Disusun Oleh :
SRI WAHYUNI
NIM : 2202030042
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan kemudahan sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini jauh dari kata sempurna tapi saya penulis tentunya bertujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point didalam makalah ini,sesuai
dengan pengetahuan yang saya peroleh,baik dari buku maupun sumber-sumber
yang lain.Semoga semuanya memberikan manfaat bagi kita,Bila ada kesalahan
tulisan atau kata-kata didalam makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
SRI WAHYUNI
Nim : 2202030043
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………….……..1
DAFTAR ISI………………………………………………….…….2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………….…….3
RUMUSAN MASALAH…………………………………….……..4
BAB II PEMBAHASAN……………………………………….…..5
BAB III PENUTUP………………………………………………...43
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………44
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang diberi akal yang sempurna,
tatkala akal membawa kepada sesuatu yang diinginkan. Tetapi
alangkah baiknya digunakan kepada sesuatu yang akan memberikan
manfaat salah satunya untuk meningkatkan keimanan kita kepada
Allah SWT. Manusia akan hidup lurus apabila dia mampu
menggunakan akalya untuk mengetahui siapa dirinya. Yang akhirnya
akan sampai kepada zat yang menciptakannya yaitu Allah SWT. Inilah
yang menjadi persoalan bahwa manusia kebanyakan lupa kepada dzat
yang menciptakannya yaitu Allah SWT.
Fenomena yang terjadi sekarang bahwa manusia hidup
kebanyakan dengan moral yang kurang sempurna. Yaitu hal yang
tidak sejalan dengan aturan Agama Islam. Ini dikarenakan kurang
mengenal dirinya sendiri atau dengan kata lain tidak mengetahui jati
dirinya sendiri. Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah
orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk
ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada
saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, belajar, pelayan
masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang hanya waktu ibadah
kepada Allah.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang
yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan
berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya
menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia
menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati),
dari buruk hati menjadi nasehat”
Bagaimana supaya kita mampu mengenal Allah SWT? Maka
dalam makalah ini akan dibahas mengenai Mengenal Allah atau
dengan kata lain ma’rifatullah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. MAKRIFATULLAH
1. Urgensi Mengenal Allah
a. .Definisi
6
akan mengangkat mereka menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana
orang-orang dahulu menjadi khalifah…” (QS. An Nur: 55).
Melalui beberapa tahap pembinaan secara berkesinambungan,
insya Allah kekhalifahan Islam akan muncul kembali sebagaimana yang
dinubuahkan rasulullah saw. Rasulullah saw mengungkapkan bahwa
umat Islam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya
hingga hari kiamat nanti, yaitu periode kenabian, periode kekhalifahan
yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode mulkan adhan (penguasa
yang menggigit), periode mulkan jabbariyan (penguasa yang menindas),
dan terakhir sebelum datangnya kiamat, umat ini sekali lagi akan
berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak di atas
nilai-nilai kenabian. (disarikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Baihaqi).
Tamkinuddin yaitu diteguhkannya Agama Islam di muka bumi.
“…dan Allah sungguh-sungguh akan meneguhkan agama
mereka yang diridhai-Nya…” (QS. An Nur: 55).
“Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya
atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.
(QS. At Taubah: 33 dan QS. Ash Shaf: 9).
“Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang hak, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.
Dan cukuplah Allah sebagai saksi” (QS. Al Fath: 28).
Al Amnu, bahwa Allah SWT akan mengkondisikan orang-orang yang
beriman rasa aman dan tentram setelah sebelumnya mereka selalu
ditimpa keresahan dan ketakutan
“Dan Allah sungguh-sungguh akan menggantikan ketakutan
mereka dengan keamanan…” (QS. An Nur: 55).
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-
buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada
Allah dan hari kemudian”. (QS. Al Baqarah: 126).
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam
surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang
mengalir). (Dikatakan kepada mereka), “Masuklah ke dalamnya dengan
sejahtera lagi aman”. (QS Al Hijr: 45-46).
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS. Al An’am: 82).
Al Barakat (keberkahan yang melimpah)
“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa,
niscaya Kami tumpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan
bumi, tetapi mereka itu mendustakan, sebab itu Kami siksa mereka
disebabkan usahanya itu”. (QS. Al A’raf: 96).
Al Hayatun thayyibah (kehidupan yang baik)
“Barangsiapa melakukan kebaikan-kebaikan, laki-laki maupun
perempuan dan dia beriman, pasti Kami akan memberinya kehidupan,
kehidupan yang menyenangkan. Dan Kami akan memberinya pahala,
sesuai dengan apa yang mereka lakukan secara lebih baik”. (QS. An
Nahl: 97).
Al Jannah (surga)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shalih, bagi mereka surga Firdaus-lah tempatnya, mereka kekal di
dalamnya tak hendak berpindah darinya”. (QS. Al Kahfi: 107-108).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, untuk
mereka itu surga na’im. Mereka kekal di dalamnya. Itulah janji Allah yang
sebenarnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Lukman: 8-9).
Kesemua ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa ma’rifatullah
bila dipelajari dengan benar akan menambah keimanan dan ketaqwaan.
Orang-orang yang bijak dan memiliki akal sehat tentu akan memilih
beriman dan bertaqwa kepada Allah daripada mengingkari atau
mempersekutukan-Nya dengan ilah-ilah yang lain.
8
c. Ciri-ciri dalam Makrifatullah:
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) jika ia
telah mengenali:
Asma’(nama) Allah SWT
Sifat Allah SWT
Af’al (perbuatan) Allah SWT, yang terlihat dalam ciptaan dan
tersebar dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan:
Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah
SWT
Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah
SWT
Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran
jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
Sabar/ menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah SWT atas
dirinya
Berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
Membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan
subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama
seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.
d. Dukungan Dalil yang Kuat
Pemahaman Ma’rifatullah yang benar harus didukung oleh dalil-
dalil yang kuat dan shahih yang sudah Allah siapkan agar kita sebagai
hamba-Nya memikirkannya. Di dalam Al Qur’an Al Karim kita akan
mendapati ungkapan-ungkapan Allah SWT yang berbunyi “…apakah
kalian tidak memikirkan?” atau “…apakah mereka tidak mendengar…”
Dalil Naqli
Allah SWT menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk dan juga
peringatan untuk ummat manusia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al
An’am: 19
Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?”
Katakanlah: “Allah”. Dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al
Qur’an Ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya Aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an
(kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada
tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak
mengakui.” Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha
Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)”.
Ayat ini menjelaskan bahwa Al Qur’an memberi petunjuk
kepada manusia akan hakikat Tuhan Rabbul Alamin yaitu Allah SWT.
Dalil Aqli
Jika manusia merenungkan apa yang terdapat di alam semesta,
pasti akan menyadari bahwa keharmonisan sistem alam semesta tidak
terjadi secara kebetulan. Pasti ada Yang Maha Mengatur dan Maha
Menjaga atas hal ini, dialah Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal” (QS. Ali Imran: 190).
Dalil Fitrah
Jika manusia menggunakan fitrahnya, maka dia pasti akan
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha
Menciptakan alam beserta isinya. Allah SWT menjelaskannya dalam
QS. Al A’raf: 172
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
10
kamu tidak mengatakan “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.
12
serta membenarkan keimanannya. Sedangkan orang-orang yang
tersesat jalannya, tentu tidak akan sampai pada tujuan yang
sebenarnya, yaitu berma’rifah kepada Allah SWT. Mereka kemudian
menjadi orang yang penuh keragu-raguan (al irtiyab), hingga
kemudian menjadi orang-orang kafir mengingkari keberadaan Allah
SWT.
a. Jalan yang dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam
Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih
beranggapan bahwa Allah tidak ada, hanya gara-gara mereka
tidak dapat melihat-Nya dengan panca inderanya sendiri (al-
hawas), dengan alasan mereka tidak mempercayai sesuatu yang
ghaib. Padahal panca indera kita sangat terbatas kemampuannya
dalam menganalisa benda-benda yang nampak, apalagi terhadap
benda-benda yang tidak nampak.
Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan
dapat mengenal Allah. Manusia hanya dapat melihat-Nya di
surga nanti bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Mereka tidak
mampu melihat-Nya, bahkan karena kesesatannya lalu mereka
menjadikan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan
tertentu yang mempengaruhi kehidupannya sebagai Tuhan
mereka selain Allah SWT (ghairullah). Tersebutlah kemudian
kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai matahari,
bintang, langit, air, udara dan lainnya. Selain itu ada pula yang
karena jenuh mencari namun tak juga berhasil, lalu
berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Pencarian tak tentu arah
ini lalu menimbulkan sikap skeptis. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan diri dan juga gejala-gejala alam yang
terjadi dalam lingkungan kehidupannya dipandangnya dengan
nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap lebih ilmiah dari
pada harus mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib, mistik,
takhayul dan sebagainya. Ilmu filsafat kemudian muncul
memuaskan segala nafsu dan akal manusia.
Akal manusia bisa jadi akan mampu mengenal
keberadaan Allah SWT melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
tersebar di pelosok bumi. Namun karena mereka tidak
mempunyai keimanan, segala pengetahuan itu kemudian
dijadikan diskursus ilmu semata.
Penggambaran yang salah terhadap metode untuk
mengenal Allah SWT ini, dulu maupun sekarang, merupakan
faktor terbesar yang menjauhkan manusia dari metode iman
yang benar kepada Allah SWT. Padahal penggambaran macam
ini jelas-jelas salah. Secara aksiomatik, akal mengatakan bahwa
Allah SWT adalah pencipta materi tetapi Dia bukan materi.
Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika puncak
pencerapan indera di dalam kehidupan dunia kita hanya
terbatas pada materi yang tercerap secara inderawi saja, maka
Allah SWT tidak akan bisa menjadi obyek pengetahuan kita.
Bangsa atau orang kafir manapun juga pasti akan muncul
kekacauan di seputar metode inderawi untuk mengenal Allah
SWT ini. Itulah sebabnya mengapa di zaman sekarang kita
mendengar ada orang-orang tertentu yang menjadikan “tidak
bisa dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab timbulnya
atheisme. Demikian pula, kita mendengar beberapa negara
tertentu menegaskan demikian, seperti yang dilakukan oleh
siaran Uni Soviet ketika meluncurkan satelit industrinya yang
pertama ke ruang angkasa.
Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan
aqli (akal pemikiran) karena tidak diikuti dengan keimanan
terhadap hasil pencariannya itu, timbullah prasangka dan
keragu-raguan (al irtiyab) dan pada akhirnya membuat mereka
menjadi kafir.
b. Jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam
Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan
menggunakan prinsip keimanan dan akal pemikiran melalui
14
tanda-tanda (al-ayat), yaitu melalui ayat-ayat qauliyah (Al-
Qur’an dan hadits), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), dan
melalui mu’jizat.
Dari ayat-ayat qauliyah, Allah SWT mewahyukan firman-
Nya kepada para utusan-Nya. Ada yang berupa shuhuf, al kitab
dan juga hadits qudsi. Dalam Al-Qur’an kita dapati maklumat
Allah SWT mengenai keberadaan diri-Nya.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain
Aku, maka mengabdilah pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14).
16
orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demiki memberikan
pembalasan kepada orang-orang zalim (Al Anbiya, 21: 29).
c. Al Kadzibu (dusta)
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari
syrik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah
(berkata), “Kami tidak mnyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta
dan sangat ingkar (QS. Az Zumar,39: 3).
d. Al Fusuqu (fasik)
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai
kaumku, mengapa kalian menyakitiku padahal kalian tahu bahwa
aku adalah utusan Allah untuk kalian”. Maka tatkala mereka
berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka dan Allah
tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (QS. Ash Shaf, 61:
5).
e. Al Kufru (ingkar)
Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang
yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara
orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah
beriman”, padahal hati mereka belum beriman (QS. Al Maidah, 5:
41).
f. Al Fasadu (fasad)
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, dan sesungguhnya
Allah, Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian
jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Ali
Imran, 3: 62-63).
g. Al Ghaflah (lengah)
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam
kebanyakan dai jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tak
digunakan untuk memahami, mempunyai mata tapi tak digunakan
untuk melihat, dan mempunyai telinga tapi tak digunakan untuk
mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al A’raf,
7: 179).
h. Katsratul Ma’ashi (banyak berbuat durhaka)
Dan ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan, serta
mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alibi
yang benar. Demikian itu karena mereka selalu berbuat durhaka
dan melampaui batas (QS. Al Baqarah, 2: 61).
i. Al Irtiyab (ragu-ragu)
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum
itu, dan mereka menduga-duga tentang yang ghaib dari tempat
yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka
ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang
serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka
dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam (QS. Saba’, 34:
53-54).
4. Bukti Keberadaan Allah SWT
18
Menurut Jasiman, Lc (2009), keberadaan Allah SWT, Tuhan yang
telah menciptakan dan memelihara alam semesta dengan kekuasaan
dan kasih sayang-Nya adalah hal yang tak tertahan-tahan. Hal ini
didasarkan banyak dalil yang kuat dan bukti yang nyata, diantaranya:
a. Bukti fitrah
Fitrah adalah sifat azasi (dasar yang masih murni) yang belum
terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal. Kalau manusia dibiarkan
dalam fitrahnya tentu ia akan mengakui adanya Dzat Maha Hebat
yang telah menciptakan diri dan makhluk lain disekitarnya
memberinya rejeki, menghidupkan, dan mematikannya. Demikian
itu karena manusia diciptakan di atas fitrah itu.
b. Bukti inderawi
Inderawi kita dapat menangkap bukti-bukti keberadaan-Nya
dengan melihat, mendengar, merasakan, atau menyentuh-Nya.
Berbagai objek dan peristiwa yang ada disekitar kita menunjukan
keberadaan-Nya itu. Ada yang lahir ada pula yang mati, ada laki-laki
ada perempuan, ada yang sehat ada juga yang sakit, ada yang baik
dan menyenangkan, namun ada pula yang buruk dan menyebalkan,
ada yang besar ada yang kecil, ada yang kikir dan sombong, namun
ada pula yang dermawan dan rendah hati, ada yang mampu dan
ada yang tidak mampu, dan sebagainya. Itulah inderawi yang nyata.
c. Bukti rasional
Bukti rasional dapat kita analisa dengan teori sebab-akibat.
Segala yang terjadi pasti ada penyebabnya. Namun logika akan
mengatakan bahwa pasti ada penyebab pertama dan utama yang
memulai sebab-sebab itu, yang ada tanpa disebabkan oleh suatu
yang lain. Yang demikian itulah Allah SWT: Al-Ahad Al-Awal, As-
shamad, lam yalid wa lam yulad.
d. Bukti Nash
Banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an dan kitab-kitab suci
sebelumnya, yang membicarakan tentang Allah dengan berbagai
sifat-Nya. Demikian pula hadits-hadits yang ada dalam sunnah
Nabi-Nya.
e. Bukti sejarah
Banyak peristiwa bersejarah di masa lampau semenjak Nabi
Adam AS, hingga hari ini menunjukan keberadaan, keagungan dan
kekuasaan Allah SWT. Banyak peninggalan bersejarah yang
menunjukan kejayaan bangsa-bangsa dimasa lampau. Berbagai
bukti sejarah tersebut memberikan pelajaran sangat berharga
kepada manusia yang hidup dimasa kini bahwa segala bentuk
kebesaran dan keangkuhan mereka tidak kuasa menghadapi
kekuasaan Allah SWT. Kebesaran manusia sangat tidak ada artinya
untuk dibandingkan degan kekuasaan Allah SWT.
Kalau manusia mempelajari dan memahami dalil-dalil dan
bukti bukti tersebut di atas, hati nurani mereka yang bersih akan
mengakui keagungan Allah yang telah menciptakna dan
mengaturnya sedemikian rupa. Pengakuan ini dalam Islam disebut
sebagai Tauhid rububiyah. Pengakuan akan rububi-yatullah ini
menuntut komitmen dari manusia untuk mentauhidkan (mengesa-
kan)-Nya dalam ulubiyah.
Islam mengajarkan bahwa Dzat yang kita agungkan itu adala Dzat yang
telah menciptakannya, memberinya rezeki, memeliharanya, dan
memilikinya. Oleh sebab itu Allah SWT pulalah yang berhak untuk
mendapatkan perlakuan sebagai Tuhan yang dicintai, ditakuti,
dirindukan, diikuti, ditaati, dan disembah. Islam tidak membedakan
antara Tuhan yang telah menciptakan, melindungi, dan memiliki itu
dengan Tuhan yang dicintai, diikuti, ditaati, dan disembah.
20
Sumber : Jasiman, Lc. (2009)
Menurut Jasiman, Lc. (2009) upaya meng-Esa-kan Allah SWT
dalam Islam berangkar dari rububiyatullah yaitu pengakuan kita bahwa
Allah SWT adalah Rabb, Tuhan yang menciptakan, yang memberi rezeki,
dan yang memiliki.
a. Allah SWT sebagai Pencipta
Dialah Dzat yang telah ada sejak zaman azali, tidak bermula
dan tidak berakhir, yang menciptakan langit dan bumi berikut
segala isinya. Hingga hari ini tidak manusia yang dapat
membuktikan bahwa ada pencipta lain selain Allah SWT. Teori
atheis termodern adalah teori evolusi yang diungkapkan oleh
Charles Darwin. Ia mengatakan bahwa apa yang ada di alam ini
terjadi karena proses alam yang berlangsung secara acak kemudian
terjadilah wujud-wujud yang ada. Pada akhirnya, setiap wujud itu
mengalami evolusi mencapai kesempurnaan. Seandainya proses
acak itu benar, zat-zat dan bahan-bahan yang berproses itu pasti
tidak ada begitu saja, mustahil sesuatu ada tanpa ada yang
mengadakannya. Padahal proses itu berlangsung secara teratur
sesuai dengan alur yang telah ditentukan oleh penciptanya. Di
antara buktinya adalah bahwa proses yang sama berlangsung
berulang-ulang dengan cara yang sama.
b. Allah SWT sebagai Pemberi Rezeki
Setelah menciptakan makhluk-Nya, Allah SWT tidak
membiarkan mereka mati kelaparan. Allah SWT memberikan dan
menghidupi dengan memberikan rezeki berupa oksigen, makanan,
minuman, panas matahari, serta berbagai kebutuhan hidup lain yang
sangat banyak dan beraneka ragam. Kalaupun ada rezeki yang
didapatkan dari tangan manusia atau sesama makhluk, ini juga tdak
terlepas dari kehendak Allah SWT yang mengirimkan rezeki itu
melalui makhluk-Nya. Udara, air, dan panas matahari yang
didapatkan tanpa melalui tangan orang lain adalah makhluk. Uang,
makanan, dan pakaian yang didapat melalui orang lain adalah
makhluk, bahkan orang yang menjadi prantara itu sendiri adalah
makhluk.
c. Allah SWT adalah Pemilik
Allah SWT yang telah menciptakan dan menyediakan bahkan
memenuhi segala kebutuhan manusia serta makhluk-makhluk
lainya, jadi Allah juga lah pemilik alam semesta yang sesunguhnya.
Semua yang kita mililki adalah milik Allah SWT. Diri pribadi kita
adalah bukan milik kita, diri kita adalah milik Allah SWT. Karena itu
semua yang ada di alam ini adalah kekuasaan Allah SWT.
d. Allah SWT sebagai Penguasa
Sebagai penguasa yang mutlak dengan kekuasaan penuh,
Allah SWT bukan Tuhan yang sewenang-wenang. Ia adalah:
Pelindung yang sangat cinta dan sayang kepada makhluk-Nya
Hakim yang mengadili, memvonis, dan memutuskan dengan
keputusan mutlak
Pemimpin yang memberikan perintah dan larangan yang tidak
boleh dilanggar.
Oleh karena itu, selanjutnya Dia-lah, tujuan yang harus menjadi
orientasi hidup setiap insan. Hanya Dia-lah Tuhan yang
sepantasnya disembah dengan segenap penghambaan.
6. Memurnikan Ibadah
22
Sumber : Jasiman, Lc. (2009)
Menurut Jasiman, Lc. (2009) tauhid ibadah adalah mengesankan
Allah dalam ibadah (penghambaan) tauhid ibadah akan terjadi apabila
taubidullah telah tercapai sebagaimana kita pahami dalam materi
pengesaan Allah. Meng-Esa-Kan Allah SWT dengan konsepsi seperti itu
disebut juga al-ikhlas yang berarti pemurnian. Tauhidul ibadah adalah
ikhlasul ibadah (memurnikan ibadah) hanya untuk Allah SWT saja.
Pengesaan Allah SWT dan ikhlasul ibadah hanya akan tercapai dan
benar apabila memenuhi konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”
yaitu menolak segala bentuk ilah dan hanya mengakui Allah SWT
sebagai satu-satunya ilah, tiada sekutu bagi-Nya, karena itu, tauhidullah
dan ikhlasul ibadah baru akan tercapai apabila dilakukan dengan dua
sayapnya yaitu:
a. Menolak Thaghut
Kata Thaghut diambil dari thagha yang berarti melampaui
batas. Menurut Ibnu Taimiah, thaghut adalah segala sesuatu yang
disikapi sebagai mana sikapnya kepada Allah SWT, baik berupa jin,
manusia, maupun makhluk lainya. Demikian itu merupakan
sesungguhnya yang berhak mendapatkan kepribadian hanyalah
Allah SWT. Ketika ada Dzat lain yang mendapat perlakuan
sebagaimana Tuhan atas permintaannya atau diperlakukan oleh
pihak lain padahal ia tidak pantas mendapatkan perlakuan demikian,
maka itulah perlakuan yang melampaui batas hingga ia disebut
sebagai Thaghut.
Untuk menjamin kemurnian tauhid dan ibadah, penolakan
terhadap thaghut harus dilakukan secara preventif-antisipasif
sehingga setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi thaghut agar
tidak terlibat dalam kemusyrikan, betapa pun kecil dan samar. Di
antara karakteristik orang yang bertaqwa adalah menjauhi thaghut.
Rasullah SAW mengatakan bahwa kemusyrikan itu lebih
tersembunyi dibandingkan bekas kaki seekor semut hitam di atas
batu karang hitam di kegelapan malam (HR. Ahmad)
b. Iman kepada Allah SWT
Di atas penolakanya terhadap thaghut itu, manusia harus
membangun imannya kepada Allah SWT. Demikian itu karena apabila
ia hanya menolak Tuhan-tuhan tapi tidak percaya kepada Tuhan yang
satu, pada saat itu ia disebut atheis. Bahkan sebenarnya ia telah
memper-Tuhan-kan sesuatu yang lain selain Tuhan yang sebenarnya.
Saat itu ia telah memper-Tuhan-kan dirinya sendiri berarti ia telah
thaghut (melampaui batas) dan inilah yang difirmankan Allah SWT
dalam Al-Qur’an “Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui
batas, ia memandang dirinya serba cukup” (Al-Álaq: 6-7).
Imannya yang hanya diberikan kepada Allah SWT itu harus diwujudkan
dalam bentuk ibadah (penghambaan) dan tidak menyekutukan-Nya
dengan suatu apa pun.
Misi pembebasan manusia dari penghambaan atas sesama
(makhluk) kepada penghambaan kepada Pencipta makhluk inilah
yang dibawa oleh Nabi dan Rasul “Dan sesunguhnya kami telah
mengutus pada tiap-tiap umat seorang Rasul (agar mereka
menyerukan) ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ (An Nahl: 36).
Dengan dua sayap tauhid inilah, pemurnian ibadah hanya
kepada Allah SWT dapat dicapai, dengan-Nya pula seseorang disebut
telah berpegang pada tali yang kokoh. “Barang siapa kufur kepada
24
thaghut dan beriman kepada Allah berarti ia telah berpegang kepada
tali yang kokoh” (Al-Baqarah: 256).
7. Bahaya Syirik
a. Definisi Syirik
Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara
istilah adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah SWT
dengan sesuatu yang lain. Orang yang melakukan syirik disebut
musyrik. Seorang musyrik melakukan suatu perbuatan terhadap
makhluk (manusia maupun benda) yang seharusnya perbuatan
itu hanya ditujukan kepada Allah SWT seperti men-Tuhan-kan
sesuatu selain Allah SWT dengan menyembahnya, meminta
pertolongan kepadanya, menaatinya, atau melakukan perbuatan
lain yang tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah SWT.
Perbuatan syirik termasuk dosa besar. Allah SWT
mengampuni semua dosa yang dilakukan hambanya, kecuali dosa
besar seperti syirik. Firman Allah SWT:
26
keuntungan dan kesenangan karena mereka mengikuti hawa
nafsunya.
Amalan dan harta yang yang dinafkahkan sia-sia
Amalan yang dinafkahkan orang-orang musyrik adalah
sia-sia (tidak diberi pahala oleh Allah SWT), apa yang
dimilikinya tidak akan dapat digunakan untuk menebus siksa
di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah SWT:
28
(kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya
untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan
kamu serta ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.
Ilahataka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu,
karena Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini
menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa
kata ilahah artinya adalah ibadah.
c. Illa (kecuali), pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata
yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan
oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa
Muhammad (tidak ada seorang pun lelaki di dalam rumah kecuali
Muhammad). Yakni Muhammad (sebagai kata setelah illa)
dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa, yaitu hukum
peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga
maknanya adalah: Tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam
rumah kecuali Muhammad. Dan jika menerapkan hal ini dalam
kalimat tauhid di atas, maka maknanya adalah: Hanya Allah SWT
yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan
oleh kata laa sebelumnya.
Lafazh “Allah”, berasal dari kata al-Ilah, kemudian huruf
hamzah yang berada di tengah sengaja dihilangkan untuk
mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama
diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka
menjadilah satu lam yang ditasydid, dan lam yang kedua
diucapkan tebal. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Kasa`i, Al-
Farra`, dan Sibawaih.
Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim
dalam Madarij As-Salikin (1/18), “Nama ‘Allah’ menunjukkan
bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang
disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah
kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan, dan
ketundukan”.
Lafazh ‘Allah’ adalah nama bagi Ar-Rabb Ta’ala, yang mana
seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT yang lainnya
kembali kepada-Nya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Al-
Qayyim. Karena-Nya sangat Agungnya nama ini, tidak ada satupun
dari makhluk-Nya yang dinamakan atau yang boleh bernama
dengan nama ‘Allah’.
Kemudian dari perkara yang paling penting diketahui
bahwa Laa ini, sebagaimana yang telah diketahui oleh semua
orang yang memiliki ilmu bahasa Arab-membutuhkan isim dan
khobar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Malik
dalam Alfiyahnya: “Jadikan amalan inna (menashab isim dan
merafa’ khobar) untuk laa bila isimnya nakirah”.
Isim laa adalah kata ilaha dan dia nakirah. Adapun
khobarnya, maka disinilah letak perselisihan manusia dalam
penentuannya, sebagaimana yang akan disebutkan sebagian di
antaranya pada pembahasan mengenai pemaknaan yang keliru
dari kalimat tauhid ini, insya Allah.
Adapun yang dipilih oleh para ulama as-salaf secara
keseluruhan adalah bahwa khobarnya (dihilangkan), dan mereka
menyatakan bahwa dia sengaja dihilangkan karena maknanya
sudah jelas. Ringkasnya, para ulama as-salaf telah bersepakat
bahwa yang kata yang dihilangkan -yang menjadi khabar bagi laa-
adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah).
Mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’ala dalam
surah Luqman ayat 30.
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk
disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu
adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar”. Dan mirip dengannya dalam surah Al-Hajj ayat 62.
Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa makna kalimat tauhid ‘laa ilaaha
illallah’ adalah: Tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah
30
kecuali Allah SWT. Maka kalimat tauhid ini menunjukkan akan
penafian/penolakan/peniadaan semua jenis penyembahan dan
peribadatan dari semua selain Allah Ta’ala, apa dan siapapun dia.
Serta penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan dengan
seluruh macam bentuknya, baik yang zhohir maupun yang batin-
hanya ditujukan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Oleh karena itu semua yang disembah selain Allah Ta’ala memang
betul telah disembah, akan tetapi dia disembah dengan kebatilan,
kezholiman, pelampauan batas, dan kesewenang-wenangan. Nabi
bersabda: “Kalimat yang paling benar yang dikatakan seorang
penyair adalah kalimat yang dikatakan oleh Labid. Dia bersya’ir;
“Segala sesuatu selain Allah adalah bathil”. (HR. Al-Bukhari no.
3841 dan Muslim no. 6147)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi
berkata di awal Al-Qaul Al-Mufid, “Makna ‘laa ilaha illallah’ adalah
tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah. Dan
selain Allah SWT, jika dia disembah maka sungguh dia telah
disembah dengan kebatilan.”
Sebelum kami menyebutkan beberapa keutamaannya,
perlu kami ingatkan bahwa semua keutamaan tersebut tidaklah
didapatkan oleh seseorang hanya dengan sekedar mengucapkan
‘laa ilaha illallah’. Akan tetapi dia akan mendapatkan semua
keutamaan tersebut jika dia mengucapkannya serta
melaksanakan konsekuensinya sesuai dengan apa yang telah kami
jelaskan sebelumnya. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
berkata di awal risalah dimana beliau menjawab pertanyaan
tentang makna ‘laa ilaha illallah’, “Bukan yang diinginkan dari
kalimat tauhid ini adalah sekedar mengucapkannya tanpa
memahami apa maknanya. Karena orang-orang munafik juga
mengucapkan kalimat tauhid ini akan tetapi tempat mereka lebih
rendah dari orang-orang kafir, yaitu di dasar neraka yang paling
bawah, padahal mereka adalah orang-orang yang mengerjakan
shalat dan bersedekah. Akan tetapi yang diinginkan darinya
adalah mengucapkannya dalam keadaan mengetahuinya (makna
dan konsekuensinya) dengan hati, mencintainya dan mencintai
semua orang yang mengucapkannya, serta membenci dan
memusuhi semua yang bertentangan dengannya.”
d. Keutamaan Kalimat tauhid (laa ilaha illallah). Berikut
beberapa keutamaan dan manfaat dari kalimat ‘laa ilaha
illallah’, bagi yang mengucapkannya dengan benar dan
melaksanakan konsekuensinya:
Dari Ubadah dari Nabi beliau bersabda: “Barang siapa yang
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah
satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa
Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi)
bahwa ‘Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan firman-Nya yang
Allah berikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah
haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka Allah akan
memasukkan orang itu ke dalam surga betapapun keadaan
amalnya” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 46).
Dalam hadits Itban bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan neraka bagi orang
orang yang mengucapkan dengan ikhlas dan hanya mengharapkan
(pahala melihat) wajah Allah” (HR. Al-Bukhari no. 425 dan
Muslim no. 263).
Dari Ibnu Abbas dia berkata: Ketika Rasulullah SAW
mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab,
maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan
Allah. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut, maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan
kepada mereka shalat lima waktu pada setiap siang dan malam.
Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka beritahukanlah
32
kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka
sedekah yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan
kepada orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka
mentaatimu untuk hal tersebut maka kamu jauhilah harta mulia
mereka. Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzhalimi,
karena tidak ada penghalang antara dia dan Allah” (HR. Al-
Bukhari no. 4347 dan Muslim no. 29).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 37 bahwa
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mengucapkan, dan
mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan
darahnya, adapun perhitungannya adalah terserah kepada Allah”.
Maka dari semua dalil-dalil di atas bisa kita petik beberapa
keutamaan kalimat tauhid ini:
Dia merupakan tujuan dakwah yang pertama dan terbesar,
baik dakwah para nabi maupun para pengikut mereka dari
kalangan para sahabat mereka dan pengikut mereka
Dia merupakan sebab terbesar masuknya seseorang ke dalam
surga. Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya di akhir
hidupnya maka dia akan masuk surga. Dari Mu’adz bin Jabal,
ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘laa ilaha
illallah’ maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud no.
2709)
Dia bisa menghapuskan semua dosa, sebesar apapun dosanya.
Di antara dalil terbesar yang menunjukkan hal ini adalah
hadits al-bithaqah (kartu kecil) yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash
Dia merupakan jaminan untuk tidak kekal di dalam api
neraka, kalau ternyata seseorang masuk ke dalamnya
Dia merupakan kalimat paling berberkah dan menjadi syarat
seseorang masuk Islam.
Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya maka
dia mendapatkan hak seorang muslim, di antaranya bahwa
harta, darahnya, dan kehormatannya haram untuk diganggu
34
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran” QS. Shad: 29.
Allah SWT berfirman:
36
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik” QS. Al-Taubah: 24.
Maka seseorang harus mengutamakan apa-apa yang
dicintai dan diinginkan oleh Allah SWT dari apa-apa yang
dicintai dan diinginkan oleh hamba. Maka dia harus mencintai
apa yang dicintai oleh Allah SWT dan membenci apa-apa yang
dibenci oleh Allah SWT, dia berloyalitas karena Allah SWT dan
memusuhi seseorang karena Allah SWT. Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw
bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian
sehingga dia menjadikan diriku sebagai yang paling dicintainya
dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia”.
Di dalam shahih Bukhari Umar ra berkata: “Wahai
Rasulullah engkau adalah orang yagn paling aku cintai dari
segala sesuatu kecuali diriku, maka Nabi saw bersabda: Tidak
demikian demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, sehingga
aku lebih engkau cintai daripada dirimu”. Maka Umar berkata:
“Sungguh, sekarang ini engkau adalah orang yang paling aku
cintai bahkan terhadap diriku”. Maka Nabi saw bersabda:
“Sekarang wahai Umar”.
e. Hati menyadari makna yang tekandung dalam asma dan
sifat Allah SWT, dan dia bersaksi atas kebenarannya serta
melandasi hidupnya dengan kesadaran dan cakupan asma
dan sifat ini. Allah SWT berfirman:
38
Rasulullah saw mengumpulkan antara pengkauan akan
semua anugerah Allah SWT dan kesadaran akan kekurangan diri
dan amal. Maka pengkauan terhadap nikmat akan melahirkan
kecintaan dan rasa syukur kepada zat yang memberi nikmat dan
anugrah, dan kesadaran akan kekurangan diri dan amal akan
melahirkan kehinaan dan menyerahkan diri serta sadar akan
kebutuhan dirinya kepada Allah SWT dalam setiap waktu, dan
dia tidak melihat dirinya kecuali sebagai orang yang merugi, dan
pintu paling dekat yang bisa dimanfaatkan oleh seorang hamba
untuk bertaqarrub kepada Allah SWT adalah pintu kesadaran
akan keadaan diri yang selalu merugi. Dia tidak melihat bagi
dirinya suatu keadaan, tempat dan sebab untuk berpegang
dengannya, tidak ada cara yang diharapkannya, namun dia
menerobosa untuk mendekat kepada Allah SWT dari celah
kebutuhan dirinya kepada Allah SWT semata, rugi jika tidak
mendekat dengannya sama seperti menerbosnya seseroang yang
hatinya telah luluh karena kemiskinan dan kehinaan sehingga
mengantarkan dirinya pada kepasrahan yang paling dalam, dia
melihat dirinya gumpalan dirinya yang lahir dan bathin sebagai
wujud kemiskinan yang sempurna dan kebutuhan yang
sempurna kepada Tuhannya, sehingga dia meyakini bahwa jika
dirinya menjauh darinya sekejap maka maka dia akan binasa
dan akan mengalami kerugian yang tidak bisa diganti kecuali
dengan kembali kepada Allah SWT dan mendapat rahmat Allah
SWT”.
h. Berkhulwah pada saat turunnya Allah SWT dan membaca kitab-
Nya lalu dia mengakhirinya dengan beristigfar dan bertaubat.
Allah SWT berfirman:
Artiny: “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam Dan
di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)”
QS. Al-Dzariyat: 18.
Rasulullah SAW bersabda: Tuhan kita Yang Maha Tinggi
turun pada setiap malam ke langit dunia pada saat sepertiga
malam terakhir dan Dia menyeru: “Siapakah yang berdo’a
kepada-Ku maka Aku akan mengabulkan permohonan-Nya dan
memohon kepada-Ku maka Aku akan mengabulkan
permohonannya dan barangsiapa yang meminta ampun maka
Aku akan mengampuninya”.
i. Duduk bersama orang-orang yang cinta kepada Allah SWT dan
jujur serta menimba perkataan-perkataan mereka yang baik dan
tidak berbicara kecuali jika pembicaraan tersebut telah benar-
benar baik dan diketahui dapat memberikan tambahan bagi
keadaan sekarang dan manfaat bagi orang lain. Amirul Mu’minin
Umar bin Al-Khattab berkata: Seandainya bukan karena tiga hal
maka aku tidak suka hidup di dunia ini, yaitu berperang di jalan
Allah SWT, melewati malam-malam dengan banyak beribadah
dan duduk bersama kaum yang memilih pembicaraan yang baik
sebagaimana kita memilih buah yang baik”.
Di dalam as-Shahihaini dari hadits Abi Hurairah ra bahwa
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
j. Menjauhi segala perkara yang menghalangi antara hati dengan
Allah SWT.
Dengan salah satu sebab yang sepuluh ini orang yang
ingin mencintai Allah SWT akan sampai kepada tingkat cinta
yang sebenarnya dan mereka akan menerobos cinta Allah SWT.
40
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu – ma’rifah yang
berarti mengenal. Dengan demikian ma’rifatullah berarti usaha
manusia untuk mengenal Allah baik wujud maupun sifat-sifat-Nya.
Manusia sangat berkepentingan untuk mengetahui siapa penciptanya
dan untuk apa ia diciptakan. Karena itu, manusia pun mulai
melakukan penelitian dan mencari-cari siapa gerangan Tuhannya.
Ma’rifatullah merupakan ilmu yang paling mulia dan penting karena
materi yang dipelajarinya adalah Allah. Manfaat yang dihasilkannya
pun tidak saja untuk kepentingan dunia tapi juga untuk kebahagiaan
akhirat. Bukti keberadaan Allah didasarkan banyak dalil yaang kuat
dan bukti yang nyata diantaranya: bukti fitrah, bukti Inderawi, bukti
Rasional, bukti Nash, dan bukti Sejarah.
Syirik dari segi bahasa artinya mempersekutukan, secara
istilah adalah perbuatan yang mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang lain. Hati orang-orang syirik tertutup untuk menerima
kebenaran baik yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya cinta kepada allah adalah pondasi yang
mendasari agama Islam, dengan cinta yang sempurna itulah agama ini
menjadi sempurna.
B. Saran
Melalui Makalah ini semoga dapat membantu memberikan
Informasi kepada semua pembaca mengenai Ma’rifatullah / Mengenal
Allah, dan supaya kita menjadi Manusia yang lebih baik dalam
menjalankan roda kehidupan. Dan dalam pembuatan makalah ini
mungkin masih jauh dari kesempurnaan, Kritik dan saran yang
membangun saya sangat harapkan dari segenap pembaca Makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
42
Tim Penyusun, 2008. Akidah Akhlak al-Hikmah, Surabaya: Akik Pusaka.
Usus Manhaj As Salaf Fi Dakwah Ila Allah, karya Fawaaz Halil As Suahaimi,
Cetakan Pertama, Tahun 1423H, Dar Ibnu Hazm, Kairo, Mesir, hlm.
85.