Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FIQH MAWARIS

"Syarat dan rukun kewarisan, sebab sebab menerima waris dan halangan menerima

waris".

Dosen Pengampu : AMRIN BOROTON, M.H

Disusun Oleh :

Hanifah

Fitri Novita Sari

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TUANKU TAMBUSAI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

KABUPATEN ROKAN HULU PASIR PENGARAIAN PROVINSI RIAU

PERIODE 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih di beri kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini yang
merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Fiqh Mawaris yang di ampu oleh dosen:
Amrin Borotan M.H.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini, untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang berkonstribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya, maka oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari rekan-rekan sekalian,
sehingga makalah yang kami buat ini menjadi makalah yang sempurna.semoga bermanfaat
bagi para mahasiswa-mahasiswi, khususnya pada kami dan semua yang membaca makalah
ini, Dan mudah-mudahan juga dapat menambah wawasan pembaca.

Pasir Pengaraian 27 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................

A. LATAR BELAKANG........................................................................................................

B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................

C. TUJUAN..............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................

A. Rukun-rukun Mewarisi ....................................................................................................

B. Syarat-syarat Mewarisi......................................................................................................

C. Sebab-Sebab Mewarisi ......................................................................................................

D. Halangan Mewarisi.............................................................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................

A. KESIMPULAN.................................................................................................................

B. SARAN..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu
baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada
keluarganya yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan)
Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang
tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33)
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari
hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa
meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫وارث‬77‫)م‬, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau
dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah,
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik yang legal secara syar’i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris

4
dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah
meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-
Quran dan al-Hadis.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun, syarat serta sebab-
sebab dalam waris mewarisi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun- rukun mewaris?
2. Apa saja syarat-syarat mewaris?
3. Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?
4. Mengetahui apa saja halangan mewarisi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui rukun-rukun mewaris
2. Untuk mengetahui syarat-syarat mewaris
3. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris
4. Untuk mengetahui apa saja halangan mewarisi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Rukun –Rukun Mewarisi


Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun
waris. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak
terjadi pewarisan.1
Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :
1. Muwarrits (pewaris)
Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah
meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi-
bagikan atau pengalihan harta kepada para ahli waris.
2. Warits (ahli waris)
Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang
berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya
hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun
sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan
dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.
3. Mauruts (harta waris)
Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang
di tinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah
di ambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan
melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun di
sebut juga dengan tirkah atau turats.
Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia

1
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV diponegoro)hlm,49

6
(muwarits) yang dibenarkan syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris
(waris), yang meliputi:
a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai
b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian
c. Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)
d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain
(piutang, hak gadai yang sesuai syari’ah, penulis).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Mauruts (harta waris) adalah harta bawaan di tambah bagian dari
harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171
huruf
B. Syarat-Syarat Mewarisi
Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya
syarat- syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :
1. Meninggal dunianya muwarris (pewaris).
Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu:
(Fathur Rahman, 1981 :79)
a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca
indra.
b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di
sebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun
sudah mati.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada
dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
2. Hidupnya warits (ahli waris).
Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini
antara lain mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam
keadaan mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan
anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu,
pembagian waris dapat di tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.

7
3. Mengetahui status kewarisan2
Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti,
misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui
dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli
waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang di terima, karena tidak cukup hanya mengatakan
bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus di nyatakan
apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada
yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang
tidak terhalang.

C. Sebab-Sebab Mewarisi.
Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan
si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya
kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan
bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan
mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri.
Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama
baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di
percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang,
menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di
percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk
membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak
kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang
membebaskan budak).
Begitu juga dalam system individual mengenai ketentuan islam mengenai siapa
berkewenangan memperoleh hak waris tapi ada juga sekaligus sisi kolektif dalam arti
person yang menikmati lebih lebar dalam ketentuan mengenai siapa memperoleh
kewenangan hak waris. Didapatkan dalam islam beberapa sebab yang menjadi
pendukung mengapa seseorang tertentu di beri kewenangan memperoleh hak waris
2
Fathur rahman, ibid, hlm 80

8
atas harta yang di tinggalkan, sebab yang menjadi penentu ini dalam literature fiqih
disebutkan ada 3 hal:
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab).
diantara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang
masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara
keduanya. Adanya hubungan kekerabatan yang di tentukan oleh adanya
hubungan darah seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
2. Pernikahan.
yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama)
antara keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa
menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3. Al –wala’.
yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Di sebut juga wala’ al-‘itqi dan
wala’ an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-‘itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh
karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap
budak yang di bebaskan bila budak itu tidak memliki ahli waris yang hakiki,
baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.[6]
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah
firman Allah :

‫للرجال نصيب مما ترك الولدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الولدان واألقربون مما قل منه اوكثر نصيبا مفروضا‬

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan karabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah di
tetapkan.[7]
Adapun menurut ulama malikiyah, syafiiyah, dan hanbaliyah
Menutut pendapat ulama-ulama ini yang di maksud dengan harta peninggalan
itu adalah:” segala yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda

9
maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan
kebendaan.”[8]
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75

3
.‫والذين امنوامن بعدوها جرواوجا هدوامعكم فاولئك منكم واولواالرحام بعضهم اولى ببعض في كتا ب هللا‬

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab
Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
a. Adanya hubungan kekerabatan (nasab)
b. Adanya hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur
dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah.
“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan
yang mewarisi, kerabat dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu:
1) Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris
2) Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
3) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui
garis menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya
tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

D. Halangan Mewarisi
1. Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :
Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan
gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan
pewaris Ahli waris yang terkena halangan ini disebut mahrum atau mamnu’
Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu :
a. Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya
seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak
3
Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) hlm, 45

10
mendapatkan warisan.(Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit.,
hal.41.) Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya
menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang
terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah
bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Mengingat,
banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi nyawa
orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak
mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya
selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi
pembunuh tidak berhak atas warisan (Riwayat Ahmad) (Ibid.).
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis :
Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak
langsung (tasabub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi
menjadi empat, yakni pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan
yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak sengaja.
Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang
membuat lubang di kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok
ke dalam lubang tadi dan meninggal dunia. Matinya korban
disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat
lubang tersebut.
Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan
penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung ,
bukan penghalang untuk mewaris.
b. Berbeda agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli
waris.4
Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya
beragama Kristen, atau sebaliknya.
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam

4
Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan) Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.hal, 62

11
sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang
untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah
hilang sebelum harta warisan dibagi.
c. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai
hamba sahaya (budak).(Ibid., hal 39.) Islam sangat tegas tidak
menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat
menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada
hakikatnya, perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam.
Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang
menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
2. Hijab
Hijab adalah terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima warisan,
disebabkan adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari
padanya.
Terdapat 2 macam hijab, yakni:hijab nuqshaan, dan hijab hirman.
a. Hijab nuqshan
Adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris disebabkan
adanya orang lain. Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut
: (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500.)
Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat apabila ada anak;
Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan apabila ada
anak; Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam apabila ada
keturunan yang mewarisi; Anak perempuan dari anak laki-laki;
Saudara perempuan seayah;
b. Hijab hirman atau hijab penuh

12
Adalah terhalangnya semua warisan seseorang karena adanya
orang lain, seperti terhalangnya warisan saudara laki-laki dengan
adanya anak laki-laki, ditegaskan dari dua asas berikut :
(Ibid.,hal.501.)
Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pewaris karena
adanya orang lain itu, maka dia tidak menerima warisan apabila
orang tersebut ada. Misalnya, anak laki laki dari anak laki-laki tidak
menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali
anak anak laki-laki dari ibu maka mereka itu mewarisi bersama
dengan ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayat
karena dia;
Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih
jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara
laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat maka diseleksi dengan
kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki
sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah.
Ahli waris yang dapat terhijab penuh adalah seluruh ahli waris
kecuali anak, ayah, ibu, dan suami atau isteri. Kelima ahli waris ini
tidak akan pernah terhijab secara hijab penuh. Anak laki-laki dan
ayah dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh sedangkan
suami-isteri tidak pernah menghijab siapapun di antara ahli waris.
(Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Padang,
2004, hal.201.)
3. Perbedaan antara Mahrum dan Hijab
Terdapat beberapa perbedaan antara mahrum dan hijab, yaitu : (Sayyid
Sabiq,Op.Cit., hal 501.)5 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi,
seperti orang yang membunuh pewaris. Sedangkan hijab berhak mendapatkan
warisan, tetapi dia terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama
darinya untuk mendapatkan warisan;
Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak
menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada. Misalnya,
apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan
seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan itu semua adalah bagi saudara
5
K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta) hal,36

13
laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak mendapatkan apa apa. Sedangkan
hijab maka terkadang ia mempengaruhi orang lain. (Ibid.)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :

 Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan
 Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si
mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau
pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
 Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan di
warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat atau wasiat.

2. Seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi


yaitu:

14
 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).
 Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut
muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.

Hidupnya warits (ahli waris).

 Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris
merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu di
dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia, maka
ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata.

Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, adanya hubungan suami
istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi penghalang
untuk mewarisi.

3. Hal yang menyebabkan orang mendapatkan warisan ada 3 yaitu:

 Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.

Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun
belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya.

 Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. disebut wala’ al-‘itqi dan wala’ an
ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak
memliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali
pernikahan.

B.SARAN

15
Dalam makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik
ALLAH, untuk itu kami selaku penulis mengharap saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif)

Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV
diponegoro)

Salman Otje & haffas Mustofa, 2002, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama)

Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Bandung : PT.
Citra aditya bakti,)

Dian khoirul umam, 1999, fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka setia)

Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT raja grafindo persada)

16
Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan)
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta)

Syarifuddin amir, 2004 hukum kewarisan islam, (prenada media, jakarta)

Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro,
1995)

Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)

Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)

17

Anda mungkin juga menyukai