Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SUMBER ILMU PENGETAHUAN

MATA KULIAH TAFSIR TARBAWI 1

Dosen Pengampu:

Hamdi Pranata, M.Ud

Di susun oleh

M Fathul Darmawan : 01323.111.17.2020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TUANKU TAMBUSAI

KABUPATEN ROKAN HULU

PASIR PENGARAIAN

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama Puja-puji syukur senantiasa patut kita haturkan kepada
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat yang kian tiada terhitung, nikmat besar hingga
nikmat terkecilpun dapat kita rasakan hingga detik ini. Shalawat dan salam kita haturkan kepada
sang junjungan alam kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita pada
nikmatnya kehidupan yakni dengan adanya Islam wal Iman.

Kami ucapkan terima kasih pula kepada dosen pembimbing mata kuliah “Studi Hadist“
yang telah berupaya membimbing kami dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Tujuan
pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa, membentuk sumber daya, akal serta watak
manusia menjadi lebih baik. Berakhlak mulia dan berbudi luhur serta mempunyai wawasan
pengetahuan yang luas.

Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ataupun kesalahan
dalam bentuk apapun, karena manusia tidak luput dari salah dan dosa. Makalah ini kami buat
dengan harapan agar dapat membantu kita semua untuk mengetahui apa yang mencangkup
tentang”pengenalan takhrij hadist” Akhirnya, kami sebagai pemakalah berpengharapan besar,
semoga makalah yang telah kami susun dapat menambah wawasan khususnya pada kami selaku
penyusun, dan umumnya teman-teman sekalian

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................1
1.3 Tujuan .................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................2
2.1 definisi ilmu pengetahuan dalam islam ...............................................................2
2.2 kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam .........................................................2
2.3 mengetahui dan memahami ayat-ayat tentang ilmu
pegetahuan beserta penafsirannya .......................................................................3
BAB III PENUTUP .............................................................................................................10
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................10
3.2 Saran ...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang


Allah SWT menciptakan manusia dan memberinya akal tidak lain adalah agar
manusia mau berfikir terhadap berbagai kejadian atau fenomena yang terjadi di muka bumi ini
sehingga manusia mengenal berbagai macam tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah SWT
menciptakan fitrah yang bersih dan mulia itu lalu melengkapinya dengan bakat dan sarana
pemahaman yang baik yang memungkinkan manusia mengetahui kenyataan-kenyataan besar di
alam jagat raya ini. Fitrah manusia mukmin mengarah ke alam raya untuk mengungkap rahasia
dan tujuan penciptaannya serta berakhir dengan memahami posisi dirinya di alam raya ini dan
menentukan bagaimana ia harus berbuat dan bersikap di dalamnya. Ilmu yang diperoleh manusia
semestinya dapat membuahkan penanaman aqidah dan pendalaman keimanan yang tulus kepada
Allah.
1.2 Rumusan  Masalah
A. Bagaimana definisi ilmu pengetahuan dalam islam?
B. Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam?
C. Bagaimana mengetahui dan memahami ayat-ayat tentang ilmu pegetahuan beserta
penafsirannya?
1.3 Tujuan
A. Mengetahui definisi ilmu pengetahuan dalam islam.
B. Memahami kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam.
C. Mengetahui dan  memahami ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan beserta penafsirannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah pengetahuan manusia mengenai segala hal yang dapat diindera oleh potensi
manusia (penglihatan, pendengaran, perasaan dan keyakinan) melalui akal atau proses berfikir
(logika). Ini adalah konsep umum (barat) yang disebut (knowledge). Pengetahuan yang telah
dirumuskan secara sistematis merupakan formula yang disebut ilmu pengetahuan  (science).
Dalam Al-Qur’an, keduanya disebut (ilmu). Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang
dimaksud ilmu itu tidak terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (sience) saja,
melainkan justru diawali oleh ilmu Allah yang dirumuskan dalam lauhul mahfudzh yang
disampaikan kepada kita melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah1.
Ilmu Allah itu melingkupi semua ilmu, mencakup semua ilmu manusia, tentang alam
semesta dan manusia itu sendiri. Bila diikuti jalan fikiran ini, maka dapatlah kita fahami bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber pengetahuan bagi manusia (Knowledge dan science). Dengan
membaca dan memahami Al-Qur’an, manusia pada hakekatnya akan memahami ilmu Allah,
yaitu firman-firman-Nya2.
      Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan apa-apa yang terkandung dalam al-qur’an, kita
dapat membulatkan pernyataan bahwa ilmu yang dimiliki oleh manusia dan yang wajib dituntut
oleh manusia, semua berporos pada agama. Agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam
mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan
bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka
Islam diturunkan ke alam semesta. Melalui akal, manusia dengan proses berfikir berusaha
memahami berbagai realita yang hadir dalam dirinya, sehingga manusia mampu menemukan
kebenaran sesuatu, membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Sehingga dapat dikatakan
bahwa akal dan kemampuan berfikir yang dimiliki manusia adalah fitrah manusia yang
membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
2.2 Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Sebagai orang yang rendah pengetahuan keislamannya beranggapan bahwa Al-Qur’an
adalah sekedar kumpulan cerita-cerita kuno yang tidak mempunyai manfaat yang signifikan
terhadap kehidupan modern, apalagi jika dikolerasikan dengan kemajuan IPTEK saat ini. Al-
1
Qohar Masjqoery, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta, 2003), hlm. 213
2  
Ibid. hlm. 216

2
Qur’an menuntut mereka cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan pahala bacaannya, tidak
untuk digali kandungan ilmu didalamnya, apalagi untuk menjawab permasalahan-permasalahan
dunia modern dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan, hal itu adalah sesuatu yang keliru.
Anggapan-anggapan di atas merupakan indikasi bahwa orang tersebut tidak mau berusaha untuk
membuka Al-Qur’an dan menganalisis kandungan ayat-ayatnya. Oleh karenanya maka anggapan
tersebut adalah sangat keliru dan bertolak belakang dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.
Bukti-bukti ini yang menunjukkan sebaliknya misalnya, bahwa wahyu yang pertama kali
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah perintah untuk
membaca/belajar dan menggunakan akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau dzikrullah.
Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini, menunjukkan perhatian Islam yang besar terhadap
ilmu pengetahuan.
Sejarah menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan melaksanakan
agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar yang menguasai
dalam  disiplin ilmunya masing-masing, sehingga Barat pun belajar dari mereka. Baru di masa
kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan
berpaling ke barat, maka Allah SWT merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh telah
benar Rasulullah SAW yang telah memperingatkan umatnya dalam hal ini. Karena kedudukan
ilmu yang sedemikian tingginya, maka islam mewajibkan umatnya untuk memperlajari ilmu.[2]
2.3 Ayat-ayat tentang Ilmu Pengetahuan

A. Surat Al-Baqarah (31-32)

ٓ
َ ٰ ۡ‫ال َأ ۢن‍بُِٔونِي بَِأ ۡس َمٓا ِء ٰهَُٓؤٓاَل ِء ِإن ُكنتُم‬
٣١ َ‫ ِدقِين‬F ‫ص‬ َ َ‫ضهُمۡ َعلَى ۡٱل َم ٰلَِئ َك ِة فَق‬ َ ‫َو َعلَّ َم َءا َد َم ٱَأۡل ۡس َمٓا َء ُكلَّهَا ثُ َّم َع َر‬
           ٣٢  ‫ك َأنتَ ۡٱل َعلِي ُم ۡٱل َح ِكي ُم‬ َ َّ‫وا س ُۡب ٰ َحنَكَ اَل ِع ۡل َم لَنَٓا ِإاَّل َما َعلَّمۡ تَن َۖٓا ِإن‬
ْ ُ‫قَال‬

Artinya :

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! (31). Mereka menjawab: "Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (32).

3
Tafsir Ayat :

        Pada firman-Nya : “kemudian Dia memaparkannya kepada malaikat..”, ada yang


memahaminya sebagai waktu yang relatif lama antara pengajaran Adam dan pemaparan itu, dan
ada juga yang memahaminya bukan dalam arti selang waktu, tetapi sebagai isyarat tentang
kedudukan yang lebih tinggi, dalam arti pemaparan serta ketidakmampuan malaikat dan jelasnya
keistimewaan Adam as. melalui pengetahuan yang dimilikinya, serta terbuktinya ketetapan
kebijaksanaan Allah menyangkut pengangkatan Adam as. sebagai kholifah, semua itu lebih
tinggi nilainya dari pada sekedar informasi tentang pengajaran Allah kepada Adam yang
dikandung oleh penggalan ayat sebelumnya. Firman-Nya :  “innaka anta al-‘alim al-hakim /
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana”, mengandung dua
kata yang menunjukkan kepada mitra bicara yaitu huruf (‫ )ك‬kaf pada kata ( ‫ )إنك‬innaka dan kata (‫أ‬
‫ )نت‬anta. Kata anta oleh banyak ulama dipahami dalam arti penguat sekaligus untuk memberi
makna pengkhususan yang tertuju kepada Allah swt. Dalam hal ini pengetahuan dan hikmah,
sehingga penggalan ayat ini menyatakan “Sesungguhnya hanya Engkau tidak ada selain
Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Kata (‫ )العليم‬al-‘alim terambil dari akar
kata (‫‘ )علم‬ilm yang menurut pakar-pakar bahasa berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan
keadaannya yang sebenarnya. Allah swt. dinamai (‫الم‬FFF‫)ع‬ ‘aalim atau (‫)عليم‬ ‘alim karena
pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil-kecilnya
apapun. Kata (‫)الحكيم‬ al-hakim dipahami oleh sementara ulama dalam arti Yang Memiliki
hikmah, sedang hikmah lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai (
‫)حكيم‬ hakim, hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata (‫)حكمة‬ hakamah, yang
berarti kendali karena kendali menghalangi hewan atau kendaraan mengarah ke arah yang tidak
diinginkan.3

Analisa :

Ayat ini menjelaskan tentang kebijaksanaan Allah dalam menetapkan Adam sebagai
khalifah berkat keistimewaan Adam a.s melalui pengetahuan yang dimilikinya serta kekeliruan
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 147.

4
malaikat  sebagaimana dipahami dari kata kemudian Allah mepaparkan benda-benda itu kepada
para malaikat lalu berfirman, “ sebutkan kepada ku nama-nama benda itu, jika kamu orang-
orang yang benar dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah”. Sebenarnya
perintah ini bukan bertujuan menugaskan menjawab. Para malaikat yang ditanya itu secara tulus
menjawab sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah
engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui lagi maha
bijaksana maksudnya mereka, apa yang engkau tanyakan itu tidak pernah engkau ajarkan kepada
kami. Engkau tidak ajarkan kepada kami bukan karna engkau tidak tau, tetapi ada hikmah dibalik
itu. Demikian jawaban malaikat yang bukan hanya mengakui tidak mengetahui jawaban
pertanyaan tetapi sekaligus mengakui kelemahan mereka dan kesucian Allah SWT. Dari segala
macam kekurangan atau ketidakadilan, sebagaimana dipahami dari penutup surat ini.  Jawaban
para malaikat sesungguhnya Engkau mengatahui lagi maha bijaksana, juga mengandung makna
bahwa sumber pengetahuan adalah Allah SWT. Jadi, Allah maha mengetahui segala sesuatu,
termasuk yang wajar menjadi khalifah, dan Dia maha bijaksana dalam segala tindakannya,
termasuk menetapkan mahluk yang wajar menjadi khalifah.

B. Surat Taubah (9) ayat 122

ْ Fُ‫ة لِّيَتَفَقَّه‬Fٞ Fَ‫ة ِّم ۡنهُمۡ طَٓاِئف‬Fٖ Fَ‫ُوا َكٓافَّ ٗۚة فَلَ ۡواَل نَفَ َر ِمن ُكلِّ فِ ۡرق‬
ْ ‫ ِذر‬F‫دِّي ِن َولِيُن‬F‫وا فِي ٱل‬F
‫ُوا‬ ْ ‫َو َما َكانَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لِيَنفِر‬
١٢٢ َ‫همۡ لَ َعلَّهُمۡ يَ ۡح َذرُون‬ ِ ‫قَ ۡو َمهُمۡ ِإ َذا َر َجع ُٓو ْا ِإلَ ۡي‬
     Artinya :

 Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tafsir Ayat :

                        Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad, serta
kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-
duyun dan dengan penuh semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada tempatnya karena ada

5
area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang menyatakan bahwa ketika Rasul saw. tiba
kembali di Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa
daerah. Hal ini banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika
diperturutkan, tidak akan ada yang tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali beberapa gelintir
orang saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan
menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar
bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang
melaksanakan  tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi
umum, maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar, di antara
mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan
untuk orang lain dan juga untuk memberi peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan
anggota pasukan yang ditugaskan oleh Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya
tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka yang memperdalam
pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul saw. karena tugasnya dapat berhati-
hati dan menjaga diri mereka4.

                         Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan bahwa kata thaaifah dapat


berarti satu atau dua orang. Sementara ulama yang lain tidak menentukan jumlah tertentu, namun
yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna . Sekelompok manusia yang berbeda dengan
kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing dapat dinamai
dengan firqah. Sedangkan kata liyatafaqqahuu terambil dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang
mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan hanya sekadar pengetahuan.
Penambahan huruf taa pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan
keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikianlah kata-
kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan. Sementara
kata fiqh bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh,
yakni pengetahuan tentang hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh
melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup segala macam
pengetahuan mendalam.5

4
Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), Hlm. 187
5
Ibid. hlm. 188

6
Analisa :

                           Orang-orang yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad dan
meninggalkan negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang tinggal disana
dan satu kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali ke
kampung halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya yang tidak
ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya tentang agama
Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan melanggar perintah-Nya.
Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka dengan mengamalkan kitab-Nya
dan sunnah Nabi SAW.

C. Surat Az-Zumar (39) ayat 9

َ‫ت َِوي ٱلَّ ِذين‬F‫ل يَ ۡس‬Fۡ Fَ‫ل ه‬Fۡ Fُ‫ ةَ َربِّ ِۗۦه ق‬F‫وا َر ۡح َم‬F َ F‫ح َذ ُر ٱأۡل ٓ ِخ‬
ْ F‫رةَ َويَ ۡر ُج‬F Fۡ َ‫ ا ي‬F‫اج ٗدا َوقَٓاِئ ٗم‬ ٌ ِ‫َأ َّم ۡن هُ َو ٰقَن‬
ِ ‫ت َءانَٓا َء ٱلَّ ۡي ِل َس‬
٩‫ب‬ ِ َ‫وا ٱَأۡل ۡل ٰب‬
ْ ُ‫ونَ ِإنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر ُأوْ ل‬
ۗ ‫يَ ۡعلَ ُمونَ َوٱلَّ ِذينَ اَل يَ ۡعلَ ُم‬

Artinya :

 (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang
dapat menerima pelajaran.

Tafsir Ayat:

                    Allah berfirman : Apakah orang yang beribadah secara tekun dan tulus di waktu-
waktu malam dalam keadaan sujud akan berdiri secara mantap demikian juga yang rukuk dan
duduk atau berbaring, sedang ia terus menerus takut siksa akhirat dan saat yang sama
senantiasa mengharapkan rahmat Tuhannya sama dengan mereka yang baru berdoa saat
mendapat musibah dan melupakan-Nya ketika memperoleh nikmat serta menjadikan bagi Allah
sekutu-sekutu? Tentu saja tidak sama! Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui hak-hak Allah dan mengesakan-Nya dengan orang yang tidak mengetahui hak Allah

7
dan mengkufuri-Nya? Sesungguhnya orang yang dapat menarik banyak pelajaran adalah Ulul
Albab, yakni orang-orang yang cerah pikirannya.

                        Awal ayat di atas ada yang membacanya aman dalam bentuk pertanyaan dan ada juga yang
membacanya amman. Yang pertama merupakan bacaan Naafi, ini merupakan pendapat Ibnu
Katsir, dan Hamzah. Ia terdiri dari huruf alif  dan man yang berarti siapa. Kata man berfungsi
sebagai subjek (mubtada), sedang predikat (khabar)-nya tidak tercantum karena telah
diisyaratkan oleh kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang kafir mengada-
adakan bagi Allah sekutu-sekutu dan seterusnya. Menurut Quraish bahwa bacaan
kedua amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini pada mulanya terdiri dari dua kata
yaitu am dan man, lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya. Ia mengandung dua kemungkinan
makna. Yang pertama kata am yang berfungsi sebagai kata yang digunakan bertanya. Maka
dengan demikian ayat ini bagaikan menyatakan “Apakah si kafir yang mengadakan sekutu-
sekutu bagi Allah sama dengan yang percaya dan tekun beribadah? Yang kedua,
kata am berfungsi memindahkan uraian ke uraian yang lain, serupa dengan kata bahkan. Makna
ini menjadikan ayat di atas bagaikan menyatakan. “ Tidak usah mengancam mereka, tapi
tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan sekutu bagi Allah dengan yang tekun
beribadah? Sedangkan kata qaanit terambil dari kata qanuut, yaitu ketekunan dalam ketaatan
disertai dengan ketundukan hati dan ketulusannya. Sementara itu, ulama menyebut juga nama-
nama tertentu bagi tokoh yang dinamai qaanit oleh ayat di atas, seperti Sayyidina Abu Bakar,
atau ‘Ammar Ibnu Yasir ra. dan lain-lain. Ini merupakan contoh dari sekian tokoh yang dapat
menyandang sifat tersebut. Dengan kata lain ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin
siapa yang tekun itu. Sikap lahirnya digambarkan oleh kata-kata saajidan/ sujud dan qaaiman/
berdiri sedangkan sikap batinnya dilukiskan oleh kalimat yahdzaru al-akhirata wa yarjuu ar-
rahmah/ takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. 

Analisa :

Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu) dengan
melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengaharapkan
ridha dari Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu
ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan

8
ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian
akhlak yang mulia.

Sehubungan dengan ayat ‫ون‬66‫ذين ال يعلم‬66ّ‫ون وال‬66‫ذين يعلم‬66ّ‫توى ال‬66‫ل يس‬66‫ه‬, al-Maraghi mengatakan:
“Katakanlah hai rasul kepada kaummu, adakah sama, orang-orang yang menengetahui bahwa ia
akan mendapatkan pahala karena ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan
disebabkan karena kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui al-hal yang demikian itu?”
Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukan bahwa yang pertama (orang-orang yang
mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan yang kedua (-orang-orang yang
tidak mengetahui) akan mendapatkan kehinaan dan keburukan.
Imam Al Qurtubi berkata: "Menurut Az-Zujaj Radhiyallahuanhu, maksud ayat tersebut yaitu
orang yang tahu berbeda dengan orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama
dengan orang bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil manfaat
dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmu serta tidak
mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak mengetahui".

BAB III

PENUTUP

9
3.1    Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal hakikat segala
sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi
orang yang tak berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam
semesta.

Allah akan meninggikan tempat bagiorang-orang yang berilmu disurganya dan menjadikan
mereka di dalam surga termasuk orang-orang yang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan.
Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga
merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT
sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya.

3.2  Saran
Demikian makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan
makalah ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.

10
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati.


  Nata, Abudin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hamka. 1998. Tafsir Al-Azhar. jilid 10. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Masjqoery, Qohar. 2003. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Gunadarma.

Anda mungkin juga menyukai