BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk itu, maka diutuslah
Rasulullah SAW untuk memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang
mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu
yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa
ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dengan pendidikan yang baik, tentu akhlak manusia pun juga akan lebih baik.
Tapi kenyataan dalam hidup ini, banyak orang yang menggunakan akal dan
kepintaraannya untuk maksiat. Banyak orang yang pintar dan berpendidikan justru
akhlaknya lebih buruk dibanding dengan orang yang tak pernah sekolah. Hal itu terjadi
karena ketidakseimbangannya ilmu dunia dan akhirat. Ilmu pengetahuan dunia rasanya
kurang kalau belum dilengkapi dengan ilmu agama atau akhirat. Oleh karena itu, kita
sebagai umat Islam diwajibkan untuk menuntuk ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu
akhirat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu?
2. Apa yang dimaksud dengan menuntut ilmu ?
3. Mengapa manusia wajib menuntut ilmu ?
4. Apakah keutamaan orang yang berilmu ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ilmu
2. Untuk mengetahui pengertian menuntut ilmu
3. Untuk mengetahui kewajiban menuntut ilmu
4. Untuk mengetahui keutamaan orang yang berilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ilmu
Ilmu berasal dari kata علما- يعلم-علم yang artinya mengetahui, lawan dari
kata جهلyang artinya bodoh.
Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris, Science, yang berarti
pengetahuan. Kata science itu sendiri berasal dari bahasa Yunani Scientia yang berarti
pengetahuan. Namun pengertian yang umum digunakan ilmu pengetahuan adalah
himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat
diterima oleh rasio.
Imam Raghib al- Ashfahani dalm kitabnya, Mufradat Al –Qur’an, berkata, “ ilmu
adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ia terbagi dua: pertama, mengetahi
inti sesuatu itu (oleh ahli logika dinamakan ahli tashawwur). Kedua, menghukum adanya
sesuatu pada sesuatu yang ada (oleh ahli ligika dinamakan tashdiq, maksudnya
mengetahui hubungan sesuatu dengan sesuatu).”
Az-Zubaidi berkata dalam kamus Tajul-‘Arus, “Mayoritas ahli membedakan masing-
masing term itu. Bagi mereka ilmu adalah yamg paling tinggi karena ilmu itulah yang
mereka perkenankan untuk dinisbatkan kepada allah swt. Sementara, mereka tidak
mengataknan: ‘Allah arif’ atau ‘Allah syair’. Perbedaan-perbedaaan tersebut disebut
dalahm karangan-karangan ahli basaha.
Al Manawi dalam kitab At-taufiq berkata , “ ilmu adalah keyakinan kuat yang
tetap sesuai dengan realita. Bisa juga bersifat yang membuat perbedaan tanpa kritik.
Atau, ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam akal.”
Artinya belajarlah akan suatu ilmu dan lalu ajarkanlah (ilmu tersebut) kepada
manusia. Pelajarilah ilmu faroidh (ilmu waris) dan lalu ajarkan kepada manusia.
Pelajarilah al-qur’an dan lalu ajarkanlah kepadda manusia.
D. Keutamaan ilmu
Selain Al-Qur’an banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan ilmu dan
kedudukan ulama, baik dimata Allah maupun dimata manusia, di dunia maupun di
akhirat. Ulama di hargai demikian tingginya tak tertandingi oleh siapapun, dan tak
mungkin dapat dikejar, kecuali melalui ilmu.
Berikut beberapa keutamaan ilmu yang disebutkan didalam Al-qur’an dan As-
Sunnah:
1. kelebihan ilmu dibanding ibadah
Salah satu fadhilah ilmu dari ibadah adalah bahwa kebanyakan manfaat ibadah
terbatas pada pelakunya. Orang yang melakukan salat atauberpuasa, haji, zikir dan ibadah
yang lai, akan mendapat kebaikan-kebaikan amal perbuatannya dan peningkatan
derajatnya. Tetapi, masyarakat lain tidak akan mndapat ganjaran mereka sedikitpun
secara langsung. Berbeda dengan ilmu; ia bermanfaat jauh melampui si pilaku itu sendiri,
sampai pada orang yang mendengarnya, atau membacanya. Ilmu tidak mengenal ikatan,
tidak pula mengakui adanya dinding dan jurang pemisah. Lebih-lebih pada zaman kita
sekarang, ketika ilmu tersebar luas melalui radio dan televisi yang dapat ditangkap dalam
beberapa detik dan bahkan dalam seketika itu juga para pendengar dan para pemirsa yang
ada diberbagai tempat.
"Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali
dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih
yang mendo'akannya." (HR. Muslim no.1631)
Betapa besarnya kebaikan yang akan didapatkan oleh orang yang berilmu berupa
pahala dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Dan pahala tadi akan terus mengalir
kepadanya tanpa terputus selama ilmunya disampaikan oleh murid-muridnya dari
generasi ke generasi berikutnya, dan selama kitab-kitabnya dan tulisan-tulisannya
dimanfaatkan oleh para hamba di berbagai negeri, dan seperti inilah pahala dan ganjaran
orang yang berilmu akan tetap sampai kepadanya setelah kematiannya dengan sebab ilmu
yang telah dia tinggalkan untuk manusia, di mana mereka mengambil manfaat terhadap
ilmunya.
3. Ilmu merupakan tanda kebaikan seorang hamba
Ketika seorang hamba diberi kemudahan untuk memahami dan mempelajari ilmu
syar’i, itu menunjukkan bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi hamba tersebut, dan
membimbingnya menuju kepada hal-hal yang diridhai-Nya.
Kehidupannya menjadi berarti, masa depannya cemerlang, dan kenikmatan yang tak
pernah dirasakan di dunia pun akan diraihnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda:
“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Ia akan
difahamkan tentang agamanya.”
(Muttafaq Alaihi dari Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu anhuma)
4. Orang yang berilmu akan ditinggian derajatnya
Sesungguhnya allah akan meningkatkan derajat orang-orang yang mau menuntut
ilmu sebagaimana firmannya:
Artinya :Hai orang orang yang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “
Berlapang lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan berdirilah kamu maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” ( Q.S Al-Mujaadalah:11)
Ditinggikannya derajat dengan beberapa derajat, ini menunjukkan atas besarnya
keutamaan, dan ketinggian di sini mencakup ketinggian maknawiyyah di dunia dengan
tingginya kedudukan dan bagusnya suara (artinya dibicarakan orang dengan kebaikan)
dan mencakup pula ketinggian hissiyyah (yang dirasakan oleh tubuh dan panca indera) di
akhirat dengan tingginya kedudukan di jannah. (Fathul Baarii 1/141)
Allah pun akan meninggikan derajat orang orang yang berilmu sebagaimana diri-Nya
memuliakan diri-Nya dan mengagungkan kekuasaan-Nya, lalu setelahnya Dia
memuliakan malaikat dan kemudian memuliakan orang orang yang berilmu, sebagaimana
firman-Nya:
Artinya :“ Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan(yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” Q.S Ali Imran:18
5. menuntut ilmu merupakan ibadah dan akan dipermudah jalan menuju syurga
Menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan merupakan Ibadah yang paling agung dan
paling utama, sehingga Allah menjadikannya sebagai bagian dari jihad fisabilillah,
sebagaimana firmanNya dalam surat At Taubah 122
Artinya :tidak sepatutnya bagi mu’min itu pergi semuanya (medan perang),
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk member peringatan pada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya
Rosulullah bersabda
Artinya: barang siapa menempuh jalan demi mengharapkan suatu ilmu, maka allah
akan mempermudah jalan baginya menuju syurga. Sesungguhnya malaikat akan
meletakkan sayap-sayapnya karena keridhaannya akan pencari ilmu. Sesungguuhnya
semua yang ada di langit dan di bumi dan bahkan lumba-lumba di lautan sekalipun, akan
selaly memintakan ampunan bagi orang yang berilmu
6. ilmu adalah kehidupan dan cahaya
Dalam banyak ayat, Al qur’an menganggap ilmu sebagai kehidupan dan cahaya,
sedangkan kebodohan merupakan kematian dan kegelapa. Seperti diketahui semua
bentuk kejahatan disebabkan oleh ketiadaan kehidupan dan cahaya,dan semua kebaikan
disebabkan oleh cahaya dan kehidupan.
Syarat-syarat menuntut ilmu
Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau
menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu itu ada 6 yaitu:
1. Cerdas (Dzakaun)
Kecerdasan merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi oleh thalibul ilmi. Imam
Ghazali pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah orang yang mengetahui
bahwa ia tidak tahu akan sesuatu dan karenanya dia mau belajar.
Maksud cerdas disini bukanlah tingkatan kepintaran, melainkan tidak gila. Orang tersebut
haruslah waras, dapat membedakan mana angka satu dan dua, mana hitam dan putih,
mana baju dan celana.
2. Rakus (hirsun)
Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)
menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap
apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.
“Tidak cukup teman belajar di dalam negeri atau dalam satu negeri saja, tapi pergilah
belajar di luar negeri, di sana banyak teman-teman baru pengganti teman sejawat lama,
jangan takut sengsara, jangan takut menderita, kenikmatan hidup dapat dirasakan
sesudah menderita.” (diambil dari kitab Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kiyai
Muhammad Nawawi Tanara Banten yang ditulis oleh H. Rofiuddin. Hal. 4).
3. Sabar
Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam
gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semua itu,
dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-iman”.
Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada
perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan menyerahkan diri
kepada Allah Swt, akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang
aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo (menerima) apa adanya tanpa
usaha untuk memperbaiki keadaan.
4. Modal/bekal
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim,
dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”.
Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu.
Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada. Rasul menjanjikan
kepada para penuntut ilmu,
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”
Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan (biaya)
pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain
selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-
Yaqinu Lâ Yuzâlu bi as-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-
raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena
biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut
ilmu.
5. Petunjuk guru
Banyak orang yang tersesat karena belajar tanpa guru, seoarng tholibul ilmi hendaklah
mempunyai seorang guru sebagai petunjuk, walaupun ada yang mengatakan bahwa buku
adalah guru yang besar, tapi buku tidak bisa mituturi (memberi nasihat)
6. Karena ilmu sangat luas dan tidak memiliki akhir maka sudah barang tentu
membutuhkan waktu yang sangat lama. Pepatah Arab mengatakan :”Tuntutlah ilmu dari
buaian sampai ke liang lahat” seorang pelajar harus mengulang-ulang pelajaran yang
telah didapat, jadi dalam mencari ilmu tidaklah cukup dalam waktu yang singkat.Seperti
contoh seorang untuk menjadi Doktor harus melalui SD, SMP, SMA, hingga perguruan
tinggi, dan itu bukanlah waktu yang singkat.
Artinya : dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami
beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah pada orang-orang yang memiliki
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang
abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmusyar’i. Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa salam bersabda :
E. Kandungan Hadits
1. Hadits tentang hukum menuntut ilmu
Hadits tentang hukum menuntut ilmu merupakan penjelasan tentang hukum
mencari ilmu bagi setiap orang Islam laki laki maupun perempuan, yang telah
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan lain lain. Akan tetapi hadits tersebut diberi
tanda lemah oleh imam Syuyuti.
Adapun hukum menuntut ilmu menurut hadits tersebut adalah wajib. Karena
melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak
akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan dalam kitab taklimul
muta’allim dijelaskan bahwa yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara
makhluk – makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu.[3]
Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadits, maka terdapatlah
beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan, untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh
dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan
segala ilmu, baik dengan jalan menanya, melihat atau mendengar. Perintah kewajiban
menuntut ilmu terdapat dalam hadits Nabi Muhammad saw.
Dan janganlah memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena
orang yang enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan
mereka akan menertawakannya.[4]
Dalam hadits lain juga telah disebutkan bahwa :
) (رواه مسلم0اطلب العلم من المحد الى اللهد
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat” (H. R. Muslim)
b. Cinta kepada keluarga Nabi, karena barang siapa cinta kepada seseorang maka ia akan
cinta kepada apa yang dicintai oleh seseorang tersebut dan keturunanya. Sesungguhnya
keluarga Nabi adalah lebih berhak mendapatkan cinta, sebagaimana Allah berfirman
dalam surat Al Ahzab ayat 33 :
و يطهركم تطهيرا البيت انما يريد هللا ليذهب عنكم الرجس اهل
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait,
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan hadits – hadits diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi setiap muslim dan jangan memberikan ilmu
agama kepada orang yang enggan menerima ilmu
2. Ilmu akan musnah jika sudah tidak ada lagi para ulama sehingga banyak para pemimpin
yang memberi fatwa tanpa menggunakan ilmu pengetahuan, sehingga mereka saling
menyesatkan satu sama lain
3. Bahwa dengan ilmu manusia akan mendapatkan kebahagiaan didunia maupun diakherat.
Orang yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu sama dengan orang yang sedang
menempuh perjalanan menuju surga, Hal ini merupakan kemuliaan yang diberikan Allah
kepada orang yang mencari ilmu.
4. Ilmu mempunyai peranan sangat penting dalam dunia pendidikan, yang mana pendidikan
adalah Universal, ada keseimbangan antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat
jasmani dan rohani. Dengan pendidikan yang benar dan akhlak yang kuat, maka akan
tumbuh generasi penerus bangsa yang beradab dan bermartabat.
B. Penutup
Kita sebagai golongan terpelajar jangan hanya menjadikan kitab- kitab hadits
sebagai buku hiasan saja atau buku pelengkap referensi, tetapi hendaklah kita baca,
maknai, dan ditafsiri dengan baikdan selanjutnya di amalkan dengan segenap
kemampuan.
Dan kiranya makalah kami ini sangat jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan demi meningkatkan kesempurnaan makalah yang kami
tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh :
Kelompok 3
Arfiani :10536 4622 13
Nurjannah :10536 4623 13
Rasnah :10536 4624 13
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah AIK IV ini dengan tepat waktu. Dalam menulis makalah ini, tidak
sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai
pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini walaupun dengan banyak kekurangan. Terima kasih yang sebesar-
besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Tasming Tangngareng, M.Ag. selaku dosen
pembimbing mata kuliah AIK IV yang telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan
makalah ini. Terimah kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada berbagai pihak
yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan 18
B. Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai
kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan
mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang
lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih
baik. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya
dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat dimuliakan
oleh Allah SWT dan akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
menjadi agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam
kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya,
mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai
kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan
mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan
disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw sebagai landasan utama
perintah untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana untuk mendapatkannya, disertai
bagaimana nikmatnya memiliki ilmu, kemuliaannya, dan urgensinya dalam mengenal ke-Maha
Agung-an Sang Khalik dan mengetahui rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat
ilmiah yang tetap. Sebagaimana firman-Nya :“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (baca tulis). Dia
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman : “…Katakanlah : “ Adakah sama
orang-orang yang mengetahui (ilmu agama Islam) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
pelajaran”. (Q.S. Az Zumar [39]: 9).
Para mufasir menyimpulkan firman Allah di atas, bahwa : 1). Tidaklah sama antara
hamba Allah yang memahami ilmu agama Allah, yaitu yang menyadari dirinya, memahami
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mentaati segala perintah dan larangan-Nya, dengan orang-
orang yang mendustakan nikmat-nikmat Allah, yang tidak mau mempelajari ilmu agama Allah;
2). Hanya orang-orang yang berakal sehatlah yang dapat mengambil hikmah atau pelajaran dari
Terkait hal tersebut, Rasulullah saw menandaskan bahwa menuntut, memahami dan
mendalami ilmu agama Islam itu, merupakan kewajiban utama setiap muslim. Sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia mendengar Rasulullah Saw telah bersabda : “siapa
yang dikehendaki menjadi orang baik oleh Allah, Allah akan memberikan kepahaman kepadanya
dalam agama Islam”. (H.R. Bukhari, Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat seorang
muslim, baik dan benar dalam beribadah kepada Allah SWT, jauh dari Bid’ah atau hal-hal lain
yang membatalkan ibadah kita. Serta mampu membentengi diri dan keluarga dari aqidah
berbahaya.
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1). Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap muslim tentang Ilmu Agama
Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya lurus dan sesuai dengan yang
disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang
sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan Allah”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga
yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu wajib bagi setiap
muslim”. (H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini, adalah mencari ilmu agama Islam,
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan mempelajari,
menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-ilmu yang dibutuhkan umat
Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum, kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika
sebagian dari mereka ada yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.
Sedangkan jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya bagi orang-
orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai
keuntungan dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang
dengannya Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula memberi
petunjuk dari kesesatan dan kebodohan. Dengan ilmu terungkaplah seluruh keraguan, khurafat
dan kerancuan. (Q.S. Al Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S. Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita hingga akhir
zaman, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadis) Sahih, tidak
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (Q.S.
“ Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh
dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah
Banyak jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis taklim yang
istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan media. Ilmu agama
ada di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis sahih, yang sudah diterjemahkan. Jika kita tidak
memahami ilmu agama Islam, bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ?
Bagaimana kita bisa tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam
juga jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka kelak ilmu
Mencari ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang
lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih
baik.
Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal
Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah Praktis
1. Ilmu Syari’at
Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah,
Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
2. Ilmu Akal
keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia
meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang
bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan
Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para
malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu
sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah
mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (….
sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah
menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah
menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan
dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga,” (HR
Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu
terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang
benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan
Ibnu majah).
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang
Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung
ُ َين يَ ْعل
dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: َمون َ س َت ِوي الَّ ِذ
ْ َل ي
ْ ه
َ ُل
ْ ق
tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut
memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi
tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris
sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan
yang sama dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu
“Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya
untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit
maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli
Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa
yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling
banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah
Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan
peranan dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-
Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan
seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan
petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan
Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang
menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.” Sahl bin
Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia
melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai
fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan
demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan
bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-
demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan
ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”
Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air
Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib
atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari Ubadah bin
“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah mereka
tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama
Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang
Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-
cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta
pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat tentang
senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali
kepada para ahlinya. Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum
dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim
mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang
mujtahid dan para imam yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai
ahli istimbath? Allah Ta’ala berfirman: "Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka
(Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah
kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-
nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan
hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan
hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan
tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu
Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-
orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan dari Ibu Juraij,
“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan
memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu
Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau
menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar
engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44,
berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian
ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang
belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah Abdurrahman bin
Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk
para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila
ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan
kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi
mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran
ilmu, dan nasehat , yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai
penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari
musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak
bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka
tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu:
mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar. Dan dalam hal ini
ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya
di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan
kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan
berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum
berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan
syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan
hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang
boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam
agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah
menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam
ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin
negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh
manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam
tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa
mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak
memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu
Taimiyah. Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para
ulama, juga memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesungguhnya Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak
akan ada kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan sampai
kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan yang paling dekat dan
mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan
menyimpang dari tujuan yang dicita-citakannya. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib
(fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu
kifayah.
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu.
Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama
bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang
membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang
penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama
menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.
B. Saran
ilmu, karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat
derajatnya oleh Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak keutamaan. Maka dari
itu, setelah kta memahami tentang perintah menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu dan
kedudukan orang yang berilmu, kita sebagai ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya
Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14 Maret
2015.
Apabila kita menelaah isi Al-Qur'an dan Al-Hadis, niscaya kita akan menemukan
beberapa nas yang menjelaskan kewajiban menuntut ilmu, baik bagi laki-laki ataupun
perempuan. Tujuan diwajibkannya mencari ilmu tiada lain yaitu agar kita menjadi umat yang
cerdas, jauh dari kabut kejahilan atau kebodohan.
Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan bertanya,
melihat, ataupun mendengar. Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadis Nabi
Muhammad saw.:
"Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan." (HR.
Ibn Abdul Barr)
Dari hadis di atas dapat kita ambil pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya
untuk menuntut ilmu, baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Dengan ilmu yang dimilikinya,
seseorang dapat mengetahui segala bentuk kemaslahatan dan jalan kemanfaatan. Dengan ilmu
pula, ia dapat menyelami hakikat alam, mengambil pelajaran dari pengalaman yang didapati
oleh umat terdahulu, baik yang berhubungan dengan masalah-masalah akidah, ibadah, ataupun
yang berhubungan dengan persoalan keduniaan. Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki
ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia memiliki
ilmunya pula; dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu
kedua-keduanya pula." (HR.Bukhari dan Muslim)
Islam mewajibkan kita untuk menuntut berbagai macam ilmu dunia yang memberi
manfaat dan dapat menuntun kita mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
dunia. Hal tersebut dimaksudkan agar tiap-tiap muslim tidak picik, dan agar setiap muslim
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi
segenap manusia yang ada di dunia ini dalam batasan yang diridhai oleh Allah swt.
Demikian pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu akhirat, karena dengan
mengetahuinya kita dapat mengambil dan menghasilkan suatu natijah, yakni ilmu yang dapat
diamalkan sesuai dengan perintah syara'.
Seorang mukallaf wajib menuntut ilmu yang bersifat‘ain, yaitu pada masalah yang
berkenaan dengan akidah. Hal ini dikarenakan dengan mengetahui ilmunya, maka akidah yang
melenceng dapat diluruskan. Selain itu, seorang mukallaf juga wajib menuntut ilmu yang
berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lain seperti salat, puasa, zakat dan haji. Di samping itu,
wajib pula bagi seorang mukallaf mempelajari ilmu akhlak, yang mana dengannya ia dapat
mengetahui adab dan sopan santun yang harus dilaksanakan, dan tingkah laku buruk yang
harus ditinggalkan. Adapun ilmu lain yang tidak kalah pentingnya dimiliki oleh seorang mukallaf
yaitu ilmu keterampilan, yang dapat menjadi tonggak hidupnya.
Adapun ilmu yang tidak berkaitan dengan aktifitas keseharian, maka yang wajib
dipelajari hanya pada batas yang dibutuhkan saja. Sebagai contoh, seseorang yang hendak
memasuki gapura pernikahan, maka ia wajib mengetahui syarat-syarat dan rukun-rukunnya
serta segala sesuatu yang diharamkan dan dihalalkan dalam menggauli istrinya.
Sedang ilmu yang wajib kifayah, maka hukum mempelajarinya tidaklah diwajibkan bagi
setiap mukallaf. Kewajiban mempelajarinya gugur apabila salah satu dari mereka sudah ada
yang mempelajarinya. Hal tersebut dikarenakan ilmu-ilmu yang wajib kifayah hanya bersifat
sebagai pelengkap, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan sebagainya.
Agar ilmu yang kita miliki bermanfaat bagi orang lain, maka hendaklah kita
mengajarkannya kepada mereka. Mengajarkan ilmu-ilmu kepada orang lain berarti memberi
penerangan kepada mereka, baik dengan uraian lisan, atau dengan melaksanakan sesuatu amal
dan memberi contoh langsung di hadapan mereka atau dengan jalan menyusun dan
mengarang buku-buku untuk dapat diambil manfaatnya.
Mengajarkan ilmu memang diperintah oleh agama, karena tidak bisa disangkal lagi,
bahwa mengajarkan ilmu adalah suatu pekerjaan yang ssangat mulia. Nabi diutus ke dunia ini
pun dengan tugas mengajar, sebagaimana sabdanya:
ُ بُ ِع ْث
) (رواه البيهقى.ت اِل َ ُك ْو َن ُم َعلِّ ًما
" Aku diutus ini, untuk menjadi pengajar." (HR. Baihaqi)
Sekiranya Allah tidak mengutus rasul untuk menjadiguru bagi manusia, guru
dunia, tentulah manusia tinggal dalam kebodohan sepanjang masa.
" Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan (tidak mau
memberikan jawabannya), maka Allah akan mengekangnya (mulutnya), kelak di hari kiamat
dengan kekangan (kendali) dari api neraka." (HR. Ahmad)
Oleh karena itu, marilah kita menuntut ilmu pengetahuan, sesempat dan
sedapat mungkin dengan tidak ada hentinya, tanpa absen sampai ke liang kubur, dengan ikhlas
dan tekad akan mengamalkan dan menyumbangkannya kepada masyarakat, agar kita semua
dapat mengenyam hasil dan buahnya.
Jika ditinjau dari segi orang yang memiliki ilmu dengan orang yang tidak memiliki ilmu,
maka sungguh jauh sekali perbedaannya. Baik dari segi nilainya maupun derajatnya,
sebagaimana firman Allah swt.:
ِ اkkَوا ااْل َ ْلبkkُ َذ َّك ُر اُولkَْن اَل يَ ْعلَ ُم ْو َن اِنَّ َما يَتkَ ْن يَ ْعلَ ُم ْو َن َوالَّ ِذيkَ قُلْ هَلْ يَ ْستَ ِوى الَّ ِذي
.ب
)۹:(الزمر
" Katakanlah, 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?' Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima
pelajaran." (QS. Az-Zumar/39: 9)
ٍ الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذي َْن اُ ْوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر ٰج ُيَرْ فَ ِع هللا
)۱۱ k: (المجادلة.ت
" Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujãdalah/58: 11)
Ayat-ayat tersebut menggambarkan, betapa tingginya nilai dan derajat orang yang
berilmu. Dengan ilmu manusia akan memperoleh segala kebaikan, dan dengan ilmu pula
manusia akan memperoleh kedudukan yang mulia. Walaupun dimungkinkan pada suatu ketika
pandangan manusia terhadap ilmu atau pemilik ilmu menjadi kabur, karena kerasnya pengaruh
benda-benda dan pergeseran nilai kehidupan yang lain, tetapi kita yakin pada suatu ketika
manakala bahaya yang ditimbulkan oleh benda-benda atau lainnya telah menghebat, niscaya
orang akan kembali lagi mencari ilmu untuk mengatasi masalah yang ada sebagai pengobatnya.
Dilihat dari derajat dan kedudukan ilmu, sungguh menuntut ilmu itu memiliki nilai dan
pahala yang sangat mulia disisi Allah swt. Selain itu, menuntut ilmu juga bernilai ibadah
sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:
) (رواه الترمذى.ْل هللاِ َح ٰتّى يَرْ ِج َعkِ ب ْال ِع ْل ِم فَه َُو فِ ْي َسبِي
ِ ََم ْن َخ َر َج فِ ْي طَل
" Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah
(orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia pulang kembali. " (HR. Tirmidzi)
Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah? Karena amal
ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu, akan sia-sialah
amalnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam hal ini menyatakan:
.ُاَ ْع َمالُهُ َمرْ ُد ْو َدةٌ اَل تُ ْقبَل َو ُكلُّ َم ْن بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم يَ ْع َم ُل
" Siapa saja yang beramal (melaksanakan amal ibadah) tanpa dilandasi ilmu, maka segala
amalnya akan ditolak, yakni tidak diterima . "