Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIKIH MAWARIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fikih
Dosen Pengampu : Drs. H. E. Z. Abidin, M. Pd. I

Disusun Oleh :
Evi Rismawani
Lira Ariyanti
Shofa Ainul Asfiya
KELOMPOK 2

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI PUI MAJALENGKA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT.yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Fikih Mawaris” Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai
pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik
dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makaalah ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

Talaga, 23 Desember 2023

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………….…... i


Daftar Isi ……………………………………………………………….…… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….………. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………….….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………… 2
A. Rukun Dan Syarat Kewarisan ………………………………………. 2
B. Sebab-Sebab Kewarisan ……………………………………………. 6
C. Penghalang Dalam Kewarisan ……………………………………… 7
BAB III PENUTUP ………………………………………………………… 11
A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 11
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu dari bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum

waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab

setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum


kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya

seseorang di atur oleh hukum waris. Dalam pengertian hukum “waris” sampai

saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun dalam hukum kepustakaan

ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keragaman pengertian, sehingga istilah

untuk hukum waris beraneka ragam.

Ruang lingkup kajian hukum islam terkait dengan waris sangat luas. Di

antarana meliputi orang-orang yang berhak menerima waris, dan masih banyak

lagi seperti tentang penambahan atau pengurangan bagian waris. Orang yang

berhak menerima waris, dalam konteks hukum islam dibagi ke dalam tiga

golongan yakni Dzul faraidh, Dzul qarabat, dan Mawali.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Menjadi Rukun dan Syarat Kewarisan?

2. Apa Yang Menjadi Sebab-Sebab Kewarisan?

3. Apa Yang Menjadi Penghalang dalam Kewarisan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rukun Dan Syarat Kewarisan

Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu:

a. Pewaris (Al-Muwarris)

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama islam,

meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah
pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan ha

katas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada

keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih

hidup dan mengalihkan haknya kepada keluargana tidak dapat disebut

pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang

kematiannya.

Menurut sisem hukum waris islam, pewaris adalah orang yang

memiliki harta semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama

islam. Baik yang mewariskan maupun yang diwarisi harta warisan

harus beragama islam.

Sedangkan pengertian pewaris menurut pasal 171 KHI huruf b yaitu

“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama

islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.”

Syarat pewaris adalah benar-benar meninggal dunia. Apakah

meninggal secara hakiki, secara yuridis atau secara taqdiry berdasarkan

pikiran.

2
a) Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan

dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.

b) Mati Hukmy adalah seseorang yang secara yuridis melalui putusan

hakim dinyatakan telah meninggal dunia.

c) Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal

dunia. Misalnya karena ia ikut ke medan perang, atau tujuan lain

yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun

tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat

bahwa ia telah meninggal maka dapat dinyatakan bahwa ia telah

meninggal.

b. Harta Warisan (Al-Mauuruts)

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari

harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit

sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran

utang serta wasiat pewaris.

Harta wasiat menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan

harta bersama dikurang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris

selama sakit dan setelah meninggal dunia. Misalnya pembayaran utang,

pengurusan jenazah, dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum

waris islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris.

Harta warisan beda dengan harta peninggalan. Tidak semua harta

peninggalan menjadi harta warisan yang apat diwariskan kepada ahli

waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun

berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut paut dengan orang lain.

Pengertian harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang

yang mati secara mutlak. Sedangkan pengertian harta warisan menurut

3
pasal 171 huruf e KHI yaitu “Harta warisan adalah harta bawaan

ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan

pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Harta

warisan juga merupakan segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

c. Ahli Waris (Warits)

Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan

darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan

tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Berdasarkan

definisi maka syarat ahli waris yaitu:

a) Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, misalnya anak

kandung, orang tua pewaris, dan seterusnya.

b) Mempunyai hubungan perkawinan (suami/istri pewaris)

c) Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris.

d) Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh

pewaris.

Dan adapun yang menjadi Syarat Kewarisan diantaranya yaitu:

1) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun

secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).

2) Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris

meninggal dunia.

3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian

masing-masing.

Syarat pertama : pewaris benar-benar telah meninggal, baik

meninggal mati (hakiki), yaitu kematian seseorang yang dapat

4
diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah

meninggal dunia, maupun mati hukmi, adalah kematian seseorang yang

secara yuridis ditetapkan melalui putusan hakim dinyatakan telah

meninggal dunia. Menurut pendapat malikiyah dan hambaliyah, apabila

lama meninggalkan tempat itu sampai berlangsung selama 4 tahun,

sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lainnya,

terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari


berbagai macam segi kemungkinannya.

Syarat Kedua : Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris

meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada

saat pewaris meninggal. Maka jika dua orang yang saling mempunyai

hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi

tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dahulu, diantara mereka
tidak terjadi wari mewaris.

Syarat ketiga : Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan

pada ahli waris atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui

bahwa ahli waris yang bersangkutan berhak waris. Syarat ketiga ini

disebutkan sebagai suatu penegasan yang diperlukan, terutama

dipengadilan meskipun secara umum telah disebutkan dalam sebab-


sebab kewarisan.

5
B. Sebab-Sebab Kewarisan

Menurut Sayid Sabiq, seorang dapat mewarisi harta warisan karena 3 hal,
yaitu:

1. Hubungan keturunan (Nasab)

Hubungan nasab yang dimaksud di sini adalah hubungan nasab yang

disebabkan oleh proses kelahiran, ditinjau dari garis yang menghubungkan

nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan

dalam 3 golongan, yaitu:


a) Furu’ : anak keturunan dari si mati.

b) Ushul : leluhur yang telah menyebabkan kelahiran si mati.

c) Hawasy : keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui garis

menyamping seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunannya.

2. Hubungan Pernikahan

Berlaku atas dasar perkawinan dengan artian suami menjadi ahli waris

bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi suaminya

yang meninggal. Perkawinan menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan

antara suami dan istri didasarkan atas dua syarat berikut: perkawinan sah

menurut hukum islam, yaitu syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, dan

antara keduanya telah terjadi akad nikah yang sah. Perkawinan masih utuh,

yaitu suami istri masih terkait dalam ketentuan ini istri yang masih dalam

status masa iddah talak raj’i.

3. Hubungan Perbudakkan

Hubungan waris mewarisi karena perbudakan adalah timbul karena

proses pembebasan budak oleh seorang tuanya meskipun mereka tidak ada

hubungan darah. Jadi seorang budak dapat menjadi ahli waris dari tuannya

6
begitu juga sebaliknya. Namun pada zaman sekarang perbincangan tentang

budak hanya menjadi wacana terdahulu saja.

Terkait masalah harta peninggalan seseorang yang tidak memiliki anak

atau istri, kompilasi hukum islam tidak mengatur pembagian warisnya. Namun,

jika melihat sebab-sebab timbulnya hak waris dalam hukum islam, yakni

karena hubungan nasab (darah), hubungan perkawinan, dan Walaa maka kita

akan dapat menjawabnya. Bagi seseorang yang tidak menikah maka harta

warisannya akan jatuh ke kelompok nasab almarhum, yakni kedua orang tua

almarhum (nasab ushuul) dan saudara kandung dengan bagian untuk ayah 1/3

bagian, ibu mendapat bagian 1/6 bagian.

C. Penghalang Dalam Kewarisan

Hukum islam menentukan beberapa macam penghalang kewarisan yaitu

Murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam kompilasi Hukum

Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173 yang berbunyi :

“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya

berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5

tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Di dalam hukum waris adat yang dipengaruhi oleh agama islam, seseorang

dapat kehilangan hak mawaris atau dengan kata lain seseorang tidak berhak

menerima warisan apabila ahli waris membunuh pewaris.

7
Hukum waris Perdata menentukan empat sebab seseorang kehilangan hak

mewaris sebagai berikut :

1. Ahli waris yang dipidana karena membunuh atau melakukan percobaan

pembunuhan terhadap pewaris.

2. Ahli waris yang dipidana karena memfitnah dan mengadukan bahwa

pewaris telah melakukan kejahatan dengan ancaman empat tahun atau lebih.

3. Ahli waris yang melakukan kekerasan untuk menghalangi pewaris membuat

atau mencabut surat wasiat.

4. Ahli waris yang menggelapkan atau memusnahkan atau memalsukan surat

wasiat.

Hukum waris islam menyebutkan ada tiga penyebab seseorang kehilangan

hak mewaris, sebagai berikut:

1. Ahli waris telah membunuh pewaris.

2. Ahli waris telah meninggalkan agama islam, begitu juga sebaliknya ia tidak

mewariskan kepada ahli waris yang beragama islam.

3. Ahli waris yang tidak beragama islam tidak dapat menerima warisan dari

pewaris yang beragama islam.

Di antara ahli waris ada yang terhalang mendapat harta warisan, karena

beberapa sebab:

a. Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari pewaris yang dibunuhnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. : “Tidak berhak

pembunuh mendapat sesuatu pun dari harta warisan”. (HR An-Nasa’I

dengan isnad yang shahih). Dalam hadis lain : “ Rasulullah Saw, bersabda,

barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak menerima

warisannya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain

8
dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak

berhak atas warisan. (HR Ahmad)

Secara teknis tentang pembunuh yang membunuh pewaris terhlang

mendapat harta warisan, telah diatur dalam pasal 173 Kompilasi Hukum

Islam, “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan

hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum

karena:

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pewaris.

2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hykyman yang lebih berat.”

b. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang

beragama islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw.,

“Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak

mewarisi orang Islam” (HR Jama’ah). Dari hadis : “Tidak saling mewarisi

antara dua orang pemuluk agama yang berbeda” (HR Ashhab Sunan).

Dan firman Allah Swt. Dalam surat An-Nisa’ [4]:141:

َ َ‫َولَ ْن يَجْ عَ َل هللا ِل ْل َك ِف ِريْن‬


‫سبِ ْيلا‬

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk menguasai orang-orang yang beriman.

c. Perbudakan, budak dinyatakan menjadi penghalang mewarisi, karena

status dirinya yang dipandang tidak cakap hukum. Demikian kesepakatan

mayoritas ulama. Firman Allah dalam surat An-Nahl [16]:75

menunjukkan:

َ ‫ب هللا َمثَلا َع ْبداا َّم ْملُ ْو اكا الَّ َي ْقد ُِر َعلَى‬
‫ش ْىء‬ َ ‫ض َر‬
َ

9
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun.

Sebagai fakta sejarah, perbudakan memang ada, bahkan boleh jadi secara

de facto realitas mereka masih belum hilang dari muka bumi ini. Meski

secara de jure eksistensi mereka dianggap tidak ada.

Kehadiran Islam dengan semangat egalitarianismenya, menempatkkan

tindakan memerdekakan hamba sahaya, sehingga perbuatan yang sangat

mulia. Bahkan oleh Islam, memerdekakan budak dijadikan sebagai kafarat

(sanksi hukum berupa tebusan) bagi pelaku kejahatan, misalnya

membunuh dengan khilaf (QS An-Nisa’[4]:92). Ini karena Islam

menghendaki agar tidak ada lagi perbudakan di muka bumi ini.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun rukun kewarisan,yaitu :
 Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan

 Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta

peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan

jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan

muwarrits.

 Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati

yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan

pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat atau wasiat.

 Seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat

mewarisi yaitu:

 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).

 Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru

disebut muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.

 Hidupnya warits (ahli waris).

 Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia.
Mengetahui status kewarisan.

11
DAFTAR PUSTAKA

ash-Shabuni, M. A. (1995). Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema


Insani Press.
Hardani, A. M. (2015). Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Medpress Digital.
Kuncoro, W. (2010). Solusi cerdas Menghadapi Kasus Keluarga. Jakarta: Raih
Asa Sukses.
Mardani. (2014). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Rofiq, A. (1995). FIQH MAWARIS. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suryati. (2017). Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Andi.
Suwarna, S. D. (2018). Rukun dan Syarat Kewarisan. Fiqh Mawaris (Syarat
Kewarisan) di Indonesia, 93-107.
Wicaksono, S. (2011). Hukum Waris. Jakarta: VisiMedia.

12

Anda mungkin juga menyukai