut. Hukum tersebut
meliputi norma-norma kehidupan, ia mengatur hubungan manusia dengan Alla yang
berwujud dalam bentuk ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, juga
mengatur hubungan manusia dengan alam sekitar dan manusia itu sendiri.

Ketiga, hukum yang tidak bersifat normative, yaitu hukum alam atau sunnatllah
yang berlaku di alam ini. Hukum ini sesuai dengan kondisi manusia dan bumi tempat
mereka tinggal. Allah berfirman:

          
 

4
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan
bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. al-
A’rāf (7): 10)

Bumi yang ditempati manusia ini mengandung segala keperluannya dalam


menjalani kehidupan. Manusia dituntut agara menyesuaikan diri dengan hukum yang
telah diciptakan-Nya itu. Melanggar hukum alam dapat mencederai diri manusia itu
sendiri. Sebaliknya, menyesuaikan diri dengan hukum alam tersebut dapat
mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan hidup.

BAB 2

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG ILMU PENGETAHUAN

A. KONSEP ILMU

Secara harfiah “ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah
ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas
sesuatu. Saliba mendefenisikan ilmu itu dengan “memahami secara mutlak, baik
taṣawwur maupun taṣḍῑq dan baik yakin maupun tidak. Menurut Ikhwan al-Safa’,

5
seperti yang dikutip JIhami, ilmu adalah taṣawwur hakikat sesuatu dan asalnya.
Berdasarkan defenisi ini, ada empat yang saling berkait dengan sistem perolehan ilmu
yaitu suatu subjek yang memahami, objek yang dipahami, makna atau ṣūrah (form)
yang berkait dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau ṣūrah (form) itu
terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu adalah qalbu
manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna (konsep) yang ada pada
suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek disini adalah segala sesuatu
yang ada, baik bersifat empiris maupun tidak.

B. SUMBER ILMU

Pada hakikatnya, ilmu adalah salah satu sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut
dengan ‘Alῑm (Yang Maha Tahu). Dia adalah sumber utama ilmu. Segala pengetahuan
yang diperoleh manusia merupakan anugerah-Nya. Al-Qur’an menggambarkan, ada dua
cara Tuhan mengajar manusia, yaitu pengajaran langsung yang disebut dengan wahyu
atau ilham dan pengajaran tidak langsung. Cara yang terakhir ini berarti, bahwa Allah
mengajar manusia melalui media yaitu fenomena alam yang Dia ciptakan. Jadi, alam
adalah media yang Allah ciptakan untuk mengajar manusia.

Untuk menjelaskan secara singkat bahwa Allah sebagai sumber ilmu, yang
mengajar manusia baik secara langsung maupun melalui media, dapat dilihat dalam
skema berikut. Allah

Alam dan Hukum Al-Qur’an al-Karim dan Wahyu lainnya

Keterangan: Manusia

Penciptaan

Pewahyuan

Penciptaan dan Pelimpahan Ilmu

Pencarian Ilmu

6
Sketsa 1: Allah sebagai Pusat dan Sumber Ilmu Pengetahuan

Jadi, manusia merupakan makhluk pencari ilmu. Ilmu tersebut ia dapatkan


melalui alam, wahyu yang tersurat, dan atau ilham. Semua ilmu yang diperoleh manusia
dari mana pun ia pelajari adalah ilmu Tuhan atau bersumber dari Tuhan. Inilaj satu di
antara perbedaan ilmu dalam perspektif Islam dengan ilmu dalam perspektif Barat
sekunder. Bagi kaum sekuler, ilmu itu dibentuk atas dasar fakta empiris ataua indriawi
tanpa menghiraukan sumbernya, yaitu Allah. Sedangkan dalam perspektif Islam, ilmu
itu bersumber dari Allah maka Dia menjadi pusat utama dalam pembelajaran dan
penelitian.

C. CABANG ILMU

Ibn Sina, misalnya mengklasifikasi ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-‘ilm al-
ilāhi (ilmu ketuhanan atau metafisika), al-‘ilm al-riyāḥi (ilmu matematika), dan al-‘ilm
ṭabῑ’I (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibn Sina menyebut ketiga ilmu itu pula dengan
al-‘ilm al-a’lā (ilmu yang tinggi), al-‘ilm al-awsạt (ilmu pertengahan), dan al-‘ilm al-
asfal (ilmu yang rendah). Klasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi
suatu ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia mapun akhirat.

Berbeda dari Ibn Sina, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu kepada dua macam,
yaitu ilmu sharῑ’ah dan ilmu ghayr al-sharῑ’ah. Klasifikasi ini serasi dengan pembagian
yang dibuat oleh Ibn Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu
‘aqal. Yang pertama sama dengan ilmu sharῑ’ah dan yang terakhir sama dengan ilmu
ghayr al-sharῑ’ah dalam kategori al-Ghazali.

Walaupun para ilmuana muslim klasik telah mengklasifikasikan cabang-cabang


ilmu tersebut, namun mereka sepakat bahwa yang terpenting adalah semua cabang itu
berangkat dari sumber utamanya, yaitu Allah. Maka pembelajaran sebagai pewarisan
ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu mesti diformat atas dasar keimanan
dan ketakwaan.

D. JENDELA PEROLEHAN ILMU

7
Menurut al-Qur’an, ilmu itu dapat diperoleh melalui tiga hal, yaitu rasional, empiris,
dan wahyu atau ilham. Mendapatkan ilmu melalui rasio, misalnya, dapat dilihat dalam
firman Allah ayat 12-16 Surah al-Mu’minūn yang berbicara tentang embriologi. Secara
tekstual, ayat-ayat tersebut mendeskripsikan proses kejadian dan perjalanan hidup
manusia, mulai dari tanah sampai kepada penentuan nasibnya yang abadi; surge atau
neraka.

Tujuan utama ayat itu bukan semata-mata mengajarkan manusia tentang embriologi,
manusia tidak banyak dituntut menguasai ilmu tersebut. Tetapi, pembelajaran oleh Al-
Qur’an mengenai embriologi dalam ayat itu bertujuan untuk meyakinkan manusia
bahwa hidupnya pasti akan berakhir dan ia akan mengalami kebangkitan.

Metode empiris, misalnya, dapat dilihat dalam berbagai ayat yang mendorong
manusia memperhatikan fenomena alam, seperti berjalanlah kamu ke (segenap penjuru)
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Banyak fenomena alam yang digambarkan dalam al-Qur’an, yang apabila dipelajari
manusia maka ia akan mendapatkan ilmu dari padanya.

Menurut perspektif al-Qur’an, pengetahuan tidak hanya didapatkan melalui empiris


atau pengalaman indriawi serta penalaran rasional semata, tetapi juga bisa didapatkan
melalui ilham. Bahkan menurut al-Ghazali ilham merupakan jalan pengetahuan yang
benar; ia dapat mengantarkan manusia kepada ‘ilm al-yaqin yaitu suatu keadaan yang
benar-benar terbuka padanya sesuatu yang diketahui (al-ma’lum) sehingga tidak ada
lagi mengandung keraguan. Untuk mendapatkan pengetahuan melalui ilham-yang
dalam istilah al-Ghazali disebut dengan al-ta’allum al-rabbani- adalah ditempuh
dengan jalan mujahadahn dan riyadah, yaitu dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Al-Ghazali mengatakan; “Siapa saja yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan
memberinya ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang belum diketahuinya. Untuk
mendapatkan ilmu melalui ilham, manusia mesti bersungguh-sungguh menyucikan
dirinya dari noda dan dosa serta mendekatkan diri kepada Allah.

Ilmu pengetahuan itu tumbuh dan berkembang dalam diri manusia melalui
pengalaman empiris, rasional, dan ilham yang masuk melalui indra, baik zahir, batin,
maupun kalbu. Dengan kata lain, indra merupakan bagian dari unsur kepribadian
manusia yang menjembatani masuknya ilmu pengetahuan kedalam diri, sehingga ilmu

8
tersebut menjadi internal kepribadian manusia. Dengan demikian, semakin aktif indra
berinteraksi dengan objek pengetahuan, semakin dalam pengetahuan seseorang.

E. ORIENTASI PENDIDIKAN

Adapun yang dimaksud dengan orientasi pendidikan dalam kajian ini adalah
kecenderungan kemana peserta didik diarahkan. Suatu lembaga pendidikan mempunyai
rancangan mengenai apa yang ia harapkan dari peserta didik setelah mereka melalui
bimbingan atau proses pembelajaran pada lembaga tersebut. Farhan menyebutkan tiga
prinsip yang mesti diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Prinsip pertama
adalah semua ciptaan ini mempunyai tujuan. Kedua adalah prinsip kesatuan baik alam
manusia maupun kehidupan. Ketiga adalah prinsip keseimbangan (al-ittizan). Kedua
prinsip diatas (penciptaan yang bertujuan dan prinsip kesatuan) mesti dipahami sebagai
suatu keseimbangan.

Ketiga prinsip diatas perlu terdapat dan diajabarkan dalam proses pembelajaran serta
evaluasi. Sepantasnya kurikulum dan silabus disusun berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut. Ia perlu mengambarkan kepada siswa, bahwa segala yang ada ini diciptakan
mempunyai tujuan, terbentuk dalam satu kesatuan yang tiada terpisahkan serta
keseimbangan.

BAB 3

BELAJAR DAN MENGAJAR

A. KONSEP BELAJAR

Paling tidak ada dua istilah yang digunakan al-Qur;an yang berkonotasi belajar,
yaitu ta’allama dan darasa. “Belajar” sebagai terjemahan dari ta’allama dapat
didefenisikan kepada perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas pembelajaran. Dalam

9
al-Qur’an kata ta’allama itu terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam
perbincangan tentang ilmu sihir, yaitu

         


           
          
           
 

Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu,
mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka
itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun,
kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi
mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka
telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu,
Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.

Berdasarkan pengertian ta’allama (belajar) diatas, maka ayat ini dapat diartikan
kepada “bahwa orang yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil
pengajaran keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu tidak bermanfaat buat
mereka, bahkan memberi mudarat”.

Kata darasa secara harfiah selalu diartikan kepada “mempelajari”, seperti yang
terlihat dalam firman Allah :

      


 

Demikianlah Kami mengulang-ulangi ayat-ayat Kami supaya (orang-orang yang


beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu
telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya Kami menjelaskan Al
Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui.

10
Al-Isfihani secara harfiah memakai kata darasa itu dengan “meninggalkan bekas”,
seperti yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-dāru yang semakna dengan
baqiya athruhā (rumah itu masih ada bekasnya). Maka ungkapan darasa al-‘ilma sama
artinya dengan tanawaltu athrahu bi al-ḥifẓi (saya memperoleh bekasnya dengan
menghafal). Berangkat dari makna harfiah ini, maka belajar dapat didefenisikan kepada
suatu kegiatan pencarian ilmu, dimana hasilnya berbekas dan berpengaruh terhadap
orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak hanya sekedar aktivitas tetapi ia mesti
mendatangkan pengaruh atau perubahan pada orang yang belajar tersebut.

Kata darasa dalam al-Qur’an terulang 6 kali, lima dalam bentuk kata kerja dan
lainnya dalam bentuk masdar. Kata darasa juga terdapat dalam beberapa surah dan ayat
berikut, yaitu

1. Surah al-A’rāf (7) Ayat 169

        


        
           
          
  

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi
ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula),
niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil
dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan
kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian
tidak mengerti?

Ayat ini membicarakan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus
Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewariskan al-Kitab (Taurat) dari nabi,
mereka mempelajarinya tetapi mereka tidak mengamalkan isinya, bahkan memfatwakan

11
dan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi al-Kitab yang mereka pelajari
itu, untuk mendapatkan kesenangan duniawi.

Dalam ayat ini terdapat kata darasū mā fῑhi yang dapat diartikan “mereka telah
mempelajari apa yang tersebut didalamnya”. Maksudnya, orang-orang Ahl al-Kitāb
telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, maka seharusnya
kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan
pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam al-Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap
mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga
mengakui kerasulan Muhammad.

2. Surah Āli ‘Imrān (3) Ayat 79-80

         
          
        
      
      

tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah
dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al
kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya)
menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia
menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".

Ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar,
pertama konsep belajar seperti terlihat dalam istilah tadrusūna. Dan kedua tujuan
belajar dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”.

3. Surah al-Qalam (68) Ayat 34-38

12
       
         
         

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang


penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang
Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Adakah kamu
(berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? atau Adakah kamu
mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di
dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.

4. Surah Saba’ (34) Ayat 43-44

         
          
          
          
     

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata:
"Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari
apa yang disembah oleh bapak-bapakmu", dan mereka berkata: "(Al Quran) ini tidak
lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja". dan orang-orang kafir berkata
terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini tidak lain
hanyalah sihir yang nyata". Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka Kitab-
Kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka
sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun.

Nashwaty mendefenisikan: “belajar adalah suatu proses dimana kita memperoleh


darinya perubahan yang terjadi pada perilaku seseorang. Dalam al-Qur’an diterangkan
pula aktivitas belajar, yaitu membaca (qara’a), memperhatikan (ra’a), menalar
(naẓara), mendengarkan (sami’a), dan mengingat atau menghafal (dhakara).

13
Belajar mestinya mendatangkan efek kepada pelajar dalam bentuk kesadaran diri
sebagai hamba Allah dan menyadari bahwa segala yang ada ini mempunyai penuh
ketergantungan kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan:

          
        
         
 

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan
mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di
daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-
buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-
mudahan kamu mengambil pelajaran.(QS. al-A’rāf (7): 57)

Secara umum ayat ini menegaskan, bahwa mempelajari fenomena alam. Fenomena
alam semestinya dapat dijadikan i’tibar oleh manusia dan mengantarkannya kepada
iman yang kokoh dalam bentuk kesadaran diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

B. PRINSIP BELAJAR

Belajar sebagai suatu aktifitas dalam mencari ilmu mesti didasarkan atas prinsip-
prinsip tertentu, yang meliputi ketauhitan, keikhlasan, kebenaran, dan tujuan yang jelas;
prinsip yang terakhir ini berkaitan pula dengan tiga prinsip sebelumnya.

Ketauhidan yang dijadikan prinsip utama dalam belajar lebih jauh menggambarkan
keikhlasan dan tujuan pencarian ilmu. Berdasarkan prinsip ini, maka dapat ditegaskan
bahwa mempelajari segala macam ilmu merupakan usaha menguatkan aqidah tauhid;
bertambahnya ilmu sebagai efek dari belajar maka bertambah pula keyakinan kepada
Sang Pencipta atau Pemberi ilmu itu. Al-Qu’ran menegaskan dalam Surah Āli ‘Imrān
(3) ayat 190-191:

        


        

14
        
      

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka.

Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan Islam adalah sosok intelektual yang
berkepribadian berzikir dan berpikir, sehingga ia menyadari dirinya dan alam
lingkungannya sebagai suatu sistem yang menggambarkan fenomena kebesaran Tuhan.

C. SUMBER BELAJAR
1. Al-Qu’ran sebagai Sumber Belajar
Ada tiga aspek yang perlu dipelajari dari al-Qur’an sebagai sumber belajar.
Pertama, pesan-pesan yang berkaitan dengan hukum normative yang mesti
diamalkan dalam menjalankan kehidupan ini. Kedua, dorongan(motivasi) al-
Qur’an terhadap manusia agar manusia mempelajari alam ini. Dan ketiga
manusia dapat menangkap keunikan dan keindahan al-Qur’an.
Penjelasan al-Qur’an, bahwa ia sebagai sumber belajar dapat dilihat dalam
Surah Ṭāhā (20) ayat 113 :

      


       

dan Demikianlah Kami menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, dan


Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian
dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al Quran itu
menimbulkan pengajaran bagi mereka.

Secara implisit, ayat ini mendorong manusia agar mempelajari al-Qur’an,


dan menjadikannya sebagai sumber belajar. Dalam Surah al-Naml (27) ayat 92
ditegaskan pula:

15
       
         

dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa


yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk
untuk (kebaikan) dirinya, dan Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah:
"Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi
peringatan".

Mempelajari al-Qur’an, dengan membaca dan memahami serta mengamalkan


isi kandungannya, bisa membuat pembacanya mendapatkan hidayah. Dalam
Surah al-Nisā (4) ayat 82 Allah juga berfirman:

         


    

Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran


itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak
di dalamnya.

Manusia didorong agar mentadabbur al-Qur’an, dimana mentadabburnya


tidak hanya sekedar memahami isi dan pesan-pesan yang termuat di dalamnya.
Tetapi para pembaca dapat menangkap keunikan dan keindahannya sehingga
jiwa mengakui dan menyadari bahwa ia berasal dari Allah.

2. Alam sebagai Sumber Belajar


Manusia dituntut agar melihat, mengkaji, dan melakukan penalaran terhadap
fenomena alam. Banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan hal tersebut.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah Surah al-Dhāriyāt (51) ayat 20-21 :
        
 
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak
memperhatikan?

16
Ayat 20 dan 21 Surah al-Dhāriyāt (51) diatas menggambarkan, bahwa
manusia didorong agar mempelajari bumi dan diri manusia itu sendiri. Dalam
Surat al-Ḥajj (22) ayat 18 ditegaskan pula:
        
   
Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka,
niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan),
"Rasailah azab yang membakar ini".

Perbincangan dalam ayat diatas dimulai dengan ungkapan alam tara


(tidakkah kamu memperhatikan), yaitu menggunakan kalimat tanya (istifhām).
Hal ini menunjukkan dorongan terhadap manusia agar memperhatikan fenomena
alam tersebut.

Firman Allah dalam Surah Fāṭir (35) ayat 27 menggambarkan pula:

         
        
    

tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya.
dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

Ayat-ayat diatas memotivasi manusia agar mempelajari al-Qur’an dan alam.


Mereka diharapkan agar menjadikan al-Qur’an dan alam sebagai sumber belajar.
Mempelajari alam sama dengan mempelajari al-Qu’ran, yaitu menyikap
kemahabesaran Tuhan.

D. KONSEP MENGAJAR

Kata “mengajar” mempunyai akar kata yang sama dengan belajar, yaitu berasal dari
kata “ajar”. Secara harfiah kata “mengajar” diartikan kepada “memberikan pelajaran”.

17
Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru-sebagai
pengajar-, materi pelajaran dan pelajar.

Dalam Surah al-Baqarah (2) ayat 31-32 ditegaskan :

        


        
           

Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,


kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dia mengajarkan Nabi mengenai apa saja yang tidak ia ketahui, dan bahkan Dia
juga mengajar segala manusia, seperti yang ditegaskan dalam Surah al-‘Alaq (96) ayat
3-5 :

        


    

Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Jadi, Allah tidak hanya Pencipta manusia tetapi Dia juga mengajar dan
melimpahkan ilmu kepada manusia.

E. PRINSIP MENGAJAR

Mengajar mesti dimakna menanamkan aqidah tauhid, sebagaimana al-Qur’an


memaparkan kepada manusia fenomena alam yang selalu dirajut dengan tauhid dan
pembentukan perilaku terpuji.

Dalam Surah al-Raḥmā (55) ayat 1-4 dijelaskan :

18
        
 

(tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan
manusia, mengajarnya pandai berbicara.

Ayat ini menjelaskan, bahwa Allah mengajarkan al-Qur’an dan al-bayā kepada
manusia. Perbincangan pengajaran tersebut dimulai dengan nama-Nya al-Raḥmān yang
menggambarkan kasih sayang. Prinsip kasih sayang ini akan melahirkan prinsip-prinsip
mengajar lainnya, yaitu ikhlas, demokrasi, kelembutan, dan tenggang rasa terhadap anak
didik. Ikhlas dalam hal ini berarti bahwa mengajar rida Allah. Demokrasi berarti
menghargai pendapat, gagasan dan pemikiran siswa/mahasiswa. Selain keikhlasan dan
demokrasi, mengajar mesti pula didasarkan atas prinsip kelembutan. Artinya, proses
pembelajaran, sistem yang berlaku pada lembaga sekolah, dan pergaulan guru dan
murid semestinya penuh dengan lunak lembut.

F. GURU

Dalam bahasa Arab, guru disebutkan dengan mu’allim, murabbi, mudarris, dan al-
mu’addib. Istilah mu’allim yang diartikan kepada guru menggambarkan sosok seorang
yang mempunyai kompetensi keilmuan yang sangat luas, sehingga ia layak menjadi
seorang yang membuat orang lain (dalam hal ini muridnya) berilmu. Kata murabbi,
yang sering diartikan kepada pendidik, berasal dari kata rabbaya. Kata dasarnya raba,
yarbu, yang berarti “bertambah dan tumbuh”. Kata mudarris, yang juga diartikan
kepada guru, merupakan isim fā’il dari darrasa. Dan kata darrasa itu berasal dari
darasa, yang berarti “meninggalkan bekas”. Selain mu’allim, murabbi, dan mudarris,
guru juga disebut dengan al-mu’addib. Kata ini merupakan isim fā’il dari kata addaba
yang berasal dari kata adaba yang berarti sopan.

1. Tugas dan Kewajiban Guru


a. Surah al-Baqarah (2) Ayat 129

       


      
  

19
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana.

b. Surah Āli ‘Imrān (3) Ayat 164

         
     
         

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan
Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.

c. Surah al-Jumu’ah (62) Ayat 2

        


     
      

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

Ayat-ayat diatas menegaskan, bahwa ada tiga hal yang menjadi tugas Rasul
yang juga menjadi tugas para guru, yaitu sebagai berikut:

Pertama, yatlū ‘alayhim āyātika (membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu).


Kedua, yu’allihim al-kitāb wa al-ḥikmah mengajarkan kepada para peserta didik

20
pesan-pesan normatif yang terkandung didalam kitab suci. Ketuga, yuzakkῑhim.
Membersihkan peserta didiknya dari sifat dan perilaku tercela.

2. Interaksi Guru dengan Peserta Didik


Guru harus menciptakan interaksi yang menyenangkan dan komunikasi yang
baik dengan peserta didik. Banyak ayat al-Qur;an yang berbicara mengenai
sikap dan perilaku Nabi ketika berinteraksi dengan para sahabat dalam rangka
mendidik mereka. Hal itu antara lain adalah Surah al-Taubah (9) ayat 128-129,
yaitu :
        
       
            
  
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-
orang mukmin. Mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah:
"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku
bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".
Ayat ini menjelaskan tiga macam sikap Rasul dalam berinteraksi dengan para
sahabatnya. Ketiga sikap itu adalah a’zῑsun ‘alayhi mā ‘anittum (berat terasa
olehnya penderitaan yang kamu alami), hariṣun ‘alā hidāyatikum ([dia] sangat
menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu), dan ra’ūf al-raḥῑm
(penyantun dan penyayang).
Dalam Surah Āli ‘Imrān (3) ayat 159, Allah juga berfirman :
           
        
           
 
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka

21
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Ayat ini menjelaskan pula lima sikap dan perilaku Rasul dalam menghadapi
para sahabatnya. Kelima hal tersebut adalah meliputi lunak lembut tehadap
mereka (linta lahum), memaafkan para sahabat (fa’fu ‘anhum), memohonkan
ampunan kepada Allah untuk mereka, bermusyawarah, dan bertawakkal kepada-
Nya.
Sepatutnya guru bersikap terhadap siswanya dengan lima sikap diatas.
Pergaulan guru-siswa perlu dengan kelembutan dan tidak ada dendam. Untuk
memecahkan persoalan kelas atau pembelajaran perlu dengan musyawarah.
Guru perlu mendengarkan dan memperhatikan keluhan dan problem yang
dihadapi siswanya. Sebagaimana Rasul selalu memperhatikan persoalan-
persoalan yang dihadapi para sahabatnya.

G. PESERTA DIDIK
1. Murid Objek dan Subjek Pendidikan
Surah al-Baqarah (2) ayat 30-31 menggambarkan :

         


        
         
        
      
 

ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa

22
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-
Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Ada dua sosok peserta didik yang diperbincangkan dalam ayat ini, yaitu
malaikat dan Nabi Adam. Pendidiknya adalah Allah. Guru yang baik adalah
pendidik yang tidak hanya menyuguhkan ilmu yang siap dikonsumsi saja, tetapi
ia juga mesti memberikan alat untuk mendapatkan ilmu itu.

2. Sikap Murid terhadap Guru


Allah berfirman dalam Surah al-Nisā’ (4) ayat 170:
       
          
      
Wahai manusia, Sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu
dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, Maka berimanlah kamu, Itulah
yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak
merugikan Allah sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di langit dan di
bumi itu adalah kepunyaan Allah[382]. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Ayat ini menyeru seluruh manusia agar beriman kepada Rasullah Muhammad
yang diutus oleh Allah. Rasul tersebut membawa kebenaran, di mana keberan
tersebut merupakan risalah ilahiyah. Allah mengutus Rasul sebagai pendidik
manusia. Agar proses pendidikan berhasil meraih tujuannya, terdapat suatu sikap
yang seharusnya dimiliki peserta didik, yaitu yakin dan percaya kepada guru
yang mengajarnya.
Dalam Surah al-Ḥujurāt (49) ayat 1-5 ditegaskan pula:
        
          
       

23
       
       
       
         
        
         
  
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian
kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan
suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati
mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang
besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)
kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau Sekiranya mereka bersabar
sampai kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menggambarkan tuntunan bagaimana seharusnya orang-orang
mukmin atau para sahabat bersikap dan bergaul dengan Nabi Muhammad. Ada
beberapa etika yang harus mereke jaga dan patuhi ketika berinteraksi dengan
Nabi, yaitu sebagai berikut:
a. Orang mukmin tidak boleh mendahului ketetapan Rasul.
b. Orang mukmin dilarang meninggikan suaranya sehingga mengalahkan
suara Nabi.
c. Janganlah orang mukmin memanggil Nabi seperti memanggil teman atau
orang lainnya.

24
Dengan demikian, paling tidak ada empat norma yang mesti dijaga peserta
didik dalam bermuamalah dengan gurunya, yaitu 1) kepercayaan dan
kenyakinan peserta didik kepada guru, dimana guru memang layak mengajar
karena telah memenuhi kualifikasi dan kompetensi dalam melakanakan
pembelajaran, 2) tidak boleh mendahului ketetapan dan jawaban guru mengenai
persoalan apa saja yang timbul dalam proses pembelajaran, 3) seorang peserta
didik, terutama dalam proses pembelajaran tidak boleh meninggikan suaranya,
4) peserta didik tidak layak memanggil guru seperti memanggil teman sebaya.

BAB 4

TUJUAN DAN MATERI PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN

Tujuan dapat diartikan kepada sesuatu yang sangat didambakan bagaikan pemanah
yang berharap agar anak panahnya dapat mencapai sasaran atau objek yang dipanah.
Kemudian kata tersebut, secara istilah, diartikan kepada “setiap target yang ingin
dicapai”.

B. TUJUAN PENDIDIKANISLAM
1. Tujuan umum pendidikan Islam

Berdasarkan pandangan para ahli merumuskan tujuan pendidikan Islam,


yaitu “membentuk peserta didik menjadi insan yang saleh dan bertakwa kepada
Allah SWT. sebagaimana firman Allah:

         
       
  

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena itu


berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-
orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Quran) ini adalah penerangan bagi

25
seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa. (QS. Āli-‘Imrān (3): 137-138)
Ketakwaan dan kesalehan itu ditandai dengan kemapanan akidah dan
keadilan yang mewarnai segala aspek kehidupan seseorang; yaitu melalui
pikiran, perkataan, perbuatan, pergaulan, dan lain sebagainya. Untuk mencapai
tujuan ini, terdapat empat hal yang mesti diperkenalkan kepada peserta didik
melalui materi pelajaran yang diajarkan dalam setiap ilmu, yaitu sebagai berikut.
a. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia secara individu adalah
makhluk Allah yang mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini.
b. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia sebagai makhluk
sosial adalah anggota masyarakat dan mempunyai tanggung jawab dalam
sistem kemasyarakatan di mana ia berada.
c. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan
mengajak peserta didik memahami hikmah Tuhan menciptakannya.
d. Memperkenalkan Pencipta alam kepada para peserta didik dan
mendorong mereka beribadah kepada-Nya.

Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam sangat erat kaitannya dengan iman,
iman dibangun atas dasar ilmu pengetahuan, maka bertambahnya ilmu identik
dengan bertambahnya iman. Dalam Surah Āli-‘Imrān (3): 190-191 ditegaskan:

       


       
      
        
 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

26
Orang berakal (ūlū al-albāb) adalah orang yang dapat mengkombinasikan
antara zikir dan pikir, atau sebaliknya. Ketika ia berpikir, meneliti atau mengkaji
alam sekitar muncullah zikirnya dan ketika ia berzikir muncullah pikirnya.
Dengan demikian ilmu mesti melahirkan amal shaleh, al-Quran berpandangan
bahwa belum dikatakan seseorang itu berilmu jika belum melahirkan amal saleh.
Al-Quran menegaskan dalam ayat 9 Surah al-Zumah (39) yaitu:

        


        
        

(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.

Ayat ini menafikan kesamaan orang musyrik dengan orang-orang yang taat
kepada Allah; orang yang taat beribadah kepada Allah lebih beruntung dari
orang-orang musyrik. Ayat di atas menggambarkan pula efek atau dampak dari
kesalehan atau ketakwaan terhadap pribadi yang shaleh, takwa, dan ūlū al-albāb
tersebut, yaitu kebahagiaan di dunia dan balasan di akhirat yang tiada terkira.

2. Pendidikan dan Tujuan Penciptaan Manusia


Manusia sebagai subjek dan objek pendidikan merupakan makhluk Allah.
Penciptaan manusia mempunyai makna dan tujuan yang sangat dalam, yaitu
beribadah kepada-Nya. Allah berfirman dalam Surah a-Dhāriyāt (51) :
         
           
  
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan

27
aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah
Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
Secara harfiah ‘abada berarti wahhadah (mentauhidkan-Nya), (melayani-
Nya), khada’a (tunduk) dan atau ata’alah (menaati-Nya). Al-Isfihani
membedakan antara kata ‘ubudiyyah dengan ‘ibadah; yang pertama berarti izhar
al-tadhallul (menampakkan kehinaan diri).
Oleh karena itu, ada tiga kriteria yang mesti dipenuhi dalam ibadah, yaitu:
pertama kepatuhan mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang
dilarang-Nya, kedua, kepatuhan itu didasarkan atas kerendahan jiwa terhadap
Yang Dipatuhi, dan ketiga kepatuhan itu pula berangkat dari kemurnian tauhid.
Pendidikan berkaitan erat dengan tujuan penciptaan manusia. Sebagai suatu
lembaga yang berfungsi melakukan pembelajaran bagi peserta didik, ia
berkewajiban mengarahkan para siswa kepada tujuan penciptaan mereka.
3. Tujuan Pembelajaran
Terdapat beberapa target atau tujuan yang mesti dijadikan pertimbangan
dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikanm yaitu tujuan pendidikan
nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Tujuan
pendidikan nasional adalah menjadi target pertama antara semua lembaga
pendidikan dalam suatu negara baik lembaga pendidikan swasta maupun negeri.
Tujuan institusional merupakan tujuan lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan. Sedangkan tujuan kurikuler dan instruksional, selain
menggambarkan tujuan pendidikan nasional, harus pula mengaplikasikan tujuan
institusional.
4. Aplikasi Tujuan Pendidikan Islam
Ada dua model integral yang dapat dijadikan pilihan dalam merumuskan
tujuan pembelajaran. Pertama, integral materi, yaitu menggabungkan materi
pembelajaran, dalam penyajiannya, dengan pandangan al-Quran atau sunnah
mengenai isi materi tersebut.
Kedua, integral dalam perumusan tujuan, di mana siswa tidak hanya
diarahkan kepada penguasaan pengetahuan dan keterampilan saja tetapi juga
penanaman dan perkembangan iman dalam jiwa mereka melalui materi tersebut.

28
Secara umum ada dua aspek tujuan pendidikan Islam yang mesti
diaplikasikan dalam Satuan Acara Pembelajaran (SAP), yaitu pertama, aspek
keilmuwan sebagai tujuan sementara, di mana peserta didik menerima transfer
ilmu serta harus menguasainya, dan kedua, aspek pembentukan ketakwaan dan
keshalehan sebagai tujuan utama.

C. MATERI PENDIDIKAN
Perbincangkan kitab suci ini mengenai bidang ilmu pengetahuan tersebut
berorientasi kepada tujuan yang sama yaitu melahirkan peserta didik yang beriman,
shaleh, dan bertakwa kepada Allah SWT.
1. Kajian Keislaman
Kajian keislaman mencakup banyak bidang ilmu. Secara umum, ia dapat
dikategorikan kepada dua macam, yaitu ilmu-ilmu alat yang diperlukan dalam
memahami Islam dan ilmu-ilmu sebagai prinsip dan pedoman dalam menjalani
kehidupan ini. Bagian pertama meliputi ilmu-ilmu bahasa Arab----seperti
Nahwu, Sharaf, dan Balaghah----Ulum al-Quran, Ulum al-Hadits, Ushul Fiqh,
Manthiq, dan lain sebagainya. Bagian kedua meliputi Aqidah, Fiqh, Sejarah, dan
Akhlaq. Dalam ayat 36-37 Surah al-Nisā (4), yaitu sebagai berikut.
        
     
      
           
      
        
  
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan

29
diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir,
dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Materi pendidikan dalam ayat ini meliputi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Beriman kepada Allah
b. Aqidah tauhid
c. Akhlak mulia
2. Sains Sosial dan Eksakta
Allah berfirman dalam Surah al-Ra’d (13) ayat 2-3:
         
          
       
        
         
         

Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan
bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu
meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dan Dia-lah Tuhan yang
membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai
padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan,
Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Ayat ini membincangkan realitas alam semesta yang dapat disaksikan
manusia. Hal itu meliputi langit dibangun tanpa tiang, matahari dan bulan yang
beredar pada porosnya.
Maka tujuan utama pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan eksakta sama dengan
tujuan pembelajaran kajian-kajian keislaman; perbedaannya hanya terletak pada
tujuan kognitif dan psikomotor sedangkan tujuan afektifnya sama, sebagaimana

30
yang telah dibahas di atas. Ini karakteristik pembelajaran menurut perspektif al-
Quran.
Dalam Surah Fuṣṣilat (41) ayat 53-54 ditegaskan pula:
       
          
          
    
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? Ingatlah bahwa Sesungguhnya
mereka adalah dalam keraguan tentang Pertemuan dengan Tuhan mereka.
ingatlah bahwa Sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu.
Lebih tegas ayat ini menggambarkan fenomena yang menunjukkan kebesaran
Allah yang terdapat di ufuk (al-afāq) dan diri manusia.
Ayat di atas mendeskripsikan pula bahwa tidak ada bagian bumi dan langit
yang tidak mengisyaratkan kebesaran dan kekuasaan Allah. Berdasarkaan
penafsiran beberapa ayat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa ada tiga materi
pendidikan yang dapat mengantarkan para peserta didik kepada tujuan
pendidikan Islam, yaitu insan yang shaleh.

BAB 5

METODE, ALAT, DAN EVALUASI PENDIDIKAN

Metode merupakan cara yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan
materi pembelajaran kepada peserta didik. Dalam bahasa Arab metode itu disebut
dengan al-ṭarῑqah. Kata ini selain diartikan kepada metode, ia juga diartikan kepada
jalan. Dengan demikian, metode dapat pula diartikan kepada suatu jalan yang dapat
ditempuh dalam menyampaikan materi pendidikan.

31
Alat atau media berfungsi sebagai perantaea penyampaikan materi kepada peserta
didik. Sedangkan evaluasi berfungsi untuk mengukur sejauh mana atau sedalam apa
peserta didik telah menguasai materi pelajaran.

A. METODE MENGAJAR
1. Metode al-Ḥikmah, Maw’iẓah al-Ḥasanah, al-Mujādalah

Ketiga metode ini tergambar dalam surah al-Nahl (16) ayat 125, yaitu sebagai
berikut:

       


           
     

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ḥῑkmah diartikan kepada perkataan yang tegas dan benar yang dapat
membedakan antara yang hak dan yang batil. Ḥῑkmah juga bermakna ungkapan
dan argumen yang menarik jiwa peserta didik sehingga mereka terdorong untuk
menerima dan mengamalkan pesan-pesan yang terkandung dalam ungkapan
tersebut. Cara inilah yang ditempuh dan digunakan oleh Luqman al-Hakim
dalam mendidik anaknya. Ketika mnegajar anakanya agar ia bertaqwa.

Untuk menggunakan metode hikmah ini seorang guru dituntut dapat


menyusun kata-kata yang lebih menarik dan menyentuh jiwa, seperti ungkapan
yang digunakan oleh Luqman al-Hakim.

Maw’iẓah al-ḥasanah merupakan metode penyampaian materi yang lebih


menekankan pada danpak atau konsekuensi dari memahami dan mengamalkan
materi yang disampaikan itu. Guru perlu menyampaikan manfaat atau
keuntungan yang akan diterima siswa jika menguasai dan mengamalkan materi
yang disampaikan itu.

32
Metode mujadalah sama dengan mudhakarah (debat) atau diskusi. Dalam
tradisi pesantren metode ini sering digunakan, dimana seorang atau sekelompok
santri, bahkan bisa juga ustaz, menggunakan pendapat sebagai hasil
pengkajiannya. Kemudian santri yang lain menantang menolak pendapat itu
dengan alasan atau argumentasi yang mereka miliki. Penggunaan metode
mujadalah dalam pembelajaran mestilah berhati-hati tidak boleh melanggar
etika, menghujat, dan menghina atau merendahkan lawan berdebat. Al-Qur’an
menggambarkan agar ber Mujādalah dengan billati hiya ahsan (dengan baik).

2. Metode Amthāl
Secara harfiah mathal semakna dengan shabah yang berarti serupa, sama atau
seperti. Mathal juga berarti suatu ungkapan yang menyerupakan keadaan
sesuatu. Al-Qur’an sebagai kitab suci, dalam menyampaikan pesa-pesan ilahi,
menggunakan amthāl seperti yang telah digambarkan diatas. Hal itu, misalnya,
terdapat dalam Surah al-Naḥl (16) ayat 75-76 , yaitu:
          
          
          
         
          
         
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri
rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara
sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui. Dan Allah
membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat
berbuat sesuatupun dan Dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja
Dia disuruh oleh penanggungnya itu, Dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat
keadilan, dan Dia berada pula di atas jalan yang lurus?

33
3. Metode Cerita

Di antara ayat al-qur’an yang menggunakan cerita dalam mengajar manusia


misalnya, dapat di lihat dalam surah al-baqarah (2) ayat 67-73 :

        


          
           
          
         
          
        
          
         
          
        
         
        
     

dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah


menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang
yang jahil". mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami,
agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab:
"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang
tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu". mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi

34
betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-
orang yang memandangnya." mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu
untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi betina
itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan Sesungguhnya
Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa
berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk
mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya".
kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan
perintah itu dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu
saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang
selama ini kamu sembunyikan. lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu
dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan
kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-
tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti.

Materi pembelajaran yang terkandung dalam ayat ini adalah menyikapi


kebenaran yang di bawa nabi ( dalam hal ini nabi musa ) dan akidah mengenai
kekuasaan Allah. Ayat tersebut menceritakan kisah nabi musa dan ummatnya,
Bani Israil. Suatu ketika dimasa tersebut terjadi kasus pembunuhan seorang anak
orang kaya. Kisah di atas merupakan metode penyampaian materi akhlak dan
akidah tersebut. Sikap Bani Isra’il terhadap nabi musa sepatutnya jangan di tiru,
karena ia merupakann sikap atau perilaku tercela. manusia di tuntut agar apa saja
yang di perintahkan rasul, karena ia leih tahu. Dan melalui cerita ini pula,
peserta didik dapat memahami kekuasaan Allah di mana dia bisa berbuat apa
saja yang di kehendakinya walaupun bertentangan dengan perkiraan atau nalar
manusia.

Jadi materi pembelajaran mengenai sikap atau ahlak kepada nabi dan
kemahabesaran Allah di sampaikan al-qur’an dengan mengunakan tehnik cerita.

4. Memulai dengan Pembelajaran dengan Bertanya

35
Istifhām (bertanya) salah satu gaya bahasa al-qur’an. Banyak ayat dan surah
yang di mulai dengan pertanyaan. Kemudian setelah itu ia menjawab pertanyaan
tersebut. Jika di lihat dari aspek pembelajaran, di mana al-qur’an mengajarkan
manusia, istifham tidak hanya sekedar ushub yang menambah keindahan
ungkapan nya tetapi ia juga sebagai teknik yang ia gunakan dalam mengajar
manusia.

Ada 2 model pertanyaan yang di gunakan al-qur’an dalam menyampaikan


pesan-pean tuhan kepada manusia. Pertama, al-qur’an melalui dengan bertanya
mengunakan kalimat Tanya. kedua, al-qur’an menyampaikan pertanyaan orang
kemudian ia menjawabnya. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut.

a. Al-Qur’an Memulai dengan Mengunakan Kalimat Tanya (Ḥuruf


Istifhām)
Pembelajaran Allah terhadap manusia melalui al-Qur’an yang di mulai
dengan kalimat tanya antara lain dapat dilihat dalam surah al-Ma’un
(107)ayat 1-3:
       
       

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang


menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang
miskin.

Dalam Surah al-Ghāshiyah (88) ayat 1-16 digambarkan pula:

        


        
          
         
         
        

36
      
  

sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan? banyak


muka pada hari itu tunduk terhina,bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang sangat panas (neraka),diberi minum (dengan air)
dari sumber yang sangat panas. M ereka tiada memperoleh makanan
selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak
pula menghilangkan lapar. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
merasa senang karena usahanya, dalam syurga yang tinggi, tidak kamu
dengar di dalamnya Perkataan yang tidak berguna. Di dalamnya ada
mata air yang mengalir. Di dalamnya ada takhta-takhta yang
ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya), dan bantal-
bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang
terhampar.

Para guru, dalam menyampaikan materi pelajran kepada siswa, dapat


mencontohkan metode yang digunakan Al-Qur’an ini. Susunlah
pertanyaan seputar materi yang diajarkan, kemudian mulai
menyampaikan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Paling tidak ada dua
keunggulan metode ini; pertama, pertanyaan yang dilontarkan diawal
pembelajaran dapat memancing perhatian siswa. Al-Sabuni ketika
menafsirkan ayat 1 Surah Al-Ghashiyah diatas mengatakan; lisha’niha
( Pertanyaan dapat mendorong untuk mendengarkan kebaikan dan
memperingatkan serta mengagungkan keadaan-Nya ). Dengan
pertanyaan itu siswa akan termotifasi untuk mendengarkan dan antusian
mendengarkan pertanyaan guru berkenaan dengan jawaban pertanyaan
itu. Kedua, perhatian siswa akan fokus pada persoalan yang akan dibahas
dalam pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran mudah tercapai.
Maka untuk itu rumusan pertanyaan yang dilontarkan kepada siswa
mestilah disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.

b. Al-Qur’an Menyampaikan Pertanyaan Orang, Kemudian ia


Menjawabnya

37
Pada pembelajaran seperti ini dapat dilihat dalam surah Al-Anfal (8)
ayat 1 :

        


       
    

mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan


perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan
Rasul[593], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah
perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-
Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."

Ada tiga materi pelajaran yang terkandung dalam ayat itu :

1. Pembagian harta rampasan perang


2. Memperbaiki hubungan antar sesama orang mukmin
3. Ketaatan kepada Allah dan Rasul
Dalam rangka mengajar manusia, ayat 1 Surah Al-Anfal (8) ini memulai
pembelajarannya dengan menyampaikan suatu pertanyaan yang pernah
disampaikan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia membuka
pembelajaran dengan ungkapan “Ada orang yang bertanya kepada
Engkau tentang sistem pembagian harta rampasan perang”. Maka
jawabnnya adalah “Harta rampasan perang itu mestilah dibagi
berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul. Orang-orang makin dintuntut
agar bertakwa kepada Allah, dengan menuruti ketentuan Allah mngenai
pembagian harta rampasan tersebut”. Dan dengan menuruti ketentuan
Allah dan Rasul tersebut, maka hubungan antar sesama mukmin menjadi
baik.

5. Metode Tawṣiyah
Dalam al-Qur’an, kata waṣṣa dalam berbagai shignat dan tambahan huruf
terulang 32 kali. Di antaranya ada dinisbatkan kepada Allah ada pula yang tidak.

38
Nabi Ibrahim dan Ya’qub dalam mengajari anaknya menggunakan metode
tawṣiyah ini. Al-Qur’an menegaskan dalm Surah al-Baqarah (2) ayat 132-133 :
       
        
         
       
     
   
Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian
pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha
Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Metode tawiyah ini mirip dengan metode ceramah, tetapi dalam
penggunaanya mestilah bernuansa pesan dengan cara memanggil orang-orang
yang akan diberi pesan.
6. Metode Tawṣiyah
Metode ini adalah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa
ke suatu tempat atau objek yang bersejarah atau memiliki nilai pengetahuan
untuk mempelajari dan meneliti sesuatu. Diantara ayat yang berbicara tentang
karya wisata dapat dilihat dalam firman Allah Surah al-Ḥajj (22) ayat 45-46:
        
        
        
          
 

39
Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang
penduduknya dalam Keadaan zalim, Maka (tembok-tembok) kota itu roboh
menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan
dan istana yang tinggi, Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.

B. METODE MENGAJAR
1. Langit, Bumi dan Gunung sebgaai Media
a. Surah Luqmān (31) Ayat 10-11
       
          
       
        
         
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala
macam jenis binatang. dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu
Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.
Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang
telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. sebenarnya
orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.

b. Surah al-Naml (27): Ayat 60-61


       
         
         

40
       
      
          
atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang
menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air
itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali
tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah disamping Allah
ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-
orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah
menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-
sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk
(mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut?
Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya)
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.

2. Peristiwa Malam, Siang, Matahari, dan Bulan sebagai Media


Surah Fuṣṣilat (41) Ayat 37-39
       
       
       
       
        
       
        
 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari
dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah
yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah. Jika mereka
menyombongkan diri, Maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu
bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari, sedang mereka tidak jemu-

41
jemu. Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering
dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia
bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah
dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.

Secara tidak langsung, ayat-ayat diatas juga mengajarkan atau


mendorong para tenaga pendidik agar dalam melaksanakan pembelajaran
menggunakan media, sesuai dengan materi yang diajarkan. Banyak hal yang
dapat digunakan sebagai media dalam pembelajaran. Lingkungan hidup
yang beraneka ragam dapat dijadikan media

C. EVALUASI PENDIDIKAN
1. Terminologi al-Qur’an tentang Evaluasi Pendidikan

Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam pembelajaran.


Jika pembelajaran diartikan kepada aktivitas pencarian dan transfer ilmu
pengetahuan dan informasi yang bertujuan agar terjadi perubahan pada diri
siswa dalam bentuk penambahan ilmu pengetahuan dan perubahan perilaku,
maka evaluasi merupakan komponen yang akan mengukur penambahan dan
perubahan perilaku tersebut.

2. Pentingnya Evaluasi
Al-Qur’an memandang, bahwa evaluasi sangat penting dalam pendidikan.
Allah berfirman:
        
         
    
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah

42
mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-
orang yang dusta.
Ada beberapa komponen yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
evaluasi terhadap siswa. Antara lain, materi dan tujuan pembelajaran serta
peserta didik yang akan mengikuti evaluasi.
3. Bentuk Evaluasi
Terdapat dua bentuk evaluasi Allah terhadap manusia. Pertama, evaluasi
yang sangat tidak menyenangkan para peserta didik, yaitu manusia, dan kedua
evaluasi yang amat menyenangkan mereka

BAB 6

PENDIDIKAN DAN KELUARGA

A. KEWAJIBAN MENDIDIK ANGGOTA KELUARGA


Dalam Surah al-Tahrim (66) ayat 5-6, Allah berfirman :
        
     
      
      
         
 
jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya
dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat,
yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang
perawan. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

43
Pendidikan keluarga itu dimulai dari istri dan suami, mereka mesti saling
menghormati dan melaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Selain itu, mereka
juga dituntut agar selalu berbenah diri untuk menjadi insane yang shaleh dan bertakwa
kepada Allah. Kondisi ini merupakan tonggak utama dalam pendidikan keluarga.
Kebiasan orang tua dalam keharmonisan dan ketaatan kepada Allah dapat
mempengaruhi anak-anak sebagai peserta didik dalam keluarga tersebut.

Secara tegas ayat 6 Surah al-Tahrim di atas mengingatkan semua orang-orang


mukmin agar mendidik diri dan keluarganya ke jalan yang benar agar terhindar dari
neraka. Ayat tersebut mengandung perintah menjaga, yaitu “qu” (jagalah). Perintah
menjaga diri dan keluarga dari neraka berkonotasi terhadap perintah mendidik atau
membimbing.

Di antara usaha pendidikan yang dapat dilakukan orang tua adalah mengajak
semua anggota keluarga bertobat kepada Allah, seperti yang digambar dalam ayat 8
surah yang sama, yaitu sebagai berikut:

        


        
        
       
          
 

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang
bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami
cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu." (QS. al-Tahrim (66): 8)

44
Jadi, orangtua berkewajiban membimbing dan mendidik anaknya, serta
mengajak mereka selalu memohon ampunan dari Allah, menyesali segala perbuatan
salah yang pernah dikerjakan.

Perintah mendidik keluarga juga tergambar dalam Surah Taha (20) ayat 132,
yaitu:

         


     

dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu


dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi
rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

Lebih tegas ayat ini memerintahkan setiap orangtua, terutama ayah sebagai
kepala keluarga, memerintahkan anggota keluarganya mendirikan shalat. Dalam suatu
riwayat ditegaskan, bahwa Nabi bersabda yang maksudnya; “Suruhlah anakmu
mengerjakan shalat jika mereka berumur tujuh tahun, dan apabila anak itu sudah berusia
sepuluh tahun tidak mau juga mengerjakan shalat maka berikanlah hukuman
keatasnya”.

B. PROSES PENDIDIKAN KELUARGA

Proses pendidikan keluarga pada hakikatnya dimulai semenjak pemilihan atau


penentuan jodoh. Nabi Muhammad menitikberatkan agar memilih jodoh yang kuat iman
dan kesalehannya. Sebab, suami dan istri atau ayah dan ibu mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pendidikan keluarga. Al-Qur’an memperbincangkan sosok
keluarga yang perlu diteladani oleh semua keluarga muslim, yaitu terdapat dalam Surah
Ali ‘Imran (3) ayat 33-37:

         


         
          
         
        

45
        
       
       
        
            
         

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran
melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang
sebagiannya (turunan) dari yang lain. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku
menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh
dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Maka
tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya
aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya
aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-
anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya
Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Secara umum, ayat di atas mengambarkan kemuliaan Adam dan Nuh, dimana
Allah telah mengangkat mereka berdua menjadi nabi dan sebagai peletak pertama
risalah ilahiyah berupa akidah tauhid, terutama Nabi Adam, di muka bumi. Selain itu,
ayat ini juga mengambarkan kemuliaan keluarga Nabi Ibrahim dan keluarga Imran.

46
Mereka ini hamba-hamba pilihan-Nya, yang tidak hanya karena mereka sebagai nabi,
tetapi juga karena keberhasilan mendidik keluarga.

Keberhasilan mereka mendidik keluarganya dapat dilihat pada keturunannya


yang taat kepada Allah. Nabi Ibrahim, misalnya, di anugerahi dua orang anak, yaitu
Ismail dan Ishaq di mana keduanya menjadi nabi. Ishaq dianugerahi pula anak, yaitu
Nabi Ya’qub, dan dari Nabi Ya’qub ini lahir pula banyak nabi di kalangan Bani Isra’il
seperti Nabi Yusuf, Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain
sebagainya. Sedangkan garis keturunan Nabi Isma’il muncul pulak nabi terakhir, yaitu
Nabi Muhammad.

Keberhasilan para tokoh di atas dalam mendidik keluarganya tidak lepas dari
usaha mereka secara kontinu atau terus-menerus mendidik anak-anaknya. Sampai
menjelang wafat, mereka masih memberikan bimbingan terhadap anak-anaknya, seperti
yang tergambar dalam ayat 132-133 Surah al-Baqarah (2):

        


         
         
       
       

dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Pendidikan anak dalam keluarga tidak hanya dilakukan ketika mereka sudah
dewasa, tetapi juga ketika kecil bahkan dalam kandungan seperti yang dilakukan oleh
Hanah istri Imran yang digambarkan dalam ayat 35 dan 36 Surah Ali ‘Imran di atas.

47
Ternyata istri Imran melakukan komunikassi terus-menerus dengan Allah, mulai dari
saat mengandung sampai anaknya lahir.

Berdasarkan ayat diatas, ada tiga tahap yang amat penting diperhatikan orang tua
dalam melakukan pendidikan terhadap anak-anaknya. Pertama, ketika seorang ibu
sedang mengandung. Ibu mestilah meningkatkan intensitas dan kualitas komunikasinya
dengan Allah. Kedua, setelah lahir ia mesti dikomunikasikan juga kepada Allah.

C. MATERI PENDIDIKAN KELUARGA

Adapun materi pendidikan yang mesti diberikan kepada anak dalam keluarga
adalah seperti yang tergambar dalam Surah Luqman (31) ayat 12-19:

         


          
          
       
        
        
           
           
       
          
           
       
         
           
          
         

48
12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka
Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak
bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.

16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu


perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus[1181] lagi Maha mengetahui.

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).

18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

19. dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.


Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

49
Ayat ini menjelaskan materi pembelajaran Luqman terhadap anaknya. Materi
tersebut meliputi kajian-kajian keislaman terutama hal-hal yang berkaitan dengan
fardhu ‘ain, yaitu sebagai berikut:

Pertama, materi yang berkaitan dengan akidah tauhid, seperti yang tergambar
dalam ayat 12, 13, dan 16.

Kedua, materi pembelajaran tentang “menghormat kedua orangtua”, seperti yang


tergambar dalam ayat 14 dan 15.

Ketiga, materi berkaitan dengan ibadah kepada Allah terutama shalat seperti
terlihat dalam ayat 17.

Keempat, materi pembelajaran yang berkaitan dengan akhlak mulia, seperti yang
tergambar dalam ayat 18 dan 19.

BAB 7

KOMUNIKASI DALAM PENDIDIKAN

Secara terminology, Everest M. Rogers mendefinisikan komunikasi itu sebagai


suatu proses yang didalamnya terdapat gagasan yang dikirim dari sumber kepada
penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya.

Al-Qur’an mengajarkan manusia agar melakukan komunikasi dengan baik,


supaya tercipta hubungan yang harmonis antara penyampai pesan dengan penerima
pesan, dan pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi tersebut dapat dipahami.

A. TERMINOLOGI KOMUNIKASI DALAM AL-QUR’AN

Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur’an dalam perbincangannya tentang


komunikasi, antara lain al-qawl. Istilah al-qawl berasal dari qala. Kata tersebut dalam
berbagai sighat terulang 1818 kali.

Kata al-qawl dalam al-Qur’an selalu dinisbatkan kepada beberapa kata sifat,
yaitu ma’ruf, sadid, layyin, thaqil, baligh, ‘azim, karim, dan maysur sehingga menjadi
qawlan ma’rufa, qawlan sadida, qawlan layyina, qawlan thaqila, qawlan baligha,
qawlan ‘azima, qawlan karima, dan qawlan maysura.

50
1. Qawlun Ma’rufun

Kata ma’ruf merupakan bentuk isim maf’um dari kata ‘arafa, yang berarti
mengenal atau mengetahui. Maka kata ma’ruf bermakna yang dikenal atau yang
diketahui. Ibn Manzur mengemukakan, “Al-ma’ruf dalam hadist adalah suatu istilah
yang mencakupi sesuatu yang telah dikenal, yaitu meliputi ketaatan dan kedekatan
kepada Allah, berbuat ihsan kepada manusia, serta segala yang disunnahkan oleh
syara”. Maka perkataan ma’ruf adalah perkataan yang biasa dikenali oleh lawan bicara,
yang biasa dikenali itu sesuai dengan akal dan syara’

2. Qawlan Sadida

Kata qawlun sadid dalam ayat 70 surah al-Ahzab (33) merupakan gambaran
model komunikasi yang diikuti orang-orang mukmin. Para mufassir mengartikan kata
qawlun sadid dalam ayat tersebut kepada perkataan yang benar, dimana perkataan yang
benar jika dikomunikasikan dengan baik kepada lawan bicara, maka dapat
menghalanginya dari berbuat sesuatu yang tidak baik.

3. Qawlan Layyina

Qawlun Layyin secara harfiah berarti perkataan yang lunak lembut. Dalam al-
Qur’an, kata qawlun layyin hanya diungkapkan satu kali yaitu terdapat dalam Surah
Taha (20) ayat 44.

Perkataan yang lunak lembut, tidak kasar,merupakan model komunikasi yang


diajarkan al-Qur’an kepada manusia, walaupun terhadap musuh. Sepantasnya seorang
pendidik menggunakan model komunikasi seperti ini dalam proses pembelajaran, sebab
hal itu dapat menarik perhatian siswa terhadap materi yang disampaikan guru.

4. Qawlun Thaqil

Qawlun thaqil secara harfiah berarti perkataan yang berat. Menurut al-Hasan
dan Qatadah, thaqil (berat) dalam ayat itu bermakna berat mengamalkan pesan-pesan
yang terdapat dalam al-Qur’an. Mufassir lainnya berpendapat pula, yang dimaksud
dengan kata thaqil dalam hal tersebut adalah bahwa Nabi berat menerimanya. Artinya,
Nabi sulit menerimanya karena ia merupakan komunikasi dalam dua dimensi yang

51
berbeda, yaitu antara jibril sebagai makhluk immaterial dan Rasul, yang secara fisik
sebagai makhluk material.

5. Qawlan Baligha

Kata baligha berarti menyampaikan atau sampai kepada yang dimaksud.

Kata qawlan baligha dalam al-Qur’an hanya diungkapkan satu kali saja, yaitu
dalam Surah al-Nisa’ (4) ayat 63 dalam perbincangannya mengenai perkataan yang
harus Nabi gunakan dalam berkomunikasi dengan orang-orang munafiq. Para mufassir
memaknai qaulun baligha dalam ayat itu sebagai perkataan yang menyentuh jiwa dapat
menarik perhatian dan menerima pesan-pesan yang terdapat didalamnya..

6. Qawlan ‘Azima

Kata ‘azima secara harfiah berarti besar dan agung. Maka ungkapan qawlan
‘azima berarti perkataan yang besar. Dalam al-Qur’an istilah tersebut terungkap satu
kali, yaitu terddapat dalam ayat 40 Surah al-Isra’ (17). Para mufassir mengartikannya
kepada “perkataan yang besar dosanya”. Ayat tersebut menggambarkan perkataan orang
musyrik terhadap Allah, dimana mereka menggambarkan bahwa Allah memiliki anak
laki-laki dan perempuan. Anak laki-lakinya manusia dan anak perempuannya malaikat.
Perkataan seperti ini merupakan komunikassi yang tidak baik, ia mengandung dosa. Al-
Qur’an melarang orang-orang mukmin berkomunikasi dengan ungkapan yang
mengandung dosa, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama.

7. Qawlan Karima

Secara harfiah, kata karima berasal dari kata karama yang berarti mulia. Maka
qawlan karima berarti perkataan yang mulia. Dalam al-Qur’an, kata qawlan karima
diungkapkan satu kali, yang terdapat dalam ayat 23 Surah al-Isra (17).

8. Qawlan Maysura
Kata maysura berasal dari kata yasara, yang berarti mudah. Dan maysura
bermakna dimudahkan, maka qawlan maysura dapat diartikan perkataan yang mudah
dipahami oleh lawan bicara atau audien. Dalam al-Qur’an, istilah qawlan maysura
terungkap satu kali, yaitu terdapat dalam Surah al-Isra’ (17) ayat 28.

52
B. BENTUK-BENTUK KOMUNIKASI AL-QUR’AN DALAM
MENYAMPAIKAN PESAN-PESAN TUHAN

Ada dua bentuk komunikasi yang digunakan al-Qur’an dalam menyampaikan


pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Pertama, komunikasi lisan atau komunikasi
verbal, yaitu al-Qur’an menyampaikan pessan-pesan Allah itu dengan ungkapan-
ungkapan yang indah menarik jiwa dan perhatian para pembaca atau pendengar
mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur’an melalui bacaan, sehingga terjadilah
komunikasi antara al-Qur’an dengan pembaca, atau antara pembaca al-Qur’an dengar
pendengar. Kedua, komunikasi dalam bentuk perbuatan, di mana al-Qur’an
menceritakan perilaku atau perbuatan orang-orang terdahulu, baik perbuatan tercela
maupun perbuatan terpuji.

1. Komunikasi Lisan
a. Analogi

Analogi ialah mangaitkan atau menghubungkan pesan-pesan yang


disampaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu terjadi pada masyarakat. Analogi
juga bisa diartikan yaitu menghubungkan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sesuatu
yang bersifat konkret, sehingga sesuatu yang abstrak dapat dipahami”.

b. Diskusi

Dalam menyampaikan pesan-pesan Allah, al-Qur’an selalu mengajak


manusia berdiskusi dengan mengedepankan penalaran. Para pembaca al-Qur’an akan
selalu terpancing nalarnya untuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
al-Qur’an, sehingga terjadi diskusi antara nalar pembaca dengan teks al-Qur’an yang
dibacanya.

c. Penguatan dan Pengulangan

53
Komunikasi penguatan disampaikan dengan cara menggunakan huruf-huruf
taukid dan bahkan sumpah, sehingga lawan bicara memahami betapa pentingnya pesan
yang terkandung dalam ungkapan itu.

Komunikasi al-Qur’an dengan manusia juga dalam bentuk pengulangan-


pengulangan. Bahkan pengulangan tidak hanya terjadi dalam satu kitab atau kitab yang
sama, tetapi pengulangan juga terjadi dalam setiap kitab yang Allah turunkan kepada
para nabi-Nya.

2. Komunikasi Perbuatan

Al-Qur’an mengajarkan kepada umat ini agar menyampaikan pesan tidak hanya dengan
komunikasi verbal atau lisan saja, tetapi mestinya disertai dengan perbuatan dan
tampilan. Banyak terdapat kecaman dalam al-Qur’an terhadap orang yang hanya
menyampaikan pesan secara verbal kepada manusia, tanpa diikuti dengan perbuatan.

C. BERBICARA SESUAI DENGAN SISWA

Pendidik sepantasnya membangun komunikasi yang baik dengan siswanya.


Sebab, kadang-kadang komunikasi juga dapat mempengaruhi hasil belajar dan
pembelajaran.

Ada dua bentuk komunikasi verbal yang digunakan dalam ayat ini, yaitu
penggunaan kalimat tanya dan menganalogikan keimanan dan jihad fi sabilillah dengan
perdagangan yang amat menguntungkan, di mana ia dapat menghindarkan manusia dari
kesengsaraan. Model komunikasi verbal seperti yang termuat dalam Surah al-Baqarah
(2) ayat 266:

         
        
       
       
 

54
Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan
anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu
segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia
mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang
mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kamu supaya kamu memikirkannya.

Rasullullah dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya menggunakan


ungkapan yang sesuai dengan tingkat pemahaman dan kognitif para sahabatnya. Ia
dalam mengajar para sahabatnya menggunakan gaya bahasa yang menarik, yaitu
ungkapan yang terbaik, utama, dan lebih mudah dipahami sehingga masuk ke dalam
jiwa dan tetap dalam pikiran, serta lebih banyak membantu pikiran dalam
menejalaskannya.

55

Anda mungkin juga menyukai